Melirik mayat yang masih tergeletak di tanah, Eira tiba-tiba bergetar ketika mengingatnya. Dia kemudian membekukan mayat itu, sebelum terbang kembali dengan kecepatan yang lebih cepat dari sebelumnya.
Dalam perjalanannya, pikirannya tidak bisa berhenti berpikir mengaitkan peringatan gadis itu dengan ingatan tidak mengenakkannya. Dia diam-diam khawatir semua yang dia pernah ucapkan di masa lalu benar-benar terjadi.
"Semoga saja itu hanya khayalanku."
...
Di sebuah ruangan, benteng.
Z terbaring tenang di lantai, nafasnya stabil, tidak ada tanda-tanda bahwa dia pernah terluka sebaliknya dia sekarang terlihat seperti tertidur dengan pulas.
Di sekelilingnya, An, Abir, Bahr, dan Tempo berdiri mengelilinginya bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Mereka sudah berusaha membangunkannya, bahkan menyiramnya dengan air, namun dia tidak kunjung-kunjung bangun.
"Dia tidak melakukannya dengan sengaja, kan?"
Bukannya mereka tidak pernah menduganya tapi karena tidak ada petunjuk bahwa dia sedang berpura-pura mereka segera melupakannya.
"Sepertinya dia akan berhasil." Duduk di kursi tidak jauh dari mereka, Audrey samar-samar dapat menebak apa yang sedang terjadi padanya, meskipun dia tidak tahu apakah dia benar-benar berhasil.
Mengelus-elus Ponpon di tangannya, Audrey tiba-tiba mengangkatnya dan menatapnya dengan aneh. "Ponpon, apakah kamu tambah gemuk"
"Cit cit."
"Bertambah kuat?" Meliriknya dengan ragu-ragu, Audrey mengangkat telunjuknya, dan cahaya hijau mulai berkumpul di ujung jarinya. "Maksudmu ini?"
Melihatnya mengangguk-angguk, Audrey dengan cepat meletakkannya ke bahunya, dan mengeluarkan bongkahan es dari kantong di pinggangnya.
Melihat ke dalam bongkahan es itu, Audrey terkejut menemukan ulat itu telah menghilang dan yang menggantikannya adalah kupu-kupu ungu emas dengan garis perak di tubuhnya. Selain itu, bunga ungu itu terlihat lebih kecil dari sebelumnya, dan samar-samar warna platinum berkedip di kelopak bunga seperti taburan bintang di langit malam.
Melihat perubahan bunga, Audrey menatap bunga dengan dalam, pandangan matanya juga menjadi aneh dan berkedip dengan keinginan. Namun sebelum itu berlanjut, sebuah benturan keras menghantam lantai mengejutkannya, udara dingin kemudian mengisi ruangan, sedikit menusuk kulitnya.
Tanpa sadar ada sosok tambahan yang berdiri di samping Z, menatapnya dalam-dalam. Sosok itu menatap Z tanpa mempedulikan orang-orang yang berada di ruangan seolah hanya dia yang ada di dunianya.
Melirik bongkahan es tambahan yang tergeletak di lantai, Audrey menyimpan es di tangannya dan menatap sosok itu dengan ragu-ragu. "Apakah terjadi sesuatu."
Tidak mendengar tanggapan darinya, Audrey mendekati Eira dan menemukan tangannya bergetar. Meskipun itu hanya sesaat sebelum kembali ke keadaan semula, namun dia yakin dia tidak salah melihat.
Audrey menatapnya dalam diam, menunggu jawaban darinya. Melihatnya menatap Z tanpa peduli dengan yang lainnya, Audrey kemudian menatap Z, merenungkan kembali semua kejadian yang telah terjadi dan mengaitkannya dengan kekhawatiran yang dia tunjukkan.
Perasaannya menjadi tidak nyaman ketika dia mengingat pembicaraannya dengan Eira sebelumnya, menggabungkan kejadian itu dengan perubahan sikapnya saat ini, perasannya menjadi sangat suram namun kabut kelabu tiba-tiba menutupi pikirannya membuatnya tidak bisa untuk melihat ke dalamnya.
Merasakan keseriusan yang terjadi, Abir dan yang lainnya keluar memberikan ruang untuk keduanya. Mereka menyadari bahwa kondisi kapten mereka sangat serius tidak seperti kelihatannya yang sedang tertidur pulas.
"Apa yang kamu temukan?" Berdiri di sampingnya, Audrey dengan perlahan bertanya.
