"Kanjeng Ratu ... " (Yang Mulia Ratu ...) suara lembut seorang wanita ayu berpakaian kebaya hijau menggaung di ruangan besar gelap itu. Dia sedang berlutut, tangannya terkatup di depan muka eloknya, matanya terpejam. Beginilah cara mereka, melakukan penghormatan pada entitas lain yang lebih digdaya.
Seseorang wanita lain yang tengah duduk pada kursi tinggi di atas undakan mewah, mendengarkan. Bertumpu pada siku, ia dagunya di punggung tangan. Mata gelapnya lurus memandang abdi setianya yang kini sedang melapor.
Dari posisi duduknya yang lebih tinggi, pun dari bibirnya yang bentukkan garis pipih ... tekankan siapa penguasa di sini. Aura gelap mengoar darinya. Dia diam, tapi di saat bersamaan tak ingin abdinya berkata sesuatu yang tak berbobot.
Sang Abdi mengerti. Ia memandang sekilas ke arah wanita di atas singgasana sebelum kembali menunduk dan berucap, "Ndoro ... miturut kula, kita kedah enggal getap," (Ratu ... menurut saya, kita harus segera bertindak) wanita itu berkata lagi. Namun kali ini, ia memandang lawan bicaranya. Tegas, ia menyampaikan pendapatnya, "Niki sampun kaping tigo, Ndoro. Tiyang niku sampun mboten kagugang pangudaraos. Napa malih ingkang kita rantos?" (Ini sudah ketiga kalinya, Yang Mulia. Orang itu sudah tidak punya hati. Apalagi yang kita tunggu?)
Melihat hal ini, sang Ratu menghela napas panjang. Ia memijit pangkal hidungnya sebelum menjentikkan jari. Cahaya biru terang muncul dari ujung jarinya, semula kecil lalu membesar. Cahaya itu bergejolak dan menyerap energi di sekelilingnya. "Aku ora pingin enek perang," (aku tidak menginginkan perang) katanya lelah. Sang Abdi yang mendengar ini berjengkit sedikit.
Perang. Kata-kata yang berat sekali.
Helaan napas terdengar kembali. "Ning yo wes lah. Atine wong iku wes dadi ala," (Tapi ya sudah lah. Hatinya orang itu sudah jelek sekarang,) ujarnya sambil berdiri. Bersamaan dengan hal itu, gelombang energi dia sentilkan ke arah abdi dalem yang masih bersimpuh di sana. Cekatan, ia menangkap apa yang Ratu kirimkan.
Sambil membusungkan dada, wanita ayu berambut hitam lembut sepantat itu menjulurkan tangan. Suara tegas menggelegar kemudian terkumandang, "Lunga a, Dit. Lakokno opo sing pingin koklakokno. Aku ngerestoni." (Pergilah, Tri. Lakukan apa yang kamu lakukan. Aku mengizinkan.)
Mendengar hal ini Dewi Kanditha langsung bersujud. Keningnya menempel di atas lantai berbalut beludru.
"Siji pesenku," (satu pesanku,) Ratu menarik tangannya, meletakkannya di atas pinggang. Matanya tajam melihat wanita kepercayaannya yang masih bersujud. Menggelegar, suara terakhir sang Ratu terdengar, "Ojo nggawe wong liyo mati." (jangan sampai membuat orang lain mati.)
Wanita Panglima Perang kepercayaan sang Ratu itu menjawab dengan tegas, "Sendiko dawuh, Kanjeng Ratu." (Siap laksanakan, Ratu).
.
.
[]