Nama Fenita Adriana yang tercetak jelas pada pintu berwarna putih di depan Cyra membuat gadis berambut biru tersebut berusaha keras untuk tidak menangis. 11 tahun yang lalu, ibunya berkata bahwa Cyra tak boleh mencarinya karena ia yang akan menemuinya. Tapi pada akhirnya Cyra yang menemuinya. Menemui kondisi ibu kandungnya yang sedang sekarat di dalam sana setelah penyakit kanker hati yang diderita selama kurang lebih 3 tahun lamanya. Kankernya sudah sampai pada tahap Distant. Ini berarti bahwa kanker telah menyebar jauh ke organ dan jaringan yang masuk ke dalam stadium IVB.
Dan dokter memperkirakan hidupnya tak akan bertahan sampai 2minggu. Mendengarnya saja sudah sangat menyakiti hati Cyra, apalagi jika melihat ibunya secara langsung untuk saat ini?
Kaki Cyra maju satu langkah, namun lagi-lagi berhenti karena merasa ragu. Ia takut tangisnya akan pecah saat melihat ibunya yang sedang sekarat di dalam sana. Namun, jika tak masuk ia akan sia-sia menanti selama 11 tahun hanya untuk bertemu dengan ibunya.
"Kenapa? Takut? Bukankah Cyra tak pernah mengenal kata takut?" Raefal datang tiba-tiba mengejutkan Cyra yang masih membeku ditempat. Yah, aku takut. Sangat takut. Batin Cyra.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu, tapi kusarankan kau untuk masuk. Karena waktu tak dapat diulang. Dan penyesalan selalu datang terakhir." lagi, Raefal memberikan sebuah saran yang membuat Cyra semakin tak kuasa menahan rasa gugup pada dirinya. Aku pun menyesal mempercayai ucapan ibu dahulu. Batin Cyra lagi.
"Kau, tak apa-apa?" tanya Raefal memastikan. Melihat Cyra yang hanya diam membisu membuat Raefal kesal karena kepura-puraan gadis itu. Seharusnya, Cyra marah atau menangis. Tapi yang Raefal dapatkan hanyalah ekspresi datar Cyra seperti biasanya. Tidak, aku tidak baik-baik saja. Batin Cyra.
"Hm, i'm fine." Cyra tersenyum canggung pada Raefal sebelum akhirnya membuka pintu tersebut. Langkah kakinya dengan tenang membawa Cyra kehadapan Ibundanya yang sedang tertidur pulas diatas ranjang rumah sakit. Semerbak bau obat terhirup oleh Cyra membuat gadis itu menoleh melihat banyaknya obat yang harus dikonsumsi.
"Aku akan menghubungi orang tuamu dulu." Raefal pamit meninggalkan Cyra yang masih membeku menatap Ibu kandungnya sedang sekarat di depan mata. Kulit putih pucat yang sudah nampak keriput, bibir yang sangat pucat bak mayat, dan kantung mata yang menghitam membuat Cyra tahu bahwa selama ini ibunya pun tak baik-baik saja. Ada sedikit kelegaan pada diri Cyra.
Cyra pikir, ibunya melupakan Cyra dan berfoya-foya hingga lupa akan janjinya. Sedangkan, Cyra sudah payah mencari keberadaan ibunya sampai ia merasa jenuh dan menyerah.
Mata Cyra menelisik sekitar menemukan sofa dipojok kanan ruangan bernuansa putih tersebut. Cyra memilih tidur sejenak di sana untuk menenangkan diri dari banyaknya pikiran tak penting yang ia dapatkan akhir-akhir ini.
***
"Ada apa Raefal? Dan dimana kau berada sekarang?" paman Chenand terdengar gelisah.
Raefal memandang ke arah langit terbuka diatas sana. Rooftop rumah sakit adalah pilihan untuknya mengatasi kebingungan yang melanda dirinya. Ia bingung apa yang harus dilakukan saat ini, siapa ibu yang Cyra maksud dan mengapa gadis itu terlihat gelisah sekarang?
"Raefal sedang bersama Cyra. Paman tidak usah khawatir, Raefal akan menjaga Cyra. Dan sepertinya, ia tak bisa pulang hari ini." jawab Raefal.
