Btari merasa jika meja tempat keluarganya biasa makan bersama kini terasa tidak sehangat biasa. Meski udara perebutan perhatian antara ibunya dan ibu Mustika kental, namun mendung yang gadis itu bawa membuat suasana terasa duka.
Mustika bisa berkata dia menerima semua. Namu patah hati tak bisa dihindari, apalagi perasaan tak suka tak mudah disembunyikan apalagi saat bertemu si tersangka.
Btari bukannya tak menyadari, jika saudarinya selalu menatapnya dengan api yang berbeda, apalagi mata yang terlihat tersakiti dengan bengkak sisa menangis semalaman. Namun, Btari
bingung haruskah peduli atau bersikap seperti biasa?
Seingatnya kemarin, dia tidak menyingung salah satu dari dua saudarinya. Dia hanya pergi ke pelabuhan, lalu menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis puisi di dalam kamar seharian.
Sore hari pun ketika duduk di taman seperti biasa dia tidak bertemu dengan salah satu saudarinya. Jadi, Btari yakin ini pasti bukan salahnya.
Ketika Paduka Bhattra i berdeham, barulah Btari menyadari jika acara makan telah selesai, pun piringnya yang telah kosong.
"Bhre ingin menyampaikan pesan yang dibawa oleh utusan kerajaan kemarin," ujarnya dengan wajah berseri penuh kebahagiaan membuat alis Btari bertaut penuh tanya.
"Sri Maharaja Kertanegara, ingin meminang Btari untuk dijadikan salah satu istri sahnya." Suaranya tenang, namun penuh dengan keantusiasan. Matanya tertuju pada putri bungsunya yang tengah menunduk dengan kedua tangan terkepal di bawah meja, tanpa ada yang menyadarinya.
Btari mengangkat wajahnya saat hening terasa begitu menjerat, membuatnya sesak. "Mengapa Btari, Bhre? Usia saya masih 13 tahun, butuh waktu dua tahun lagi untuk memasuki usia pernikahan." Suaranya terdengar pilu.
Andaru tersenyum penuh wibawa. "Btari, Sri Maharaja hanya melamarmu. Hadiah lamaran akan dikirim bulan depan. Tentu raja akan menunggu sampai usiamu siap untuk dapat diboyong ke istana."
Btari hanya mengangguk, berusaha mengulas senyum, menampilkan wajah bahagia walau hati gusar tiada terkira.
***
"Mbakyu lihat sendiri, kan? Btari dilamar oleh Sri Maharaja. Sedangkan kita seperti tak diinginkan."
Sekar menarik Mustika ke dalam kamarnya setelah jamuan—hanya untuk menyampaikan kemarahan. Kedua tangannya berada dipingang dengan dada naik turun. "Kita tidak bisa hanya diam saja dan terus berada diposisi ini," ujarnya dengan mata tertuju ke depan cermin yang berada di kamarnya.
"Saya bahkan memiliki wajah yang rupawan, namun mengapa hanya karena Btari, saya seolah si buruk rupa? Saya bahkan lebih bisa diandalkan oleh Bhre, tidak seperti si ceroboh Btari. Mengapa Bhre hanya melihat Btari?"
Tangannya terulur kecermin perunggu, menyentuh bayangan wajahnya yang berada di sana. "Saya juga ingin memiliki semua keberuntungan, mengapa hanya Btari?"
Memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang tak ada habisnya itu hanya membuatnya semakin iri. "Saya harus bersabar, tidak bisa seperti ini. Setiap orang memiliki kejayaannya masing-masing dan itu tak akan lama."
Sekar berbalik lalu berjalan perlahan menuju Mustika yang hanya duduk tak bergeming di atas tempat tidurnya. Kepalanya menunduk menatap jemarinya yang saling bertaut.
"Mbakyu, jangan pikirkan pria brengsek itu lagi." Mustika mengangkat wajahnya memandang adiknya yang berdiri dihadapannya.
"Apa saya benar-benar tidak menarik, Diajeng?" Suaranya terdengar membosankan, tapi siapapun tahu nada itu penuh kesakitan ketika menatap matanya yang berkaca.
"Tidak, Mbakyu. Kamu benar-benar saudari saya yang sangat menarik dan pantas bersama pria yang baik hati. Hanya saja Andaka tidak dapat melihatnya."
***
Btari bejalan dengan cepat menghampiri ibunya yang tengah duduk digazebo taman. Memberi hormat dengan mengatupkan tangan dan menundukan kepala.
