Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

LOVE-40

🇮🇩Falatehan_Ink
1
Completed
--
NOT RATINGS
2.6k
Views
Synopsis
Anya adalah gadis yang harus tinggal di rumah teman ayahnya selama 2 tahun. Rumah itu dipenuhi 3 laki-laki yang hobinya bermain tenis. Akankah kuat ia tinggal di tempat seperti itu?

Table of contents

Latest Update1
LOVE-403 years ago
VIEW MORE

Chapter 1 - LOVE-40

"Anya, kau mau kubantu?"

"Tidak usah, Adrian. Aku bisa sendiri."

"Bila ada apa-apa, jangan sungkan untuk memintaku. Nah, sekarang istirahatlah!"

Adrian menutup pintu kamarku dan aku membalasnya dengan senyum. Ini kamar baruku, yang ada di lantai dua, di samping kamar Adam dan di depan kamar Adrian. Mereka berdua adalah anak kembar dan baru saja ditinggal ibunya. Kini, Paman Richard yang mengurus mereka dan Beliau menawarkanku kamar kosong untuk kutinggali selama 2 tahun.

Paman Richard adalah teman bisnis ayahku yang mempunyai restoran di sudut jalan. Beliau sangat sibuk hingga anak-anaknya yang menjemputku. Terakhir aku bertemu Paman itu sekitar lima tahun yang lalu, aku lupa wujudnya seperti apa, namun, aku ingat Beliau adalah pria yang tegap di usia 40-an. Dan jelas, masakannya enak-enak.

"Ayahku akan pulang jam 8 malam. Kita bisa makan malam lebih dulu." Petangnya, Adrian menuntunku ke ruang makan dan di sana sudah ada Adam yang memakai celemek. Ia habis mengaduk salad dan menyajikannya di piring-piring. "Adam yang selalu masak, jadi kau jangan khawatir."

"Ah, maaf merepotkan." Adrian menggeret bangku dan mempersilakanku duduk. Diperlakukan seperti itu membuatku segan. Mereka pria-pria beretika baik.

Adam memberiku sepiring salad dan Adrian menuangkanku air. Tangan mereka kekar, mereka seperti terbiasa berolahraga.

"Kau suka berolahraga?" Adrian bertanya duluan. Ia seperti membaca pikiranku.

"Tidak juga. Namun, terkadang aku main tenis."

"Wah, tiap Sabtu kami latihan di lapangan dekat sini. Kau mau ikut?"

"Wah! Bolehkah?"

Adam mengangguk dan tersenyum. Ia yang duduk di depanku melahap tomatnya. "Ayah selalu bertanding dengan temannya di sana dan kami selalu ikut. Lama-lama kami jadi main berempat."

Wah, ternyata ayah mereka senang main tenis juga. Aku jadi penasaran bagaimana bermain bersama mereka.

Jam 7.15, aku mencuci piring dan membiarkan si kembar menonton televisi. Setelah mencuci tanganku dan mengeringkannya dengan handuk, aku segera bergegas ke ruang tv untuk ikut menonton. Aku pun duduk di samping Adam yang duduk bersila di atas sofa dengan keripik kentang di tangannya.

"Ayah pulang!" Namun, tiba-tiba pintu terbuka dan Paman Richard muncul dengan jaket kulitnya dan syal hitam. Rambutnya yang dibelah pinggir membuatnya tampak awet muda. Juga, senyumnya yang sumringah membuatku senyum pula. "Wah, maaf Anya, Paman tidak bisa menjemput."

Aku segera bangkit dan membiarkan Paman memelukku. Aromanya lembut, hampir seperti bayi.

"Tidak apa-apa, Paman. Terima kasih sudah menampungku."

Setelah Paman memelukku, beliau memegang daguku. Matanya memandangku dengan lembut. "Kau cantik sekali sekarang, Paman sampai kaget."

"Hehehe, Paman juga awet muda."

"Ayolah," Paman Richard tertawa sebelum mengambil keripik kentang dari tangan Adam, "Kalian jangan menggoda Anya, oke? Ayah harus mandi sekarang."

