Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Pesan untuk Bulan

🇮🇩Behindthemoon
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4.9k
Views
Synopsis
Bencana yang menerpa Negara Adison menyebabkan timbulnya krisis ekonomi dan bangunan hancur di setiap sudut kota. Yuna, Ardi, dan Stella, tiga remaja dengan latar belakang yang berbeda-beda, dihadapkan dengan krisis tersebut di penghujung masa remaja mereka. Cerita tentang perjalanan menjadi dewasa. Proses penuh lika-liku dan pembelajaran dalam setiap masalah. Tentang pertemuan dan perpisahan. Belajar, tumbuh, jatuh, bangkit, dan berjuang. Kisah para remaja yang pantang menyerah, berusaha mengubah dan membangun dunia yang lebih layak dihuni manusia. Salam kenal pembaca, selamat ikut berpetualang dalam cerita. - behindthemoon Cover by : dabdodraw 【Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.】
VIEW MORE

Chapter 1 - Hari Terakhir Ujian

"Selamat ulang tahun yang ke-15 Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) kebanggaan kami semua, masyarakat Adison." Kalimat itu tertera dengan jelas di atas baliho hologram yang terpampang di tembok gedung pencakar langit.

Aku hanya melihatnya sekilas karena kereta yang ku tumpangi melayang dengan cepat. Sekarang adalah pukul 7 pagi di mana semua orang sedang sibuk berangkat menuju sekolah atau kantor. Seperti biasa, jam sibuk memaksaku untuk berdiri sambil menggenggam gantungan tangan kereta dengan satu tangan. Orang-orang di sekelilingku sibuk dengan gadget transparannya masing-masing. Beberapa penumpang membaca berita terkini, sedangkan beberapa lainnya mendengarkan lagu, menonton video di Yotub atau sekadar bermain social media.

"Huh, sore ini katanya akan hujan, aku lupa membawa payung lagi," sebut salah satu wanita muda yang duduk sambil melihat ramalan cuaca hari ini.

"Sudah ku ingatkan tadi, kau harusnya memakai pakaian yang baru ku belikan. Pakaian itu ada mode hujannya tahu," sahut pemuda di sebelahnya.

"Tak apalah, nanti tinggal beli saja di Adimart," jawab sang wanita.

Padahal langit pagi ini terlihat sangat cerah."Yah, aku juga tidak membawa payung lagi. Semoga ramalan cuaca itu salah," pikirku dalam hati.

Dikarenakan pemanasan global yang terjadi 50 tahun terakhir, pergantian musim menjadi tak menentu setiap tahunnya. Memasuki bulan ke-8, musim hujan tahun ini akhirnya datang. Musim kesukaanku karena hujan membawa kedamaian. Hari ini Jumat, 1 Agustus tahun 2058, besok usiaku resmi 17 tahun.

"Pengumuman-pengumuman, kereta akan segera sampai di Stasiun 3 Terbang Tinggi. Penumpang dipersilahkan untuk menggunakan pintu di bagian kanan kereta. Berhati-hatilah dalam perjalanan dan semoga hari anda menyenangkan," terdengar suara ramah pegawai dari pengeras suara kereta.

Aku langsung mengencangkan tali tas punggungku dan bersiap-siap turun. Terlihat keramaian yang didominasi oleh pelajar dan guru di stasiun Terbang Tinggi. Papan iklan di seluruh stasiun, semua menunjukkan kontribusinya dalam memberikan ucapan selamat terhadap lima belas tahunnya PLTT provinsi Bubel. Topik hangat minggu ini yang mungkin nantinya akan berubah 180 derajat menjadi kabar yang tidak pernah kita bayangkan.

Aku terus berjalan sambil menyusuri keramaian di stasiun tersebut. Jarak sekolahku dengan Stasiun 3 tidaklah jauh. Cukup 9 menit berjalan kaki untuk sampai di sana. Tak lagi memperhatikan iklan di tembok stasiun, tak terasa jarakku dengan sekolah sudah dekat.