"Apa yang terjadi Raefal?kau tidak macam-macam dengan putriku bukan?" suara Paman Chenand yang terdengar ketus penuh curiga membuat Raefal hampir memutuskan untuk bicara semuanya. Namun, itu tak bisa dilakukan karena ia takut jujurnya Raefal akan menyakiti Cyra.
"Maaf paman, saat ini Raefal tak bisa memberitahu." Raefal mematikan telfon lalu kembali duduk menatap langit senja yang menarik.
Tuk
Tuk
Tuk
Suara langkah seseorang membuat Raefal membuka matanya dan menoleh kebelakang mendapati Cyra dengan wajah datarnya seperti biasa. Gadis itu bahkan tak ingin menatap wajah Raefal, ia hanya berjalan dengan tatapan kosongnya. Kaki Cyra berhenti tepat di depan Raefal. Gadis itu membelakanginya menghela nafas kasar lalu berdecak. Raefal memutuskan berdiri lalu menyamakan posisinya disamping Cyra.
Ekor mata Raefal menangkap air mata Cyra yang menetes membuatnya sedikit terkejut. Gadis itu tidak menangis, Cyra hanya diam dengan mata kosong menatap matahari tenggelam. Namun, matanya terus mengeluarkan air mata. Bahkan, Raefal tak mendengar isakan sedikitpun dari gadis itu. Dan ini, membuat Raefal merasa sesak melihat gadis itu benar-benar menangis dalam diam.
"Apakah, bercerita sesulit itu?" Raefal akhirnya memecah keheningan setelah air mata itu berhenti menetes dari mata cantik Cyra. Ia menoleh, meraih bahu Cyra agar gadis itu menatapnya. Cyra menatapnya, dengan tatapan datarnya seperti biasa. Sungguh, ingin rasanya Raefal memeluk Cyra. Gadis itu tak sekuat yang diperlihatkannya. Gadis itu rapuh sebenarnya.
Cyra menghempaskan tangan Raefal dengan kasar lalu meninggalkan Raefal sendirian tanpa sepatah katapun.
"Cyra! Menangislah jika ingin menangis, marahlah jika ingin marah! Jangan kau sembunyikan semuanya. Kau juga manusia yang memiliki emosi. Jangan terus menerus sok kuat seperti ini!" teriak Raefal.
Langkah kaki Cyra berhenti. Ia mendengarkan dengan seksama setiap kata yang terlontar dari bibir Raefal. Dan Cyra benci mendengarnya.
***
Pintu penuh kesesakan terbuka lebar menampilkan gadis berambut biru dengan wajah tegas yang lesu. Mata tajamnya yang mengedar keseluruh ruangan mengamati satu persatu apapun yang ada disini. Ia menemukan sebuah dompet diatas nakas tepat disebelah ranjang ibunya.
Cyra-gadis itu akhirnya memilih keputusan yang sulit. Mencari tahu mengenai ibu kandungnya sendiri. Ia ingin tahu dimana selama ini ibunya tinggal, apakah sudah memiliki seorang suami lagi, atau seorang anak. Perlahan, ia membuka dompet berwarna merah tersebut dan mulai menggeledahnya. Baru beberapa saat, tangannya dicekal oleh seseorang membuat Cyra sedikit tersentak. Cyra menoleh mencari tahu siapa pemilik tangan yang ternyata adalah...
"Ibu?"lirih Cyra. Segala kecanggungan langsung menerpa keduanya. Cyra hanya diam menatap ibunya sedang mengamati wajahnya dengan intens.
"Kamu siapa?" tanya Fenita-Ibu Cyra.
Cyra lagi-lagi tersentak, pikirannya berpusat pada masa lalunya. Masa dimana terakhir kali mereka bertemu. Benar, saat itu Cyra masih kecil dan wajahnya berubah banyak sekarang.
Cyra diam tak tahu harus menjawab apa. Ia bingung bagaimana menjelaskannya kepada ibu kandungnya karena Cyra tak terbiasa berkata banyak.
Keheningan terus menerpa hingga pintu terbuka dan Raefal masuk dengan santai tanpa melihat keduanya. "Cyra! Paman Chenand terus menelfonmu, apa yang harus kulakukan?"
"C-c-c-yra?" dengan ragu, Fenita memanggil Cyra yang masih diam membeku.