Adam berdecak kesal. "Siapa yang ingin menggodanya, yah? Lagipula, aku hanya makan keripik sedikit."

"Oh ya, ayah! Sabtu ini Anya ikut bermain tenis. Ia jago, loh!" sedetik setelah Adrian berkata seperti itu, Paman Richard menengok ke belakang dan menatapku.

"Oh ya?"

"Tidak, Adrian hanya hiperbola. Aku hanya main tenis sesekali."

"Hari Sabtu kau harus main kalau begitu!"

Sabtu pagi, matahari menyengat begitu panas. Aku yang menggunakan topi membalurkan tubuhku dengan tabir surya. Trio bapak-anak itu datang dari ruang ganti dengan celana pendek dan memegang raket. Melihat mereka yang jalan berdampingan dan tubuhnya hot membuatku berpikir mereka seperti boyband.

"Kau sudah siap, Anya?" Paman Richard memberiku raket dan aku dengan senang mengambilnya. Jemarinya sangat panjang dan besar, aku sampai kaget melihatnya.

"Siap!"

Kali ini aku satu tim dengan Adam. Sedangkan Adrian dengan Paman. Aku ada di posisi depan sehingga Adam yang melontarkan servis duluan. Adrian menangkisnya dan bola melambung ke arahku. Aku segera menangkisnya ke arah kanan, dan Paman Richard dengan sigap menangkisnya.

Wah, mereka jago.

Adam menangkisnya lagi dan Paman Richard kembali menyerang Adam. Aku bertahan di depan dan Adam tidak bisa menangkisnya. Skor kali ini 15-40. Satu lagi Paman Richard dan Adrian akan menang babak ini. Sial, seandainya aku bisa lebih jago bermain.

"Ah!" Adam berteriak saat menangkis serangan Adrian. Bodohnya, bola mengenai net dan tim Paman Richard menang. Babak pun selesai dan kami memutuskan untuk beristirahat.

"Pertandingan yang bagus." Adam menyeka wajahnya dengan handuk dan memberiku botol minum. Aku tersenyum dan mengambil botol itu dari tangannya. Ia duduk dan keringatnya bercucuran, ia terlihat sangat lelah setelah ayahnya dan saudara kembarnya terus menyerangnya.

"Tapi kau terus diserang oleh mereka." Aku angkat bicara sebelu Paman Richard datang dengan penuh senyum.

"Bagaimana? Bagaimana? Seru, bukan?" Pria 43 tahun itu menyender pada Adrian yang juga datang dengan senyum.

"Iya, asalkan kalian tidak menyerang Adam terlalu sering. Hahaha..." Aku tertawa sebelum Paman merangkulku. Waduh, tubuhnya basah karena berkeringat tapi Beliau benar-benar mempunyai lengan yang kekar. Aku sampai beripikir, beruntung juga mantan istrinya dapat suami seperti ini.

Gawat! Aku mulai ngaco. Maksudya, Paman Richard mempunyai tubuh yang fit sehingga bisa saja ia punya tenaga yang ekstra juga dan bagiku itu sangat menarik.

Aku pergi ke arah ruang ganti. Setelah bermain 5 ronde, aku kelelahan dan memutuskan untuk berganti baju duluan. Aku mengambil botol minum dari tasku dan beranjak ke ruang ganti. Hanya saja, Paman Richard mengikutiku dan dengan senyum ia memberiku botol minum lagi.

"Loh, Paman tidak main lagi?" Aku bertanya sambil mengambil botol minum itu dari tangan Paman. Paman tertawa dan mengangkat bahunya.

"Paman tidak bugar seperti mereka." Beliau kemudian mengarah ke ruang ganti laki-laki. Hanya saja, di tengah jalan, beliau membuka bajunya, memperlihatkan torsonya yang berotot. Waduh, mataku tidak bisa berkedip melihatnya. Sungguh tubuhnya sangat bagus.

Aku berdiri di depan cermin. Wajahku memerah karena habis olahraga. Namun bukan hanya itu, aku juga terus berpikir tentang tubuh Paman Richard. Waduh, ia sudah berkeluarga, seharusnya aku tahu itu. Namun, aku tidak bisa menghentikan gairahku.

