Jembatan merah yang terbentang menghubungkan Kota Redmont bagian Timur dan Barat itu penuh dengan kendaraan yang ingin menyeberang. Keanu menyender pada jembatan dan melihat ke langit. Oranye, dan pantulannya dari sungai membuat semuanya bercahaya. Sore ini sangat tenang, namun, hatinya tidak.
"Tunanganku marah, kau tahu?" Ia melirik ke arah pria dengan jas biru tua yang merokok di sampingnya. Pria yang merokok itu hanya meresponnya dengan tawa.
"Mengapa? Baru kali ini kau curhat."
"Sarah tidak suka aku pergi dengan teman-temanku, tahu?"
"Wah, posesifnya." Pria perokok itu tertawa lagi. "Entah aku bisa bilang kau pria yang beruntung atau sial."
"Aku sudah jelas beruntung, Guy. Ia wanita yang baik."
"Oh ya? Syukurlah kalau begitu."
"Namun, rasanya, aku belum siap menikahi Sarah, Guy."
Pria perokok yang disapa Guy meliriknya dengan penuh tanya. "Kau masih ragu?"
"Tidak. Hanya saja, aku bingung. Mungkin aku jenuh?"
"Apakah gawat?"
"Sangat gawat." Suara Keanu berubah lirih. Ia berjongkok menatap sungai dan tangannya meraih pagar jembatann. "Aku tidak ingin kehilangannya. Namun, aku merasa...aku tidak bisa maju."
"Ya, semua manusia mengalami hal itu. Aku juga sebelum menikahi Tania, aku merasa ragu. Apakah dia benar wanita yang bisa jadi istriku atau tidak. Namun, seiring berjalannya waktu, dan kau kuatkan kepercayaanmu padanya, rasa itu hilang."
"Benarkah?"
"Ajak dia kencan bila kau jenuh. Pergilah berlibur berdua atau apa. Dengan itu hubungan kalian akan membaik."
"Mungkin aku akan mencobanya."
Akan tetapi, apa yang terjadi? Keanu tidak dapat memperbaiki kejenuhannya dengan Sarah. Sarah begitu membosankan, pikirnya. Ia mencintainya namun ia membosankan. Posesif, cerewet, dan penuntut. Awalnya ia bilang hal itu lucu, namun lama kelamaan ia muak.
Atau mungkin ini gangguan setan?
"Pak Sam memang suka mengajak kita ke sini. Ini pertama kalinya bagimu, hah?" Guy menenggak bir dan berkata di telinga Keanu. Klub Verde sangat ramai dengan sorakan para pria yang menonton penari wanita. Keanu beserta beberapa koleganya diajak bosnya ke sini. Dan itu hal yang sangat baru bagi Keanu.
"Jika Sarah tahu, aku akan dibantai."
"Hahaha!" Guy tertawa dan merangkul Keanu. "Istriku selalu tahu dan ia membuatku berjanji tidak akan menyentuh wanita-wanita ini. Dan aku harus menghitung berapa kali aku menatap mereka. Jika lebih dari delapan kali, istriku akan marah. Lagipula, wanita-wanita ini tidak menarik, bukan?"
Tiba-tiba ruangan menjadi gelap gulita. Lampu hanya menyorot panggung yang kosong. Namun, tak lama kemudian, seorang wanita yang memakai gaun panjang berwarna emas datang. Wajahnya tertutup topeng dan ia mulai bernyanyi. Wanita ini bajunya sangat tertutup, yang mungkin beberapa pria menganggapnya tidak menarik. Namun tidak bagi Keanu, sekali melihat ia tidak bisa berkedip.
"Ignacia, ia bintang di Verde. Pak Sam datang dan mengajak kita hanya karena dia. Suaranya merdu, bukan?"
Keanu mengangguk. "Ya, sangat klasik."
"Bagaimana menurutmu?"
"Penampilannya?"
"Tidak, secara garis besar."
"Ia wanita yang menarik. Sangat seksi, walaupun ia tidak memakai pakaian yang terbuka. Dan suaranya...wah."
"Hoho! Pria macam kau saja bisa tergoda dengannya. Luar biasa!"
Keanu tertawa kecil. Matanya tak bisa berhenti menatap Ignacia. Ia seakan terbawa hingga lupa daratan. Namun, tepukan tangan dan sorakan para pria membangunkannya. Pertunjukan telah selesai, namun, ia tidak sadar.
