membuat keduanya terkulai lemas, 2 round cukup, andai saja Reino tak mabuk mungkin ia sanggup menambah beberapa round lagi.
"Huhh…." Suara lemas tapi penuh nikmat itu keluar dari bibir Zava, ia mendekat pada tubuh lemas Reino tidur di atas dada bidang Reino.
Zava menatap wajah Reino yang tampak penuh dengan peluh, "Mas kau puas?" tanya Zava dengan membelai lembut pipi Reino.
Reino mengangguk, menoleh dan mencium lembut bibir Zava kesekian kalinya, pengaruh alkohol itu tampaknya sudah berkurang, membuat pandangan Reino jelas. Ia sedikit memperhatikan garisan wajah wanita didekapnya, menyingkapkan anak rambut yang menutupi wajah wanita itu, "huh…." Mata Reino sedikit tak percaya.
Mengetahui itu Zava, Reino sedikit kaget, tapi kenikmatan itu benar-benar membuatnya puas. Sehingga Reino mencengkram dagu Zava dengan kasar, "Jaga rahasia ini, ini hanya antara kita berdua," ancam Reino dengan diakhiri melumat habis bibir sensual Zava.
Zava tampak setuju dengan ikut bergairah, menggigit balik bibir Reino. Walau hanya sebagai Rahasia tapi ini sudah cukup menyenangkan hatinya yang sepi.
Membuat senyum sumringah itu merekah kembali di wajah Zava yang kemarin layu, wajah yang benar-benar membutuhkan kehangatan.
Dan itu didapatkan dari sang adik iparnya.
__________
Esok hari, 25 Juni
"Cepat buka!" Seorang wanita paruh baya berteriak, suaranya cukup keras, terdengar kasar.
Dia adalah Nyonya Ros, dan yang di sebelahnya adalah Zava.
Mendengar teriakan Nyonya Ros tangan Zava gemetar sehingga anak kunci di tangannya beberapa kali gagal memutar.
Melihat kegagalan Zava, wajah Ros merah, dia tampak marah.
Akhirnya Zava berhasil membuka pintu besar yang menghasilkan suara drik yang ngilu di dengar.
Ini adalah rumah tua yang sudah 10 tahun ditinggalkan.
Rumah tua yang mewah, berada di pinggiran kota dan dibiarkan usang tanpa penghuni.
Ros menarik nafas berat, dia menelisik ke dalam ruangan, ingatannya masih saja pekat dan jelas dengan mendiang putra tercintanya, Alzafa.
Tepat pada hari ini, di tanggal yang sama dan hari yang sama, di hari Rabu 10 tahun yang lalu, putranya pergi untuk selama lamanya, meninggalkan dia sama seperti mendiang suaminya, kecelakaan pesawat terbang merebut nyawa putra tercinta.
Perjalanan bisnis ke luar negeri menuntunnya pada maut, yah… pesawat yang ditumpanginya jatuh menabrak gunung es, bahkan sampai saat ini tak satupun korban ditemukan.
Bagi Zava dia sudah dewasa usianya 28 tahun, mengabdikan hidup sepenuhnya untuk melayani mertua bukanlah perkara mudah.
Dia sudah mencoba, berkali kali untuk berkomunikasi kepada nyonya Ros, mengenai keinginannya untuk menikah, tentu saja nyonya Ros terang terangan menolak dengan tegas. Karena tradisi keluarganya adalah menjunjung tinggi kesetiaan.
Sepuluh tahun bukanlah waktu sebentar, Zava sudah cukup bersabar, dia melayani mertuanya sepenuh hati sedangkan suaminya tak akan pernah kembali, yah… 10 tahun menanti dan masih sama seperti ini.
Tetesan air mata masih setia di pipi nyonya Ros setiap kali menginjakkan kaki di rumah ini, rumah mewah yang dibiarkan kosong, rumah peninggalan mendiang Alzafa.
Setahun sekali nyonya Ros mengajak Zava rutin berkunjung dan membersihkan rumah, tepat di hari kecelakaan yang menimpa Alfaza putranya.
Zara menyiapkan sapu tangan berwarna biru muda untuk mertuanya. Nyonya Ros memang mertuanya tapi Zava masih memanggilnya dengan kata 'nyonya'.
Mengabdi sebagai seorang pembantu di rumah mewah keluarga Rosimah, ternyata membawa takdir baik bagi Zava, dia cukup beruntung, Alzafa putra tunggal keluarga Rosimah jatuh hati kepadanya, melamarnya, meskipun tanpa restu nyonya rumah.