"Kamu telah melihatnya." Eira menjawabnya dengan datar tanpa mengalihkan pandangannya dari Z.
"Kamu tahu apa maksudku." Audrey mengerutkan keningnya, melirik bongkahan es di ruangan, yang samar-samar terlihat sosok membeku di dalamnya.
"Tidak ada yang perlu kamu ketahui." Mengalihkan pandangannya, Eira dengan dingin menatapnya. Dia kemudian melirik Z sejenak sebelum menatap ke kejauhan.
"Kami akan kembali sekarang." Menatap Audrey, Eira berjalan keluar dari ruangan, suaranya dinginnya masih bergema di telinga Audrey.
Melihatnya keluar dari ruangan, Audrey dengan tenang tenang menjawab. "Kamu berhutang padaku."
Beberapa menit kemudian, empat sosok tambahan telah bergabung dengan kelompok mereka. Tiga laki-laki dan satu perempuan, keempatnya sekarang duduk di tanah terengah-engah kehabisan napas.
Merasakan kedatangan mereka, Abir yang selama ini bertengger di atas benteng tiba-tiba menjadi bersemangat. Dia melompat turun dan dengan cepat mendekati mereka, lebih tepatnya gadis yang datang bersama mereka.
"Hallo, Liz. Bagaimana kabarmu." Dengan senyum lebar di wajahnya, Abir dengan gembira bertanya.
"Sudah berapa kali kubilang, enyahlah dariku." Perasaan Liz menjadi lebih suram mendapati dia mendekatinya.
"Tapi Liz, waktu itu bukan maksudku.."
"Enyahlah!"
Tidak jauh dari mereka, salah satu dari ketiga laki-laki yang datang bersamanya tersenyum gembira menyaksikan pertengkaran keduanya, dia kemudian mengulurkan tangannya dan menatap dua orang yang tersisa. "Inilah mengapa aku akan selalu menjadi Kakakmu."
"Cih. Keberuntungan pemula."
"Kamu hanya beruntung."
Melemparkan bungkusan kecil kepadanya, keduanya mendengus tidak menerimanya. Mereka akan berdebat lagi, ketika Eira dengan tenang mendekati mereka.
"Lima menit, dan kami akan kembali."
Melirik mereka, Eira kemudian kembali ke benteng tidak menerima satupun kata tidak dari mereka. Terkejut dengan perintahnya, salah satu dari ketiga laki-laki itu ingin mengeluh ketika dia tiba-tiba ditarik oleh keduanya.
"Apakah kamu ingin mati!"
"Kamu membuatku malu."
...
Kabut menggulung dengan tenang, burung-burung bernyanyi dengan gembira, serangga-serangga bersenandung menanggapinya, binatang-binatang menari mengikuti irama. Di dunia yang suram ini, sebuah ketenangan yang tidak wajar memenuhi sebuah danau, mengisinya dengan kedamaian yang tidak mungkin ditemukan di dunia ini.
Duduk di tepi danau, seorang pria tua dengan damainya memancing di sana, seolah semua kekacauan di dunia tidak ada di matanya, yang ada hanya ketenangan dan kedamaian.
Namun, ketenangan di danau ini tak lama kemudian hancur, kekuatan di luar dunia tiba-tiba muncul menghancurkan ketenangan yang ada. Tapi seolah itu hanya angin lembut, pria tua itu masih dengan tenangnya memancing di danau, tidak terpengaruh sedikitpun.
Di atas danau, ruang tiba-tiba bergetar hebat, udara mengalir ke satu tempat, berputar kencang membentuk pusaran. Di pusat pusaran, ruang mulai beriak seolah ada yang mencoba masuk melalui pusaran, itu bergetar hebat ketika seketika itu menjadi tenang.
Tak lama kemudian, sebuah tangan tua keriput keluar dari pusat pusaran, menyusulnya adalah sosok pemilik tangan yang keluar mengikutinya. Seorang pria tua yang memakai pakaian jerami dengan caping di kepalanya muncul dari pusat pusaran.
Pria tua itu melirik ke bawah, menatap tajam orang tua itu yang sedang memancing. Dia kemudian turun dan dengan tenang duduk di sampingnya. Kedatangan pria tua itu menyebabkan danau kembali ke ketenangannya, namun anehnya ruang di sekitar danau tampak berjalan lebih lambat seolah waktu di sekitar danau hampir berhenti.
"Perbuatanmu sudah melanggar batas." Pria tua bercaping itu dengan tenang menatap danau, dia berbicara seolah itu bukan masalah besar.