Minggu ini adalah pekan ujian untuk murid tahun terakhir sekolah menengah atas. Banyak murid yang sibuk berjalan sambil melihat layar tablet mereka yang berisikan materi ujian. Beberapa menaiki papan terbang atau motor terbang listrik untuk mempercepat perjalanan mereka sampai kelas. Hanya anak-anak dari kalangan atas yang memilikinya. Aku memutuskan untuk berjalan santai menikmati hangatnya mentari pagi, sambil mendengarkan rekaman ringkasan materi ujian yang sudah kubuat dari jauh-jauh hari.

Memasuki gerbang sekolah, "Selamat pagi pak Sohid!" sapaku pada pak satpam sekolah kami sambil menundukkan kepala sedikit.

"Pagi Yun!" balas pak Sohid sambil tersenyum ramah. Aku lanjut berjalan menuju kelas.

Hari ini hari terakhir ujian, "Semangat Yuna!" seruku dalam hati sambil mengepalkan telapak tangan.

"Yunaaa, tunggu aku," teriakan dengan suara khas itu terdengar dari belakangku. Aku refleks menengok sambil melepaskan penyuara di telinga.

"Hai Stella"

"Hai Yun," balasnya sambil tersengal-sengal setelah lari mengejarku.

"Yun, ajari aku tentang materi ulangan yang pertama dong. Aku sudah belajar, tapi kalau dengerin kamu ceramah materi, ingatanku bisa jadi lebih kuat lagi," jelasnya sambil tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar.

"Ayo, aku jelasin sambil kita jalan ke kelas ya."

"Yeay!" balas Stella dengan ceria. Kami terus berlajan menaiki anak tangga menuju kelas kami yang berada di lantai 3.

Sesampainya di kelas, "Pagi Yun," sapa Gilang, temanku dari kecil.

"Pagi," balasku singkat. Kelas masih terlihat lenggang, banyak murid yang belum datang.

"Hai Yun," sapa Linda dengan suara imutnya.

"Hai Linda, hai Tobby," sahutku sambil berjalan menuju tempat duduk.

Saat aku sedang menaruh tas di atas kursi, terlihat ia yang seperti biasa sedang tidur di pojokan. Posisi mejanya berada di belakangku, dengan selisih satu meja lain. Sangat menonjol karena siswa yang lain sedang sibuk belajar sedangkan anak laki-laki itu sibuk tidur.

Aku tersenyum melihatnya. "Bisa-bisanya saat hari terakhir ujian, ia masih sempat tidur di kelas. Dasar si peringkat satu," seruku dalam hati.

"Pagi Di, " Aku memutuskan untuk menyapanya.

"Hai Na, " Jawabnya sambil melambaikan satu tangan dan tersenyum tipis. Ia kemudian lanjut tidur dengan kepala beralaskan tangan di atas meja. Ardi, satu-satunya orang yang memanggilku dengan sebutan "Na". Setiap pagi ia selalu saja mengantuk. Sebab, kelelahan bekerja di café dekat sekolah kami sampai larut malam.

Ujian pertama dan kedua berlangsung dengan lancar. Tinggal satu mata pelajaran lagi dan ulangan kami akan selesai. Minggu-minggu liburan sudah menunggu di depan mata. Tak terasa kami akan segera disibukkan dengan urusan perkuliahan.

Setelah beristirahat selama satu jam, ujian terakhir akhirnya dimulai. Ulangan paling sulit bagiku karena pelajaran ini membutuhkan konsentrasi tinggi.

"Fisika. Semoga usahaku belajar selama ini tak sia-sia." Ucapku dalam hati sambil menghela napas.

Semua murid sibuk menatap dan mencoret-coret soal di tablet transparan. Senja mulai terlihat di luar sana. Langit oranye dipadukan dengan awan-awan seperti membentuk sebuah lukisan. Indah sekali pemandangan kota kami hari ini. Gedung-gedung pencakar langit dan bangunan perkantoran terlihat berkilauan memantulkan cahaya senja. Kendaraan-kendaraan sibuk beterbangan menuju tujuannya masing-masing. Aku segera fokus kembali ke soal setelah menatap sekitar. Tinggal 3 nomor tersisa.

Soal di tablet transparanku tiba-tiba terlihat bergetar, gempa. Kuperhatikan meja seluruh murid bergetar selama kurang lebih 10 detik. Guru pengawas langsung berkata, "Hanya gempa kecil anak-anak. Tetap fokus kerjakan soal." Aku pun kembali mengerjakan soal.

