Chereads / Istri Di Atas Kertas / Chapter 15 - Parental Anxiety

Chapter 15 - Parental Anxiety

Di sebuah rumah yang sederhana, ada seorang ibu yang mencemaskan putrinya, dia adalah Hilda Aprilia Ayuningtyas, yang akrab di panggil Hilda. Ibu dari seorang putri cantik bernama Fatimah Az-Zahra.

"Mas, kenapa ya perasaanku tak enak sejak kemarin?" tanya Hilda kepada sang suami tercinta, Fachri Ahmad Husainy, yang akrab di sapa Ahmad.

"Apaam sih dek? Kamu itu hanya belum terbiasa aja jauh dari Zahra. Makanya sering cemas." Jawab Ahmad santai.

"Mas, aku cuma takut Andre memperlakukan putriku dengan tidak baik. Mas bisa lihat sendiri, selama ini Andre selalu cuek terhadap Zahra. Di depan kita aja, dia berani memperlakukan Zahra seperti itu. Gimana di belakang kita," balas Hilda.

"Dek, percaya deh sama Mas. Mereka baik-baik aja. Andre seperti itu mungkin karena belum terlalu kenal sama putri kita. Tapi jika dia dah tau, pasti Andre akan belajar mencintai Zahra. Kamu cukup doakan aja agar hubungan mereka baik-baik aja dan langgeng sampai akhir hayat," tukas Ahmad mencoba menenangkan sang istri.

"Tapi mas ...." belum selesai Hilda ngomong. Ahmad langsung memotongnya.

"Kita ke rumah mereka sekarang," ajak Ahmad yang tak mau sang istri terus menerus mencemaskan sang putri.

"Kita pastikan mereka baik-baik aja agat hatimu tenang," lanjut Ahmad dan itu sukses membuat Hilda tersenyum senang.

"Baiklah, aku siap-siap dulu." Hilda pun segera ganti baju gamis dan memakai hijab panjang. Tak lupa kaos kaki selalu ia gunakan saat keluar rumah. Setelah itu, ia pun langsung keluar dengan membawa Hp yang ia pegang.

"Ayo, Mas." Ajak Hilda.

"Gak kabari mereka dulu kalau kita mau kesana?" tanya Ahmad.

"Enggak usahlah, Mas. Anggap aja kita kasih kejutan ke Zahra. Dia pasti seneng. Mereka pasti ada di rumah, kan suaminya masih cuti. Zahra sendiri juga gak kerja. Iya kan?" timpal Hilda.

"Iya juga sih. Iya udah ayo."

Akhirnya mereka berdua pun pergi ke rumah Zahra dan Andre. Ahmad mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Sambil menyetir, ia pun mengajak sang istri ngobrol.

Tak terasa mereka pun sudah sampai, akhirnya mereka turun dari mobil dan berjalan menuju pintu rumah. Hilda mengetuk pintu sambil berucap salam, namun tak ada yang menjawabnya. Rumahnya benar-benar sepi.

"Mereka kemana ya Mas?" tanya Hilda yang mulai merasa was-was.

"Mungkin lagi jalan-jalan dek, makhlum lah pengantin baru, jangan berfikir negatif aja." Ahmad pun sebenarnya mulai merasa khawatir, ia semalam juga tak bisa tidur karena terus kefikiran putrinya. Namun ia berusaha untuk tenang di depan sang istri, karena ia gak mau buat istrinya semakin khawatir. Ia juga berusaha untuk berfikir positif walaupun hatinya merasa gelisah.

"Aku telfon aja ya Mas," cemas Hilda

"Iya."

Lalu Hilda pun mulai menelfon Zahra. Deringan pertama, kedua, ketiga tak di angkat. Baru deringan ke empat, Zahra mengangkatnya.

"Assalamualaikum, Neng. Neng ada dimana?" tanya Hilda setelah Zahra mengangkatnya.

"Waalaikumsalam, Umi. Neng lagi kerja, nanti Neng telfon lagi ya Umi." Jawab Zahra yang langsung mematikan telfonnya secara sepihak.

Hilda pun merasa ada yang aneh, kenapa putrinya mematikan telfonnya begitu saja, ini pertama kalinya Zahra melakukan hal seperti ini.

"Ada apa dek?" tanya Ahmad yang mulai ikutan cemas.

"Zahra, Mas. Dia menutup telfonku. Tak biasanya ia seperti ini. Ia juga bilang kalau dia lagi kerja."

"Kerja? Sejak kapan Zahra kerja, dek?" tanya Ahmad.

"Aku juga gak tau, Mas. Bukannya baru kemarin kita mengantarkan Zahra ke sini. Kenapa sekarang dia bilang kalau dia kerja, lalu suaminya kemana? Apa suaminya ngizinin Zahra untuk bekerja?"

"Kayaknya emang lagi gak beres dek, tapi Zahra gak mau bilang ke kita."

"Mas, kalau sampai rumah tangga mereka gak bahagia, dan Zahra menutupi semuanya dari kita. Maka kita akan menjadi orang tua yang sangat berdosa, Mas. Kita berdosa sudah memaksa mereka untuk menikah, nyatanya kehidupan rumah tangga mereka malah tak harmonis. Mas, aku menyesal jika sampai aku menjadi penyebab kesedihan dan penderitaan putriku sendiri." Hilda menangis, Ahmad yang tak tega melihatnya pun langsung memeluknya.

"Sudah, nanti kita bisa tanyakan langsung sama Zahra ya. Sekarang kita pulang, kita juga tidak tau kapan Zahra dan suaminya pulang."

Akhirnya mereka berdua pun pulang dengan hati yang kacau. Kacau karena mereka tak tau bagaimana kehidupan anaknya saat ini.

