Hayana terlihat bahagia dan menikmati penerbangannya. Selama di dalam pesawat, gadis lucu itu terlihat menikmati penerbangan pertamanya
"Mami ... Mami," celotehnya dengan riang di pangkuan Asha. Tak lama, Hayana sudah berpindah ke pangkuan Danendra yang duduk di sebelah Asha.
"Daddy, itu apa?" tunjuk Hayana pada layar ponsel Danendra .
"Hmm, ini pekerjaan Daddy," sahut Danendra . Pria itu sedang melihat foto perkembangan pembangunan apartemen yang dikirim Ramos, asistennya.
" As , tolong ambilkan air mineral," pinta Danendra pada Asha. Danendra sedang kesulitan bergerak, Hayana masih bergelayut manja padanya.Tampak Asha mengeluarkan sebotol air mineral dan membukanya untuk Danendra.
"Hayana sama Mommy, kasihan Daddy mau minum," tawar Asha , langsung meraih tubuh mungil itu supaya pindah ke pangkuannya.
"As , apa Ibu sudah dikabari?" tanya Danendra, setelah menghabiskan sebotol air mineral.
"Tadi sempat menghubungi Ibu, tetapi aku tidak cerita kalau Tuan dan Hayana ikut bersamaku," jawab Asha ragu.
"Sampai kapan kamu terus-terusan memanggilku Tuan," protes Danendra, tersenyum melihat Asha yang cemberut di sampingnya. Danendra mengalihkan pandangannya pada putri kesayangannya. Hayana hampir terlelap di pelukan Sdha .
"As , Hayana pindahkan ke pangkuanku saja,"pinta Danendra setelah mempertimbangkan penerbangan mereka masih lumayan lama.
"Tidak apa-apa, Tuan. Nanti Hayana terbangun," tolak Asha , memilih tetap mengusap lembut punggung Issabell supaya gadis kecil itu semakin terlelap.
"Kalau merasa tanganmu pegal, kamu bisa memindahkannya kepadaku, As ," tawar Danendra.
"Ya, Tuan," sahut Asha, menatap Danendra sekilas.Sepanjang perjalanan Asha teringat dengan kakaknya Isyana. Asha masih mengingat jelas, saat berpamitan dengan Isyana tadi.
****Flashback On.*****
Tampak Asha keluar dari kamarnya dengan menggendong Hayana. Danendra mengekor di belakang sambil menyeret koper mereka. Ketiganya sudah bersiap hendak berangkat menuju bandara. Mereka hanya berangkat bertiga saja,Asha menolak saat Danendra akan membawa serta pengasuh Hayana ikut bersama mereka. Sambil menggendong Hayana, Asha mengetuk pintu kamar kakaknya. Tepat pada ketukan ketiga, Isyana muncul dari balik pintu .
"Kak Isyana , aku pamit," ucap Asha saat melihat kakaknya sudah berdiri di hadapannya.
"Ya." Isyana hanya menjawab singkat, tanpa tersenyum sama sekali. Malah lebih terkesan ketus.
"Hayana, pamit sama Onty Ana," pinta Asha.Coba memujuk Hayana ke pelukan Isyana .
Hayana yang takut ditinggal, malah mendekap erat leher Asha . Menyandarkan kepalanya dipundak sang mommy dengan manja.
"Mami ... ayuk," ajak Hayana
"Hayana sama Daddy, ya," pinta Asha saat melihat Danendra menghampiri mereka.
" Daddy , tolong gendong Hayana sebentar ,"Asha menyodorkan Hayana pada daddynya.
"Kak Isyana , aku minta maaf," ucap Asha setelah tertinggal mereka berdua.Isyana hanya diam, tidak menjawab sama sekali.
"Aku tidak bermaksud mengambil posisi Kak Isyana di mata Hayana," ucap Asha sedikit menyesal.Walaupun Asha tahu, sebenarnya bukan salahnya kalau Hayana tidak mengakui Isyana sebagai ibunya. Sejak Danendra mengambil tanggung jawab atas Hayana , memang Isyana hanya dikenalkan
sebagai tantenya Hayana.
"Aku sudah melupakannya. Suatu saat kamu akan menjadi seorang ibu. Kamu akan tahu apa yang aku rasakan nanti," sahut Isyana, tidak mau menatap adiknya.
"Aku harus bagaimana, Kak Isyana ? Aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa," ucap Asha , menunduk.
"Sudahlah, aku mohon jangan katakan apapun pada Ibu. Aku belum siap menerima kekecewaan Ibu," lanjut Isyana.
"Kamu akan kembali ke sini?" tanya Isyana, sedikit ketus.
"Ya, Kak Isyana . Tuan Danendra eh ... maksudku daddynya Hayana memintaku untuk tinggal di Jakarta," sahut Asha,menjelaskan.
"Aku pamit, Kak Isyana," ucap Asha . Baru saja Asha akan memeluk sang kakak, tetapi Isyana sudah
masuk kembali ke dalam kamar dan menutup pintu.
