Marisa bangun ketika matahari sudah tinggi. Pengaruh obat membuatnya bisa tidur lebih nyenyak dan tidak merasakan sakit sama sekali. Masih belum bisa bangun dari kasur, Marisa hanya bisa menunggu untuk pelayan datang ke kamarnya.
Ini tidak seperti jaman dahulu dimana ada bel atau tali yang jika di tarik akan membunyikan lonceng dan pelayan akan datang. Berteriak pun percuma karena kamar ini kedap suara. Yang bisa Marisa lakukan hanya menunggu.
Untungnya tidak lama Bi Ina datang dengan semangkuk bubur. "Nona, anda sudah bangun? Bagaimana tidurnya?" sapa Bi Ina dengan ramah. Marisa tersenyum sambil memperhatikan pelayan lain menyiapkan meja untuknya makan.
"Nyenyak. Kurasa karena obatnya aku bisa tidur tanpa merasa sakit." Mengambil sendok, Marisa tidak sabar untuk makan. Menyendok hidangannya, Marisa memasukan satu suapan ke dalam mulut.
"Oh, ada udang di bubur ini?" mata Marisa berkilau ketika merasakan potongan daging udang yang kecil dan lembut di dalam mulutnya.
"Iya, kami khawatir Nona akan merasa bosan jika harus memakan bubur terus menerus jadi koki membuat bubur dengan varian lain agar Nona tidak bosan." jelas Bi Ina.
Napsu makan Marisa meningkat dan dia bahkan meminta tambahan bubur yang membuat Bi Ina begitu senang.
Setelah sarapan dan minum obat, Marisa melakukan peregangan agar tubuhnya tidak kaku karena terus menerus di atas kasur. Lalu sisa paginya Marisa habiskan dengan membaca buku pelajaran sekolahnya.
Jika dia ingin pindah sekolah ke sekolah biasa, Marisa harus menguasai pelajaran dasar. Sebagai orang dewasa yang sudah bekerja, Marisa cukup asing dengan pelajaran-pelajaran sekolah. Yang masih dia ingat tentunya pelajaran yang dia ajarkan kepada murid-muridnya yaitu sosiologi. Untuk pelajaran matematika, dia masih ingat sedikit-sedikit karena itu termasuk pelajaran yang dia bisa.
Marisa bukan anak pintar tapi selama dia paham Marisa bisa mengerjakan soal matematika dengan mudah. Kesalahannya ketika mengerjai soal matematika adalah salah hitung. Marisa sering ceroboh dalam menghitung yang membuatnya tidak mendapat nilai sempurna dalam pelajaran matematika dan akuntansi.
Sepertinya dia akan banyak fokus pada pelajaran ekonomi dan geografi. Marisa sudah melihat sekilas setiap buku matapelajaran dan dia rasa untuk yang lain masih ada dalam ingatannya dan termasuk pengetahuan umum. Berarti yang tinggal perlu dia lakukan adalah membuat kepala pelayan melakukan perpindahan sekolahnya.
"Bi Ina, pangilkan kepala pelayan. Ada yang perlu aku bicarakan dengannya."
"Baik nona."
Marisa menyimpan buku pelajarannya dan menyiapkan diri untuk berbicara kepada kepala pelayan. "Nona, saya dengar anda memanggil saya?" Ketukan pelan pada pintu terdengar. "Iya, masuklah." Pintu terbuka dan lelaki berumur hampir enam puluh tahun itu berdiri tegap melangkah masuk ke dalam kamar Marisa.
Hadi, kepala pelayan ini sudah bekerja di keluarga Darmadji selama empat puluh tahun dan sangat setia kepada Kakek Darmadji. Dia begitu melindungi Alisa. Hadi adalah salah satu orang yang tidak bisa Lukman prediksi.
"Apa yang bisa saya bantu, Nona?"
"Tolong urus perpindahan sekolahku. Aku mau pindah ke Buana Pelita High School. Siapkan semua berkasnya dan selesaikan sebelum akhir minggu ini."
"Kau akan pindah sekolah, Nona?" Apa Nyonya dan Tuan sudah tahu?!" Keterkejutan Hadi sudah dalam prediksi Marisa. Lelaki tua ini punya pandangan dari tiga anak Darmadji, 'Marisa' adalah yang termalas dan pembuat masalah. Itu sebabnya dia sering tidak menyetujui permintaan 'Marisa' secara langsung. "Jika Nyonya dan Tuan belum tahu, saya tidak bisa melakukannya, Nona."