Negara kami memang wilayah rawan gempa. Dalam seminggu, setidaknya ada satu kali gempa. Jadi, kami semua sudah terbiasa menghadapinya. Bangunan di seluruh kota juga di bangun dengan kemampuan menghadapi gempa sebesar 8-9 M (Magnitudo). Satu menit kemudian, gempa terjadi lagi. Lebih besar dari sebelumnya, terdengar suara barang-barang bergoyang.

"Tak apa Nak, tetap fokus mengerjakan soal. Waktu kalian tersisa 20 menit lagi," kata pak guru di depan kelas. Semua murid pun tetap tenang dan lanjut menyelesaikan ujian.

Dua menit kemudian, kelas kami kembali bergetar. Gempa ketiga kalinya. Kali ini guncangannya terasa lebih besar. Tubuh seperti tiba-tiba dijatuhkan ke bawah kemudian bergoyang ke kanan dan kiri. Gempa kali ini kira-kira bermagnitudo 5. Perasaanku tidak enak, gempa berkali-kali dan kekuatannya semakin besar. Walaupun bangunan sekolah kami sangat kokoh dan dapat menghadapi gempa bermagnitudo 8-9, tetap saja ini menyeramkan.

Suasana di kelas kembali hening setelah guncangan terakhir. "Nak, jika nanti datang gempa yang lebih besar lagi, segera bersembunyi di bawah meja dan ikuti arahan evakuasi. Untuk sekarang, selesaikan ujian kalian terlebih dahulu." Pak Arief berkata sambil berjalan menekan tombol pintu otomatis agar terbuka dan dapat dikendalikan secara manual.

Lima menit kemudian, kelas kami tiba-tiba bergoyang lagi. Beberapa lukisan dan pajangan jatuh dan pecah. "Prang!" Suaranya mengagetkan satu kelas. Jantungku berdebar dengan lebih kencang. Tablet transparan kami semua bergetar mengeluarkan bunyi peringatan bahwa gempa sedang melanda kota. Beberapa murid terlihat menjerit karena terkejut dengan kuatnya guncangan kali ini. Beberapa bahkan panik dan berusaha melarikan diri. Tapi menyeimbangkan tubuh saya tidak mudah, apalagi berlari keluar kelas. Mustahil.

"Segera bersembunyi di bawah meja anak-anak! Jangan panik!" Gempa kali ini berlangsung dengan cukup lama. Kami semua bersembunyi di bawah meja. Wajah-wajah panik dan ketakutan tak dapat disembunyikan.

"Pengumuman-pengumuman, gempa besar sedang terjadi. Seluruh murid diharapkan jangan panik. Segera setelah gempa mereda, guru di setiap kelas akan mengarahkan murid-murid menuju lapangan utama dengan jalur evakuasi. Setiap guru pastikan tidak ada anak yang tertinggal. Sekali lagi, ikuti arahan dan jangan panik." Pengumuman dari pengeras suara memenuhi ruangan. Kepanikan di setiap sudut sekolah yang terdengar mengerikan, kini cukup mereda.

Kami semua masih berpengangan dengan kaki meja sambil menunggu gempa mereda. Setelah enam menit, guncangan mulai terasa samar. "Ayo anak-anak segera keluar dari kelas, ikuti jalur evakuasi menuju lapangan utama," seru Pak Arief sambil menunggu di pintu depan kelas kami.

Seluruh murid di kelas mulai keluar dari bawah meja dan mengikuti arahan dari Pak Arief. Mereka semua berlarian saling mendorong untuk segera menyelamatkan diri.

"Jangan saling dorong anak-anak! Jangan panik!" seru Pak Arief sekali lagi mengingatkan.

Saat kami semua melarikan diri, ketika tersisa tiga langkah lagi sebelum aku keluar dari kelas, lantai yang ku pijak tiba-tiba kembali berguncang dengan kekuatan yang cukup besar. Guncangan yang sangat mendadak menyebabkan aku kehilangan keseimbangan dan jatuh duduk di lantai.

"Na kamu gapapa? Ayo cepat berdiri." Ardi dengan cepat menghampiriku dari belakang.

