Chereads / EDEN - Kisah Dunia Fana (Original) / Chapter 61 - Gadis Amarah

Chapter 61 - Gadis Amarah

Gadis itu berusaha menahan tinjunya ketika ia diusir oleh kedua orang tuanya dari rumahnya sendiri, dan di sore hari yang sendu itu, Aqil yang melihatnya dari kejauhan pun cuma bisa diam.

Kejam sekali kalau dipikir-pikir.

Suasana senja yang tadinya damai dan tenang, kini menjadi terasa tak menyenangkan berkat kejadian itu.

Namun, kedua orang tua gadis itu masih melemparkan sumpah serapah pada putri mereka sendiri, dan sang ayah yang tampak sangat murka entah karena tak berhenti meraung layaknya orang kesetanan.

Gadis muda itu tetap diam di depan pintu sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam, dan ia cuma bisa mematung menerima semua perlakuan kasar dari orang tuanya tanpa mampu berbuat apa-apa.

Sungguh, pemandangan semacam ini selalu membuat Aqil teringat kembali dengan kejadian menyakitkan yang pernah menimpanya di masa lalu.

Aqil memandangi tangan kanannya dengan tatapan kosong. Hanya empat jari saja yang ada, sementara jari kelingkingnya sudah lenyap, mengingat itu sudah dipotong dulu sekali oleh ibunya.

Meski begitu, Aqil kadang-kadang masih bisa merasakan rasa perih tak tertahankan yang dirasakannya waktu itu.

Rasa mengerikan itu biasanya datang begitu saja tanpa alasan yang jelas, lalu hilang dalam sekejap tak ayalnya embusan angin.

Bocah itu sama sekali tak tahu apakah hal yang dirasakannya nyata atau tidak, karena itu benar-benar terasa jelas di tangannya.

"Aneh banget deh..." Aqil kembali mengalihkan pandangannya pada rumah yang tak jauh disana.

Diiringi keheningan yang terasa suram, sang ayah akhirnya menutup pintu dengan membantingnya keras-keras, sementara gadis itu masih diam di sana.

Dengan ragu-ragu, Aqil berjalan menghampiri gadis itu, dan setelah dilihat dari dekat, usianya tampaknya masih berada di awal dua puluhan.

"Apa yang terjadi, Kak?" Aqil bertanya pelan-pelan dari luar teras.

"A-Ah!" Gadis itu tampak sangat terkejut saat melihat Aqil. Dia buru-buru mengambil kopernya yang tadi dilempar oleh ibunya, lalu melangkahkan kakinya keluar dari teras rumahnya. "Cuma masalah sepeleh kok, Dik." Jawabnya sambil tersenyum kecil.

"Sepeleh apanya, Kak? Orang Kakak aja sampai diusir begini..." Aqil melirik memandang pintu rumah yang kini sudah tertutup rapat.

"Ah... Hehehe..." Gadis itu memasang wajah masam. "Tapi emang beneran sepeleh kok. Ini udah yang ke empat kalinya malah." Ungkapnya sembari berjalan menuju ke pinggir sawah, dan Aqil mengikuti dari belakang.

"Oh... Bagus deh kalau begitu." Balas Aqil.

"Lah, kok bagus sih?" Gadis itu syok.

Ya, jelas saja kalau gadis itu berbohong. Meskipun ada senyuman yang terbentuk di bibirnya, dan sikapnya juga tampak santai, tapi di matanya terlihat ada kesedihan yang sudah hampir tak bisa dibendung lagi.

Mereka berdua lalu duduk di deker di dekat sana sambil memandangi angkasa senja yang jauh di atas sana.

Detik demi detik berlalu, dan lama kelamaan, cahaya oranye yang terpancar dari langit pun akhirnya perlahan mulai pudar, digantikan oleh kegelapan malam.

"Ayahku itu adalah seorang pesilat yang terkenal, Dik." Gadis itu tiba-tiba angkat bicara. "Dia melatihku dari kecil, dengan harapan agar aku menjadi pesilat paling hebat di seluruh Indonesia. Tapi... Jujur saja, aku nggak pernah suka dengan bela diri kayak begitu. Aku... cuma ingin menjadi seorang dokter."

"Eh..." Setelah mendengar itu, Aqil langsung bingung dan tak bisa berkata-kata. Dia tak tahu harus bicara apa.

"Bagaimana menurutmu, Dik?" Gadis itu bertanya, sementara tatapannya masih terpaku pada langit malam. "Aku bingung banget loh harus berbuat apa." Dia kembali tersenyum aneh sambil menghela nafas dalam. "Kalau aku nggak lanjut latihan, ayahku pasti akan benar-benar menghapus namaku dari kartu keluarga... Soalnya dia orangnya memang kayak begitu sih."