Shit, masa aku terangsang karena Paman Richard yang notabene teman dekat ayahku? Juga, aku mengenalnya sudah lama.

"Kau jangan gila, Anya! Kuatkan dirimu!" aku mencoba mencuci wajahku dengan air, berharap dapat tenang dan berpikiran lurus. Namun, aku tidak bisa, sialan! Yang ada, aku makin mengingat bagaimana otot punggungnya meliuk, bagaimana Paman tersenyum dan merangkulku, dan bagaimana tubuhnya mengeluarkan bau yang maskulin.

Sial! Sial! Sial! Mengapa aku terpikirkan ayahnya? Mengapa tidak aku incar anak-anaknya yang umurnya setara denganku dengan ketampanan yang juga tidak manusiawi? Aku wanita 21 tahun seharusnya mengincar anak-anaknya yang masih 19 tahun, bukan ayahnya yang lebih tua 22 tahun dariku!

Anya, aku tahu kau sudah lama tidak berhubungan seks, namun, bukan berarti kau putus asa dan memilih masturbasi membayangkan Paman Richard, kan?

"Anya, kau sudah selesai?" Suara Paman dari pintu masuk menyadarkanku. Sial, sudah berapa lama aku merenungkan kebodohanku?

"B-Belum, Paman!"

"Oke, jangan terburu-buru. Anak-anak baru saja selesai bertanding."

"Baik, Paman!" Sialan, aku harus mandi dan bergegas pulang.

Dinginnya Redmont saat malam benar-benar menusuk tubuhku. Aku yang masih terbayang-bayang tubuh Paman Richard memakai masker wajah sebelum tidur agar kulitku terjaga. Tadi, saat makan malam Paman Richard memasak meatloaf dan itu enak sekali. Sialnya, beliau hanya memakai celana pendek dan kaus putih hampir transparan, dan itu sukses membuatku sesekali mencuri pandang.

Oke, kuakui aku bertindak seperti orang mesum yang suka melirik tubuh orang lain karena menurutku wanita juga punya nafsu. Oke, aku nafsu dengan tubuh Paman Richard karena aku yakin beliau dapat "merawatku" dengan baik. Beliau lebih tua, pasti punya banyak pengalaman, beliau punya anak kembar, well...mungkin butuh "perjuangan" lebih, dan terakhir beliau sekarang duda, mungkin beliau kesepian.

TIDAK! APA YANG KAU PIKIRKAN, ANYA?

"Enak, ya punya lelaki macam Paman Richard." Aku menghela napas sambil membuang masker wajahku sembarangan. Sambil membolak-balik bungkus masker wajah itu, aku meraba-raba leherku tidak jelas. Terpintas bayangan Paman Richard sedang mencekik leherku dari belakang. Seketika aku menaruh bungkus masker wajah itu ke atas meja dan mengambil telepon genggamku.

Tidak lupa, aku memasang headset dan membuka situs porno. Sebagai wanita yang tidak normal, aku juga menonton video porno. Hanya saja, kali ini aku benar-benar mencari video yang bergenre "Old vs. Young". Terkadang pemain utama prianya itu terlalu tua, namun, kali ini, umurnya tidak begitu tua. Postur tubuh yang tegap dan terkesan kasar itu membuatku merinding.

Adegannya bercerita tentang tukang pemotong rumput yang dipanggil gadis SMA untuk memotong rumput di depan kamarnya. Hanya saja gadis itu bermain sendiri, berharap sang tukang rumput tidak melihatnya. Nahas, ternyata jendela kamar gadis itu tembus pandang sehingga aksi nakalnya ketahuan tukang rumput itu. Akhirnya, mereka pun bermain.

Hahaha, sial, aku tahu itu tidak realistis, namun, aku tidak bisa menahan hasratku untuk "memegangku" sendiri. Kuselipkan tangan kiriku ke balik celana dalamku, dan sesekali aku meraba kemaluanku. Sial, aku saja sudah lupa betapa enaknya rasa ini.