"Terima kasih semua!" Ignacia turun dari panggung. Langkahnya mendekati pria yang terpesona dibuatnya. Semakin dekat, semakin membuat Keanu kaku. Apalagi kini, ia sudah ada di depannya.
"Selamat datang di Klub Verde, serigala." Setelah Ignacia membungkuk dan berbisik di telinga Keanu, rasanya dunia berhenti.
Tidak mungkin ia bisa tergoda dengan mudahnya. Permainan sihir macam apa yang dapat membuat pria 28 tahun itu tidak bisa bernapas? Ia pria yang susah ditaklukan, butuh 5 tahun untuk menaklukan dia. Ini gila.
"Klub Verde? Kau ke Verde? Apa yang kau pikirkan?" Wanita yang habis menamparnya duduk melipat tangannya di meja makan. Matanya menyorot tajam ke arah tunangannya yang duduk terdiam.
"Aku diajak bosku."
"Kau pikir aku tidak tahu klub macam apa itu? Kau pikir aku bodoh?"
"Sarah, aku hanya diajak Pak Sam. Aku tidak ada niatan untuk pergi ketempat seperti itu."
"Alasan saja! Jika kau tidak berniat, mengapa kau mau diajak ke Verde? Kau kurang puas, hah?"
"Bila kau ada di posisiku, kau tidak akan bisa menolak. Aku pria yang sedang jenuh, kau tahu?"
Mendengar itu, Sarah menjerit. Ia pun berlari keluar meninggalkan Keanu. Sungguh hubungan mereka sangat tidak sehat. Keanu tidak bisa menghentikannya. Ia tidak tahu harus bagaimana.
"Gawat." Ia bergumam. "Mungkin aku sudah keterlaluan." Ia kemudian beranjak pergi ke kamarnya dan membuka jasnya. Namun, benda yang ada di kantung jasnya mengejutkannya.
Selembar kupon.
"Ignacia, hah? Sialan." Sambil tertawa, Keanu meremas kupon dari Klub Verde itu dan membuangnya. Pikirannya sangat berkabut dan ia merasa gila. Hanya lima menit, hanya lima menit ia bisa membuatku gila, batinnya.
Klub Verde terlihat ramai. Pertunjukannya seperti biasa meracuni pria-pria di depannya. Ia masih memakai topeng, dan kali ini gaunnya hitam, terbuat dari sequin yang memantulkan cahaya. Ia sangat cantik, apalagi suaranya.
"Maaf, Anda tidak bisa menyewa Nona Ignacia. Ia bukan wanita penghibur di sini."
Seorang bartender memberikan segelas koktail pada Keanu yang menonton dari meja bar. Keanu datang lagi, sendirian, dengan motivasi untuk bertemu Ignacia.
"Sudah kuduga."
Bartender itu tertawa mendengarnya. "Pesonanya memang besar, ya? Ribuan pria di sini pernah meminangnya. Namun, Nona Ignacia menolaknya mentah-mentah. Geser ke kiri, katanya."
"Geser ke kiri?"
"Seperti di aplikasi pencarian jodoh, geser ke kiri berarti kau menolaknya dan geser ke kanan berarti kau menyukainya. Orang yang ditolak tidak akan muncul lagi."
"Oh." Keanu tersenyum dan pandangannya tak luput dari bintang klub Verde itu. "Namun, aku penasaran siapa di balik topeng itu. Seperti apa wajahnya?"
"Kudengar ia wanita cantik. Yang hanya ada di fantasi terliar para lelaki. Aku pun tidak tahu seperti apa rupanya."
Malam sudah sangat larut. Setelah membayar dan berterima kasih pada sang bartender, Keanu keluar dari klub Verde dan berjalan menuju parkiran. Ia menghela napas sejenak, kemudian tubuhnya ia senderkan pada tembok. Ia bukan perokok, namun, tadi bartender itu memberinya sekotak rokok dan pemantik api.
"Aku benar-benar sudah gila."
Rokok menyala. Ia menghisapnya dan reaksinya batuk. Dengan kesal ia membuangnya dan menginjaknya, mematikan apinya. Sekali lagi ia menyender tembok dan menghela napas.
Sarah mungkin benar meninggalkannya. Ia tidak bisa dihubungi dan keberadaannya entah di mana. Hanya karena Verde, hanya karena Ignacia, Keanu kehilangan tunangannya begitu saja.
"Ignacia, hah?"
