Musim semi merupakan musim yang menjadi simbol datangnya masa depan cerah dan penuh harapan. Biasanya, masyarakat Jepang menyambut musim semi dengan gembira. Setiap bunga kehidupan ini mekar, masyarakat Jepang selalu merayakannya dengan berkumpul bersama keluarga. Mereka makan bersama, bermain, bersenda gurau, sambil membentangkan tikar di bawah pohon dengan bunga-bunga nan indah itu.
Perayaan itu dilakukan dengan menyusuri taman sambil melakukan renungan, serta menikmati berbagai hidangan di bawah bunga-bunga sakura yang cantik itu. Perayaan ini dikenal dengan istilah Hanami.
Ya, memang membahagiakan menyambut musim semi bersama keluarga. Tapi tidak denganku. Jarang sekali waktuku berkumpul bersama keluarga, bermain, dan bercanda tawa seperti keluarga lainnya. Kedua orang tuaku tak pernah akur sejak aku masih kecil. Mereka berdua terus bertengkarㅡhampir setiap hari.
Oleh karena itu, aku menghabiskan waktuku bersama bayanganku seorang diri.
Menatap murung pohon sakura yang menjulang tinggi dan besar di depanku. Kelopak-kelopak indahnya berwarna merah muda itu beterbangan tak tentu arah, melayang tinggi di langit biru cerah. Aku sangat menyukainya. Bunga sakura yang indah sama halnya seperti namaku.
Di musim semi ini, aku masih bisa melihat sakura yang berhamburan dan jatuh. Lalu, aku teringat tentang dirimu....
Dirimu yang mendatangiku lebih dulu di saat aku bersedih.
Dirimu yang menghiburku dengan segala cara keunikanmu.
Dirimu yang menunjukkan seulas senyum indah, layaknya kerangkai bunga yang mekar.
Dirimu yang menguatkan hatiku di saat aku rapuh.
Mengingat itu. Aku ingin melihat wajahmu sekali lagi. Tatapan indahmu sangat berwarna di mataku. Dan, aku tak pernah luput dengan janji yang telah kita ukir bersama. Kau pernah bilang padaku bahwa, 'aku berjanji tidak akan pernah meninggalkanmu.'
Iya, aku mengingatnya. Sepenggal kalimat darimu itu terus melintas di pikiranku. Kita berpisah tanpa mengucapkan kata selamat tinggal. Kamu yang telah bersumpah setia padaku di musim semi ini, dan membuat mimpi untuk menjadi kuat. Tapi nyatanya... kamu mengingkari janji itu sendiri.
Aku sungguh kecewa padamu, Na Jaemin.
Mengingat dokumenter tentang apa yang terjadi di masa lalu. Berulas kembali memori kenangan indah yang telah kita lalui. Dadaku serasa begitu sesak. Sedetik kemudian, air mataku menetes begitu saja secara perlahan.
"Pembohong...." Aku merintih pelan, lalu menyandarkan dahiku di batang tebal dan besar di depan pohon sakura yang menjulang tinggi itu. Terus berlinang air mata sambil menyentuh dadaku dengan sisi tangan yang sudah terkepal kuat. Kenangan indah itu masih membekas di hatiku. Sungguh.
Angin sepoi-sepoi pada siang hari. Terasa begitu sejuk menyentuh kulit, berbaur dengan kelopak sakura yang beterbangan lebih tinggi lagi. Memilih setiap jalan yang berbeda.
Jaemin....
Sampai kapan pun itu.
Aku tak akan bisa melupakanmu.
Bersama dengan janji kita yang telah bertaut.
~~~
Kembali ke kota naik kereta. Pintu peron kereta api terbuka otomatis, orang-orang berlalu lalang keluar-masuk dari pintu tersebut. Melangkahkan kakiku berjalan masuk ke dalam kereta, dan mencari tempat duduk. Suasana di dalam kereta ini tak terlalu ramai orang.
Mendudukkan diriku nyaman di kursi panjang kereta. Butuh waktu 4 jam untuk segera sampai ke kota, karena jarak desa ke Kota Tokyo lumayan jauh.
Sesaat, sepasang netraku sempat melirik ke arah lelaki muda yang duduk di sebelahku. Laki-laki yang menggendong tas hitamnya di pundak, berkaus hitam, bercelana panjang jeans, dan memakai masker putih itu tengah berkutat pada buku novelnya. Menatapnya lamat-lamat, style lelaki itu tampak begitu keren dan tampan, meski wajah anak itu tertutup masker.
"Kalau ada orang yang bisa kucintai, meski hanya satu orang, masih ada harapan untuk hidup. Walaupun tidak bisa bersatu dengan orang itu."
Sesekali aku sempat mengintip dan membaca dalam hati sebuah kutipan dari secarik kertas yang tengah di baca oleh lelaki tersebut. Tunggu. Bukankah itu buku novel yang berjudul 1Q84? Karya Haruki Murakami dengan segala kutipan-kutipan indahnya? Hei, aku pernah membacanya sebelumnya. Itu adalah novel favoritku.