Si tukang rumput itu menggerakkan panggulnya dengan cepat, gadis itu terus mengerang dan wajahnya seakan kaget dengan pergerakan penis tukang rumput itu. Dalam video itu vagina sang gadis kecil dan kepunyaan tukang rumput itu besar, tipikal video porno orang Barat. Sang gadis SMA itu kerap meneriaki nama tukang rumput itu dan melontarkan pujian bahwa penisnya besar.

Sialan, tanganku mengikuti pergerakan si tukang rumput, hingga aku tahu jemariku lama-lama masuk ke vaginaku. Rasanya sangat enak aku sampai lupa daratan.

"Ahh...shit..." aku perlahan mendesah namun aku tahan. Aku tahu di sampingku kamar Adam dan bila ia mendengarnya itu artinya gawat.

Tanganku kembali bergerak keluar-masuk, mengikuti pergerakan si tukang rumput. Aku melepas headsetku sebelah, memastikan bahwa bunyi yang dikeluarkan dari pergerakan jemarku tidak begitu keras. Juga, aku harus mengontrol desahanku supaya Adam atau Adrian tidak bisa mendengarnya. Sial, vaginaku basah sekali aku sampai beberapa kali menyeka lubrikan alamiku.

"Ahh-hmph!" Sial, aku benar-benar takut ketahuan. Aku menggigit bibirku dan membiarkanku mendesah pelan-pelan. Tidak hanya itu, aku mematikan videonya dan melanjutkan aksiku. Dua jariku terus bergerak di dalam vaginaku, namun aku kurang puas.

Aku bangkit dan meluruskan kakiku. Aku ingat aku punya dildo, namun aku lupa aku taruh di mana karena masih banyak kardus yang belum aku rapikan. Namun, mataku terpaku pada raket tenis yang tadi aku pakai. Raket pemberian Paman Richard yang pernah dipakai Paman Richard. Aku segera mengambilnya dan melepas sarungnya.

Seandainya gagangnya dapat kumasuki.

Aku tidak peduli. Aku mulai memasukkan gagang raket tenis itu ke dalam vaginaku perlahan. Ah gila, rasanya beda sekali. Dingin, aneh, kulitnya bergerigi, mengingatkanku bahwa aku orang yang sakit jiwa.

"Ahh!" aku hampir berteriak. Raket itu memenuhi lubang vaginaku. Gagang raket itu besar, aku tidak pernah merasakan sesuatu yang sebesar ini. Gila, aku benar-benar gila. Aku sampai takjub mengapa raket tenis dapat masuk ke dalam vaginaku.

Aku menggerakkan raketnya perlahan. Gila, rasanya aneh sekali. Enak, namun, aku bisa merasakan dinding vaginaku meregang, mengikuti besarnya raket tenis warna biru itu. Tangan kananku yang menggerakkan raket menjadi basah. Ternyata aku bisa "ejakulasi" dan itu hal yang sangat baru buatku. Seketika aku berhenti dan memandangi tanganku.

"Apa yang terjadi?" Aku bergumam sebelum melihat kasurku dibasahi cairan mirip urin itu. What the hell? Aku jadi tidak berani melanjutkan aksiku.

Tapi, aku belum puas.

Aku kembali menggerakkan raket tenis itu perlahan. Kututup mataku dan kuhisap jemariku untuk meredam desahanku. Namun, suara yang dihasilkan raket tenis di ddalam vaginaku tidak bisa diredam. Aku tidak peduli dan aku hampir pada puncaknya.

"Ahhh! Ahh! Gila..." Aku sudah berubah sangat gila. Aku tidak tahu berapa lama aku masturbasi dengan raket tenis itu, yang jelas, setelah aku mengeluarkan raket tenis itu dari vaginaku, tubuhku tidak bisa berhenti bergetar. Permainan kali ini benar-benar gila.

Hanya karena Paman Richard yang buka baju, dan rasa putus asaku karena sudah lama tidak berhubungan seks yang membuatku seperti ini. Mungkin aku punya bakat jadi aktris porno atau pelacur. Hahaha, aku hanya bercanda.