"Key! Jangan lupa telepon tante Siska dan tante Nunik, ya!" Kania, mama Keya, berteriak dari arah dapur.
Keya yang sedang mematut diri di cermin mendengkus sebal. Sudah setua ini dan ia masih diperlakukan seolah anak remaja tanggung yang selalu harus diingetin setiap saat. Kalau mau dihitung-hitung, ini sudah ke lima kalinya Kania menyuruhnya menelepon kedua adik perempuan mamanya itu. Mereka diminta untuk datang ke acara --yang selalu ingin ia hindari karena banyaknya basa-basi-- arisan keluarga.
Bukan apa-apa, pertanyaan legend yang sama selalu berulang ditanyakan setiap kali ketemu. Semacam Hey, mana pacarmu? atau Udah umur segini, masih jomlo aja. Atau lebih parah lagi, Makanya jangan kebanyakan kerja, masak duda aja nggak dapet sih? Cih! Membuat Keya sering berpikir, segitu desperate-nya kah hidup ini kalau belum punya pacar di usianya sekarang? Padahal, dirinya sendiri juga nggak pernah ambil pusing. Ia tetap santai dan bisa enjoy menjalani hidup.
Sebagai seorang fashion designer baju wanita yang telah memiliki butik sendiri, Keya memang tergolong berhasil dan mapan. Butik Anne & Key Gallery yang dikelolanya bersama Anne Karamoy, sahabat sekaligus partner in crime nya semasa kuliah di Esmoda, sudah terbilang banyak dikenal di kalangan ibu-ibu pejabat, para sosialita dan sekarang malah merambah ke para artis muda yang mulai menggemari busana hasil rancangannya. Kesibukan ini yang membuat Keya hampir melupakan bahwa usianya seiyanya sudah di ambang batas usia panik. Bukan untuknya, tapi Kania.
Pernah suatu kali, di usia Keya yang nyaris menyentuh akhir tiga puluh, Kania menyuruh Keya bertanya pada kliennya, kalau saja mereka punya anak lelaki yang masih lajang. Jelas saja Keya mencak-mencak nggak keruan. Apa dipikir Keya segitu nggak lakunya sampai harus mengemis-ngemis minta dikenalin sama anak orang yang nggak dikenalnya secara pribadi?
Sejak itu, Keya beberapa kali membawa 'pacar bayaran' ke rumah Kania hanya untuk memberitahu bahwa ia nggak sengenes itu jadi jomlo. Dan tahu tanggapan Kania waktu Keya menggandeng Agus?
"Si Agus itu katanya sales permata, mosok pake baju aja robek-robek. Gak usah sama dia lah, nanti kamu cuma dikasih makan cinta. Nggak sudi Mama punya mantu kayak dia!"
Atau waktu dengan Indra.
"Lah Indra itu bisnisnya MLM, jual mimpi! Kamu mau dikasih makan mimpi apa gimana?"
Lalu Indra pun dicoret dari daftar calon mantu. Baru ketika beberapa tahun kemudian Keya cerita si Indra sudah menikah dan jadi sering jalan-jalan ke luar negeri karena bisnis MLM nya sukses, Kania pun menyesal.
Terakhir dengan Romi.
"Nah, ini anak baik. Dari keluarga baik-baik juga. Mama kenal sama orang tuanya, karena dulu pernah satu almamater di UGM Jogya."
Lalu Keya pun jadian dengan Romi.
Romi memang tampan, dari keluarga berada. Orang tuanya dua-duanya dokter spesialis. Romi sendiri menolak jadi dokter seperti ke dua kakaknya, karena ia ingin jadi arsitek. Karena kemudahan dan fasilitas orang tua, Romi membuat biro konsultannya sendiri. Semasa merintis bisnis, Romi sangat setia pada Keya, namun setelah nama biro jasanya mulai melambung, Keya pun terlupakan. Rencana pernikahan pun gagal, persis di tahun ke dua mereka pacaran. Tepatnya, setelah setahun membina hubungan serius, setengah tahun digantungin tanpa kabar sewaktu Romi memperdalam ilmunya di luar negeri, dan satu semester lagi Keya mencari kepastian tentang kelanjutan hubungan mereka yang menjadi lebih dingin dari freezer es krim Compona di Infomaret.
Sejak saat itu, Kania memang sudah nggak seheboh dulu memaksa Keya cari pasangan dengan kriteria yang berat. Cukup dari bibit, bebet dan bobot saja, katanya, seperti keinginan orang tua Jawa lain pada umumnya. Yang arti sebenarnya kurang lebih sama aja buat seorang Keyara Pramadipta. Pemerkosaan hak pribadinya untuk memilih berdasarkan cinta dan kebutuhan.
"Keya berangkat, Mam." Gadis manis bermata bulat dengan rambut panjang melewati bahu yang diberi highlight coklat terang itu mencium ke dua pipi Kania, dan buru-buru melenggang ke luar pintu sebelum Kania meneriaki untuk ke enam kalinya.
"Jangan lupa, Key! Telepon! Teleeppoonn ...!"
.
.