Chereads / If It's The Last For Us / Chapter 2 - 2. Unicorn

Chapter 2 - 2. Unicorn

Sore ini, aku dan Mbie menghabiskan waktu di sebuah padang rumput yang luas. Kami duduk berdua sambil menghadap kearah dimana matahari mulai terbenam.

Sungguh pemandangan yang saat indah ditemani warna jingga yang perlahan mulai berubah menjadi warna nila. Warna yang sangat aku sukai sejak kecil.

Jika harus jujur, sebenarnya baru kali ini aku pergi bersama orang lain yang ku sebut teman. Karena sebelumnya, memang tidak pernah. Aku tidak mempunyai teman dekat sejak aku datang ke Seoul.

Teman-teman di kelasku hanya sebatas teman di sekolah saja dan tidak ada yang dekat denganku. Itu sebabnya, ada beberapa siswa yang bilang kalau aku adalah seorang remaja yang anti sosial, seorang yang pemilih dalam mencari teman, dan entah apalagi yang mereka katakan tentangku.

Mereka tidak tahu, jika sebenarnya aku hanya merasa canggung untuk memulai pembicaraan dengan orang lain. Aku begitu malu, apalagi mengingat bahasa Korea ku masih belum cukup baik.

Saat ini, aku baru saja mulai bercerita banyak tentang apa yang aku rasakan kepada sosok yang sekarang menjadi teman baruku.

Jauh dari apa yang ku duga sebelumnya, ternyata bercerita pada manusia aneh ini tidak begitu buruk. Dia bahkan selalu mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirku.

"Memangnya salah ya, jika aku mendapatkan nilai tertinggi di kelas?" tanyaku pada Mbie hingga membuatnya merasa heran dan menatapku tajam.

"Eh, tentu saja tidak. Itu bagus. Katakan padaku berapa nilaimu?" tanya Mbie terlihat antusias.

"Nilai rata-rataku 95 dan aku mendapatkan poin tertinggi di kelas." jelasku.

"Wah, ternyata temanku pintar juga ya?" ledeknya menaik turunkan alisnya dan malah membuatku kesal karena wajahnya malah terlihat seperti meledekku.

Aku hanya terdiam melihat Mbie yang sedang menggodaku. Dia memang pendengar yang baik, tapi dia tidak pandai dalam hal memuji.

"Hey, jangan dengarkan apa kata mereka. Mereka itu iri karena tidak mampu menjadi sepertimu. Mereka itu T-o-x-i-c!" katanya sedikit gemas.

Mendengar apa yang dia katakan, memang ada benarnya juga. Kenapa juga aku harus larut memikirkan hal yang tidak penting sama sekali?

"Tersenyumlah... Bukankah tadi kau sudah tersenyum?" lanjutnya sedikit memaksa sambil mencolek-colek daguku beberapa kali.

"Tidak mau."

"Eh, kau ini pemarah sekali Wang."

Terserah apa yang dia katakan, aku tidak peduli. Yang jelas aku sedang mencoba untuk bersikap masa bodoh soal pembicaraan teman-temanku disekolah siang tadi. Walaupun faktanya tetap tidak bisa dan selalu saja terngiang di telingaku.

"Heh Yiren! Kau sudah membuang energi dan waktumu." kata Mbie dengan tidak sopan menempelkan jari telunjuknya di kepalaku.

Bukan cuma itu, bahkan kukunya menusuk kulit keningku.

"Apa maksudmu?" kataku mendelik sambil menjauhkan kepalaku dari kuku jari tangannya.

"Memangnya kau fikir hidupku semulus yang kau kira, huh?" katanya.

Aku tidak menjawab apa yang dia katakan. Hanya saja aku tiba-tiba merasa penasaran dengan kisah hidupnya.

Aku ingin dengar, apa seorang manusia aneh pernah merasakan apa yang aku rasakan seperti saat ini?

"Kita tidak jauh berbeda, Yiren."

Tidak jauh berbeda apanya, jelas-jelas dia lebih tua dari ku. Dia juga aneh dan sulit ditebak. Bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa aku dan dia tidak jauh berbeda.

Yang benar saja.

"Sebagai seorang imigran, aku juga mendapat begitu banyak tekanan, sindiran, bahkan makian. Semua tidak seperti yang aku fikirkan sebelumnya. Hm, apa kau masih memiliki orang tua?" tanya Mbie dan dibalas anggukan olehku.

"Kakak?"

Aku mengangguk lagi.

