Chereads / EDEN - Kisah Dunia Fana (Original) / Chapter 9 - 8: Kengerian Keajaiban & Teror Dosa

Chapter 9 - 8: Kengerian Keajaiban & Teror Dosa

"Kenyataannya, kesengsaraan itu lebih muda digapai dibanding kebahagiaan. Kita cuma perlu selangkah lagi saja untuk mencapai rasa sakit itu, sementara untuk membuat hati kita merasa senang saja kita harus berjuang mati-matian..." Gumaman pelan Liel membuat Rama dan Kain tersentak kaget.

Entah apa alasannya sampai-sampai dia mengutarakan perkataan macam itu lagi kali ini. Wajahnya kosong.

Bocah bermata emas itu berdiri diam memandangi kedalaman hutan di balik jejeran pepohonan di hadapannya, sementara Rama dan Kain masih keheranan di belakangnya.

Hari ini, mata Rama berubah menjadi warna menjadi kelabu, warna favoritnya yang sering muncul di hari keberuntungannya. Tapi, sayangnya, hari ini, di awal bulan desember, Rama sama sekali tidak merasa beruntung, karena beberapa menit yang lalu Liel datang ke rumahnya bersama Kain, lalu dengan jentikan jarinya, Liel membawanya dan juga Kain ke tempat ini dalam sekejap mata.

Di belakang mereka ada jalan raya yang agak sepi, sedangkan di depan mereka ada hutan yang rimbun dan senyap.

Rama menoleh memandang Kain di sebelahnya, tapi bocah kurus berambut cokelat itu juga tampak kebingungan saat ini. Berarti sudah jelas kalau ia juga korban.

"Kau bawa kunci pedangmu, kan, Rama?" Tanya Liel tiba-tiba.

"Eh? Iya aku bawa, kok." Rama buru-buru mengeluarkan kunci perak berbentuk pedang yang ia gantung di leher layaknya kalung. "Buat apa emangnya?"

"Yah, tentu saja aku ingin mengajarimu cara untuk menggunakan pedang." Liel berbalik memandang wajah kedua anak di belakangnya. Mata emasnya sedikit menyala. "Dan aku ingin menunjukan padamu wujud dari musuh yang sebenarnya. Makhluk bodoh yang lahir dari manusia dan hidup untuk memakan manusia."

"Tapi, El, bukannya ini terlalu tiba-tiba, ya?" Kain ingin memprotes, wajah anak itu tampak panik. "Mending kita tunggu sampai maghrib aja dulu, itu lebih baik dari pada membawa Rama ke sini."

"Tapi, perasaanku masih nggak enak... Lagian lebih cepat lebih baik. Dan selama aku ada disini... Aku bersumpah, aku tak akan membiarkan Rama tergores sedikitpun." Jelas Liel, ada nada final pada suaranya.

"Tapi... Membawa Rama ke tempat ini... adalah tindakan gila, lho." Kain yang takut-takut berusaha mengingatkan Liel sambil tersenyum kecut. "Kau tahu kalau Sec'avalon termasuk salah satu Phantaminum yang paling kuat di dunia ini. Semua dosa di seluruh Asia pasti berkumpul di sini sekarang..."

"Sudah kubilang, lebih cepat, lebih baik. Sesuatu sedang terjadi dan aku nggak tahu apa itu." Liel meraba kepala sebelah kanannya dengan gelisah. "Aku hanya ingin agar Rama bisa melindungi dirinya sendiri kalau terjadi apa-apa." Liel menekankan dengan suara datar. "Gunakan kunci pedangmu, Rama."

"E-Eh! Baiklah." Rama yang masih keheranan langsung memasukan kunci pedang itu ke telapak tangan kirinya, dan seketika itu juga cahaya muncul menyelimuti lengan kirinya dan melahapnya hingga lenyap tanpa sisa, dan sedetik kemudian, sebuah pedang perak cantik datang entah dari mana, dan Rama menyambut pedang itu dengan mulus menggunakan tangan kanannya.

"Oh iya Kain, Sec–apalah itu apa, ya?" Rama membisikkan pertanyaannya pada Kain sembari melirik memandang Liel yang dari tadi bersikap sangat serius, dan itu amat jarang terjadi.