"Duduklah Btari! Ah, mengapa kamu menghampiri Mbyiung?"
Gadis itu duduk seperti yang diperintahkan oleh ibunya. Seorang pelayang langsung menuangkan teh untuknya.
"Mbiyung, saya ingin membicarakan tentang lamaran Sri Maharaja," ujarnya dengan suara pelan penuh keraguan.
"Mengapa demikan? Apakah ada yang salah dengan itu?" Ibunya bertanya dengan nada yang terdengar menantang sebelum meneguk teh yang baru saya dituangkan pelayan.
Tentu saja salah, kata itu hanya dalam Btari jeritkan dalam hatinya. "Mbiyung, Btari masih belum cukup usia untuk menikah."
Ibunya yang tengah mengambil satu kue beras hanya mengangkat alis tanpa berniat menimpali membuat Btari semakin gelisah.
"Meski Sri Maharaja berkata akan membawa Btari saat berusia pantas, namun bukankah usia Sri Maharaja ..." Btari meremat tangannya dengan kuat, kalimatnya terpotong oleh suara cangkir yang diletakan lumayan keras.
"Tidak pantas bagimu untuk berbicara seperti itu, Btari," ujarnya dengan tajam dan wajah penuh dengan peringatan.
"Seorang raja sudah seperti dewa kehadirannya di dunia. Kita semua yang hidup di bawah kekuasaan Tumapel adalah milik Sri Maharaja. Jika raja menginginkan dan meminta bahkan jika itu nyawa, kita harus memberikannya Btari."
Ibunya menghela napas dengan mata yang menatap anaknya dengan lembut. "Tidak ada yang bisa menolak titah sang raja. Orang seperti kita tidak memiliki kriteria untuk menolak."
Seharusnya Btari tahu berbicara dengan ibunya tidak akan membuat resahnya hilang.
"Saya mengerti," jawabnya dengan pelan. Tangannya mengambil cangkir teh, menenggaknya dengan penuh kesakitan.
"Teh ini bahkan terasa pahit dan membuat kesakitan. Dewa, apa saya akan berakhir bersama seseorang yang lebih pantas saya panggil ayah dibanding suami?"
"Dengar Btari. Kamu harusnya bersyukur karena raja mau menjadikanmu istri sahnya. Hidup
kamu pasti akan terjamin dan bahagia sehingga Mbiyung dan Bhre tidak perlu khawatir. Selain itu, dukungan Sri Maharaja akan membuat posisi sebagai Bhre semakin kuat."
Btari tertawa dalam hati. "Apa tolak ukur kebahagiaan hanya dari segi materi semata? Lalu bagaimana dengan berbagi suami, saya rasa tidak akan bisa. Apa yang saya miliki tidak akan saya bagi dengan yang lainnya."
Btari tidak bodoh untuk menyuarakan pertanyaan tersebut. Ia lebih memilih untuk mengalihkan pembicaraan.
***
Malamnya Btari hanya dapat duduk di jendela menatap langit bertabur bintang. "Kalian sangat cantik, sayang terlalu banyak dan saya tidak menyukainya."
"Pasti sangat menyakitkan untuk menjadi sinar paling terang demi merebut perhatiannya. Saya tidak menginginkan itu."
Tangannya terulur, menunjukan pada bulan. "Saya ingin sepertimu, satu dan berbeda dari lainnya. Pasti sangat menyenangkan untuk menjadi satu-satunya cinta di antara jutaan bintang. Tidak perlu takut berbagi dan harus menjadi paling terang."
"Sungguh bukan harta yang saya inginkan, melainkan cinta seperti yang para pujangga gaungkan. Apakah itu nyata ataukah angan semata?"
Btari menyatukan kedua tangannya, mengataup di bawah dagu. Matanya tertutup dengan kepala sedikit menunduk.
"Kepada Dewata yang mengatur kehidupan. Saya mohon biarkan saya hidup dengan seseorang yang saya sukai. Entah bagaimana keadaannya asal ada saya dan dirinya itu terdengar lebih baik, daripada harta dan kedudukan yang mereka tawarkan."
Senyumnya tercipta ketika dia menatap langit sebelum menutup jendela dan berbaring dengan nyaman ditempat tidur.
Btari mana tahu doanya bisa saja membuatnya berada dalam kesulitan yang tak pernah dialaminya.
***
[18 Agustus 2021]
this is biru
Biru