"Buset..." Itu terdengar ngeri.

"Haduh... Aku bingung banget. Mana lapar lagi." Gadis itu mengelus perutnya dengan gelisah.

"Tapi, siapa yang akan membiayai kuliah Kakak kalau nama Kakak dicoret dari kartu keluarga?" Aqil mengingatkan. "Orang tua Kakak benar-benar aneh deh."

"Hmm... Sebenarnya... Yang aneh itu kamu loh." Gadis itu mengalihkan pandangannya dan menatap Aqil dengan curiga. "Aku itu orangnya senang banget kalau ngomong sama anak-anak kecil. Rasanya aku jadi semangat dan bahagia gitu. Selalu begitu. Tapi, ngomong sama kamu itu... rasanya aneh banget. Kamu kayak bukan anak-anak..."

"Eh... Aku ini anak kecil kok. Aku masih kelas enam loh, Kak." Aqil mengingatkan sambil tersenyum masam.

"Tapi matamu... Kenapa matamu berwarna biru begitu? Persis kayak langit yang sangat cerah... Bahkan... Sekilas aku juga melihat ada warna lain... Emas, perak, dan entah apa lagi..." Gadis itu memandang wajah Aqil lekat-lekat, lalu selang beberapa detik, ia tiba-tiba tersenyum. "Ah... Jadi kita ini sama ya? Kamu juga punya kekuatan kan?"

Aqil baru menyadari kalau mata gadis itu berwarna merah seperti darah. Malahan, situasinya sekarang jadi makin aneh lagi karena mata gadis itu kini mulai sedikit bersinar.

Akan tetapi, setelah beberapa saat, matanya kembali seperti sedia kala. Ia sekali lagi menghela nafas dalam, lalu bangkit berdiri dan mengambil sebongkah batu besar dari jalanan.

Gadis itu mengambil ancang-ancang, dan kemudian melemparkan batu itu kuat-kuat sampai terlontar amat-amat jauh ke langit hingga tak terlihat dalam sekejap mata.

Bahkan tadi sempat ada kilatan cahaya kemerahan yang muncul ketika ia melempar batu itu, dan udara di sekitar mereka juga terasa berguncang sedikit.

Gadis itu ternyata sangat kuat, dan ia juga memiliki sihir.

Gadis itu menghela nafas lagi lalu angkat. Bicara. "Aku selalu melakukan ini agar amarahku tidak meledak... Aku membayangkan kalau aku menyalurkan semua amarahku ke dalam batu itu, lalu membuangnya jauh-jauh."

"Oh... Sekarang aku mengerti kenapa orang tua Kakak ngotot agar Kakak menjadi pesilat terkuat di Indonesia." Ujar Aqil.

"Ya, aku sangat kuat." Gadis itu memandangi tinjunya. "Kau tahu? Oang-orang lain yang seperti kita selalu menyebutku sebagai Pendosa Amarah..."

"Hah? Pendosa Amarah?" Aqil keheranan. Entah kenapa kedengarannya malah terkesan sangat barbar. Padahal rupa gadis itu bisa dibilang cantik.

"Yah, soalnya semakin marah aku, maka kekuatanku juga semakin besar. Dan bisa nggak kau bayangkan? Bagaimana banyaknya amarah yang sudah terkumpul dalam diriku sejak aku lahir? Bahkan... Aku bisa membuat sebuah batu sebesar truk hancur hanya dengan menyentuhnya loh..." Gadis itu lalu kembali duduk di samping Aqil dan menghembuskan nafas dalam–lagi.

"Hmm..." Aqil terdiam sejenak, sementara pikirannya bertamasya. "Emangnya kenapa Kakak ingin menjadi dokter?"

"Eh?" Walau awalnya gadis itu tampak sangat terkejut, tapi sekarang ekspresi mukanya terlihat lemah. "Yah... Waktu aku masih SMA dulu, aku kenal dengan seorang anak kecil yang suka tidur di masjid yang di depan lorong... Dia anak yatim sebenarnya, tapi dia memutuskan untuk menetap di masjid karena nggak mau merepotkan orang lain."

Aqil cuma mendengarkan, mengingat ia tidak mengenal anak itu karena ia sendiri jarang bermain dengan anak-anak di lorong.

"Aku sangat menyayangi anak itu. Aku menganggapnya seperti adikku sendiri. Dia anak yang ramah, dan hampir semua anak-anak di lorong akrab dengan dia."

"Oh... Sepertinya aku udah ingat siapa anak itu. Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali di toko." Aqil berusaha mengingat wajah anak itu, tapi ternyata itu sangat sulit. Satu-satunya yang mampu Aqil ingat dengan amat jelas hanyalah senyumannya saja.

