"Ah, Ibu bisa saja! Masa, seorang pria membeli alas bedak untuk istrinya. Bukankah itu memalukan? Haha!" canda Elyana pada Nosy. "Tadi, sebelum berangkat ke sini, aku pergi ke dokter kecantikan dulu untuk menghilangkan tahi lalat. Bagaimana, Bu, apa sekarang aku semakin cantik seperti ibu?" tambahnya lagi masih sedikit bercanda. Itu malah membuat Nosy semkin kesal.
"Benarkah? Mengapa tidak dari kecil saja, aku membawamu ke dokter, ya? Aish, sungguh sangat bodoh!" Nosy memukul pelan kepalanya sendiri. Menyesal dengan hal itu.
"Sudah, sudah! " Alex segera menghentikan perbincangan konyol mereka berdua. Tidak boleh membuat David curiga dengan sandiwara mereka. "Sekarang kita makan dulu. Nanti, bisa dilanjut lagi ngobrolnya setelah makan."
Mereka segera duduk di meja makan. Makan siang kali ini, memang Alex yang memintanya. Dia menghubungi Edwin, dan berpesan agar David dan Elyana pulang ke rumah untuk makan siang, sekalian mengambil barang milik Elyana.
Itu yang membuat David segera menyetujui permintaan ayah mertuanya.
Di atas meja, sudah tersaji banyak hidangan, dari mulai udang, cumi, kepiting, dan aneka sayuran. Semua ini dikhususkan untuk menantu kesayangan mereka-David.
Elyana terdiam di kursinya. Matanya menyapu semua hidangan yang ada di atas meja. Tiba-tiba ia bergidik.
"Ayo, cicipilah!" Nosy mendorong piring berisi "Escargot" pada Elyana. Makanan unik khas kota ini dengan bahannya yang menggunakan siput. "Ini makanan kesukaanmu. Aku sengaja menyiapkannya untukmu."
Nosy mengambil empat butir siput ke atas piring Elyana. Memaksa gadis itu untuk segera memakannya. Elyana membulatkan bola matanya pada Nosy. Menolak makanan ini dengan tatapan.
Nosy hanya tersenyum samar melihat tingkah pelayannya yang cukup berani ini. Ia segera mengambil sendok, menyuapi Elyana dengan escargot.
Hidangan bernama escargot ini bukan sekedar makanan berbahan siput saja, namun juga kaya akan protein, vitamin B2, dan asam amino yang sangat bermanfaat untuk kesehatan. Sama sekali bukan racun untuk membunuh Elyana. Tapi gadis itu seolah sedang disuapi racun oleh Nosy, terus menolak dan memberontak.
"Kenapa ... apa sudah tidak suka disuapi olehku lagi, ya?" tanya Nosy manja, pada putrinya. "Padahal sebelum menikah, kau sangat suka disuapi olehku." Nosy pura-pura marah. Ia menyimpan sendok di atas piring, lalu melipat kedua tangan di atas meja makan.
"Bukan seperti itu, Bu! Aku hanya—"
"Makanlah!" sergah David tiba-tiba. "Kau tidak boleh menolak kebaikan seorang ibu. Itu namanya tidak sopan!" Ia terlihat marah—melihat sikap Elyana pada ibunya.
"Tapi, aku tidak su—" ucapannya terhenti lagi karena sekarang Nosy yang memotong.
"Tidak apa-apa! Putriku memang sangat manja, susah untuk diberitahu!"
"Baiklah, baiklah! Sini, aku makan!" Elyana tidak tahan mendengar sikap Nosy. Ia menarik piring berisi escargot. Memasukannya ke dalam mulut dengan mata terpejam, merasakan setiap kunyahan dengan rasa mual. Hingga akhirnya, empat butir siput sudah masuk ke dalam mulut.
"Anak pintar!" Nosy mengelus punggung gadis itu, cukup puas melihat Elyana kesusahan dalam manyantap makanannya. Ia segera berkata pada semua orang, "Ayo kita makan!"
Semua orang mulai menyantap makanannya. Memakan setiap hidangan itu dengan penuh keheningan. Tidak ada yang berani berbicara sedikitpun ketika mereka sedang makan. Hanya sesekali terdengar suara garpu dan sendok yang beradu.
Tiba-tiba Elyana bangkit berdiri, pamit pada semua orang untuk pergi ke belakang. Setelah masuk ke dalam kamar mandi, Elyana memuntahkan semua makanan yang sudah masuk ke dalam perut. Ia merasa mual, hingga kepalanya terasa pusing.
Semua orang di rumah ini sudah tahu bahwa Elyana sangat membenci makanan laut. Selama satu bulan Elyana bekerja di rumah ini, ia selalu menolak jika diberi makan seafood.
Tapi sekarang, Nosy sengaja menyiapkan hidangan laut untuk jamuan makan siang. Dan sengaja tidak menyajikan daging ayam ataupun daging sapi untuk Elyana.
'Apa dia sengaja ingin membunuhku?' gumam Elyana sambil menatap dirinya di balik cermin wastafel. Wajahnya terlihat pucat, nampak ruam merah di sekitar leher dan dada.
Ketika ia akan menyentuh lehernya, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar, diiringi suara teriakan, "Cepat buka pintunya, Pelayan!"
Itu adalah suara Nosy. Elyana segera membuka pintu kamar mandi.