Namun pria tua itu masih dengan tenang memancing, tidak menanggapinya sedikitpun. Merasakan tarikan dari benang pancing, pria tua itu dengan gesit menariknya namun tidak ada satupun ikan yang terjerat oleh kail pancing.
"Haaah. Sepertinya aku sudah berkarat." Dengan menyesal meletakkan pancingnya, pria tua itu akhirnya meliriknya, dia dengan tersenyum menjawabnya. "Kamu terlalu kaku. Jika kamu ingin menyalahkan, maka salahkan saja bocah pemimpi itu, dialah yang sudah melanggar aturan. Lagipula ini bukanlah domainmu untuk menyalakanku."
"Bukan domainku! Itu mengganggu domainku, kamu juga mengerti bahwa bocah itu ditakdirkan untuk melanggar aturan. Tapi kamu..!" Bernapas keras, pria tua bercaping itu terengah-engah, dia dengan marah menunjuknya. "Apa yang kamu lakukan. Apa yang sebenarnya kamu inginkan. Mengganggu jalinan waktu! Mengubah takdir! Dan sekarang kamu tidak puas dengan itu, apakah kamu ingin menghancurkan dunia."
"Takdir!!" Udara tiba-tiba bergetar, binatang-binatang meringkuk ketakutan. Ruang di sekitar danau hampir hancur hanya karena raungan itu. "Apa yang kamu tahu tentang takdir!? Dasar ikan tua busuk! Apakah otakmu telah membusuk, yang kamu lakukan hanyalah duduk dan melihat, kamu hanya seorang penjaga namun kamu bertindak seolah tahu tentang takdir! Ketahui tempatmu, kamu hanya sekedar penjaga!"
Terengah-engah kasar, pria tua itu dengan tajam menatapnya. Dia kemudian menarik kembali tatapannya, sebelum dengan tenang kembali memancing seperti sebelumnya. Ruang secara tak terduga kembali ke ketenangannya mengikuti suasana hatinya, binatang-binatang dengan gembira menari-nari seolah kejadian tadi tidak pernah terjadi.
Sedangkan pria tua bercaping itu, dia sekarang terdiam menghadapi amarahnya, merenung dengan tenang memikirkan kembali kata-katanya.
Pria tua bercaping itu akhirnya mengangkat kepalanya, dia kemudian menatapnya dengan tenang. "Kamu tahu dengan jelas apa maksudku, kuharap kamu siap dengan konsekuensinya."
Menatapnya untuk terakhir kali, dia kemudian kembali ke tempat di mana dia sebelumnya datang. Memasuki pusaran, dia dengan santai melirik ke kejauhan sebelum dia menghilang dari tempatnya.
Dengan kepergian pria tua bercaping itu, danau kembali tenang seperti sebelumnya, tidak ada perbedaan jelas antara sebelum dan sesudah kedatangan pria tua bercaping itu. Kecuali waktu yang sepertinya telah kembali ke danau dan gumaman pelan pria tua itu yang sekarang menambah kebisingan di danau.
"Konsekuensi katamu? Hahaha. Kamu pikir berapa lama aku menunggu konsekuensi untuk mendatangiku."
"Hidup... hidup... untuk apa hidup di dunia sepi ini... umur panjang, keabadian.. semuanya hanya kerikil di sungai waktu... dunia.. hanyalah sekotak ruang penuh dengan penderitaan."
...
"Huh!"
"Tempo! Untuk apa kamu berhenti." Menggosok hidungnya Bahr dengan jengkel mengutuknya, karena dia mendadak berhenti, dia secara tidak sengaja menabraknya dan hampir membuatnya tersungkur ke belakang.
"Apa kamu merasakannya." Tempo dengan curiga melihat ke kejauhan, barusan dia merasakan ada yang meliriknya, selain itu dia juga merasakan perasaan yang sangat familiar dari tatapan itu.
"Merasakan apa?" Barh menatapnya, bertanya-tanya apakah ada musuh yang mengikuti mereka, tapi memeriksanya lagi dia tidak menemukan apapun, Abir juga tidak memperingatkan mereka.
"Huh? Apakah itu hanya perasaanku saja." Mengusap kepalanya, Tempo mulai meragukan dirinya sendiri. Perasaan yang dia rasakan tiba-tiba hilang begitu saja membuat dia tidak tahu apakah yang dia rasakan tadi itu benar atau salah.
Menatapnya seolah dia idiot, Bahr kemudian mengabaikannya dan meninggalkannya, dia buru-buru menyusul yang lainnya yang telah meninggalkan mereka berdua dengan cukup jauh.