Keanu pulang. Guyuran air di tengah malam tidak bisa membuat pikirannya jernih. Kata ibu, mandi tengah malam itu berbahaya karena dapat menyebabkan masuk angin. Namun, Keanu tidak peduli. Kepalanya panas sejak tadi. Bahkan ia tidak bisa menyembunyikan amarahnya lagi, padahal ia orang yang paling jago menyembunyikan emosinya.
Ia sedang marah pada diri sendiri.
Wajahnya misterius namun suaranya terus menggema di kepala. Itu yang sejak tadi ada di pikiran Keanu. Ia tertarik padanya, namun, ia sudah punya tunangan. Juga, Sarah marah karena ia datang ke tempat seperti itu. Apa karena ia terkekang sehingga ia berani memberontak?
"Ini tidak benar. Pikiranku tidak benar!"
Keanu meninju tembok. Tak lama setelah itu wajahnya berubah kaget. Penisnya ereksi dan ia tidak menduga itu. Ia segera mematikan air yang tidak berhasil mendinginkan kepalanya.
Malam itu ia bersumpah, ini pertama kalinya ia masturbasi setelah sekian lama. Rasanya salah dan ia berharap ia dapat melupakannya.
"Anda masih berharap dapat membeli Ignacia? Anda pria yang tampaknya sangat elit. Namun, mengapa Anda sangat menginginkan gadis macam dia?" Bartender yang baru saja tiga hari lalu ia temui memberinya segelas wiski.
Keanu melebarkan senyumannya dan memberinya sekotak rokok serta pemantiknya. "Entahlah." ia mengembalikan kedua barang itu kepada pemiliknya.
"Dan tampaknya Anda sudah berpasangan."
"Hubunganku memburuk. Ia wanita yang suka mengekang pria, tahu."
"Pasti susah, ya?" Bartender itu berdecak kagum. "Kapan kalian akan menikah?"
"Entahlah. Bisa saja ia membatalkan pertunangan kami. Aku punya firasat seperti itu."
"Sedih sekali ceritanya." Dari belakang, seorang wanita dengan pakaian serba merah itu meraba pundak Keanu hingga jemarinya. Menyebabkan lawan bicaranya tersentak kaget.
"Anda!"
"Maaf mengagetkan Anda, Tuan." Wanita itu duduk di sampingnya. Matanya tertutup kain hitam dan bibirnya merah menyala. Melihatnya dari dekat, Keanu jadi kaku.
Ignacia, ia ada di sampingnya. Aroma bambu menusuk hidung pria yang gila dibuatnya. Apalagi saat tangan wanita itu meraba-raba meja hingga menyentuh tangannya. Seakan waktu berhenti sejenak.
"Anda tegang sekali. Bagaimana penampilan saya barusan, Tuan?"
"Sempurna." Keanu melirik Ignacia yang wajahnya menatap depan. "Mengapa Anda menutup mata Anda? Apa Anda masih bisa melihat di balik itu, Nona?"
"Hahaha." Wanita itu tertawa dan menatapnya. "Tampaknya Anda pelanggan baru di sini."
"Maaf bila saya tidak tahu apa-apa."
"Saya penyanyi bertopeng, Ignacia Dunhill. Semua orang yang mengenal saya tahu bahwa saya tidak bisa melihat. Namun, insting saya sangat tajam, loh. Itu kelebihan yang Tuhan berikan untuk saya."
Mendengar itu, Keanu hanya terdiam. Sosok di sampingnya tersenyum juga meminta si bartender untuk membuatkannya minuman.
"Saya sangat menyukai klub ini. Ini seperti rumah ke-dua. Juga, saya bersyukur, karena Verde, saya dapat bertemu pria seperti Anda, Tuan serigala."
"Eh?"
"Saya ingat dengan jelas aura ini. Sangat panas, sangat tajam, semuanya membuat saya tertarik untuk mendatangi Anda." Ignacia mencoba meraih wajah Keanu. "Anda sedang jenuh dengan pasangan Anda, bukan? Lalu, Anda marah pada diri Anda sendiri, bukan? Itu tidak baik, Tuan."
Bunyi rantai bergema di sepinya malam. Ruangan itu sangat dingin, membuat Ignacia menggigil hebat. Bibirnya tidak bisa tertutup, ia mencoba untuk menenangkan napasnya. Namun, sia-sia.
"Kau tidak bisa sabar, ya?"
