Chereads / Dendam Sang Mantan / Chapter 4 - Firasat Buruk

Chapter 4 - Firasat Buruk

Matahari masih malu-malu untuk menampakkan diri, namun seorang wanita telah terlihat sibuk mondar-mandir di dalam kamar. Keadaan kamar masih sama seperti biasa—berantarakan—karena pemilik kamar tidak memiliki kesempatan untuk membersihkan.

Ayla segera bergegas memakai pakaianannya setelah keluar dari kamar mandi. Ia lantas memperhatikan penampilannya di depan cermin dan mulai berhias diri.

"Duhh, kamar gue kok kayak kapal pecah," guman Ayla ketika memperhatikan seisi kamar lantas beralih memperhatikan jam yang kini telah menunjukkan pukul enam lewat duapuluh menit.

Ayla terpaksa berangkat pagi ke rumah orangtuanya yang memakan waktu hampir tiga jam menggunakan kereta. Jika bukan karena malam nanti ia akan menghadiri acara pernikahan rekan kerjanya, Ayla tidak akan menyusahkan diri untuk bangun pagi.

Jika hari biasa, saat ini mungkin Ayla masih terlelap dengan mimpi indahnya bersama sang idola.

Saat merapikan tempat tidur, tiba-tiba saja ponsel Ayla berbunyi. Ia segera melihat pesan yang masuk dan ternyata dari Nathan.

Nathan: Ay, kamu sudah bangun?

Ayla: Iya. Ini aku udah siap.

Nathan: Aku ada di depan kos kamu.

Ayla: Eh, kenapa nggak bilang dulu kalau mau ke sini.

Nathan: Sengaja biar kamu kaget. Aku masuk, ya.

Ayla membulatkan kedua mata saat membaca pesan terakhir dari Nathan. Secepat mungkin ia membalas pesan tersebut agar laki-laki itu tidak masuk ke dalam kamarnya yang begitu berantakan.

Tok tok tok.

Terlambat. Seseorang telah mengetuk pintu kamar Ayla dari luar. Ia yakin orang yang sedang berdiri di depan kamar adalah Nathan.

Ayla beranjak menuju pintu sembari meringis dalam hati saat melihat keadaan kamarnya yang sama sekali tidak mencerminkan kamar perempuan. Ia lantas membuka pintu namun hanya berukuran kecil untuk melihat Nathan.

"Kamu tunggu di luar aja, ya. Nggak perlu masuk," ujar Ayla.

Nathan menaikkan sebelah alis, "Memangnya kenapa? Ibu kos kamu marah?"

"Bukan. Tapi jangan aja deh. Kamu tunggu di sini atau di luar aja asalkan kamu jangan masuk."

"Semakin kamu larang aku masuk, semakin aku mau masuk ke kamar kamu. Biasanya juga kamu nggak larang aku masuk."

"Tapi ini beda!" seru Ayla tanpa sadar.

Nathan memicingkan mata. Tangannya bergerak untuk mendorong pintu. Detik berikutnya, ia berhasil masuk ke dalam kamar. Seketika terdiam di tempat sembari memperhatikan keadaan kamar Ayla.

Nathan berbalik badan dan menemukan Ayla kini menundukkan kepala. Nathan tersenyum lantas segera membawa Ayla ke dalam pelukannya.

"Gara-gara ini kamu larang aku masuk?" tanyanya kemudian.

Ayla mengangguk pelan sebagai jawaban.

Nathan terkekeh geli. "Kamu sepertinya sudah lupa. Aku mengenalmu bukan cuma dua atau tiga bulan ini, aku sudah tau apapun tentang kamu, Ayla."

"Tapi aku tetap malu." Ayla berkata cukup pelan.

"Jangan pernah malu sama aku." Nathan melepaskan pelukannya lantas merapikan anak rambut Ayla ke samping telinga wanita itu. "Aku Nathan, pacar kamu. Bukan orang lain."

Ayla menatap Nathan lurus lantas tersenyum. "Iya. Nathan pacar aku."

Nathan tertawa pelan. "Kamu siap-siap aja, biar aku yang rapikan kamar kamu."

"Jangan!" cegah Ayla cepat.

"Tidak masalah, Ay. Kalau kita sudah nikah nanti, aku juga bakal bantuin pekerjaan kamu. Anggap saja sekarang aku lagi latihan jadi suami baik."

Ayla hanya tersenyum lantas memperhatikan Nathan yang kini mulai merapikan tempat tidur miliknya. Senyum Ayla tidak pernah luntur dengan hati terus saja memuji pacarnya.