"Sec'avalon." Kain membenarkan. "Ah... Seluruh hutan di depan kita ini sebenarnya adalah suatu entitas yang hidup dan memiliki pikirannya sendiri. Dia memiliki nama, dan itu adalah Sec'avalon." Jelas Kain dengan kening yang masih berkerut kesal. "Phantaminum; itulah sebutan untuk mereka. Sebutan untuk sebuah daerah yang hidup dan berakal layaknya satu pribadi."

"Oh... Itu kedengaran hebat." Ya, itu baru. Rama tak tahu kalau ada sesuatu seperti itu di dunia ini; sebuah tempat yang bisa berpikir dan hidup.

Meski begitu, Rama tetap merasa terjebak saat ini.

Dia hanyalah anak sekolah dasar. Dia hanya manusia biasa. Namun, anehnya dia tidak bisa menolak situasi ini. Dia benar-benar mengalir seperti air di sungai.

Dua tahun berlalu sejak ia mengenal Liel. Dua tahun telah terlewati sejak ia mengenal keajaiban. Selama itu pula, semua keanehan yang telah ia lihat memang sangatlah mengagumkan, bercahaya, nyaman, dan indah. Akan tetapi dalam situasinya kali ini, dan situasi beberapa hari yang lalu, Rama cuma bisa merasakan teror.

Tak ada lagi keindahan.

Saat ini, di detik ini pula, Rama yengah memegang pedang. Pedang yang amat tajam, yang bahkan lebih dari mampu untuk menghantarkan makhluk hidup menuju alam maut.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Hilang dimana semua keajaiban yang mengagumman dan berkilauan itu?

Kemana perginya hari-hari yang nyaman dan damai itu?

Rama tidak mengerti, tapi ia juga tak bisa berhenti melangkah maju. Kenapa?

"Astaga..." Bisikan itu keluar dari mulut Kain. Debu-debu cahaya putih dengan cepat berkumpul di tangan kanan Kain dan membentuk sebilah pedang seputih susu yang tak kalah cantik dengan pedang perak Rama.

"Baiklah, ayo masuk." Setelah melihat persiapan Rama dan Kain, Liel pun mulai melangkah masuk ke dalam hutan, diikuti oleh kedua bocah lainnya di belakangnya.

Hutan itu senyap, atmosfernya dingin dan terkesan gelap. Hampir tak ada suara yang terdengar selain suara langkah kaki mereka.

Akan tetapi, tak sampai semenit setelah memasuki hutan itu, mereka sudah mendapati beberapa sosok aneh yang sedang berdiri diam di antara pepohonan.

Makhluk-makhluk itu berbentuk persis seperti manusia, tapi anehnya, sekujur tubuh mereka cuma berwarna hitam pekat dari ujung kaki hingga ujung kepala layaknya langit malam. Dan ketika Rama memandang mereka, Rama seketika merasa sangat-sangat aneh.

Seakan-akan, kebahagiaan itu tidaklah nyata, dan cahaya itu, tak pernah ada sejak awal.

Perasaan macam apa itu?

Rama berkeringat dingin.

"Mereka adalah, Dosa." Ujar Liel tanpa ragu, namun suara bocah itu parahnya malah membuat makhluk-makhluk hitam itu menyadari keberadaan mereka bertiga. "Makhluk Tak Tertulis, yang lahir dari dosa manusia."

"Dosa...?" Rama bergumam pelan.

"Mereka terlahir dari dosa-dosa manusia yang lalu mengendap dan membentuk satu keberadaan, yang parahnya malah membahayakan manusia itu sendiri." Kain menjelaskan. "Para Dosa itu melahap dosa-dosa kecil yang terus meluap keluar dari tubuh manusia, dan itu membuat mereka semakin berkembang. Tapi, ada saatnya dimana dosa-dosa dari manusia sudah tidak bisa memuaskan rasa lapar mereka sendiri, dan akhirnya, untuk menghilangkan rasa lapar itu, makanan mereka selanjutnya, ya tentu saja manusia."

Baiklah, yang dikatakan Kain barusan itu adalah horor sungguhan.

Jumlah Dosa di depan mereka ada lima, dan kini, makhluk-makhluk hitam itu mulai berlari bak orang kesetanan menuju ke arah Liel, Rama, dan Kain.