Bisikan Keanu di telinganya membuat tubuhnya merinding. Ia hanya bisa duduk di lantai, bersimpuh, dengan kedua tangannya yang terikat rantai. Bibirnya dicium dan pinggulnya diraba. Ia ingin lebih, namun berkali-kali ia meminta, Keanu tidak menurutinya.
Keanu suka melihatnya menderita.
Awalnya Keanu mengantarnya pulang. Namun, Ignacia yang mulai lebih dulu, membuka bajunya, dan mengajaknya ke ruangan itu. Ruangan yang dipenuhi rantai, cambuk, dan alat-alat lainnya. Ternyata Ignacia sangat suka dengan seks. Hal itu cukup membuat Keanu takjub juga ia mau menerima ajakan itu.
"Tuan...saya sudah sangat siap." Sekali lagi Ignacia meminta. Ia ingin sekali dimasukkan, walaupun dengan jari pun. Namun, Keanu tidak menggubrisnya.
Keanu hanya tertawa dan memilin putingnya, membuat Ignacia mendesah lagi. Kepala wanita itu menyender tembok, serta dahinya berkerut. Ia tidak bisa melihat matanya yang masih tertutup kain. Namun, pemandangan seperti itu membuat darahnya mengalir deras.
"Tidak secepat itu, Ignacia."
"Ahh...saya tidak kuat lagi..."
Sekali lagi Keanu mencium bibirnya. Ia berjongkok di depan Ignacia dengan penuh senyum. Setelah puas memegang dada wanita di depannya, ia menyelipkan jari tengahnya ke area kewanitaannya. Akhirnya! Akhirnya ia merabanya!
Ignacia mengerang. Ia menginginkan ini sejak tadi. Jarinya yang meraba vaginanya berkali-kali membuatnya lupa daratan. Apalagi saat jari tengahnya masuk ke dalamnya, desahannya makin liar.
"Terus...lebih dalam..." itu yang bisa ia katakan. Memerintah Keanu agar membuatnya lebih puas. Jelas, Keanu tidak menurutinya. Ia malah memasukkan jari manisnya dan melebarkan mulut vaginanya. "Ahh!"
Aksi Keanu sangat susah diprediksi. Semua serangannya sukses membuat bintang Verde itu kaget. Hanya saja, berkat itu, tubuhnya kini menjadi panas. Ia sudah lupa apakah ia ada di dunia nyata atau tidak.
Keanu cukup bosan membuat Ignacia mendesah hanya dengan kedua jarinya. Ia mengeluarkannya dan berdiri di depan wanita yang tersungkur di lantai dengan tangannya yang penuh rantai. Kaki wanita itu menekuk dan kadang terapit. Ia merasa nikmat dengan permainan barusan. Namun tidak, ia belum puas.
"Mungkin saya tidak bisa melihat Anda," Ignacia berbicara dengan terengah-engah. "Namun, saya tahu, batas Anda tidak hanya sampai sini. Hasrat Anda tidak sejinak ini, bukan?"
Pria yang mendengar itu jelas tertantang. Ia yang berdiri dengan hati gundah membalik badannya dan mengambil cambuk di dekatnya. Ya, hasratnya buas, dan ia dari tadi mencoba menahan diri.
"Bila permainanku membuatmu tidak bisa tampil besok, apa kau siap?"
Ignacia mengangguk satu kali.
"Dan, bila aku keterlaluan, kau siap untuk tidak menentangku?"
Ignacia mengangguk lagi. Keanu tersenyum dan mendekatinya. Pundaknya ia belai dengan cambuk itu.
"Bila begitu, aku akan melampiaskan semua hasratku padamu meskipun kau nantinya akan berteriak dan menangis."
CRING!
Rantai terlepas dan kedua tangan Ignatia terasa lunglai. Setelah membanting rantai yang mengikat tangannya, Keanu menarik kedua tangannya untuk menyuruhnya bangkit. Otomatis ia menurutinya. Walaupun ia tidak tahu ia digiring ke mana, ia tetap mengikuti setiap arahan pria di depannya.
Keras, ia bisa merasakan itu. Instingnya berkata itu adalah meja yang terbuat dari besi. Meja yang berada di tengah ruangan itu adalah salah satu tempat favoritnya. Ah, ia mungkin tahu apa yang akan lawan mainnya lakukan.
"Bersimpuhlah!"