"Adik?"

Aku pun menggeleng karena aku memang tidak mempunyai adik, walaupun aku pernah memaksa pada Ibu dan ayah untuk memberikanku seorang adik tapi permintaanku tidak dituruti oleh mereka.

"Nah, kau beruntung karena masih memiliki mereka yang sayang padamu. Sedangkan aku, aku hanya seorang diri. Bahkan, jika kau ingin tahu, aku ini adalah anak yang tidak diharapkan oleh ayahku sendiri." lanjutnya menjelaskan dengan nada bicara yang terdengar melemah.

Entahlah, mendengar apa yang dia katakan kenapa tiba-tiba suasananya berubah jadi mellow seperti ini.

Dan aku bahkan bisa melihat kesedihan yang amat menyakitkan lewat matanya.

"Tidak diharapkan? Apa maksudmu?"

Mendengar pertanyaanku Mbie tersenyum simpul.

"Sebenarnya jika diceritakan akan sangat panjang sekali. Mungkin waktu 1 minggu tidak cukup untuk menceritakannya padamu." katanya terkekeh.

Manusia ini sudah lancang memancing rasa kepenasaranku, dan setelah aku penasaran dia malah menggantung cerita. Hebat!

"Ceritakan! Jika tidak aku tidak ingin menemuimu lagi!" ancamku dengan nada yang terdengar kesal.

Mbie pun mendengus pelan sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mulai bercerita padaku.

Aku terdiam karena masih menunggunya untuk bicara. Lagi pula, ini adalah kali pertamaku mendengar cerita kehidupan orang lain.

Aku jadi penasaran.

"Saat ibuku tau bahwa dia mengandungku, dia pergi mengatakan hal itu pada ayah. Dan apa kau tau apa jawaban ayahku?"

"Tidak. Apa?"

"Ayahku malah menyuruh agar ibu menggugurkan kandungannya." katanya menatapku.

Aku terkejut saat mendengar kalimat terakhir yang Mbie katakan. Begitu miris dan itu pasti sangat menyakitkan baginya.

Aku tatap perlahan wajahnya yang sekarang sedang tertunduk sejenak mengatur nafasnya yang terdengar mulai terisak.

Apa dia menangis?

Suara isakan itu terdengar sangat jelas.

"Hanya ada dua pilihan saat itu, pergi untuk mempertahankanku, atau tetap bersama ayah dan menggugurkan kandungannya. Sejak kejadian itu, ibu memutuskan untuk pergi meninggalkan ayah. Dia memilih untuk berjuang dan membesarkan kandungannya seorang diri sampai aku lahir. Ayah? Dia tidak pernah mencari ibu. Bahkan hingga detik ini pun aku belum pernah bertemu dengannya. Pribadinya seperti apa dan wajahnya seperti apa pun aku tidak tahu." lanjutnya mencoba memaksakan senyum diwajahnya.

Aku sangat bingung, apa yang harus aku katakan lagi padanya. Akhirnya aku pun memutar otakku untuk mencari pertanyaan lain selain membicarakan ayahnya yang keterlaluan itu.

"Lalu, hm, b-bagaimana dengan ibumu sekarang?" tanyaku sedikit terbata.

Saat aku bertanya tentang ibunya, Mbie bukannya menjawab dia malah mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

Aku hanya diam dan mencoba memperhatikan tingkah lakunya.

Aku fikir, dia akan menunjukan sebuah foto di galeri ponselnya. Tapi ternyata, dia malah menunjukanku sebuah aplikasi astronomi padaku.

Benar-benar manusia aneh!

"Ini coba lihat!" katanya menunjukan layar ponselnya padaku.

Aku? Jelas saja aku bingung. Sebelumnya aku bertanya soal Ibunya, kenapa dia malah menunjukan ku ini?!

"Ini Ibu." katanya menunjuk salah satu bintang yang terlihat bersinar.

Aku heran dan beberapa kali menatap wajahnya.

Apa dia baik-baik saja?

Apa otaknya masih berfungsi dengan baik?

Bukankah dia memang aneh? Dan mengapa aku jadi merasa khawatir padanya.

Ah, Apa-apaan aku ini!

"Saat aku duduk di sekolah menengah pertama, ibu membelikanku sebuah teleskop."

Dan akhirnya, dia kembali memulai ceritanya.

"Bintang pertama yang aku lihat adalah bintang Canopus. Aku memperlihatkan itu pada ibu. Dan ibu bilang itu sangat indah."