Sedangkan di tempat yang berbeda, Zahra lagi ikut rapat dengan Reyhan di luar kantor. Zahra tak mungkin mengajak Uminya ngomong panjang lebar gini di saat ia sedang ada meeting penting. Awalnya ia pun merasa tak nyaman saat Hp nya terus berdering, untungnya Reyhan yang pengertian memberikan waktu buat Zahra untuk mengangkatnya.

Setelah meeting penting, Reyhan dan Zahra pun kembali ke kantor karena jam masih menunjukkan pukul 11 siang. Sedangkan jam istirahat masih sejam lagi.

"Za, kamu kalau mau nelfon seseorang. Telfon aja gak papa." ujar Reyhan yang melihat Zahra merasa gelisah.

"Gak usah, Mas. Nanti aja saat di kantor." Zahra pun menjawab tak kalah ramahnya. Ia tau saat ini orang tuanya pasti bingung karena dirinya yang menutup telfon secara sepihak apalagi dirinya mengatakan kalau lagi kerja. "Abah, Umi. Maafin aku, tunggu aku sampai kantor, aku akan menelfon kalian." gumam Zahra dalam hati.

Reyhan pun langsung diam dan mulai fokus lagi sama tab yang ia pegang. Padahal di tab itu tak ada yang terlalu penting, ia pegang tab dan membuka sebuah file hanya untuk menyembunyikan rasa gugupnya. Ia sangat gugup sekali bisa berdekatan dengan Zahra seperti ini apalagi bisa satu mobil.

Sang sopir pun juga dari tadi hanya diam saja, sehingga suasana di mobil itu pun senyap karena tak ada yang mau bersuara.

Reyhan sesekali melirik ke arah Zahra yang melihat ke luar mobil, ia bersyukur bisa menempatkan Zahra sebagai asisten pribadinya karena dengan seperti ini, waktu ia bersama Zahra akan sering terjadi.

Sesampai di kantor, mereka pun segera turun. Zahra berjalan di belakang Reyhan.

"Za, jalan di samping aku aja gak papa," ucap Reyhan.

"Gak usah, Mas. Gak enak di lihat yang lain," tolak Zahra dengan halus. Bagaimanapun ia tak mau menjadi bahan untuk bergosip. Jadi sebisa mungkin ia akan berusaha untuk profesional dan jaga jarak dengan atasannya agar tak tejadi fitnah terlebih posisinya saat ini merupakan istri orang.

Reyhan yang mengerti pun tak mau memaksa, saat menuju sebuah ruangan, Reyhan dan Zahra langsung masuk masuk ke ruangannya masing-masing.

Zahra langsung menaruh berkas yang ia pegang di atas meja begitupun dengan tasnya. Lalu ia mengambil Hp yang ada di saku dan mulai menelfon sang ibu.

Hilda yang sudah sampai di rumahnya, langsumg mengangkat telfon dari putrinya saat Hp nya berdering.

"Assalamualaikum, Umi." sapa Zahra lembut.

"Waalaikumsalam, Neng. Neng ada dimana?" tanya Hilda lagi.

"Neng ada di kantor Umi. Maaf tadi Neng langsung matikan gitu aja karena tadi Neng ada meeting di luar kantor sama bos dan gak enak juga kalau ngangkat telfon lama-lama. Umi sendiri ada dimana?"

"Tadi Umi dan Abah pergi ke rumah Neng. Tapi rumahnya sepi. Neng sejak kapan kerja? Bukannya Neng baru nikah?" tanya Hilda lagi.

"Iya, Umi. Maaf Neng gak ngasih tau. Neng kerja mulai hari ini Umi sebagai asisten CEO. Dan Neng juga sudah dapat izin dari Mas Andre. Mas Andre mengizinkan Neng kerja, selain biar Neng gak kesepian di rumah, Mas Andre ingin Neng mengejar cita-cita Neng menjadi wanita karir yang penting Neng tak boleh sampai mengabaikan kewajiban Neng sebagai istri."

"Oh tapi hubungan kamu sama suamimu, baik-baik aja kan?" tanya Hilda.

"Gak papa, Umi. Emang kenapa? Umi jangan cemesin Neng. Neng sudah dewasa. InsyaAllah Neng bisa menghadapi masalah Neng seorang diri."

"Baiklah Umi percaya. Kamu kerja dimana Neng?"

"Di Perusahaan Dirgantara, Umi."

"Wah itukan perusahaan yang cukup besar ya. Selamat ya Neng,"

"Iya, Umi. Kalau gitu, Neng matikan dulu ya Umi. Soalnya Neng gak enak kalau von-vonan terus, terlebih pekerjaan Neng masih banyak."

"Baiklah, Neng. Umi tutup telfonnya. Semangat kerjanya,"

"Iya, Umi."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah mematikan telfonnya, Zahra pun bernafas lega. Untuk pertama kalinya, ia berbohong sama sang ibu.

"Maafin aku ya Umi. Aku gak bisa bicara jujur tentang rumah tanggaku. Cukup doakan aku ya umi, agar aku bisa kuat menghadapi ujian rumah tanggaku." Zahra pun berkata sendirian.

Seperti biasa, apa yang di ucapkan oleh Zahra semua terekam jelas di CCTV, bahkan apa yang di ucapkan oleh Zahra pun juga terdengar sangat jelas. Reyhan hanya bisa menghela nafas kasar. "Kamu selalu berusaha untuk tampil kuat di depan orang lain, dari dulu kamu emang gak pernah berubah, Za. Kamu bahkan masih mau menutupi aib suamimu sendiri padahal ia sudah memperlakukan kamu dengan tidak baik."

Reyhan mulai menghidupkan laptopnya sambil sesekali melihat ke Hpnya yang menampilkan aktivitas Zahra di ruangannya.