"Maafkan aku, Kak. Aku tidak bermaksud sama sekali merebut putrimu," ucap Asha pelan. Terlihat Asha berbalik sambil menghapus air matanya yang sempat tumpah karena perlakuan tidak menyenangkan dari sang kakak.Selama Asha tinggal di sini, tidak sekali pun Isyana mengajaknya bicara. Asha hanya akan bertemu dengan kakaknya saat di meja makan saja. Selebihnya Isyana lebih memilih mengurung diri di dalam kamar setiap pulang kerja.Asha menyadari perubahan sikap Isyana padanya. Tidak jarang Asha menjawabnya ketus, tetapi Asha berusaha memahami situasinya.Asha juga memahami alasan perubahan sikap Isyana padanya karena secara tidak langsung Asha telah merebut putri kakaknya sendiri.Selama ini, mereka memang tidak terlalu akrab.Perbedaan umur yang lumayan jauh, membuat Isyana menganggap Asha seperti anak kecil.Belum lagi, sejak kuliah Isyana memilih untuk tinggal di Jakarta.
***Flashback Off.***
Saat mobil yang membawa Danendra , Asha dan Hayana masuk ke dalam halamaan rumah, tampak Ibu Rani sudah duduk menunggu mereka didepan teras. Senyumnya terkembang saat melihat Asha turun. Namun, tak lama senyum itu hilang dari wajah keriput Ibu Rani, berganti kerutan di dahi, yang menandakan kebingungan dan keheranan saat melihat Asha menggendong turun Hayana.
"Bu," sapa Asha , menghampiri Ibu Rani . Di belakang mereka tampak Danendra mengekor sambil menyeret koper.
"Ini siapa, As ?" tanya Ibu Rani pada, heran.
"Ini ... ini ....," Asha menatap ke arah Danendra yang sedang berjalan mendekati. Asha tidak tahu dan tidak bisa menjawab pertanyaan ibunya.
Bagaimana pun, Danendra yang lebih berhak menjelaskan semuanya pada Ibu Rani.
"Ini Hayana Bu, putri kami," ucap Danendra mengejutkan Ibu Rani seketika.
"Kita bisa bicara di dalam Bu," ucap Danendra lagi. Ibu Rani mengangguk. Ibu Rani juga ingin tahu duduk permasalahannya. Selama tiga tahun,menantunya tidak pernah datang mengunjunginya ataupun Asha .Sekali mengunjunginya, malah membawa serta seorang anak kecil yang diakui sebagai putrinya.
"As , bawa Hayana ke kamar. Aku tidak mau dia mendengar hal-hal yang belum pantas didengarnya. Akan ada waktunya untuk Asha mendengar, tetapi bukan sekarang," jelas Danendra .
"Baik, Tuan," sahut Asha singkat, berjalan menuntun Hayana ke kamarnya. Danendra terlihat membantu Ibu Rani berjalan menuju ke ruang tamu. Setelah memastikan Ibu Rani nyaman, Danendra baru membuka pembicaraan.
"Ibu, bagaimana keadaanmu?" tanya Danendra ,menggengam tangan mertuanya. Danendra mengingat, bagaimana dulu Ibu Rani menggengam tangannya untuk menguatkan seorang Danendra yang lemah dan hampir mati hanya karena perceraian dan menangisi wanita tidak pantas ditangisi.
"Ibu baik-baik saja, Nak," sahut Ibu Rani .
" Isyana , bagaimana kabarnya?" tanya Ibu Rani .
" Isyana baik-baik saja, Bu," sahut Danendra, tersenyum.
"Gadis kecil itu siapa? Bagaimana bisa ikut dengan kalian ke sini?" tanya Ibu Rani penasaran.
Danendra menghela napas, sebelum menjawab. Sudah sejak lama Danendra berpikir, untuk memperkenalkan Hayana kepada mertuanya. Namun, Danendra belum memiliki keberanian untuk berbohong, tetapi hari ini Danendra terpaksa melakukannya.
"Dia putri karyawanku," jelas Danendra, memulai cerita.
"Kedua orang tuanya berpisah. Sejak lahir tidak ada yang mengurusnya. Sedangkan ibunya harus bekerja. Jadi, aku memilih untuk mengadopsi dan memberinya keluarga yang lengkap , seperti anak -anak lainnya ," lanjut Danendra.
" Berapa usia gadis kecil itu ?"tanya Ibu Rani lagi.
" Tiga tahun,Bu," balas Danendra.
"Apa maksudmu ? Selama tiga tahun Tuan membiarkan Asha diabaikan kerana gadis kecil itu?" Tanya Ibu Rani tidak berpuas hati karena selama tiga tahun tidak menghubungi Asha kerana gadis kecil ,Hayana.Ibu Rani merasa bersalah kepada Asha kerana menyetujui pernikahan mantan majikannya dan putrinya,Asha .
" Ya , Bu . Maafkan aku kerana mengabaikan putri ibu dan ibu .Setelah ini , aku berjanji untuk tidak mengecewakan dan mengabaikan Asha .Aku akan menjadi suami yang bertanggung jawab," jelas Danendra melutut sambil menggenggam tangan Ibu Rani untuk bisa percaya kepada lagi.Ibu Rani mengarah Danendra bangkit dan hanya mengangguk ,meski hati Ibu Rani tidak tenang.Ibu Rani tidak ingin curiga pada mantan majikannya itu.Setelah menantunya itu bangkit lalu mengarah ke lantai atas menuju ke kamarnya ,Ibu Rani yang masih mematung tidak bisa menahan air matanya.