Selang beberapa jam perjalanan. Akhirnya kereta tiba di stasiun Tokyo, hampir saja aku ketiduran karena air conditioner di dalam kereta ini menyejukkan tubuh. Tepat saat aku bangkit berdiri, sorot mataku tertuju pada sebuah buku novel yang tergeletak di tempat duduk yang telah disinggahi oleh lelaki itu tadi. Bukunya tertinggal?!
Aku langsung mengambil buku novel milik lelaki itu, dan cepat-cepat keluar dari pintu kereta. Ah, ke mana laki-laki itu pergi? Orang-orang di sekitar stasiun tampak berkerumunan. Kepalaku celangak-celinguk kebingungan untuk mencari postur tubuh sosok lelaki itu.
Berdecak kesal, aku terus berjalan cepat dan tak henti mengedarkan pandanganku di sekeliling area stasiun Tokyo. Hei, ke mana dia? Dirinya begitu ceroboh meninggalkan buku novelnya di kereta. Untung saja bukan barang berharga.
Lalu, samar-samar pandanganku mengarah ke depan, mengamati lamat-lamat siluet tubuh seseorang yang berjalan cepat. Itu diaㅡakhirnya ketemu.
"Hei, tunggu!" teriakku sambil berlari. Menerobos orang-orang yang berjalan ke sana kemari. Sial, lelaki itu cepat sekali jalannya.
Sampai akhirnya keluar dari stasiun. Aku terus mempercepat langkah menghampiri lelaki itu, hampir saja aku menabrak orang kalau saja aku tak berhati-hati.
"Tunggu! Tunggu!!" teriakku dari belakang, dan terus berlariㅡhampir dari jarak 10 meter ke arahnya.
Lelaki muda itu tercekat saat langsungku tarik tas hitamnya hingga membuat badannya berbalik cepat ke arahku dengan tatapan heran.
"Bukumu ketinggalan di kereta tadi." Aku menyodorkan buku novel itu.
Dia mengerjap seketika, lalu mengambil alih bukunya. "Oh, terima kasih."
Aku mengangguk kecil. "Lain kali hati-hati." Lantas aku mengayunkan kakiku berjalan pergi meninggalkan lelaki itu.
"Tunggu."
Lelaki itu berjalan menghampiriku hingga membuat langkah kakiku mendadak berhenti dan menatap dia. "Ya?"
"Tahu alamat ini, tidak?" Dia menunjukkan secarik kertas kecil itu padaku. "Maaf, sebenarnya aku enggak tahu jalan di kota ini."
Menatap tulisan bolpoin hitam di kertas putih polos itu. Aku mengangguk paham. " Tahu. Ayo, aku antarkan kamu ke sana."
Lelaki itu tercengang takjub. "Sungguh?"
Aku mengangguk senyum. Ya, sepertinya, aku harus membantu lelaki muda itu yang tak tahu jalan di Kota Tokyo ini. Alangkah baiknya aku memandu dia untuk pergi ke tempat yang ia tuju. Lelaki itu berterima kasih padaku dengan memasang seulas senyum yang tulus, meski wajahnya tertutup masker. Kemudian, kami berdua berjalan beriringan untuk segera naik bus.
***
Berjalan menapaki trotoar yang dipenuhi oleh beberapa kelopak sakura yang berjatuhan dari sepanjang pohon ditepi jalan. Menjajarkan langkah kaki kami berdua, sembari memandang sakura yang berguguran dari rantingnya. Detiknya, kulihat wajah laki-laki itu di sampingku. Begitu lekat aku menatapnya, hingga perlahan senyumku tersungging tipis di wajah. Entah kenapa.
Setelah beberapa menit berjalan kaki. Akhirnya aku telah sampai mengantarkan lelaki ini ke alamat rumah yang dituju. Berhenti di depan rumah yang berminimalis modern, sorot mataku sempat memandang rumah tersebut. Menarik.
"Sekali lagi terima kasih."
Pemuda itu membungkuk ramah dengan rasa terima kasih. Aku hanya tersenyum semringah menatapnya. Kemudian, lelaki itu menegakkan badannya kembali, seraya menurunkan masker putihnya karena gerah. Memandang wajah lelaki itu yang telah membuka masker, aku jadi cengo.
Sungguh, dia tampak sangat tampan bagaikan pangeran.
Lalu, lelaki itu mengusung senyuman lebar hingga deretan giginya tampak. "Namamu siapa?"
Apa? Dia menanyakan namaku?
Katakan ini hanya sebuah keberuntungan.
"Sakura. Haruka Sakura." Aku mengulas senyuman tipis.
Dia manggut-manggut saja dan masih tak memudarkan senyumnya, lantas tangan lelaki itu terulur ke arahku. "Aku Na Jaemin."
Deg!
Na Jaemin?!
To be continued...