Liel mengangkat tangan kanannya ke depan, dan seketika itu pula ada empat bilah pedang yang muncul di udara di kiri kanan Liel. Bocah bermata emas itu menggerakkan jarinya seperti sedang memberi isyarat, dan di waktu itu juga pedang-pedang itu langsung meluncur menerjang empat makhluk hitam itu hingga melebur jadi debu keemasan dan musnah tanpa sisa.

Kini tinggal satu yang tersisa.

Akan tetapi, ada sesuatu yang jatuh ketika para Dosa itu dimusnahkan; itu adalah batu-batu permata berwarna hijau gelap. Kasusnya persis seperti makhluk bertangan empat yang dibunuh Liel di lapangan beberapa hari yang lalu. Makhluk berzirah emas yang waktu itu juga meninggalkan batu permata emas ketika ia mati.

"Rama, cobalah bunuh yang satu itu." Perintah Liel sambil mundur ke sebelah Rama.

"Lho! Tapi gimana?" Rama bingung dan panik. Meskipun dia memiliki pedang, tapi tangannya saat ini cuma satu.

"Ayunkan pedangmu, cuma itu caranya."

"Ayunkan? Ayunkan aja?" Kecemasan Rama sudah di puncaknya. Wajahnya yang biasanya memelas sekarang jadi kemerahan.

"Yap. Ayunkan." Kata Liel dengan wajah tanpa ekspresi sama sekali.

Dosa itu makin lama makin dekat, larinya juga cepat, tapi Rama masih bingung dengan situasinya. Dan gawatnya lagi, Liel cuma memberikan satu petunjuk saja. Cuma satu.

"Hey, El, hari ini kau ini kesambet apa, sih?" Kain akhirnya memprotes dengan emosi. "Rama itu sejak awal cuma manusia! Dia juga nggak pernah bertarung sama sekali, lho!"

"Tadi aku sudah bilang, kan, kalau kita ini selalu lebih dekat dengan kesengsaraan. Cuma perlu satu langkah saja buat kita untuk jatuh ke dalam penderitaan." Liel mengungkapkan. "Aku terpaksa melakukan ini, karena aku nggak mau lagi merasakan itu... Aku sudah kehilangan terlalu banyak orang. Terlalu banyak..."

Kain terdiam seribu bahasa setelah mendengar perkataan Liel.

Sementara itu, situasi Rama masih tidak berubah. Dan karena tak tahu harus berbuat apa lagi, Rama akhirnya langsung mengayunkan pedangnya ke depan tanpa pikir panjang, namun bodohnya, ia tidak sadar kalau makhluk hitam itu ternyata belum sampai jangkauan pedangnya.

Ya, sebenarnya ada sesuatu yang terjadi.

Tadi ada cahaya perak yang muncul di udara dan itu berbentuk persis seperti pedang di tangan Rama, hanya saja ukurannya lima kali lebih besar, dan hebatnya lagi, cahaya yang berbentuk pedang raksasa itu mengikuti gerakan ayunan tangan bocah itu, dan berhasil membelah makhluk itu menjadi dua bagian.

Rama dibuat kagum dengan pemandangan itu. Cahaya tadi itu sungguh indah dan berkilauan. Tapi sayangnya, itu juga benar-benar lebih dari mampu untuk membunuh.

"Hah... Hah..." Rama terengah-engah. Bocah itu tiba-tiba merasa lelah tanpa alasan yang jelas. Ia memandang pedang di tangan kanannya dengan tatapan kosong.

Bocah bermata sayup itu kini sudah sadar, kalau dia bisa membuat keajaiban, juga mampu membuat kengerian.

"Kalau gitu, ayo kita lanjut." Kata Liel yang tampak kurang puas sambil melangkah lebih jauh ke dalam hutan, sementara Kain baru selesai memunguti batu-batu permata hijau di tanah. "Kamu harus jadi kuat, Rama... Perasaanku makin hari makin nggak enak soalnya."

"Ah, baiklah." Rama kembali mengekor dari belakang, dan dalam perjalanan mereka di hutan itu, Rama membunuh banyak sekali makhluk hitam. Puluhan, ratusan, ribuan, dari siang hingga petang.

Setiap kali tangannya mengayunkan pedang kecilnya itu, cahaya besar yang berbentuk seperti pedangnya itu juga selalu muncul di waktu yang bersamaan untuk membelah dosa-dosa itu, lalu hilang lagi dalam sekejap mata.

Indah memang, dan juga amat menyeramkan.