Chereads / Istri kedua / Chapter 1 - Pernikahan

Istri kedua

🇮🇩BiruBiru
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 3.5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Pernikahan

Siapa yang tidak mengenal Juan Alexi Mahendra?

Pria berusia tiga puluh tahun yang telah sukses dengan bisnisnya dalam bidang properti. Hampir semua orang mengetahuinya, wajahnya sering menjadi sampul di majalah bisnis. Wajah yang rupawan seakan menenggelamkan umurnya yang telah berkepala tiga, Juan sapaan akrabnya memiliki garis rahang tegas dan terlihat dingin.

Kesuksesannya dan kekayaan yang mungkin tidak akan habis sampai beberapa turunan tersebut, menjadi alasan kedua setelah nama besar Mahendra yang melekat padanya. Tidak heran banyak wanita yang mengejarnya, mencari perhatian dari pria beristri tersebut.

Tanpa berpikir panjang lagi. Adi Wijaya, seorang pria berusia separuh abad menjodohkan putri semata-wayangnya dengan Juan. Bukan karena tergiur dengan harta kekayaan miliknya tetapi, karena masalah utama dalam perusahaannya yang telah dinyatakan bangkrut. Demi menghidupi putrinya, dia juga telah mengorbankan masa depan putrinya yang masih remaja.

Gadis itu menikah dengan terpaksa tetapi, tidak ada penolakan yang terucap dari mulutnya. Ia hanya tersenyum tipis, mengangguk menerima keputusan ayahnya.

...

"Seperti sebuah bunga yang layu, aku meredup

Memandang sayu sebuah pilar kokoh yang telah runtuh Mengenang setiap kilasan balik cerita singkat yang penuh

kenangan

Dia, pergi.

Meninggalkan jejak bayangan hitam Memudarkan setiap pendar cahaya yang tersisa

Menghapus ingatan yang terekam

Menabur luka.

Aku penuh sesal, memandang kosong secercah harapan kecil Menuai kumpulan penyesalan

Berharap bunga ku yang mekar akan kembali.

Remember Me, Please!"

Juan Alexi Mahendra

.....

Bab - 01

"Saya terima nikah dan kawinnya Lila Oktavia binti Adi Wijaya..."

Suara pria yang tengah berjabat tangan dengan seorang penghulu tersebut menggema di dalam ruang inap VIP Melati Hospital, gadis yang menjadi mempelai wanitanya menunduk diam menahan air mata yang siap meloloskan diri.

Pernikahan yang sangat sederhana untuk seorang pengusaha besar dengan putri dari Adi Wijaya tersebut hanya dihadiri oleh beberapa orang, tidak ada satu-pun keluarga dari mempelai pria.

Lila, gadis berusia delapan belas tahun yang memakai kebaya putih tulang milik mendiang ibunya berusaha tegar, tetap mengembangkan senyum untuk ayahnya yang terbaring lemah di atas brankar.

Setelah keduanya menandatangani surat nikah masing-masing para saksi dan penghulu sudah dipersilahkan untuk pergi oleh Juan, hanya tinggal dirinya Lila dan ayahnya yang masih berada di dalam ruang inap.

"Papa!"

Lila berhamburan memeluk ayahnya sambil menahan air matanya yang sudah mendobrak ingin keluar, di dalam pelukan putrinya Adi terus menggumamkan kata maaf. Siapapun orang tua akan merasa kecewa tidak bisa membuat pesta pernikahan yang mewah untuk putrinya, suaranya terdengar serak.

"Maafkan Papa, Nak!"

"Enggak Pa, Lila bahagia dengan suami pilihan papa" katanya sambil menggelengkan kepalanya pelan, berusaha terus meyakinkan ayahnya dan dirinya sendiri yang sebenarnya masih belum siap melepaskan masa remajanya.

"Seharusnya Lila yang meminta maaf, karena sudah merepotkan papa. Membuat papa marah, cemas dan bersedih. Maafkan Lila, pa"

Adi berkaca-kaca mendengar perkataan yang keluar dari mulut putrinya, dengan senyuman yang mengembang dia mengangguk lemah.

"Nak Juan, tolong jaga putri saya. Sungguh, saya tidak tahu kepada siapa lagi harus menitipkan Lila"

Senyuman di bibirnya mengembang sedikit, tidak terlalu kentara tetapi, Lila jelas bisa melihat jika pria dingin yang menjadi suaminya itu tengah tersenyum. Juan mengangguk singkat, sambil berdeham kecil.

"Anda tidak perlu khawatir Pak, saya akan menjaga Lila seperti Anda menjaganya"

"Terima kasih nak"

Pernikahan singkat tersebut berakhir dengan jam besuk yang telah usai, jam istirahat untuk pasien membuat Juan harus segera membawa pulang istri kecilnya.

Sekalipun terlihat enggan tetapi, Lila tidak bisa menolak perkataan pria yang telah resmi menjadi suaminya sejak beberapa saat yang lalu.

"Pa, Lila pulang dulu ya" Adi mengangguk, mengelus kepala putrinya yang tertata rapi.

Juan segera menghubungi seseorang untuk ditugaskan menemani mertuanya, membawa gadis yang masih berusia belasan tahun tersebut pergi dari rumah sakit.

Lila mengikuti langkah kaki Juan yang cepat dengan menundukkan kepalanya, banyak yang melirik aneh ke arahnya. Mungkin mereka berpikir untuk apa dia memakai kebaya ke rumah sakit? Beberapa dokter dan perawat yang berpapasan dengan Juan menganggukkan kepalanya hormat, lalu ikut tersenyum tipis ketika melihat Lila yang berjalan di belakang Juan.

