Chereads / Ardor for a String / Chapter 1 - Ardor for a String

Ardor for a String

🇮🇩Falatehan_Ink
  • 1
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 2.6k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Ardor for a String

"Ave Maria...gratia plena...Maria, gratia plena..."

Lantunan suaranya yang merdu bagaikan malaikat sedang bernyanyi. Organ yang dimainkan Alexander Mobus mengiringi penyanyi alto itu. Adikku, Jaden juga memainkan violinnya dengan baik. Sejak dua tahun lalu ia jadi pemain solo, ia selalu hadir dalam acara amal seperti ini.

"Et benedictus fructus ventris...ventris tuae, Jesus..."

"Alexander Mobus memang sangat berbakat." Seorang wanita berkerudung hitam yang duduk di sampingku membuka suara. Lipstiknya yang merah membuatku meliriknya.

"Ah, benar."

"Apa kau biasa misa di sini?"

"Tidak, ini pertama kalinya aku masuk sini."

Wanita itu mengendus dan melipat kakinya. Senyumnya tersinggung dan ia tampak sangat anggun.

"Ave Maria, Schubert, bukankah ini membosankan? Hampir setiap acara amal mereka melantunkannya."

"Benar, namun bagiku, walau ini dimainkan berkali-kali, aku tetap suka. Komposisinya kompleks dan membuatku emosional."

"Hm..." Wanita itu mengangguk-ngangguk dan bertumpu dagu. Matanya tajam menatapku. "Kau berpengalaman dalam bidang musik, ya?"

Aku mengangguk pelan. Aku tidak bisa menatapnya, tatapannya sangat provokatif. "Aku mengajar di sekolah musik La Luna."

"Dan salah satu muridmu tampil sekarang?"

"Ya, ia adikku, Jaden. Ia yang memegang violin."

"Pemain solo itu? Hebat juga."

"Nona bisa bermain alat musik juga?"

"Biola." Ia tersenyum lagi. Tatapannya membuatku canggung. "Kau, Pak Guru?"

"Cello." Aku memberanikan diri untuk menatap matanya. "Kau ingin mencoba bermain trio atau quartet bersama adikku?"

"Tidak, tidak, aku tidak sehebat itu."

"Pemain biola sekarang jarang, loh."

"Tidak, sudah lama aku tidak main. Jadi kurang terasah." Ia tersenyum lagi sebelum membuka tasnya dan mengeluarkan sapu tangan. "Lagipula, aku tidak punya waktu karena kerjaanku menumpuk."

"Oh, sayang sekali."

"Ajak aku lain waktu." Ia memberiku sapu tangan yang sudah ia coret-coret dengan pulpennya. "Hubungi aku, oke?" Eh? Dia bangkit dan sepertinya terburu-buru.

"Namamu Nona?"

"Isabel! Kau?"

"Marcel!"

Dan hari itu adalah hari dimana hidupku akan hancur.

Aku tidak bisa menghilangkan ingatanku akan sorotan matanya yang tajam, bibirnya yang berisi, yang ia poleskan dengan lipstik warna merah menyala. Rambutnya yang hitam legam sangat kontras dengan warna bibirnya. Hal itu membuatnya terlihat sangat anggun dan cantik.

"Isabel..." Sapu tangannya masih ada di tanganku. Aku ingin mendengar suaranya. Aku ingin melihat wujudnya. Sayang, nomor yang ia tulis di sapu tangan itu tidak bisa dihubungi.

Namun, setidaknya aroma kayu manis yang berasal dari tubuhnya masih tersisa di sapu tangan itu.

"Kakak! Kau jangan gila. Semua anak mengeluh karena ujianmu begitu susah!"

Sial, Jaden tiba-tiba masuk dan marah padaku. Seketika aku menyelipkan sapu tangan itu ke kantung celanaku.

"Apa yang susah dari ujianku? Aku hanya menyuruh kalian tampil seperti Concours."

"Ya, tapi mengapa piece yang kau pilih itu sulit? Beberapa anak tidak mampu!"

"Aku tidak tahu anak zaman sekarang semuanya manja." Aku berdecak. "Untuk kau, violin, La Campanella, Caprice no.1, atau 24. Apa susahnya?"

"A-Apa maksudnya? S-Susah sekali!"

"Ayolah, kalian bukan amatir."

Jaden menggebrak meja. "Pengiringku bilang untuk piano buat ia gila!"