Aku hanya diam mendengarkan ceritanya sambil memperhatikan layar ponselnya yang menunjukan bintang-bintang bersinar.

Jujur, semua bintang terlihat sama bagiku. Aku tidak bisa membedakan mana Sirius dan mana Canopus.

Kepalaku bahkan jadi sakit memikirkannya.

"Ibuku tiada 2 hari setelah itu. Makanya aku anggap bintang itu adalah ibu." kata Mbie menunjukan dengan jari telunjuknya, bahwa bintang yang sedang dia tunjukan padaku adalah ibunya.

Aku terdiam.

Mungkin maksudnya menjadikan Canopus sebagai bayangan sosok ibunya karena ibunya pernah melihat keindahan Canopus sebelum dia meninggal dunia.

Kata orang melihat bintang sama halnya seperti kita melihat masa lalu. Jadi, mungkin Mbie melihat masa lalunya lewat bintang itu. Dan dia melihat ibunya di bintang Canopus.

Atau bagaimana?

Ah, entahlah aku jadi tambah pusing memikirkannya.

"Kau menyukai sains sejak kecil?" tanyaku mengganti topik pembicaraan. Karena jika dilanjutkan aku akan semakin terlihat bodoh.

Dia mengangguk sebelum akhirnya dia menjawab pertanyaanku.

"Ibuku seorang dosen fisika dan ayah seorang ilmuan."

Oh pantas saja, Mbie tertarik pada hal yang berbau sains. Kedua orang tuanya saja adalah seseorang yang bergelut dengan bidang sains. Bahkan ayahnya juga adalah seorang Ilmuan.

Tapi ayahnya? Aku tidak menyukainya!

Aku saja tidak suka, bagaimana dengan Mbie? Pasti sakit rasanya.

"Bagaimana dengan keluargamu?" tanyanya membuatku sedikit berfikir untuk menjabarkan keluargaku padanya.

"Hm, Ayahku hanya seorang kepala rumah sakit, ibu hanya seorang ibu rumah tangga, dan kakak hanya seorang mahasiswa dari kelas managemant." jelasku hati-hati.

"Wah, kau bilang itu hanya? Hahaha." katanya terkekeh.

Ya, aku sengaja mengatakan dengan cara seperti itu agar aku tidak menyinggung perasaannya.

"Bagaimana rasanya memiliki keluarga?" tanyanya.

Apa maksudnya?

"Memangnya kau tidak punya keluarga?"

"Sudah ku bilang kan, ibuku sudah tiada sejak aku duduk di bangku sekolah menengah pertama, ayahku bahkan tidak menginginkan aku hidup. Padahal belum satu jam aku bercerita. Kau ini masih muda tapi sudah pelupa!"

"Eh, bukan begitu..."

Kan, aku mulai terlihat bodoh sekarang.

"Hm, lalu, dengan siapa kau tinggal selama ini?" tanyaku kembali mengalihkan topik pembicaraan.

"Hanya sendirian, terkadang paman datang menjengukku, tapi sebelum aku memutuskan pergi ke Seoul paman tewas akibat kecelakaan lalu lintas."

Aku pun terdiam.

Rasanya setiap pertanyaan yang coba ku lontarkan selalu berakhir dengan kecanggungan dan jawaban yang mengenaskan.

Sebaiknya aku berhenti bertanya dan biarkan saja dia bicara dengan sendirinya.

"Saat ini aku hanya mengenal dosen pembimbingku Mr. Jin, Beardy si penjaga perpustakaan dan..."

"Dirimu." lanjutnya.

Aku sedikit tersentak, hingga dengan refleknya aku langsung menatap kearahnya.

Sebentar, dia bilang hanya mengenalku?

Baiklah, jika harus berkata jujur, selain keluargaku, aku juga hanya punya dia sebagai teman.

-[USB MISSIONS 2049]-

Korea Selatan - Seoul, 28 Desember 2041

Sudah satu tahun aku mengenal Mbie, sepertinya aku tidak salah pilih untuk memposisikannya sebagai seorang teman di hidupku.

Ya, dia tidak terlalu buruk untuk menjadi temanku, walaupun umurnya tidak jauh berbeda dengan kakak.

Oh iya, beberapa bulan yang lalu aku sempat memperkenalkan Mbie pada keluargaku. Dan orang pertama yang terlihat sangat antusias padanya adalah, Ayah.