"Iya gapapa Di," sahutku sambil kembali berdiri dibantu Ardi. Tumpuan kami masih terasa bergoyang. Alam seperti sedang marah. Kekuatan gempa barusan lebih besar tapi terjadi dengan cukup singkat.

Kami segera keluar kelas dan mengikuti arahan evakuasi. Tepat sebelum meninggalkan kelas, aku melihat sesuatu melalui jendela. Stella! Dia masih menyembunyikan diri di bawah meja.

Aku segera berjalan melawan arah, kembali ke kelas ingin membantu Stella.

"Yuna, kamu mau ngapain? Kita harus segera ke lapangan utama!" Ardi bertanya sambil menarik tanganku. Ia mencegahku agar tidak kembali ke kelas.

"Stella Di.. dia masih ada di bawah meja. Di pojok sana, dia butuh pertolongan," suaraku tiba-tiba bergetar tanpa kusadari.

"Kamu tetap berjalan ke lapangan, biar aku yang bantu dia." Tegas Ardi sambil memegang kedua bahuku agar aku tetap tenang.

"Tapi Di... aku harus bantu dia... "

"Yuna, lihat aku. Tenang. Semua akan baik-baik saja. Aku akan bantu dia keluar. Kamu jalan duluan, nanti kita menyusul. Gaada tapi-tapi. Udah, jalan sana, hati-hati." Ardi langsung lari kembali menuju ke dalam kelas.

Aku segera menyatukan diri kembali. Meyakini semua akan baik-baik saja sambil berjalan cepat di tengah kerumunan menuju lapangan utama. Kulihat beberapa retakan di tembok, barang-barang jatuh berserakan, serta beberapa keramik menjadi retak. Aku berjalan sambil berdoa, "Tuhan tolong, jangan sampai ada gempa susulan lagi."

Tapi nyatanya, selalu ada hal-hal yang tidak dapat dikendalikan dan berada di luar kehendak manusia. Termasuk kehendak alam.

***

Suara deburan ombak dan lembayung senja menyatu dalam keramaian di acara ulang tahun hari ini. Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) yang merupakan salah satu aset paling berharga Negara Adison telah memasuki umur ke-15 tahun. PLTT pertama yang sukses didirikan itu telah memasok kebutuhan listrik sampai 55% di wilayah negara maju ini.

"Selamat Ulang Tahun Kebanggaan Negara Adison, Pembangkit listrik Tenaga Thorium yang ke-15." Kalimat itu terpampang dengan sangat jelas di atas spanduk elektronik yang berada di gerbang pintu masuk wilayah PLTT tersebut.

"Pak Gubernur datang!" seru salah satu wartawan yang sudah bersiaga di gerbang pintu masuk.

Mobil yang melayang 3 meter di atas tanah itu perlahan turun. Gubernur Bubel turun dengan sambutan puluhan kamera dan wartawan. "Wah Pak Gubernur, selamat ya pak, keberadaan PLTT di wilayah Bubel ini telah membantu warga setempat dan telah meningkatkan laju ekonomi kami semua selama 15 tahun terakhir." sebut salah satu kepala desa yang hadir menyambut pak gubernur di acara tersebut.

"Saya hanya bertugas menjaganya agar bisa terus memberikan manfaat maksimal kepada warga Negara ini. PLTT Bubel ini juga sudah ada sebelum saya menjabat sebagai gubernur, saya bersyukur bisa melaksanakan amanat masyarakat dan presiden untuk menjaga kondisinya sampai sekarang." jelas Gubernur Bubel dengan logat khas Bubel sambil tersenyum ramah.

Ia berjalan dengan wartawan yang mengelilinginya sambil memasuki area aula terbuka tepat di samping prasasti peresmian PLTT. Dengan atap transparan yang berbentuk kubah, terlihat panggung besar dan ratusan tempat duduk terlindungi di dalamnya.

Beberapa pekerja dengan jabatan tinggi juga hadir di dalam aula menemani kehadiran gubernur Bubel. Basa-basi terdengar terus dilontarkan sebelum acara dimulai.