"Jika gagal, bukan berarti nilaimu nol. Aku hanya ingin mencari kandidat yang dapat aku daftarkan ke kompetisi nasional." Aku memasang seringaiku. "Jadi, bila kau ingin masuk ke jenjang nasional, bersainglah dengan yang lain."

"Tapi-"

"3 pieces yang aku berikan memang sulit, namun, aku bisa lihat level kemampuan kalian. Jadi, apa yang mau kau pilih?"

Jaden terdiam sebelum memasukkan tangannya pada kantung celana. "Caprice no.24."

"Kupikir kau akan pilih La Campanella."

"Jari pengiringku bisa patah." Ia cemberut sebelum membalik badannya. "Ia memilih etude 10 no 12."

"Revolutionary? Siapa pengiringmu?"

"Celine."

Jaden sudah pergi. Namun rasa rinduku dengan Isabel tidak bisa pergi. Mengapa wanita itu terus ada di pikiranku? Sihir apa yang kau pakai sampai aku bisa tergila-gila padamu, Isabel?

Minggu paginya, aku memainkan celloku di rumah. Ave maria, piece yang mengingatkanku akan Isabel, yang membuatku sangat emosional ini benar-benar enak dimainkan. Seandainya aku bisa bermain dengannya berdua. Seandainya aku bisa memeluknya bagaikan aku memeluk cello ini.

Haha...aku sudah mulai gila, ya?

"Kakak, bolehkah kami ikut?" Jaden tiba-tiba membuka ruang studioku dan masuk bersama dengan temannya. Aku yakin itu adalah Celine, pengiringnya.

"Silakan. Aku senang bila ada yang mengiringi." Aku tersenyum ke arah Celine yang menunduk dan segera duduk di piano. Ternyata pilihan Jaden tidak salah, ia gadis yang menarik.

Kami bertiga memainkannya. Tidak, ini sangat harmonis, suara piano yang Celine tekan, celloku yang mengiringi violin milik Jaden, yang terkadang bergantian, semuanya sangat harmonis.

"Hahaha! Kakak, kau tampaknya menikmati ini!" Jaden tertawa. "Bagaimana bila kita main string trio? Celine bisa main biola."

"Benarkah?" Celine mengangguk. "Wah, cepat berikan dia biola."

"Siap!" dengan semangat Jaden berdiri dan mengambilkan biola dari lemari. Biola, hm? Seandainya yang main adalah Isabel.

Celine duduk di antara aku dan Jaden. Ia telah memegang biolanya dan menggeser bangkunya. "Jadi, mau main apa kita, Pak?" ia bertanya dengan antusias. Aku meliriknya dan melontarkan senyum.

"Apa yang pernah kau mainkan bertiga?"

"Beethoven 9 No.3."

"Dari awal?"

"3rd movement." Ia membolak-balik buku dan mencarinya. Ia memperlihatkannya padaku dan kami mulai bermain. Ah, awalnya Jaden masih terlalu cepat, namun lama kelamaan permainan kami harmonis. Indahnya, seandainya aku bisa bermain seperti ini setiap hari.

Permainan kami selesai. Aku bisa melihat Celine melirikku dengan senyum. Lirikannya genit, aku tidak suka itu.

"Aku merasa terhormat dapat bermain bersamamu, Pak Marcel." Ia angkat bicara. Matanya tajam menyorotku. Mau apa kau gadis manis?

"Aku juga senang telah diiringi seperti ini. Jarang sekali aku main beramai-ramai."

"Bukankah Bapak ikut orkestra nasional?"

"Aku keluar tahun lalu."

"Mengapa?"

"Aku lebih suka sibuk mengajar."

"Hmm..."

"Kalu begitu," aku bangkit dan membawa celloku. "Kalian latihan sekarang. Ujianku sebentar lagi, bukan?" Aku meninggalkan mereka berdua di studio dan aku membawa celloku ke kamarku. Aku ingin main lagi.

Shostakovich sonata 40, 1st mvt., Bach suite no. 1, 2nd mvt., dan...Ave Maria.

Hahaha, aku tidak tahu aku dapat terpikat dengan lantunan ini. Isabel, apa yang membuatku tidak lupa denganmu? Apakah bibirmu? Sorotan matamu? Atau karena aku benar-benar mencintaimu pada pandangan pertama?

TOK! TOK! TOK!

Pintu kamarku diketuk. Aku segera menjawabnya dan sesuai dugaan, Celine masuk dengan penuh senyum. Gadis 18 tahun itu menatapku dengan penuh tanya.