Mereka seperti sepasang teman lama yang baru di pertemukan kembali. Pembicaraan mereka terdengar sangat cocok. Dan saking cocoknya mereka bahkan terlihat seperti anak dan ayah.

Eh apa-apaan ini dia Ayahku, Mbie!

Terkadang aku merasa iri dengan kedekatannya dengan Ayah. Ditambah lagi ibu, ibu juga sepertinya sangat menyukai Mbie. Itu sebabnya jika ibu memasak, dia selalu memikirkan apa yang Mbie suka dan yang tidak Mbie sukai. Menyuruhku untuk menelfon Mbie dan makan bersama dirumah. Hingga terkadang ibu juga menyuruhku untuk mengantarkan hasil masakannya pada Mbie.

Sebenarnya siapa anak mereka? Aku atau Mbie?!!

Hari ini, dirumah sedang mempersiapkan pesta kecil-kecilan untuk acara ulang tahunku besok. Ada Mbie juga disini, dia bilang dia akan menginap dan berjanji padaku untuk jadi orang yang paling pertama mengucapkan ulang tahun padaku.

Kita lihat saja.

Saat ini yang ku lihat Mbie sedang sibuk memperhatikan ibu yang sedang memasak di dapur.

Sementara aku, aku hanya menyibukan diriku dengan menonton TV, memeriksa ponselku beberapa kali, bahkan aku juga memotret diam-diam Mbie dari kejauhan.

Saat aku memutuskan untuk kembali menonton, tiba-tiba kakak datang menghampiriku, dia duduk di sebelahku dan memelukku dengan erat tanpa sebab hingga membuat dadaku terasa sesak.

"Apa yang kau lakukan?!" kataku mencoba melepas pelukan kakak tapi sepertinya sia-sia.

Kakak memang memiliki ukuran tubuh yang cukup tinggi dan sedikit lebih besar dariku. Berbeda dengan tubuhku yang kecil dan mungil ini.

"Kak! Lepaskan! Kau mencoba membunuh adikmu!!" kataku mulai berteriak.

Kakak malah tertawa dan dia semakin mengeratkan pelukannya.

Ini adalah hal yang memang biasa kakak lakukan jika kakak sedang bahagia. Dan jika sudah begitu, akulah yang selalu menjadi sasarannya.

Aku masih berusaha melepas pelukan kakak. Sementara kakak masih saja memelukku dengan erat.

"IBUUU... KAKAK SUDAH TIDAK WARAS!" teriakku mencoba mencari pertolongan.

Tapi percuma saja, karena ibu sedang sibuk dengan si manusia aneh di dapur. Bahkan aku lihat ibu menyuapi dia untuk mencicipi masakannya.

IBU!

"Jika kau berteriak aku tidak akan melepaskan pelukanku!" ancam kakak.

Siapa yang tahan, tentu saja aku tidak tahan.

"AYAAAHH IBUUU, TOLONG AKU! KAKAK BENAR-BENAR SUDAH GILA!" rengekku mulai menangis.

Kakak pun tertawa dan akhirnya dia melepaskanku dari cengkramannya. Kakak memang sangat senang menggodaku. Dan dia tidak akan pernah berhenti menggodaku sampai aku benar-benar menangis.

Lihat! Sekarang dia tertawa terbahak-bahak sambil memanyun-manyunkan bibirnya padaku.

Sangat menyebalkan!

Saat aku menangis, Mbie datang menghampiriku sambil terkekeh dengan mulut penuh dengan makanan.

"Kenapa kau menangis?" tanyanya berdiri di hadapanku seperti seorang pahlawan.

"Kakak...!" jawabku mengadu pada Mbie dengan suara manja.

Mbie hanya menatapku heran.

"Aku sangat gemas padanya hari ini. Itu sebabnya aku memeluknya dengan penuh cinta." kata kakak langsung mendaratkan ciumannya di pipiku lalu dia pergi begitu saja sambil melompat-lompat kegirangan.

Ada apa dengannya? Kenapa kakak sesenang itu?

Aku pun kembali menangis dengan sangat kencang sambil mengusap-ngusap pipiku yang baru saja kakak cium.

Bukannya membujukku, Mbie malah tertawa disampingku sekarang.

"Berhenti tertawa!!" rengekku sambil memukuli lengan Mbie.

Tapi sepertinya dia tidak mendengarkan apa kataku. Dia terus saja tertawa sambil beberapa kali mengacak-ngacak rambutku.

