A Hope Under the Moon––––
Kita bertemu di lokasi yang telah kami sepakati dan aku telah berada di sana bersama dengan Lena, Rona, dan Sophia. Sementara itu di sisi lain Syudanco dan istrinya Marry menyusul.
Kami memutuskan untuk sarapan sekaligus memutuskan persiapan selain perlengkapan yang telah dibawa oleh kami, seperti kamera dan alat tulis yang telah kami persiapkan masing – masing sendiri.
"Jadi Lena dan Rona, bagaimana persiapanmu?"
"Aku sudah membawa kamera dan beberapa memori serta lima baterai, untuk jaga – jaga aku juga udah bawa dua charger baterai yang terisi penuh buat persiapan kali ini."
"Bagus kalau begitu. Untukmu Sophia?"
"Aku telah menyiapkan diriku dengan membaca dan juga keperluan pribadiku serta catatan, aku merasa bahwa kita akan mengarungi daerah yang tak ada sinyal. Jadi aku pakai cara tradisional aja."
"Hm, baiklah itu memang gayamu bukan?"
Aku tersenyum kepada Sophia, kemudian aku pun memberitahu mereka bertiga.
"Yap untuk perjalanan kita kali ini, kita akan jalan bersama dua temanku. Mereka udah cukup sering buat ke situs – situs purbakala atau sesuatu misteri untuk mereka selidiki, nah mereka mau nyusul kita bentar lagi."
"Eh, kau punya kenalan model seperti itu?"
Rona bertanya padaku.
"Oh, tentu saja… masa orang sepertiku ga punya temen model gitu? Temenku itu dari banyak kalangan lho."
"Ah, jika itu kau mungkin aku akan percaya."
"Hm, memangnya jika yang berbicara seperti itu bukan aku kau tidak akan percaya?"
"Sophia, kau itu sebenarnya ingin kemana? Pakaianmu terlalu rapi untuk perjalanan kita hari ini."
Lena sedikit menanyakan pada Sophia tentang pakaiannya.
"Ya, aku gak ada pemberitahuan dong. Makanya aku dandan rapi hari ini."
"Kita pake baju santai karena kita tahu, bahwa perjalanan ini akan ke pantai."
"Hee, pantai? Serius?"
"Iya, kita mau ke pantai Sophia."
Rona menimpali.
"Yah salah kostum dong gue… mana isinya kaos – kaos biasa lagi pakaian gue."
Sophia sedikit kecewa.
"Ya mo gimana lagi, mungkin nanti kamu bisa beli buat kamu sendiri di mall nanti ya."
"Yaudah, temenin ya Lee? Kamu kudu tanggung jawab loh, soalnya kamu ga bilang sama aku."
"Iya, iya. Aku temenin, kan bareng kita semua. Iya gak?"
Saat aku bertanya pada Rona dan Lena, mereka kompak untuk diam dan tertawa.
Aku kesal dengan sikap itu, jujur saja.
Tapi ya sudahlah, sekali – kali mungkin seperti ini boleh juga.
Alhasil akhirnya aku pun diam dan menuruti kemauan mereka.
"Oke deh nanti aku temenin kamu."
Aku sedikit takut dengan kesannya padaku. Apalagi aku juga belum benar – benar mendapatkan hatinya, juga dia juga masih sedikit bersikap biasa saja denganku.
Akhirnya aku tidak memberanikan diri untuk mengambil langkah awal untuk mendekat dengannya.
Karena itulah mungkin ini momentum yang tepat untuk itu.
Akhirnya kami berdua pun duluan berangkat.
Kami telah sampai di mall dimana dia ingin berbelanja baju untuk kebutuhannya.
"Eh Lee, kira – kira yang cocok buat aku apaan ya buat aku pake nanti?"
"Yah, yang terpenting tidak terbuka, dan terlalu mengekspose tubuh aja. Lagipula kita disana tidak untuk berwisata, atau bersantai – santai. Jadi usahakan untuk ––––"
"Halah, kau bisa berpikir itu untuk nanti ketika kau melihatku memakainya di depanmu, jadi ayo."
Dia pun menarikku, tanpa mendengarkan apa yang aku sampaikan.
