Pemuda Timur terbangun dari pingsan, dengan mengusap bekas darah di hidungnya dia menghampiri dua pria yang sedang berusaha untuk membuat api di sisi batu yang sedikit kering tanahnya dan lebih terlindung oleh beberapa bebatuan lainnya.
Ser, dengan penuh rasa tidak suka kepada kedua pria Utara, seketika melontarkan kalimat terburuk yang pernah didengar oleh Wedden dan juga Ren untuk menegur seseorang yang lebih dewasa karena kesalahan mereka.
"Tak bisakah kau memilih kata-katamu, Nak? Aku bisa saja membunuhmu karena sikapmu yang tidak sopan itu!" Ren, yang kali ini mengikat rambut panjangnya itu memandangi pemuda Timur dengan sangat tidak suka.
"Apa? Kau ingin membunuhku? coba saja, jika kau ingin aku membunuhmu terlebih dahulu," sahut pemuda itu dengan sikap sombongnya yang begitu memuakkan pangeran Soutra.
Ren segera meraih pedangnya dan menebasnya ke arah pemuda itu. Hanya bertujuan untuk membuat pemuda itu tutup mulut, tetapi Ser tampak benar-benar ketakutan. Wedden segera saja menarik Ren dan melarangnya untuk mengulangi tindakannya yang dapat membuat keadaan semakin buruk.
Wedden berbisik kepada Ren, dia sangat khawatir kalau-kalau pemuda ini adalah sejenis umpan para penjahat dari Timur yang akan menyerang dan membunuh mereka. Atau lebih buruknya lagi jika sebenarnya pemuda ini adalah sosok penyihir anak buah Kimanh yang tengah mencari lengah dari keduanya.
"Kau! Pergilah kepada rombonganmu dan jangan pernah membuatku berhasrat untuk membunuhmu!" Kalimat kasar itu diucapkan oleh pangeran Soutra dengan menghunuskan pedangnya ke arah pemuda dari Timur yang mulai memundurkan langkahnya.
Ren kembali duduk di dekat Wedden dan perapian, tubuhnya tidak lagi pucat dan kedinginan. Hanya saja dia tengah memandangi sosok temannya yang ada di hadapannya sekarang, pria Vitran ini sedikit berbeda. Dia tidak lagi mengenakan jubah emas para peri lembah, dia juga telah tidak membawa busur dan anak panahnya.
Wedden hanya mengenakan pakaian sederhana dan tanpa barang apapun yang akan melindungi dirinya dari serangan para anak buah Kimanh.
Pemuda Timur tadi telah menghilang, dan kedua pria Utara itu tidak memperdulikannya. Atau lebih tepanya hanya Wedden yang memperdulikannya, dia masih sangat siaga dengan keadaan sekitarnya. Dan yang paling lekat di dalam pengawasannya adalah pangeran Soutra yang sedang duduk di hadapannya. Pria yang sangat kuat dan hebat bagi Wedden. Bahkan dengan penampilannya yang cantik, pangeran ini tetap tampak gagah dimata pria Vitran itu.
Ren bangkit dengan membawa pedangnya menuju ke dalam hutan yang pengap itu. Wedden segera saja mengatakan kepadanya untuk menghindari semua tindakan yang akan membahayakan nasib mereka, meskipun hanya membahayakan nasib pangeran Soutra itu sendiri maka Wedden tidak akan dapat memaafkannya.
Ren sama sekali tidak merespon kalimat panjang lebar Wedden, dia hanya terus melangkahkan kakinya menuju hutan dengan mengandalkan ketajaman pendengarannya untuk senjatanya selain pedang perak yang ada di genggaman tangan kanannya.
Wedden sedikit memikirkan tentang hidupnya, dia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Apa kekuatanku? Apa yang kuwarisi di dalam darahku dari sang raja Elf? Apa kehebatan mantra kuno itu? Dimana aku dapat menemukan buku yang telah disimpan selama berabad-abad itu, dan apa yang harus aku lakukan saat ini?
Pikirannya berkecamuk dengan segala kemungkinan yang melintas di otaknya, "Aku harus melihat kedalam diriku?" gumamnya dengan masih termenung dan menambahkan potongan ranting kayu ke api kecil yang lumayan menghangatkan.
Tiba-tiba ia mendengar suara gemerisik dari dalam hutan, Wedden segera waspada dan meraih pisau kecilnya yang masih tersimpan aman di dalam pakaiannya. Suara itu terdengar begitu jelas di telinga Wedden, hingga akhirnya memberanikan diri untuk menyerang segala apapun yang ada di balik pepohonan gelap disana.
Sosok bayangan terlihat dari kejauhan dan, ternyata itu Ren dengan pedang. Dia juga membawa sebuah tombak juga sebuah kayu yang berdarah?
Wedden hanya berimajinasi dengan pikirannya sendiri, karena benda yang satu itu tidak begitu jelas di pandangan Wedden yang mulai rabun di malam hari.
"Aku membuatkanmu ini untuk senjata," pria berambut merah muda yang hampir membuat Wedden menyerangnya itu menyerahkan sebuah tombak kayu hasil karyanya kepada si pria keriting.
Wedden dengan tanpa respon menerima benda tajam yang terlihat keren karena benda itu terlihat seperti tongkat kakek tua dengan ujung yang runcing di bagian bawahnya.