Acara dimulai dengan sambutan pembawa acara kemudian diikuti dengan sambutan oleh Gubernur Bubel dan Direktur Pembangkit Listrik Tenaga Thorium. Penampilan khas daerah Bubel ikut meramaikan acara pada sore hari itu. Di tengah penampilan yang berlangsung, bumi tiba-tiba bergetar. Air di atas meja ikut bergoyang menunjukkan gempa ringan telah datang.

Guncangan gempa pertama dengan mudah dihiraukan. Beberapa tamu yang menyadari gempa tersebut mengatakan, "Owh, barusan gempa ya." Begitupun gempa yang kedua. Peringatan awal itu diacuhkan begitu saja.

Rombongan penari yang sedang tampil di atas panggung melayang tidak merasakan guncangan apapun. Sebab panggung tidak berada tepat di atas tanah, melainkan melayang 2 meter di atas tanah. Guncangan ketiga tiba-tiba kembali datang. Para tamu mulai saling menatap satu sama lain.

Gempa bermagnitudo 5 itu hanya membuat mereka saling menatap selama beberapa detik lalu kembali bercakap-cakap dengan tamu lainnya. "Hanya gempa kecil, tidak berbahaya," seru salah satu tamu sambil bercanda ria. Tamu lain yang sedang menyantap hidangan lezat juga menghiraukan gempa yang terjadi barusan. Penampilan di atas panggung pun terus berjalan seakan-akan tidak ada gempa yang melanda di tempat mereka.

"Oh iya barusan ada gempa sebesar 5 M, tapi tak masalah. PLTT Bubel dapat bertahan melewati gempa sebesar 8-9 Magnitudo. Jadi kita aman-aman saja ya. Tidak perlu khawatir," jelas gubernur provinsi Bubel saat diwawancarai oleh salah satu media massa.

"Bagaimana tanggapan bapak tentang penolakan yang dilakukan oleh beberapa masyarakat setempat?" Tanya seorang wartawan Kompus.

"Ya, kita lihat saja dari hasilnya. Sudah lima belas tahun berdiri, PLTT ini masih aman-aman saja kan. Malah membawa berkah untuk kita semua." Pak gubernur menjawab dengan gayanya yang khas.

"Saya ingin berterima kasih kepada masyarakat yang...," belum selesai pak gubernur melakukan wawancara, tiba-tiba gempa kembali melanda.

Guncangan besar yang sangat tiba-tiba itu cukup membuat penonton dan tamu yang hadir panik berlarian. Para penari melarikan diri dari panggung, smartphone setiap orang bergetar dan berbunyi menambah kepanikan para tamu. Terlihat jelas dari layar kamera, situasi menjadi tak terkendali. Pak gubernur menghilang dari layar kamera yang kemudian diambil alih oleh pembawa berita. Situasi berubah 180 derajat.

"Pemirsa, gempa tiba-tiba melanda di tengah keramaian perayaan ulang tahun ke-15 PLTT Bubel. Saya..," pembawa berita yang sedang melaporkan secara langsung itu tiba-tiba kehilangan keseimbangan.

"Pehatian, para tamu diharapkan jangan panik. Jauhi barang pecah belah dan tetap berada di tempat selama gempa berlangsung," seru salah satu pegawai PLTT yang mengambil alih mikrofon pembawa acara.

Para tamu mulai tenang, sebagian besar berhasil bersembunyi di bawah meja penyajian makanan. Sebagian lainnya hanya duduk mematung di lantai. Kondisi mulai terkendali. Namun, gempa masih belum terlihat ujungnya. Setelah kurang lebih enam menit lamanya, guncangan mulai terasa samar. Para tamu dan penonton mulai mengikuti arahan evakuasi keluar dari aula berkubah transparan itu.

Pegawai PLTT yang mengarahkan tamu di panggung tadi, datang menghampiri direktur PLTT Bubel. "Pak, barusan adalah gempa besar yang kira-kira berkekuatan 8 M. Saya khawatir akan ada gempa susulan yang semakin besar, sebaiknya acara ini segera diakhiri sebelum situasi menjadi semakin gawat." jelas pegawai PLTT dengan cepat menganalisa situasi.

"Acaranya baru saja dimulai, lagipula bukankah PLTT ini bisa bertahan me...," belum selesai pak direktur menjawab, terjadi lagi gempa yang lebih dasyat dari sebelumnya. Situasi kembali menjadi ricuh.