Mungkin memang benar, tapi mungkin aku baru merasakannya.
Ketika berada di tempat belanja, wanita adalah ratunya.
Dia berlari – lari kecil di depanku sembari menggandeng tanganku.
Memegangku erat, dia seperti seseorang yang bergantung padaku untuk selalu dekat dengannya.
Untuk saat ini.
Aku sedikit nyaman dengan apa yang dia lakukan saat ini.
Sampai akhirnya kita sampai di bagian pakaian wanita, jujur saja aku sedikit agak terganggu dengan dalaman wanita yang dipajang berderet.
Mungkin karena aku tak terbiasa melihatnya secara langsung begini, tapi mau bagaimana pun aku harus menahannya dan berkonsentrasi pada Sophia.
"Hey, bagaimana jika aku pakai ini, cocok gak?"
"Hm, kalo kamu mau pake itu mungkin kamu harus pake bikini, soalnya itu tipis lho. Ga mungkin juga kamu pake daleman kan buat berenang?"
"Benar juga. Kamu cukup tahu soal selera wanita ya biar terlihat cantik?"
"Ah tidak, tidak. Aku ga begitu."
"Um, kamu pernah ke pantai sebelumnya?"
"Jika aku berkata bahwa masa mudaku dan sekolahku selalu berada di gunung."
"Hm, gunung? Jadi kau tak pernah ke pantai sebelumnya?"
"Tidak, aku tak pernah punya kesempatan untuk ke pantai."
"Pantas saja kamu tidak tahu cara menikmati pantainya."
"Tapi kita kesana malam lho, paling nanti ada banyak orang berkemah disana buat liat sunrise di pantai."
"Eh, serius? Kenapa kamu ga bilang?"
"Untuk masalah itu, aku udah bilang sama temenku jadi cepatlah memilih kostum berenangnya."
"Ah yang ini sama bikini yang ada di sana ya."
"Terserah, aku tak akan melihatmu kali ini."
"Eh siapa yang mau ngeliatin ini ke kamu? Kamu kepedean ya?"
"…"
Aku mulai sedikit kesal, dia menggodaku.
"Hahaha… kamu terlalu menyenangkan buat dibercandain."
Sial, senyumnya sangat membuatnya imut dan juga cantik.
Itu seperti penggabungan dua energi yin dan yang, yang kemudian saling membentuk kesatuan yang memperkuat sosokmu.
Dia seperti itu. Sangat indah.
Dia pun ke kasir untuk membayar kostum itu.
Sedangkan aku berjalan keluar dan sedikit bergumam.
Aku tak begitu mengerti kenapa seorang perempuan ingin melakukan hal yang beresiko untuk terlihat cantik, ya kau tahu bukan. Aku laki – laki jadi aku tak tahu soal perempuan rasanya menjadi apa, maka dari itu aku bergumam demikian.
Namun, di saat yang lain ketika mereka memiliki seorang anak mereka akan menjadi sosok yang berbeda.
Terkadang ada yang biasa saja dan tidak begitu peduli, tapi ada juga yang menjadi sosok ideal dan penuh inspirasi.
Ya, laki – laki pun demikian.
Segalanya memiliki kekurangan dan kelebihan.
Saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan konflik antara mereka.
Cukup saling menerima dan tidak saling menuntut, segalanya telah memiliki haknya dan juga karakteristiknya.
Dia telah selesai membayarnya dan telah ada di dalam tas kertas karbon dari sini.
Kami berdua pun lekas kembali untuk menyusul Lena dan Rona, karena waktu telah menunjukkan waktu yang bisa dibilang molor.
***
Kami pun telah berada di basekamp kami, terlihat Syudanco dan Marry telah berada di tempat tersebut.
Aku langsung memulai beberapa penjelasan,
"Jadi, hari ini kita akan mencari sebuah rahasia tentang ketakutan para nenek moyang."
"Memangnya itu benar – benar ketakutan? Bukankah mereka melakukan upacara sebagai bentuk penghormatan pada roh dan kekuatan benda – benda sekitar?"
"Mungkin itu terdengar seperti isapan jempol, tapi dalam buku pelajaran yang diajarkan kepada para anak – anak menjelaskannya demikian. Memangnya atas dasar apa kau berkesimpulan pada pemujaan dan kepercayaan itu berasal dari "ketakutan"?"
