"Bukan aku yang akan melakukan pendekatan dengannya," Carla tersenyum penuh makna. "Tetapi kau."
Pernyataan barusan sontak membuat Casie melotot, bola matanya hampir saja keluar saking syok. "Kau gila yah?! Aku ini sudah memiliki kekasih! Kau saja sana yang mendekatinya!"
"Berhenti bicara ngelantur," Carla memijit pangkal hidung sebelum balas menatap tajam gadis di sebelahnya. "Sadarlah, kau pikir hubungan percintaan jarak jauh semacam itu akan bertahan lama? Lagipula kau tak tahu kan siapa yang berada di balik akun Spencer itu? Bisa saja dia seorang pria tua gendut, berkumis, dan pedophil. Atau Kakek-kakek tak sadar umur yang menyukai gadis muda sepertimu. Kau tidak takut?"
Casie mendengus keras-keras, sorot matanya menyatakan seberapa dia tak setuju dengan tindakan Carla. Okay, kalau terus mendapat ejekan dan nasihat bodoh yang cukup membuat telinganya berasap, Casie tak terlalu mempermasalahkan. Dia seorang gadis millenial yang mana selalu terbuka pada pendapat apapun, meski berbeda dengannya. Dia memaklumi sikap Carla yang selalu menunjukkan perangai menyebalkan alih-alih memberi dukungan terhadap hubungannya. Dia sakit hati setiap kali dianggap bodoh hanya karena selalu tersenyum ketika bertukar pesan dengan sosok 'Spencer' yang dikenal lewat dunia Roleplay. Tetapi ini sudah kelewat batas, mencampuri urusan orang lain apalagi sampai memaksakan kehendak bukanlah contoh teman yang baik. Tindakan Carla benar-benar masuk dalam kategori tersebut.
"Sudah cukup. Aku pergi saja." Casie tak peduli kalau ponselnya masih disandera oleh Carla. Dia bisa menghubungi Spencer lewat perangkat komputer nanti saat dirumah, yang berarti dia harus bersabar hingga bel pulang berbunyi.
Sebelum rencananya terlaksana, sebelum kakinya menjauh barang selangkah, sebelum satu detik terlewat, Carla dengan segala otak jenius kebanggaannya menahan kepergian Casie dengan cara piciknya.
"Well, Dennis, ada yang ingin Casie tanyakan padamu mengenai Basket. Kau punya waktu luang kan?"
Mendengar itu, Casie tentu saja langsung berbalik badan. Dia menatap sengit ke arah Carla, yang tentu saja diabaikan. "Tida—"
"Oh, tentu saja boleh~ Bagaimana kalau sepulang sekolah? Sebentar lagi bel masuk berbunyi." Dennis tersenyum ramah ke arah Casie sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berwarna biru tosca. Sekali lagi, tindakan sepele semacam itu mampu membuahkan sorak sorai para penonton yang entah kenapa masih berdiri setia di sekitaran lapangan meskipun permainan bola basket sudah berhenti beberapa saat yang lalu.
"Apa sih? Tidak mau," tukas Casie seraya berlalu dari lapangan basket. Meninggalkan dua orang yang masih bercakap-cakap di belakang sana.
"Hehehehe.. Maklumi saja sikapnya tadi, dia terlalu malu untuk mengaku di depanmu," jelas Carla tanpa ada rasa bersalah sama sekali.
"Tidak apa-apa kok," balas Dennis masih dengan senyuman melekat pada wajahnya. "Untuk tempatnya, kira-kira di mana?"
Carla mengerutkan pangkal hidung, memikirkan tempat dengan nuansa yang cocok untuk berkencan, tetapi tak menimbulkan kesan canggung. Tempat yang tidak terlalu kentara untuk pendekatan hubungan. "Bagaimana kalau Cafe di pertigaan jalan depan?"
Dennis menggangguk, kemudian merapikan barang-barang seperti handuk kecil —yang sudah cukup basah— dan botol minuman, memasukan ke dalam tas olahraga kecil. "Baiklah, biar aku yang traktir."
"Sungguh?" Wajah Carla nampak berseri-seri dengan binar-binar kecil memenuhi kedua bola mata. "Casie pasti akan sangat senang~"
"Ya sudah, sampai ketemu nanti." Dennis melangkah pergi sambil melambaikan tangan ke arah Carla. Tas olahraga berbahan parasut bergoyang seiring dengan ayunan kaki yang kian menjauh.
Sepeninggal pemuda itu, Carla masih berada pada tempatnya, menyusun rencana yang akan dia gunakan nanti.