Aku tepis tangan Mbie, dan aku tatap wajahnya dengan mata yang ku buat sesinis mungkin hingga membuatnya perlahan terdiam.

"Hey, jangan marah, aku hanya bercanda." katanya mencoba membujukku.

Aku hanya diam dan tidak ingin menjawabnya.

"Jika kau marah aku akan memelukmu seperti yang di lakukan Sae padamu." katanya sudah bersiap merentangkan kedua tangannya padaku.

Melihat Mbie seperti itu, akupun langsung memumukulinya dengan bantal kursi.

-[USB MISSIONS 2049]-

Korea Selatan - Seoul, 29 Desember 2041

Dalam kegelapan malam, aku mencoba memejamkan mataku. Tiba-tiba sesosok bayangan datang mencoba mendekat kearahku.

Itu adalah sesosok ayangan yang selama ini selalu aku impikan.

Unicorn.

Ya, aku melihat Unicorn mendekapku dan memberikan sebuah kecupan di keningku.

"Selamat Ulang tahun Yiren."

Ya Tuhan.

Unicorn itu bisa berbicara?!

Aku sangat bahagia, sampai-sampai aku kesulitan menjawabnya.

Tapi, bayangannya itu perlahan mulai menghilang. Dia pergi meninggalkanku.

~ceklek!!!

Terdengar suara pintu terbuka, dan...

Selamat ulang tahun...

Selamat ulang tahun...

Selamat ulang tahun Yiren,

Selamat ulang tahun....

Yeaaaaahhh...

Suara lantunan sebuah lagu selamat ulang tahun baru saja membuatku terbangun dari tidurku.

Jadi, tadi hanya mimpi?

Ah, sayang sekali padahal aku berharap itu adalah kenyataan.

Aaarrgh, Unicornku... Hiks!

Aku sangat kecewa. Masalahnya tadi terasa seakan nyata. Tapi ternyata itu hanya sebuah mimpi. Ya, mimpi indah di hari ulang tahunku.

Kini, didalam kamar begitu berisik, apalagi suara kakak yang sudah jelas-jelas terdengar seperti lebah malah dengan tidak tahu dirinya berteriak-teriak di dekat telingaku.

Aku lihat Ayah, Ibu, kakak dan...

Eh kemana Mbie? Bukankah dia berjanji akan menginap? Atau mungkin dia menginap tapi masih tertidur?

Bahkan, dia sudah sesumbar untuk jadi yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun padaku, tapi nyatanya...

Ah, manusia aneh itu memang menyebalkan!

"Tiup lilinnya!" perintah kakak menyodorkan kue ulang tahun yang dia pegang.

Saat aku akan meniup lilin kue ulang tahunku, ibu malah menghentikanku.

"Eh, berdoalah sebelum meniupnya!" kata ibu menempelkan telapak tangannya pada bibirku agar aku tidak langsung meniup lilin yang sudah menyala di depanku sejak tadi.

Ayah dan kakak hanya terkekeh melihatku.

Aku pun mulai berdoa.

Aneh, bukannya berdoa agar aku bisa meraih harapan-harapanku kedepan. Aku malah berdoa agar aku bisa merayakan ulang tahunku bersama si manusia aneh.

Aku berharap dia selalu bersamaku.

Tanpa sadar aku pun langsung meniup lilinnya hingga padam.

Saat aku tersadar dengan apa yang aku harapkan barusan, Aku pun terdiam.

Dasar bodoh! Apa yang aku harapkan? Mengapa aku mengharapkan dia!

Dan tiba-tiba...

"Surepriseeeeee!!!!!!"

Seseorang muncul dari balik tempat tidurku.

Ya, siapa lagi kalau bukan si manusia aneh.

Apa?! Sebentar!

Sejak kapan dia berada disana?!

Mataku pun langsung melotot saat melihat baju yang dia kenakan.

Dia memakai kostum Unicorn.

Otakku tidak bisa berfikir sekarang. Apalagi setelah melihat pakaian yang si manusia aneh itu kenakan.

Jadi, dia tidur dikamarku?!

Lalu, yang mencium keningku tadi?!

Bukan Unicorn, melainkan dia??!

Haarrggghhh!

Pipiku pun memerah. Entah kenapa, tiba-tiba aku jadi merasa canggung padanya. Mengingat perkataannya yang bilang jika dia akan jadi pertama yang untuk mengucapkannya.

Dan ya, dia sudah melakukannya!

Tapi keningku?

Argh! Ya Tuhan.

-[USB MISSIONS 2049]-