"Pak Marcel, kau tampak sangat emosional memainkan Schubert Ave Maria. Apa kau akan memainkannya untuk wanita?" ia berjalan ke arahku dan berdiri di sampingku. Minyak wanginya pekat, namun, itu familiar. Kayu manis, aroma yang masih menusuk hidungku hingga sekarang.

Aromanya Isabel.

"Aku hanya menyukainya. Terdengar majestik. Aku hanya...tidak bisa menghilangkannya dari kepalaku."

"Itu karena kau mencintainya, Pak Marcel." Celine berbisik lembut dan tangannya menggenggam tangan kananku yang memegang bow. "Ave maria...gratia plena..." ia mulai bernyanyi dan menuntunku menggerakkan tangan. Suaranya sangat lembut, membuatku menutup mata.

"Ave...ave dominus...dominus tecum..."

Desah suaranya membuatku tidak bernapas.

"Et benedictus fructus ventris...ventris tuae, Jesus..."

Bukan dia yang menuntunku. Tanganku dengan otomatis bergerak.

"Ave maria...maaater dei...ora pro nobis peccatoribus...ora...ora pro nobis..."

Ah...tidak, emosi di dadaku hampir meledak.

"Marcel, lampiaskan emosimu padaku." Namun sial, ini salah. Bisikannya sangat lembut di telinga, membangkitkan gairahku yang sejak kemarin terpendam. Ini salah...ini sangat salah.

Namun, apadaya manusia lemah macam aku ini? Aku tetap tergoda dengannya. Dengan gadis 18 tahun yang kini membuka kakinya lebar-lebar di atas kasurku, menyibak bajunya dan meremas dadanya sendiri.

"Celine, tidak...kau muridku." Aku mencoba memperingatinya. Namun, ia malah menarik tanganku, mengajakku ke atas kasur.

"Tutup matamu dan bersantailah." Mengapa aku turuti dia? Mengapa suaranya mendoktrinku untuk tidur terlentang dan membiarkan dia menghadangku? Mengapa aku menutup mataku dan membiarkan hidungku menghirup aroma kayu manis dari tubuhnya? Aku sudah gila, Tuhan.

"Aku bukanlah Celine..." Ia menciumku. Bibirnya sangat lembut juga berisi. Bibirnya sangat hangat, mengulum bibirku. Bila aku menutup mataku, aku tidak bisa tahu siapa yang sedang menciumku.

Isabel.

Bukan, dia bukan Isabel. Namun, mengapa yang ada di pikiranku hanya senyumnya? Bagaimana raut wajahnya bila ia sedang menciumku?

KLIK!

Celanaku terbuka. Gadis itu memegang penisku dan memijatnya. Tidak, ini sangat salah. Ia masih 18 tahun. Ia tidak mungkin kugauli karena ia adalah muridku.

Namun, saat ia merangkak mundur dan mengecup ujung penisku, mataku terbuka perlahan. Kulirik wajahnya saat ia memasukkannya ke dalam mulutnya. Dahinya berkerut, matanya tajam menatapku, dan bibirnya...bibirnya menyapu batang penisku seakan ia tahu apa yang kumau. Apakah Isabel akan melakukan hal yang sama?

"Hmmh..." desahannya lirih, ia menikmati setiap centi penisku. Namun, apakah aku menikmatinya?

Jelas aku menikmatinya, bodoh.

"Kau bisa menghisapku lebih dalam." Aku mencengkeram kepala gadis itu dan mendorongnya. Bila aku menutup mata, aku tidak tahu siapa yang sedang menghisap penisku begitu dalam. Namun, realita menyadarkanku bahwa ia bukanlah Isabel yang kubayangkan. "Lebih dalam lagi."

"Hngh! Hmmh!" Hahaha, gadis itu mengerang. Mulutnya sangat hangat, terus menghisapku dengan kencang, sukses membuatku gila. "Mmmh!" gadis itu mencengkeram pahaku, ia mungkin kehabisan napas. Aku segera melepas cengkeraman tanganku dan membiarkan dia duduk dengan napas yang tersengal.

"Waduh..." Ia berkomentar. Ia membuka bajunya sendiri dan menggerai rambutnya. Napasnya masih memburu dan ia tidak bisa tenang. "Marcel, kau-"

"Pak Marcel." Aku mengkoreksi. Aku bangkit untuk duduk dan menatapnya penyuh senyum. Ia yang sedang bersimpuh di depanku menatapku kaget. Mengapa? Ia merasa takut karena telah membangunkan singa yang sedang tertidur?