"Apa kau sudah puas, menjadi anak orang kaya dan menggantikan posisi Isabel, hah?" sergah Nosy tiba-tiba, lalu masuk ke dalam kamar mandi dengan mendorong tubuh Elyana.
"Hanya dalam semalam, nasibmu berubah, dari seorang pelayan menjadi istri Tuan Muda David. Dari jelek, menjadi sangat cantik. Kau sudah punya banyak uang sekarang, mampu pergi ke dokter kecantikan, dan membeli pakaian bagus. Jangan harap ... selamanya kau bisa bermimpi, menjadi anak orang kaya dan menjadi istri seorang pengusaha. Cepat atau lambat, Isabel akan kembali!" ucapnya lagi dengan mencengkeram rahang Elyana.
"Akh, Nyonya, sakit!" ringis Elyana di bawah cengkeraman tangan Nosy. "Saya ... saya tidak berani bermimpi, Nyonya. Anda tenang saja. Saya pun tidak ingin selamanya menjadi istri Tuan David. Jika sekarang bisa bercerai, saya pun akan segera melakukannya."
"Aish, apa kau gila? Kau ingin mempermalukan keluarga Danu, ya?"
"Ti-tidak, Nyonya! Saya tidak berani!"
Nosy melepaskan cengkeramannya, membuat wajah Elyana terdorong ke samping. "Baguslah jika kau sadar diri."
Nosy mencuci tangannya menggunakan sabun sambil terus menggosoknya. Seolah, ia baru saja menyentuh wajah Elyana yang kotor.
"Sekarang, koper jelekmu sudah ada di kamar Isabel. Beberapa pakaian bagus milik Isabel sudah aku masukkan ke dalam kopermu. Jangan sampai, nanti, ketika Tuan Muda David melihat isi di dalam kopermu, dia merasa jijik. Itu akan membuat malu keluarga Danu." ucap Nosy penuh penghinaan. Ia mengeringkan tangannya segera.
"Sekarang, rapikan dirimu. Ambil kopermu di dalam kamar Isabel. Tapi awas, kau jangan pernah menyentuh barang apapun di dalam kamar Isabel. Mengerti?" ancamnya.
Elyana mengangguk, "Saya mengerti, Nyonya!"
*
Di dalam kamar Isabel, Elyana melihat koper berwarna merah muda—miliknya—sudah ada di atas tempat tidur. Ada banyak pakaian di dalamnya, termasuk sepatu dan juga tas yang sangat bagus. Semua itu Nosy siapkan untuk Elyana, demi menjaga citra baik keluarga Danu.
"Dasar orang kaya tidak tahu diri. Hanya pakaian seperti ini saja, aku tidak buruh!"
Elyana segera membalikkan kopernya, menumpahkan semua barang-barang itu ke lantai. Tidak menyisakan barang sedikitpun di dalam kopernya.
Elyana merupakan nona kedua di keluarga Louis, sudah terbiasa hidup mewah sejak kecil, dan hidupnya tidak pernah kekurangan. Sama sekali tidak membutuhkan barang-barang bekas seperti ini. Jika mau, kapanpun, ia bisa membeli semua barang mewah yang lebih bagus dari ini. Bukan karena ada uang satu juta dolar di rekeningnya—pemberian dari Alex, tapi memang uangnya sangatlah banyak.
Setelah kopernya kosong, ia segera menutupnya kembali. Dengan perlahan, mendorong kopernya, berjalan keluar dari kamar tersebut.
Di lantai bawah, David berdiri dari duduknya ketika melihat Elyana menuruni akan tangga. Ia bersiap pergi dari rumah itu, setelah berbincang cukup lama dengan Alex dan istrinya.
"Bu, Pak, kami permisi dulu! Ada banyak pekerjaan di kantor yang harus segera diselesaikan, tidak bisa tinggal terlalu lama di sini," pamit David setelah Elyana berdiri di sampingnya.
"Oh, ya! Pergilah! Sampaikan salamku pada Darwis. Kapan-kapan, aku akan datang mengunjunginya!" balas Alex dengan ramah.
Ia melirik sekilas Elyana yang sudah membawa kopernya, lalu berkata, "Belajarlah menjadi istri yang baik, patuhlah terhadap suami, dan tidak boleh membuat suamimu kesal!"
"Baik!" Elyan hanya mengangguk, tidak melihat ke arah mereka.
"Kami pergi dulu!" pamit David seraya menarik tangan Elyana, berjalan bersama keluar dari rumah tersebut—meninggalkan Nosy dan Alex.
Di dalam rumah, Nosy melipat kedua tangannya di depan, menatap punggung Elyana dengan tatapan tajam.
"Lihatlah pelayan itu! Sekarang, dia semakin berani terhadap kita. Seenaknya memanggil Ibu dan Bapak, pada kita. Apa dia pikir, kita ini adalah ibu dan bapaknya di kampung? Enak saja," ucap Nosy dengan kesal. Masih tidak terima dengan panggilan itu dari mulut Elyana.
"Begitu enak hidupnya sekarang, kan? Punya banyak uang dari kita, punya suami kaya dan tampan, bahkan, tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli pakaian, tas dan sepatu," cibirnya, semakin tidak rela melihat pelayannya hidup enak.
"Sudahlah! Jika tidak ada Eli, keluarga kita sudah tamat!" jawab Alex singkat. Lalu ia pergi meninggalkan istrinya. Tidak ingin lagi mendengar keluh-kesah yang tidak berguna.