"Kalau seperti ini, kamu makin terlihat sempurna dimata aku, Nathan," guman Ayla.

Ayla memutuskan mengambil tas di lemari.

***

Ayla kini telah berada di dalam stasiun kereta sembari menunggu kereta selanjutnya. Ia tidak sendiri, ada Nathan yang terus setia berada di sampingnya padahal jam kerja telah dimulai beberapa menit yang lalu.

"Nathan, kamu boleh pergi. Aku nggak apa-apa nunggu sendiri," ujar Ayla kembali membujuk Nathan.

"Nggak, Ay. Aku nggak mungkin biarkan kamu nunggu sendiri. Aku nggak masalah kalau harus terlambat. Aku nggak bakal menyesal jika harus mengorbankan waktuku demi kamu."

"Jangan gombal dulu!" Ayla memukul bahu Nathan, namun detik berikutnya ia langsung memeluknya. "Kalau gini, bukan kamu yang bakal rindu tapi aku."

Nathan terkekeh pelan lantas mengelus rambut Ayla tanpa membalas kalimat wanita tersebut.

Beberapa menit berlalu, suara pemberitahuan jika kereta selanjutnya akan tiba membuat Ayla segera melepaskan pelukannya di lengan Nathan.

Ayla segera berdiri dan menatap Nathan sendu. Seakan mendadak tidak ingin pergi.

"Kamu pergi gih. Nanti keretanya keburu pergi," ujar Nathan menatap Ayla intens.

Ayla menghela napas panjang. "Aku pergi dulu, ya. Jangan nakal di kantor. Awas aja kamu."

"Iya, Sayang." Nathan mengelus rambut Ayla. "Hati-hati di jalan. Kalau ngantuk, kamu tidur aja di atas kereta."

Ayla mengangguk pelan lantas perlahan melangkah meninggalkan Nathan. Baru saja beberapa langkah, Ayla tiba-tiba saja berhenti dan kembali menatap Nathan yang kini sedang melambaikan tangan ke arahnya.

Seketika, Ayla berlari menghampiri Nathan dan memeluk kekasihnya itu cukup erat. Terlalu aneh jika tiba-tiba saja ia tidak ingin pergi. Seakan ia merasakan akan terjadi sesuatu yang dapat merusak hubungan keduanya.

"Jangan seperti ini, Ay. Jangan bikin aku nggak bisa lepasin kamu pergi," ujar Nathan yang kini telah membalas pelukan Ayla.

"Maaf. Aku cuma mau peluk aja sebelum pergi." Ayla langsung melepaskan pelukannya. "Sekarang aku benar-benar pergi."

Nathan tersenyum lantas kembali melambaikan tangan ke arah Ayla. Ayla benar-benar melangkah pergi tanpa melihat Nathan lagi karena takut ia akan kembali melakukan kesalahan.

Ayla kini benar-benar telah berada di dalam kereta. Duduk di kursi dekat jendela. Ia dapat melihat Nathan masih setia berdiri di tempat semula. Masih setia memperhatikan Ayla di dalam kereta.

Ayla tersenyum. Namun entah mengapa suasana hatinya tidak baik. Melihat Nathan saja membuat dirinya seakan ingin menangis. Melihat bagaimana tulusnya laki-laki itu dalam mencintainya membuat Ayla merasa bersalah karena hubungan mereka masih jalan di tempat.

Hingga sampai saat ini, Ayla masih belum bisa meyakinkan kedua orangtuanya jika Nathan adalah pilihan terakhirnya dan merupakan laki-laki yang mampu membawa kebahagiaan untuk Ayla.

Keadaan ayahnya membuat Ayla tidak ingin memaksa kehendaknya sendiri. Takut keadaan laki-laki itu akan semakin memburuk jika Ayla kembali membahas soal Nathan.

Mereka belum percaya dengan Nathan meskipun Ayla sangat mempercayainya. Atau mungkin mereka benar-benar tidak menginginkan Nathan yang akan menjadi pendamping hidup putri satu-satunya.

Menit berikutnya, kereta tersebut perlahan bergerak. Ayla segera melambaikan tangan ke arah Nathan dan langsung dibalas oleh laki-laki tersebut.

Ayla menghela napas pelan lantas beralih bersandar di sandaran kursi kereta. Hanya beberapa menit bertahan, Ayla telah terlelap dengan tidurnya. Tadi malam, lagi-lagi ia harus begadang untuk menyelesaikan drama korea miliknya