Ia yakin darahnya bernyanyi saat ia mengikuti arahan pria itu. Ia bisa dengar suara ritsleting terbuka dan dentuman metal yang mengenai lantai. Ia tidak heran bisa sehabis ini ia harus menghisap penis miliknya. Apalagi saat pipinya dibelai pria itu, ia merasa percaya diri.
Namun, dugaannya salah. Ia merasa ada beban yang sangat berat menyentuh punggungnya, membuatnya terdorong hingga tangannya harus menyentuh lantai untuk menopang tubuhnya. Ia sedang diinjak.
PLAK!
"Ugh!" Punggungnya panas. Cambuknya mengenai punggungnya.
PLAK! PLAK! PLAK! PLAK!
Keanu terus mencambuki wanita itu. Warna kemerahan muncul pada punggungnya. Terus menerus ia mencambukinya hingga wanita itu mengerang keras. Juga, ia terus menginjaknya dengan cukup keras.
"Belum cukup, ia harus berteriak!" Batinnya sudah kacau. Ia tidak pernah memukul wanita sebelumnya. Ia pikir memukul wanita itu adalah hal yang sangat tidak baik. Namun, bila konteksnya seperti ini, ia merasa senang.
"Tuan! Haah! S-Saya sesak!"
Keanu tertawa mendengar keluhannya. Melihat wanita itu tidak berdaya dan terengah-engah membuat pikirannya makin tidak beres. Cukup, ia membanting cambuk itu ke lantai dan menarik kedua tangan Ignacia agar berdiri. Kemudian, ia duduk di atas meja besi itu dan menarik wanita itu agar mendekat.
"Kemarikan tanganmu."
Sesuai perintah, Ignacia menyodorkan tangannya yang segera digiring untuk memegang penis lelaki di depannya. Panjang dan keras, itu yang bisa ia rasakan.
"Kau sudah mengerti bentuknya?" Suara Keanu membuatnya kaget. Ia segera mengangguk dan merabanya. "Maka hisaplah."
Ia tampak terkejut dengan hal itu. Posisinya sangat tidak enak. Ia harus membungkuk untuk menghisapnya dan ia yakin punggungnya akan sakit. Namun, ia tidak bisa menolaknya. Ini demi membangkitkan hasrat terdalam pria yang ada di depannya.
Ignacia membungkuk dan memulai aksinya. Hisapannya ceroboh dan ritmenya tidak beraturan, namun, bagi Keanu, hal itu tidak masalah. Itu karena dia buta.
"Ah, kau baru saja memainkan lidahmu, hm?" Keanu menengadah. Napasnya berubah cepat. Namun, tangannya baru saja mendorong kepala wanita itu hingga wanita itu tersedak. Mendengar itu, ia tertawa. "Bukankah kau menyukai ini?"
Wanita itu menggeleng pelan.
"Bohong!" Dengan kasar Keanu mendorong kepalanya lagi, memperdalam hisapannya. Kemudian, saat wanita itu meronta, ia menarik kepala wanita itu, membuatnya menengadah dengan napas yang tersengal-sengal. Saliva mengalir dari bibirnya dan alisnya melengkung. Namun, saat Ignacia terbatuk, ia mulai melepas tangannya.
"Apa aku keterlaluan?"
Pertanyaan itulah yang membuat Ignacia terjatuh ke lantai. Kakinya berbubah lemas dan batuknya tidak mereda. Ia seperti kehabisan napas.
"Hei, kau baik-baik saja?"
"Jangan menghiraukan..."
"Tapi kau-"
"Hamba memang tidak menyukai hal itu, namun jika Tuan menyukainya, hamba akan melakukannya lagi."
Hamba? Kata itu terus terngiang di kepala Keanu. Tak salah jika ia menatap wanita yang ada di bawahnya dengan heran. Apalagi saat Keanu berdiri di depannya dan wanita itu merangkak memegang kakinya, ia pikir ia sudah kehilangan akal sehatnya.
Ignacia merayap, meraih penisnya dan kembali menghisapnya. Ia tidak peduli lututnya bertumpu pada lantai yang sangat dingin. Ternyata, merasakan penisnya yang semakin lama semakin keras enak juga, pikirnya.
"Cukup." Keanu memperingati. Wanita yang sedang asyik menghisap penisnya tidak berhenti. "Sudah cukup!"
PLAK!
Tamparan mendarat di pipi wanita itu. Ignacia segera menyudahi aksinya dan kembali bersimpuh. Pipinya terasa panas, dan ia tahu ia gadis yang nakal. Ia berhak mendapat perlakuan seperti itu.