Zava sangat bahagia, Alzafa tulus mencintainya, tapi…. Sayang.. takdir memisahkan mereka terlalu cepat.
Yah.. wanita tua itu sangat Tak suka menunggu, walau hanya semenit pun. Jika dia berkata 'cepat maka Zava harus mempercepat gerakannya secepat kilat.
Memapah tubuh yang sudah rentan, mempersilahkan wanita paruh baya itu duduk di sofa empuk kesayangannya.
"Silakan mah, Maafkan Zava," ucap Zava dengan suara lembut.
Percuma gadis itu minta maaf kepada Nyonya Ros, karena kebencian yang Nyonya Ros miliki sudah mendarah daging untuk Zava, sebaik apapun menantunya bersikap kebencian itu terus membumbung di otaknya.
Zava tahu kebiasaannya Ros bahkan dia sangat hafal, dengan gerak cepat Zava segera mengambil segelas teh hangat menyediakannya untuk sang mamah.
Tak bisa dipungkiri teh melati buatan Zava begitu nikmat, untuk diseduh oleh Nyonya Ros. Tapi seenak apapun teh buatan Zava itu, tak sekalipun ia wanita paruh baya itu memujinya di depan menantunya itu.
Walau bagaimanapun wanita paruh baya itu bersikap, Zava tetap berusaha sabar menghadapi Nyonya Ros, Ia bahkan selalu setia memijat tubuh rentan mertuanya.
Dengan memijat halus Zava rela duduk di lantai, berlutut di hadapan Nyonya Ros, jarinya yang lentik dengan lincah menyentuh halus tubuh yang mulai mengeriput, ia dengan sepenuh hati rela memanjakan tubuh wanita paruh baya itu.
"Mamah… mamah… harus jaga kesehatan, Zava tak ingin mama kenapa-napa," ujar Zava dengan perhatian, ia berani berucap demikian, demi kebaikan wanita paruh baya yang ada di hadapannya.
Tapi tak begitu respon si wanita paruh baya itu, ia melirik Zava dengan tatapan tajam. Memperhatikan menantunya yang menyebalkan itu.
"Tak usah berpura-pura baik padaku, kau tentu menginginkan aku segera matikan, agar kau bisa mendapatkan harta warisan yang seharusnya menjadi milik Alzafa, putraku." Lagi-lagi mata itu berbinar-binar, wanita itu menahan tangis di ujung pelupuk matanya.
Zara hanya mampu menggelengkan kepalanya pelan, karena sekuat apapun usaha Zava berlaku baik dihadapan wanita paruh baya itu, maka ia akan semakin dikecam oleh mertuanya itu.
"Maafkan Zava mah.. jika ucapanku salah, tapi yang kuucapkan benar, Mama harus menjaga kesehatan apalagi usia Mama semakin rentan sakit," ucap Zava dengan penuh kehati-hatian. Ia bahkan berbicara dengan tanpa menatap mata wanita paruh baya itu, Tentu saja itu Karena ia merasa takut.
Bukannya semakin melunak, tapi Nyonya Ros semakin muak dengan kata-kata Zava. Baginya Zava hanyalah wanita 'sial' yang tak berarti termasuk ucapannya.
"Percuma Kau berpura-pura baik terus padaku, karena sejatinya aku masih memiliki pewaris tunggal.. kau tahu kan siapa itu? jadi jangan berharap banyak dengan jatah warisan milikmu dari almarhum alzafa putraku." suara Nyonya Ros terdengar sangat tegas, disertai tatapan penuh benci yang diarahkannya untuk Zava.
Tentu yang dimaksud oleh Nyonya Ros adalah Sunny putrinya, Putri tunggal keturunan sah Nyonya Ros. Tapi walau bagaimanapun secara hukum negara berhak atas warisan alzafa apalagi mendiang suaminya itu meninggalkan harta yang begitu banyak.
Tapi Zava tak sebodoh itu, ia mengangguk dengan lemah di hadapan Nyonya Ros, salah iya tak sama sekali mengharapkan warisan dari mendiang suaminya.
"Iya mah, Zava sadar Zava bukan siapa-siapa," sahut Zava dengan suara lirih penuh dengan kerendahan hati.
"Huhh … Bagus" senyum setengah bibir itu menyeringai di wajah tua milik Nyonya Ros, ia puas menatap wajah menantunya yang penuh lara.