Anak itu memiliki senyuman yang sangat manis, ramah, dan indah. Kesannya terasa sama seperti ketika Aqil sedang berada di tengah lautan bersama Odin.

Bahkan, waktu itu Aqil sempat berpikir kalau ada yang aneh dengan senyuman anak itu.

Senyumannya terkesan ajaib.

"Tapi... Dia udah meninggal tahun lalu... Karena kanker darah... Dan aku sama sekali nggak bisa berbuat apa-apa. Kekuatanku ini toh memang cuma buat merusak." Gadis itu memungut sebuah baut usang dari bawah bangku, lalu memijitnya dengan jemarinya, hingga baut itu hancur lebur menjadi debu. "Jujur saja... Aku merasa kalau hatiku ikut mati di hari itu juga..."

Aqil terdiam seribu bahasa.

Seulas senyuman masih terbentuk di bibir gadis itu. Senyuman yang palsu tentu saja.

"Dulu aku itu senang dengan yang namanya perkelahian. Apalagi dengan kekuatan ini, jelas saja aku nggak terkalahkan. Tapi... Entah kenapa sejak kenal dia, aku jadi nggak suka berkelahi lagi. Setiap kali melihatnya tersenyum... Aku merasa seolah amarahku itu tidaklah nyata... Senyumnya itu seperti ajaib loh. Namun, pada akhirnya, amarahku tetaplah kenyataan... Dan kenyataan itu pula yang merenggut dirinya..."

Gadis itu mengakhiri ceritanya, dan kesenyapan kembali merambat. Ia menggigit bibirnya, dan matanya tampak gemetar.

"Senyumnya ajaib ya?" Padahal tadi Aqil sempat berpikir seperti itu juga, tapi kalau gadis itu juga berpikiran sama, maka sudah jelas kalau senyum anak itu memang memiliki satu kekuatan.

"Pokoknya... Aku harus menjadi dokter. Aku nggak mau kejadian seperti itu terulang lagi..." Gadis itu berbisik seolah sedang membulatkan tekadnya.

Jujur saja seiring berjalannya hari, Aqil dibuat semakin sadar, kalau ada banyak kenyataan yang lebih mengerikan lagi di dunia ini, dan bukan cuma dia saja yang memilikinya.

Mata biru Aqil berpendar cerah memecah kegelapan malam di sekitar, dan tak lama kemudian, ada banyak kepingan-kepingan putih kecil yang mulai berjatuhan dari langit tepat di atas mereka, cuma di tempat di mana mereka berdua duduk.

Benda itu lembut dan dingin seperti es.

Salju.

Entah kenapa Aqil merasa kalau dirinyalah yang membuat salju turun dari langit. Dia merasa kalau itu jelas adalah kekuatannya, namun, anehnya ia juga merasa acuh tak acuh dengan itu.

"Kenyataan itu menyebalkan ya, Kak?" Aqil bergumam pelan, sementara matanya yang masih bersinar terpaku pada kepingan putih kecil yang baru saja jatuh di atas telapak tangannya.

Gadis itu kembali menghela nafas dalam, lalu berkata, "Aku setuju."

"Ngomong-ngomong, nama Kakak siapa ya?" Aqil bertanya dengan pelan.

"Ah, aku Mara Handayani. Kalau kamu? Tapi cukup panggil Mara aja."

"Ah, kalau begitu panggil aja aku Aqil, Kak." Aqil masih memandangi salju yang berjatuhan di sekitarnya. "Aqilio Longres. Aku tinggal di lorong H nomor 31."

"Lah, kamu tinggal di kompleks sini juga ternyata." Gadis itu–Mara, kini memasang senyuman yang cukup lebar di bibirnya. "Kirain cuma aku sendiri Rakyat Dunia Lain yang tinggal di sini."

"Rakyat Dunia Lain..." Aqil yang masih setengah melamun bergumam pelan. Kata itu benar-benar terdengar asing di telinga Aqil.

Aqil sadar betul kalau dia adalah manusia biasa. Dia lahir sebagai manusia, dan ia bahkan baru beberapa hari mengenal keajaiban.

Akan tetapi, anehnya sekarang malah ada orang yang telah menganggap Aqil sebagai rakyat dari dunia lain.

Ya, kenyataan itu memang kejam.

"Ah, kalau gitu aku pergi sholat maghrib dulu ya, Aqil. Terus habis itu aku mau minta maaf ke orang tuaku. Soalnya kayaknya aku memang harus melanjutkan latihanku biar bisa lanjut kuliah juga." Mara bangkit berdiri lalu ia melangkah pergi meninggalkan Aqil sendiri di pinggir sawah.

"Ah iya, Kak. Semoga beruntung."

"Nanti kapan-kapan kita ngobrol lagi ya, Dik!" Sahut gadis itu dari jauh sambil melambaikan tangannya.