Dan penolakan ini juga sudah dalam perkiraannya. Marisa mengambil ponselnya dan menelpon. "Mama?" panggilnya begitu koneksi telepon tersambung. Marisa juga tidak lupa menyalakan pengeras suara agar Hadi mendengarnya. "Ma, mengenai yang aku bicarakan tadi pagi, Pak Hadi tidak percaya dengan ucapanku dan butuh kepastian dari mama."
"Oke-oke, kamu lagi sama Hadi sekarang?"
"Iya."
"Hadi, ikuti saja kemauan Marisa. Saya sudah setuju. Tolong urus Marisa sampai Saya dan Lukman kembali, ya."
"B-baik, Nyonya." Senyum mengembang di wajah Marisa. "Sudah dengar? Jadi tolong urus secepatnya." Hadi mengangguk dan kemudian ijin mengundurkan diri. Marisa pun membiarkannya dan tidak menahan Hadi lebih lama karena semakin cepat Hadi mengurus semuanya, semakin cepat juga dia bisa pindah.
Marisa mengehela napas lega. Rencananya berhasil. Sebenarnya tadi pagi dia menelpon Alisa dan meminta uang tambahan serta bilang ingin mengikuti summer camp dan membutuhkan tanda-tangan orangtuanya.
Jelas saja itu bohong, dan panggilan tadi pun dengan sengaja Marisa tidak menjelaskan dengan detail. Jika nanti Alisa pulang dan tahu, semua sudah terlambat. Marisa sudah pindah dan dia sudah duduk di bangku kelas tiga, yang tidak mungkin pindah lagi.
Langkah pertamanya untuk menjauhi alur cerita, sudah berhasil. Yang perlu Marisa pikirkan selanjutnya adalah bagaimana caranya dia keluar dari rumah ini. Mungkin tidak untuk permanen tapi setidaknya dia bisa menjauh dari kediaman ini selama satu tahun ke depan dan meminilimasir kontak dengan keluarga ini.
"Nona, Permisi."
Bi Ina masuk ke dalam kamar. "Aku dengar Nona ingin pindah sekolah ke Buana Pelita, apa benar?" tanya wanita itu dengan raut khawatir. "Ya, kenapa?" Bi Ina menghela napas dan menggelengkan kepalanya. "Sekolah itu jauh sekali dari sini. Dengan mobil saja perlu waktu satu jam bahkan lebih. Nona bisa kelelahan nanti."
"Apa aku tidak bisa minta Papa belikan apartemen dekat sana untukku tinggal sampai lulus?"
"Ah, kalau apartemen, setahu saya Nona punya apartemen atas nama Nona di daerah sana tapi belum pernah di tempati."
Sebuah ide muncul di kepala Marisa. Ini bagus sekali. "Bi Ina, suruh orang persiapkan apartemen itu untuk aku tinggali!"
"N-Nona mau tinggal diluar rumah sendirian?" Bi Ina terlihat terkejut. Wajar saja. 'Marisa' adalah seorang yang begitu bergantung pada Mario dan sulit berjauhan dengan kembarannya itu. Apalagi dia juga takut kepada petir dan ruangan gelap dan perlu bantuan Mario untuk melewatinya.
"Apa bibi tidak akan ikut denganku?" Ragu-ragu Marisa bertanya kepada Bi Ina. Dia memasang wajah memelas untuk membangkitkan rasa iba dalam diri Bi Ina. Jika tidak berhasil dan harus tinggal sendiri pun tidak masalah. Dia sebenarnya sudah ada di akhir duapuluh dan tinggal sendiri bukan masalah.
"Tentu saja saya akan ikut dengan Nona!" jawab Bi Ina cepat. Dia tidak mungkin meninggalkan Nona Mudanya tinggal jauh dari rumah sendirian. Bi Ina bisa tidak tenang dan tidak bisa tidur jika itu terjadi.
"Kalau begitu tidak ada yang perlu aku khawatirkan." ujar Marisa dengan senyum acuh tak acuh dan membuatnya terlihat polos. Ini membuat hati Bi Ina terasa hangat. Nona mudanya masih sama dengan Nona muda yang dia kenal, walau terkadang keras kepala, dia masih anak manja polos yang baik. "Kalau begitu, Bibi akan siapkan semuanya, Nona tenang saja."
Marisa mengangguk dan menarik selimutnya. Pengaruh obat sepertinya sudah mulai bereaksi dan membuatnya mengantuk. Dia ingin tidur.