"Ah, akan cukup menggemparkan jika kita membahasnya disini. Karena itu akan memancing orang untuk datang ke perkumpulan ini, bagaimana jika kita berangkat sembari aku memberikan penjelasan pada kalian?"
"Oke lah."
"Sudah siap bukan tentang perlengkapan menginap kita? Syudanco."
"Tentu saja."
"Baiklah kalau begitu mari kita berangkat."
Aku meminta izin pada pemilik untuk menitipkan dua mobil kami.
Mobilku dan mobil milik Sophia yang dinaiki oleh Lena dan Rona karena kami akan menaiki mobil milik Syudanco dan Marry.
Setelah selesai bersiap, berkemas – kemas dan merapikan barang – barang, kami pun akhirnya kami pun berangkat ke tujuan kami, yakni ke selatan.
Pantai yang memiliki karakteristik ombak yang suaranya keras dan juga memiliki bukit yang tinggi.
Kami pun telah berjalan selama beberapa kilometer, kemudian Syudanco memberikan pancingan tentang pembahasan ini.
"Jadi Lee, kenapa kamu memilih budaya masa lalu dibandingkan budaya masa kini? Apakah benar bahwa budaya masa lalu memiliki karakteristik yang lebih baik?"
"Jika kamu berkata demikian, mungkin jawaban yang paling simpel adalah budaya masa lalu lebih baik dari saat ini."
Tiba – tiba Rona pun menyambung obrolan ini.
"Loh, bukannya budaya saat ini terkesan lebih mudah ya, juga sekarang kita juga tidak mudah buat percaya dengan hal takhayul atau mitos yang terjadi. Jadi hidup kita tak mudah terdistraksi oleh hal – hal gaib atau yang semacam itu bukan?"
"Benar apa yang Rona katakan. Bukankah budaya kita saat ini lebih mudah diakses dan juga dipelajari?"
Sophia menimpali.
Tapi sebenarnya mereka semua salah memahaminya.
"Jadi aku ingin meluruskan budaya yang aku pahami dari apa yang aku pelajari dari perpustakaan milik kakekku."
"…"
Mereka diam menyimakku.
"Budaya yang aku maksud adalah, budaya dalam kita memberikan makna pada sebuah kejadian atau peristiwa, benda, tumbuhan, dan juga diri kita sendiri. Nenek moyang kita jauh lebih baik. Saat kita melihat bahwa manusia saat ini terlalu banyak merusak tumbuhan dan juga alam, bukankah itu seperti kita mempecundangi tempat tinggal kita sendiri? Mudahnya begitu. Saat kita memberikan timbal balik yang baik pada alam itu sendiri, nenek moyang kita percaya bahwa itu akan kembali pada diri kita sendiri yang menikmatinya."
"Hm, jadi begitu. Kalau begitu adalah benar bahwa nenek moyang kita jadi lebih baik soal ini. Tapi ini balik lagi soal pemujaan orang – orang di masa lalu, apakah mereka benar – benar melihat hal – hal yang tak bisa kita lihat?"
Marry yang sekarang bertanya padaku.
"Tentu saja. Zaman dahulu alam gaib dan juga alam kita memiliki batasan yang tipis, itulah mengapa, muncul kepercayaan dinamisme dan animisme. Mereka bisa memunculkan ide tersebut karena mereka mendapatkan rangsangan yang nyata bahwa mereka melihat bentuk dan juga kepribadian tiap – tiap benda dan juga alam sekitarnya."
"Eh, jadi begitu. Lantas bagaimana pendapatmu tentang makhluk – makhluk mitologi di berbagai belahan dunia? Seperti elf, dwarf dan makhluk lainnya, apakah orang zaman dahulu memiliki khayalan yang begitu tinggi sehingga mereka dapat menghayal hal – hal yang menakjubkan seperti itu?"
"Jika aku merujuk pada sebuah kepercayaan, di masa lalu bumi dipercaya memiliki sebuah bencana besar yang diistilahkan sebagai kiamat, yang dirancang untuk memusnahkan para makhluk – makhluk ini, sedangkan manusia di saat itu sudah muncul."