"Pak Marcel err..."

Aku bergeser ke kiri dan menarik tangannya, membiarkannya tidur di sampingku. Ia ingin bangun, namun nahas, aku sudah memeluknya dari belakang. "Kau mau mencicipi gurumu sendiri, kan?" aku bertanya.

Sayang, aku tidak dapat melihat ekspresinya. Yang jelas, napasnya jadi cepat dan tubuhnya menegang. Ia panik, bukan?

"P-Pak Marcel!" ia mencoba menyerukan namaku. Namun, gonggongan gadis macam dia mana mungkin bisa membuatku goyah.

"Ssst.." Jelas, dengan membelai bibirnya saja sudah cukup membuatnya diam. Apalagi saat tanganku membelai kemaluannya, ia pasti menjerit dalam hati. "Bila kau menggodaku dengan berpura-pura menjadi wanita yang aku inginkan, jangan takut bila aku permainkan seperti ini, gadis amatir."

Melihatnya yang kaku membuatku menyeringai. Aku melepas celananya, menarik kakinya, dan menggesek penisku ke daerah kewanitaannya yang basah. Ternyata ia masih ingin disayang oleh gurunya.

"Yah, penisku jadi masuk..."

Wah, vagina seorang gadis ternyata sangat berbeda. Sempit dan kecil, pantas banyak sekali pedofilia di dunia ini. Sedikitnya pengalaman dalam bercinta juga elastisitas kulitnya yang masih bagus membuatnya sangat enak untuk dimasuki. Apakah aku termasuk pria yang beruntung dapat mencicipi lubang gadis 18 tahun ini?

Aku suka mendengarnya mengerang saat penisku mulai masuk lebih dalam. "Mengapa? Kau bisa merasakannya masuk?" aku bertanya dengan penuh senyum. Gadis malang itu menggeleng. "Lalu, bagaimana rasanya dimasuki pria dewasa, hm?"

"T-Tidak..." Jawaban klise gadis amatir yang sebenarnya dia suka namun ia tutupi.

"Hm...begitu." Aku mencoba menggerakkan penisku. Wah, reaksinya berubah seketika. Aku bisa dengar dia mencoba menyembunyikan desahannya, namun ia tidak kuat. Baru saja aku bergerak beberapa kali, ia mengapit kedua kakinya, tak lama setelah itu sekujur tubuhnya bergetar. Orgasme?

"P-Pak Marcel! Pak Mar-" Kasihan, ia sampai gagu menyebut nama gurunya. "S-Stop!" mengapa aku harus stop? Aku tidak mau, aku terus bergerak walaupun lubangnya semakin sempit atau apa.

Sial, lubangnya semakin sulit untuk dimasuki. Gadis ini mengapitnya terlalu keras, aku sampai tidak bisa bergerak. "Sudah..." sejak tadi dia masih memohon. Dasar gadis amatir, dia yang menggodaku duluan.

"Bukankah ini yang kau minta dari gurumu, hah?" aku bertanya dan membiarkannya menangis. Isak tangisnya pasti membuat orang berpikir aku memperkosanya. Namun, ya sudahlah. Aku juga sudah ingin selesai.

Aku menyeka spermaku yang aku keluarkan di luar vaginanya dengan tangan. Celine langsung tertidur pulas. Aku bangkit dan keluar kamar untuk ke kamar mandi. Namun sial, saat aku membuka pintu kamarku, Jaden berdiri menatapku ngeri.

"Apa?" aku bertanya padanya, menyadarkannya yang terpaku menatapku.

"A-Apa Celine d-di d-d-dalam?" ia berubah gagu.

"Ya. Biarkan ia tidur sebentar."

"O-Oh. Baiklah kalau begitu." Jaden berbalik arah dan berjalan dengan kepala menunduk. Ia biasanya keras kepala dan gampang marah, namun anehnya kini ia tampak diam dan canggung. Apa karena ia tahu kakaknya berhubungan seks dengan pengiringnya yang mungkin...ia sukai?

"Tenang saja dik, aku hanya memuaskannya. Gadis amatir macam dia tidak bisa dijadikan tandinganku!"

Benar, Celine masih amatir. Yang bisa memuaskanku hanyalah gadis yang lebih tua darinya. Seandainya Isabel ada di dalam pelukanku, aku pasti akan menjaganya dengan baik.