"Terimakasih," ujarnya kepada pangeran yang jarang berbicara itu. "Benda apa itu?" tanyanya lagi ketika Ren sedang memanggang sesuatu yang besar seukuran seeokor kelinci di atas api mereka. Detik berikutnya ia mengerutkan dahi dan bertanya, "apa itu belalang?".
"Ya, semua hewan di dalam hutan ini berukuran luar biasa. Dan ini akan menjadi santapan kita malam ini," jawab Ren dengan tenang dan menambahkan lagi beberapa ranting yang telah dikumpulkan oleh mereka di dekat perapian.
Sesungguhnya Wedden belum pernah memakan hewan pengganggu tanaman ini, namun dia mungkin akan mencoba untuk memakannya kali ini. Tetapi pandangannya menangkap sebuah bayangan hitam dari kegelapan hutan yang sedang bergerak menuju ke arah mereka.
"Ren, kurasa kita yang akan mereka jadikan santapan malam?" bisik Wedden lirih dengan pandangannya yang masih mengarah ke sisi gelap hutan di belakang Ren.
Pangeran Soutra yang merasa aneh dengan kalimat Wedden, segera membalikan tubuhnya dan memandang ke arah sekelompok besar belalang-belalang raksasa yang menuju mereka dan menyerang dengan tiba-tiba. Hanya dalam hitungan detik, Ren telah di tubruk oleh seekor yang berukuran lebih besar dari yang ia bakar, dan dengan pedangnya yang baru ia raih ia langsung menebas tubuh lunak serangga pemakan daun itu.
Wedden memukul-mukul pasukan serangga lunak itu dengan tombak hasil karya Ren, dia menghujam ujung tajamnya sehingga membuat beberapa belalang terluka dan mati. Pria keriting ini begitu semangat untuk menghabisi pasukan belalang raksasa itu, dia bahkan hampir menusuk hidung Ren ketika menghujamkan ujung tombaknya ke arah seekor yang mencoba untuk menyerang pangeran Soutra.
"Maaf," ujarnya singkat seraya memamerkan deretan gigi putihnya kepada pangeran Soutra yang terus menebaskan pedangnya menghabisi pasukan binatang tak bertulang belakang itu.
Terdengar teriakan dari dalam hutan, dari arah gua yang sempat diketahui oleh Ren saat ia berburu belelang tadi. Suara itu sepertinya dalah teriakan seorang pria. Tetapi Ren masih fokus untuk menyerang beberapa belalang yang masih mengincar mereka dan tak luput menuju kepala Wedden yang sekilas mirip dengan sarang burung karena rambutnya yang tampak kaku tak beratur.
"Bisakah kalian menjauhkan hewan ini dari tubuhku?" Sosok muda pria Timur muncul dari balik pepohonan dengan seekor belalang raksasa yang tengah mencengkeram lehernya dengan kuat.
Pemuda itu berjalan sempoyongan dan tak terarah, dia tercekik dan meronta. Dengan spontan, Wedden yang melihat sosok besar belalang yang tengah kuat bertengger di leher pemuda timur segera melempar pisau belatinya ke arah leher Ser. Ser melengoh dan sedikit terkejut dengan kehadiran benda kecil tajam itu di lehernya, lebih tepatnya di tubuh belalang besar yang mencengkeram lehernya.
Hewan itu melemah dan akhirnya terjatuh ke tanah dengan tidak bernyawa. Langsung saja Ser memeriksa lehernya yang masih utuh dan hanya ada sedikit luka bekas kaki belalang yang tadi mencengkeramnya dengan kuat.
"Dari mana datangnya mereka?" gerutu Ser yang masih membawa karung bawaannya.
"Dntahlah …," sahut Wedden seraya sedikit melirik ke arah Ren yang berdiri di dekatnya dengan tanpa ada gerakan lain selain memandangi pedang peraknya. "Mereka mungkin merasakan kehadiran kita dan merasa terganggu," tambah Wedden kepada si pemuda Timur yang berjalan mendekat.
Ren segera melirik Ser dengan tajam dan membuat langkahnya sedikit tertunda, "Dimana pasukanmu? Siapa pemimpinmu? Apa yang kalian lakukan disini?" tanyanya kasar dengan tatapan membunuh yang membuat pemuda timur itu sedikit kesusahan untuk berbicara karena takut.
"Aku independen. Aku bukan anggota dari pasukan manapun dan aku bukan anak buah dari siapapun," sahut Ser setelah mehela napas panjang. "Tapi … bolehkah aku bergabung dengan kalian?" pertanyaan ini membuat Ren nyaris menebaskan pedangnya ke arah pria yang beberapa menit yang lalu memakinya dengan kalimat kasar dari negeri Timur. "kalian tidak perlu merasa tidak nyaman denganku, aku sangat menyukai kalian," tambah Ser dengan rasa percaya diri yang berlebihan.
Ren menyipitkan kedua matanya, "Tetapi kami tidak menyukaimu," ujarnya.
"Baiklah, kita sudahi ketegangan ini. Mungkin kita dapat membicarakan hal ini sambil menghangatkan diri." Wedden menarik tubuh Ren ke arah perapian yang mulai padam apinya.
***