"Tuan, Nyonya Sandra pergi ke Bali"

Lila mendengar dengan jelas perkataan seorang pria dewasa yang berpakaian rapi, serba hitam, juga dengan benda yang menempel di telinganya. Dia menundukkan kepalanya hormat kepada Lila juga, dengan kaku Lila membalasnya dengan anggukan kepala dan senyuman tipis.

"Baiklah, terus pantau dia. Jangan sampai dia terluka sedikitpun"

"Baik Tuan"

Mobil BMW keluaran terbaru berwarna hitam mengkilap tersebut terparkir sempurna di depan mereka, tanpa berpikir panjang Juan memasuki mobilnya. Lila masih berdiri diam, membuat Juan berdecak pelan.

"Masuk! Atau saya tinggal!"

"Eh?"

"Cepatlah!" Katanya bernada datar, membuat Lila segera masuk ke dalam mobil.

Selama perjalanan, mereka hanya diam sibuk dengan pikirannya masing-masing. Lila sibuk memikirkan bagaimana nanti akan bertemu dengan istri pertama Juan, ia tahu bahkan semua orang tahu jika Juan memang sudah menikah. Apa yang harus Lila katakan padanya, dia pasti akan terluka.

"Berapa usiamu?"

"Eh, delapan belas pak" katanya dengan gugup.

Juan berdeham kecil, membuat Lila diam-diam meliriknya. Sungguh rasanya panas dingin berhadapan dengan orang yang dulunya hanya ia lihat di sampul majalah, Lila bahkan tidak tahu jika ayahnya kenal dekat dengan Juan.

"Dan berhentilah memanggil saya pak, panggil terserah kamu"

"1-iya pak, em maksud saya Mas"

Juan hanya berdeham kecil sambil menganggukkan kepalanya, kedua matanya kembali disibukkan dengan layar iPad di tangannya.

Dalam hatinya Lila terus menerus mengatakan untuk tetap santai, tetapi siapa pula yang akan santai mengingat ia menjadi istri muda seorang pengusaha besar. Bertemu keluarganya dan istri pertama Juan menjadi hal yang paling Lila takuti, walaupun dia sendiri belum tahu apakah Juan akan membawanya ke rumah sebagai istri atau menjadi salah satu pelayan di rumahnya.

Ketika senja telah tiba, langit biru berhiaskan cahaya kemerahan. Burung-burung terbang kembali ke sarangnya, sang surya pun bersiap kembali pada peraduannya.

Rumah besar dengan tipe Mediterania bercat putih dengan lampu kristal gantung yang menghiasinya membuat Lila takjub, rumah ayahnya yang telah disita pihak bank tidak semegah bangunan di hadapannya. Kedua mata beriris biru terangnya sibuk mengamati setiap jengkal dari rumah mewah tersebut, Lila menatap nanar pintu kayu yang menjulang tinggi.

"Mbok Tuti, tunjukkan kamarnya. Dan bantu dia membereskan pakaian"

Wanita paruh baya dengan rambut digelung rapi itu mengangguk hormat, tersenyum kepada Lila yang masih diam memperhatikan rumah yang jauh lebih mewah dari rumah ayahnya.

"Mari Non, saya antar ke kamarnya"

Lila mengangguk, gadis itu masih diam. Berjalan pelan mengikuti langkah Mbok Tuti yang mendahuluinya, Lila tidak kerepotan mengikuti langkah tua Mbok Tuti yang tidak bisa dikatakan lambat. Namun, dibandingkan dengan cara berjalan Juan yang terlampau cepat Lila masih bisa mengikuti Mbok Tuti.

Lila memperhatikan setiap sudut rumah, bukan hanya bagian luarnya yang terlihat begitu indah. Di dalam juga sama, guci guci besar menghiasi ruang dan menambah kemewahan rumah.

Tangga melingkar dengan lantai marmer yang mengkilap membuat Lila semakin takjub, sekalipun dia memang putri seorang pengusaha sukses sebelum ayahnya bangkrut. Namun, rumahnya tidak semewah rumah suaminya.

Tiba disudut ruangan lantai dua, Mbok Tuti mengajaknya masuk ke sebuah kamar besar. Ukurannya sama dengan ukuran kamar lamanya, dengan kamar mandi di dalam. Hanya, kamar ini memiliki sebuah balkon yang mengarah langsung ke kolam renang di bawah sana.

"Ini kamarnya Non," kata Mbok Tuti.

"Barang-barang non nanti saya yang rapikan. Panggil saja saya Mbok Tuti, Non"

"Terima kasih Mbok, saya Lila"

Lila duduk di atas kasur empuk dengan sprei biru laut, bermotif

flora.

la memutuskan untuk mandi terlebih dulu, tubuhnya terasa lengket. Apalagi dengan kebaya yang beberapa saat lalu menjadi saksi bisu pernikahan singkatnya, semakin menambah gerah pada tubuhnya.

"Bagaimana jika istri Mas Juan marah? Atau aku dikatakan sebagai pelakor?"

Pikirannya terus menerka sesuatu hal yang buruk. Tubuh kecil Lila melemas, ia bahkan tidak bisa berpikir jernih tentang bagaimana jalannya sebuah pernikahannya dengan pria beristri.

"Mama, aku harus bagaimana?" gumamnya sambil menyembunyikan kepala di antara lutut yang terlipat, ia masih berdiam diri di antara air hangat beraroma stroberi yang

menenangkan pikiran.

Kedua matanya terpejam mencoba menenangkan diri, tidak peduli dengan air hangatnya yang telah berangsur dingin. Kehidupan nyata Lila benar-benar tidak sesuai dengan impiannya selama ini, jauh dari kisah percintaan di dalam novel yang sering ia baca.

Lalu, apakah yang harus dilakukannya? Hatinya sungguh bimbang dengan keputusannya merelakan masa depannya.