Ketika Edmundo mulai memikirkan bagaimana hubungan Teokrasi dan Kekaisaran Magna saat ini, ia tanpa sadar semakin dekat dengan gerbang depan benteng.
"Jhosua"
"Tuan?"
"Setelah masuk gerbang segera minta prajurit untuk beristirahat dan minta komandan pasukan kita dan pasukan kerajaan untuk bersiap melakukan pertemuan nanti malam"
"Baik"
Segera setelah memasuki gerbang, pintu gerbang yang sebelumnya masih terbuka mulai ditutup dan di kunci. Hal ini berarti mereka tak menerima pengungsi lagi dan bersiap untuk pengepungan. Segera setetelah itu Baron dan Jhosua turun dari kuda.Saat Jhosua hendak menjalankan tugasnya, tiba-tiba Baron menepuk punggungnya.
"Oh iya kak, mungkin sebaiknya kau bertemu dengan adikmu dulu sebelum itu"
Mendengar hal itu Jhosua kembali mengerutkan dahinya.
"Hentikan itu Ed ! atau kupukul wajahmu!"
"Hoh? apa kau tak sayang nyawamu?"
Setelah beberapa saat Jhosua hanya menghela nafasnya.
"Haaah, kenapa adikku bisa menikah dengan mu?"
"Hoh, kenapa tidak kau coba tanyakan sendiri?"
"Sial!"
"Hahahaha!"
Baron tertawa keras mendengar umpatan sahabatnya. Kemudian ia melihat sekitarnya,terlihat orang-orang yang selesai mendirikan tendanya berusaha menyalakan api unggun.Musim semi hampir berakhir namun udara masih terasa dingin saat malam.
Baron kemudian teringat kalau sisa persediaan makanan dan kayu bakar untuk musim dingin lalu masih sangat banyak. Meskipun begitu melihat banyaknya pengungsi membuatnya bingung apakah makanan yang ada akan cukup untuk memberi makan mereka.
Ketika Jhosua pergi kembali untuk menjalankan perintah,baron mulai berjalan bersama beberapa prajurit. Pengungsi yang menatap ke arah baron langsung membungkukkan kepala mereka dan kemudian melanjutkan kegiatan mereka. Edmundo kemudian mengetahui bahwa perjuangannya selama menjadi baron tidaklah sia-sia.
Penduduknya telah percaya kepadanya melebihi kepada raja mereka. Ia kemudian melihat sekelompok anak-anak berlari mendekat dengan rasa penasaran. Anak-anak yang berlari kemudian berhenti ketika baron menyadari keberadaan mereka. Anak-anak itu tak memiliki rasa takut ketika melihat wajah baron yang penuh luka. Mereka hanya melihat baron dengan wajah takjub.
Baron kemudian menyadari kalau anak tertua dari kelompok itu hampir seumuran kedua putranya. Ia lantas tersenyum ke arah anak anak itu. Tak terbayang bagi baron semenjak invasi pertama kekaisaran ia sudah menikah dan memiliki anak kembar.
Ia kemudian menatap ke arah bangunan utama kastil. Bangunan yang begitu megah dan mendominasi pemandangan. Area antara benteng dalam dan luar terbilang cukup luas. Meskipun begitu bangunan ini hanya berisikan barak untuk tempat tinggal prajurit kerajaan.
Kebanyakan penduduk kastil adalah orang yang memiliki pekerjaan yang menjaga kastil tetap beroperasi .Rumah penduduk yang terlihat digunakan untuk tujuan seperti penempa, kedai minuman, pemotongan hewan, rumah tabib/dokter, hingga sebuah tempat pembuatan kayu bakar. Tidak ada kota di wilayah perbatasan. Kebanyakan penduduk tinnggal di desa-desa.
Jhosua menyusul baron yang selesai melaksanakan tugasnya kembali menyusul baron dan menyuruh prajurit yang mengawal baron untuk ikut beristirahat.