"Ini pasti akan berhasil.."
.
.
.
.
.
"Ah~ lelah sekali, apa masih lama?"
Seorang pemuda tampan berjalan lunglai lalu menjatuhkan tubuhnya pada sofa panjang di pinggir ruangan. Dia melonggarkan dasi yang mengikat pada batang leher. Pemotretan kali ini memiliki konsep Pria metropolitan, kesan sexy serta maskulin paling ditonjolkan dalam pengambilan gambar. Tubuhnya yang atletis menjadi sorotan utama, tanpa kain menutupi pahatan eksentrik dari lekukan-lekukan otot juga guratan urat yang menonjol. Bertelanjang dada tetapi masih mengenakan dasi. Potret yang mampu membuat siapapun akan merasa kegerahan hanya dengan melihat, itupun secara tidak langsung.
"Ini minumnya." Alan menyodorkan botol air mineral yang langsung di tenggak dengan rakus oleh Spencer. "Sebentar lagi akan selesai. Kau hanya perlu memakai dua pasang pakaian lagi lalu jadwalmu kosong sampai malam," jelasnya sambil menggeser layar IPad, mengecek jadwal harian Spencer.
"Ini pemotretan paling lama, kau sadar kan?" desis Spencer. "Apa ini yang namanya agensi ternama? Kenapa sangat tidak profesional?" Spencer sengaja mengeraskan suara agar dapat didengar oleh staf dari agensi sebuah majalah yang tengah menyewanya untuk pemotretan.
Mendengar itu, Alan segera merebut botol minum yang masih berada dalam genggangam Spencer dan langsung memukulkan tepat di kepala pemuda itu.
"HEY!"
Teriakan keras dari si model tampan cukup membuat seluruh orang di ruangan serempak menoleh ke asal suara. Bingung dan penasaran. Beberapa orang juga nampak berbisik satu sama lain, menduga-duga apakah akan terjadi pertikaian antara Manajer dengan Model tampan tersebut, sebagian kecil malah sudah mengeluarkan ponsel mereka. Tak ingin ketinggalan momen apapun, barangkali kedua orang lelaki itu sebentar lagi akan saling adu jotos.
"Perbaiki ucapanmu itu kalau tak mau dianggap tidak profesional." Si Manajer lantas melemparkan kembali botol minuman yang jatuh tepat di atas pangkuan Spencer. "Model macam apa yang selalu mengeluh, dulu bahkan kau biasa saja ketika hanya tidur 3 jam sehari." Alan menendang kecil kaki Spencer, secara tak langsung menyuruh model 'topless' itu agar menyisakan ruang untuknya duduk.
Spencer —dengan wajah cemberut— menggeser pantatnya beberapa senti sembari masih mengelus bekas pukulan dari botol minuman. Bagaimana tidak sakit, air di dalam botol itu masih tersisa setengah. Massa benda cair yang berada di dalam wadah bisa membuat kepala benjol.
"Itu kan dulu, jangan bandingkan dengan sekarang," sergah Spencer. Baginya pengalaman pertama memang harus dilalui dengan penuh perjuangan, tidak pilih-pilih pekerjaan juga tidak protes saat jam tidur menjadi lebih sedikit. Tetapi sekarang semuanya sudah berbeda, dengan kerja keras yang telah dia lakukan di masa lampau harusnya saat ini jam kerjanya menjadi lebih fleksibel. "Lagipula, dalam perjanjian kita hanya bekerja selama 3 jam saja. Itu berarti sekarang tidak masalah kalau aku pulang."
"Ya benar."
Wajah Spencer langsung berubah cerah setelah mendengar pembenaran dari sahabat yang merangkap sebagai manajernya tersebut.
"Tetapi mereka sudah membayar dua kali lipat," tutur Alan sambil menunjukkan layar ponsel tepat di depan wajah si model tampan, sebuah bukti pembayaran yang telah masuk beberapa saat lalu terpampang jelas. "Kau tak bisa pergi seenaknya," sambungnya lagi.
"Sial," keluh Spencer dengan suara lirih. Dia tak ingin kepalanya menjadi korban pemukulan lagi. "Kalau begitu mana ponselku?"
Benda pipih berwarna hitam langsung di rebut oleh Spencer tepat setelah Alan mengeluarkan dari dalam tas selempang coklat tua miliknya.
"Astaga.." Alan hanya bisa menggeleng pasrah melihat perilaku Spencer yang lansung autis ketika berhadapan dengan gadget kecil tersebut. "Jadi ini alasanmu membawa ponsel ke sini? Untuk berhubungan dengan kekasih gaibmu?"