"Ini sudah gila, Ignacia." Pria itu menghela napas sebelum ia menarik Ignacia untuk berdiri. Kali ini, ia benar-benar menggiringnya ke meja besi lagi dan menggendongnya ke atas meja. Dengan dorongan pada pundak, otomatis wanita itu berbaring. Kakinya melingkar di antara tubuh pria itu.
"Ah!" Keanu mulai masuk. Ignacia melebarkan kakinya, memudahkan pergerakan Keanu yang mulai bergerak. Setiap gerakannya membuat wanita ini mendesah. Tak hanya itu, wanita ini juga memilin putingnya sendiri. Ia benar-benar terangsang.
Namun apa, tangannya ditahan oleh pria itu. Oleh Keanu kedua tangannya dipegang, sehingga ia tidak bisa bergerak. Vaginanya yang sudah dipenuhi kemaluan lelaki itu benar sudah sangat basah, mengeluarkan suara yang menjijikan namun itu pertanda bahwa ia benar-benar menikmati ini.
"Oh! Tuan, bagaimana punya hamba?" pertanyaannya membuatnya tertawa.
"Enak."
"Bila Anda bosan, bagaimana jika Anda menjerat hamba?" Menjerat? Ia tahu beberapa orang senang dicekik atau apa. Namun, dijerat?
Seketika Keanu menghentikan aksinya dan menatap wanita itu yang masih mendesah dan mengapit kedua kakinya. "Namun...bila Anda inginkan yang lain, hamba tidak masalah."
"Kau ingin kujerat?"
Wanita itu mengangkat bahunya. "Jika Tuan menginginkan hal yang ekstrim seperti itu, hamba bersedia."
"Hahaha..." Keanu tertawa lagi dan menjauh darinya. Ia menuju salah satu rak yang ada di kiri ruangan dan mencari benda yang ia butuhkan. Ia mengambil vibrator berukutan kecil juga tali tambang. Ia kemudian mendekati Ignacia dan mengikat kedua tangannya dengan tali tambang itu. "Aku masih belum yakin menjeratmu akan membuatku terangsang, Ignacia. Jangan salah, aku melakukan semua ini bukan untuk menyenangkanmu. Ini buat kesenangan pribadiku, loh."
Kata-katanya jelas sangat salah. Batinnya berperang apakah ia akan kembali ke realita atau mengikuti permainan wanita ini yang membuatnya gila. Namun tampaknya lisannya termakan permainan Ignacia.
Ia lingkarkan tali ke lehernya dan ia menjeratnya perlahan. Wanita yang sedang mendesah itu tercekik dan menelan ludahnya. Keanu tidak bisa merasakan apa yang wanita itu rasakan. Apakah enak? Sesak? Ia tidak mengerti.
"Masukkan...hamba..." perkataan wanita itu yang lirih juga gagu membuat lelaki itu berubah ganas. Ia menarik kedua kaki gadis itu ke pundaknya dan memasukkan penisnya dengan paksa. "Uahh!"
Pergerakannya yang agresif membuat wanita itu tidak bisa berbicara. Lehernya dijerat, kakinya berada di pundak lelaki itu, dan vaginanya diserang. Ia tersiksa, namun ia menyukainya. Buktinya, ia ikut meraba klitorisnya dengan jemarinya.
"Kau butuh ini?" Keanu menyodorkan vibrator yang ia bawa tadi. Dengan meraba-raba, Ignacia mengambilnya dan mulai menyalakannya. Mendengar suara getarannya, Ignacia menghela napas, sebelum akhirnya ia arahkan ke putingnya dan terakhir, di atas klitorisnya.
Desahannya berubah menjadi jeritan. Ignacia sangat menikmati hal ini. Ia pun lupa ia harus menjaga pita suaranya karena itu adalah asetnya. Namun, ia bersumpah, ia tidak pernah menikmatinya seperti ini. Begitu juga dengan Keanu.
"Hei, kalau boleh tahu, apa kau sudah bersuami?" Keanu yang sedang memakai celana itu bertanya. Permainannya sudah selesai dan ia membiarkan wanita itu terbaring lemah di atas meja besi itu.
"Belum, mengapa?"
"Kau bersedia bila aku mengajakmu kencan?"
"Jika itu tidak masalah bagi Anda, Tuan."