Baron yang memikirkan sesuatu kemudian memanggil sahabatnya
"… Jho"
"Tuan"
"Ed"
Itu berarti Baron ingin berbicara dengannya sebagai sahabat bukan knight nya. Jhosua mulai merubah sikapnya mengikuti keinginan baron.
"Iya Ed?"
"Apakah kita bisa selamat?"
"???"
'Ha? Selamat?'
Menyadari Jhosua yang bertanya tanya ,ia mengganti pertanyaanya.
"Apakah benteng kastil ini bisa bertahan?"
"Ah, kastil ini terkenal karena pertahanannya yang tak tertembus kau ingat? setauku kastil ini berdiri sejak masa Kekaisaran Agung. Jadi seharusnya kita tidak perlu khawatir kan?"
"… Iya ,hanya saja-"
"Haaaa, berhenti seperti itu Ed. Setiap saat kau membuatku ragu apakah kau benar-benar Iblis Api. Kau selalu saja takut pada hal-hal yang belum terjadi, lalu kenapa kau bisa melompat ke tegah barisan musuh tanpa rasa takut mati sama sekali?"
"Apakah kau lupa? kau sendiri yang bilang jika aku memiliki sesuatu yang harus ku lindungi. Bukankah hal wajar jika aku merasa khawatir akan sesuatu?"
"Apa kau lupa lagi dengan jawabanku? masih sama ed, masih sama"
"Apakah yang karena kita semua itu lemah?"
Jhosua tidak menjawab dan mulai menepuk pundak baron.
"Kau pasti berfikir kalau kastil ini akan memiliki suatu kelemahan bukan? atau rencanamu pasti akan gagal di suatu saat? "
Jhosua mulai menatap ke bangunan utama kastil.
"Lakukan saja Ed, lakukan yang terbaik, meskipun gagal, itu tak akan sesakit ketika kau tak mencoba sama sekali."
"Hahahaha, aku heran kenapa kau belum menikah padahal kau cukup pintar dengan kata-kata"
"Hah? kenapa sampai ke menikah?"
"Hahahaha,Ahem lupakan-lupakan hmft hahaha"
Jhosua mengerutkan dahinya.
"Nampaknya ada yang aneh di kepalamu Ed hari ini, apa ini karena luka-luka mu tadi mengeluarkan banyak darah?"
Tak menjawab sahabatnya, Edmundo hanya melanjutkan langkah kakinya
'Haaah Jhosua benar, kenapa aku seperti ini? Apakah karena aku melihat banyak orang mati lagi setelah sekian lama? Apa karena aku punya istri dan dua anak kembar laki-laki?'
Ia mengingat hari-hari dimana dia masih seorang anak gelandangan. Tak tahu siapa orang tuanya. Hanya hidup bersama anak-anak lainnya. Wabah dan kelaparan melanda seluruh kerajaan yang belum lama berdiri. Ia memiliki banyak teman, beberapa dari mereka berburu tikus untuk dimakan tetapi banyak yang setelah itu mati dengan menyedihkan. Beberapa temannya mengemis di jalan tetapi kemudian diambil pedagang untuk dijual sebagai budak. Beberapa mati dipukuli setelah ketahuan mencuri. Telalu banyak yang mati, hanya dia yang selamat. Ia terus lari dan bertarung tanpa henti. Ia terus berusaha hidup, hingga tiba saat ia menyerah. Ia tak mengerti kenapa ia masih hidup. Ia akhirnya berkelahi mati-matian tanpa peduli kondisi tubuhnya berharap ia mati dengan sebuah perlawanan. Namun Dewa Agung malah memberinya sebuah berkah dewa yang membuatnya bertahan hidup hingga sekarang. Ia beruntung pelahan-lahan ia kembali memiliki alasan untuk hidup. Mungkin alasan itulah yang membuatnya melemah.
Ia kemudian melihat keluarganya berjalan ke arahnya dari kejauhan. Terlihat senyum seorang wanita telah menyambut kepulangannya dari kejauhan. Baron yang melihatnya kemudian hanya bisa ikut tersenyum.
'Sepertinya aku salah soal alasan yang terakhir'