"Jadi, makhluk – makhluk itu dahulunya eksis dan berinteraksi dengan manusia. Lantas aku ingin bertanya padamu tentang pertanyaanku, manakah yang lebih murni dirimu ataukah nenek moyangmu?"
"Tentu aku akan menjawab nenek moyangku. Sudah jelas bukan?"
"Syudanco, itu pertanyaan yang terlalu jelas untuk diketahui. Kenapa kau tanyakan itu?"
"Tentu saja aku akan menanyakan hal itu untuk mendengarkan penjelasannya tentang nenek moyang itu seperti apa. Bukankah kau akan menerangkannya pada kami?"
"Tentu, aku akan menerangkannya. Bahwasanya alasannya simpel, bahwa nenek moyang kita memiliki pemikiran yang murni, tindakan yang murni yang secara turun temurun diberikan kepada anak - anak mereka. Mereka melihat sesuatu dengan hal - hal yang tak pernah bisa kita bayangkan saat ini, karena itu tadi. Rangsangan yang kita dapatkan dan mereka pun berbeda dari yang aku jelaskan tadi bukan?"
"Oh jadi begitu kemurnian itu dinilai dari tindakan mereka dan kita. Jadi, apakah itu penurunan kualitas kemurnian kita saat ini terus terjadi daripada di masa lalu?"
"Aku jawab iya, itu terjadi karena perkembangan zaman modern ini bebarengan dengan pertukaran budaya dan juga filsafat di belahan dunia yang lain, semuanya hari ini bisa saling bercampur. Kepercayaan yang saling bercampur dan terbagi itulah, darah keturunan, ilmu pengetahuan, tradisi setempat membaur dan kemudian kehilangan asal usulnya sebagai sebuah hal yang sakral. Bukankah kita sama – sama merasakannya sekarang?"
"Oh, jadi yang dimaksud buku ini adalah bahwa kita pada akhirnya akan semakin jauh dengan apa yang generasi awal lakukan, begitu?"
"yap, bisa dikatakan bahwa buku yang aku baca sering mengatakan begitu dan kemerosotanitu terjadi di tiap hal. mulai fisik, itu terjadi karena kualitas makanan yang dikonsumsi juga udara sekitar. Kemudian, ada juga pandangan hidup, ini dipengaruhi pada pendidikan orang sekarang. tinggal di luar negeri, dan mempelajari budaya asing lantas mencampuradukkannya dengan budaya awal hingga terjadinya asimilasi dan saat semuanya telah bercampur, maka kemurnian itu akan semakin sulit untuk ditemukan."
"ah, jadi begitu. Meskipun penjelasan itu terkesan bertele – tele, itu sudah cukup bagus. Oh, jadi begitu."
"Ah kalau begitu apakah budaya masa lalu selalu memiliki keunggulan dibandingkan budaya saat ini?"
"Tidak pasti, karena itulah. Menggali budaya yang terkubur oleh sejarah selalu memberikanmu sebuah tensi yang sangat menarik."
"Kau memang terlalu banyak memakan buku yang ada di tempat kakekmu. Kau jadi lebih persis seorang peneliti dibandingkan seorang jurnalis."
"Ah ga gitu juga. Kalian aja yang terlalu melebihkannya. Ini hanya karena akulah satu - satunya yang peduli dengan hidup kakek dan jalan hidupnya serta inspirasinya. Aku berada di sampingnya agar api dalam dirinya terus hidup, namun api itu habis karena energi fisik yang menaunginya melemah, seiring dengan itu apinya pun ikut meredup dan akhirnya padam. Itulah mengapa harus ada seseorang yang menjadi saksi atas padamnya sebuah api yang memiliki kebenaran."
"Gila! Dedikasimu untuk sebuah kepercayaan dan caramu menghargai seseorang benar – benar mengagumkan, pantas saja jika kakekmu mewariskan rumahnya padamu."
"Benar, memang kau terlihat pantas untuk menjelaskan ini dan itu. Aku juga ingin bertanya, apakah peri, elf, dan juga makhluk – makhluk lain itu masih tersisa?"
"Seiring dengan menguatnya alam nyata di Bumi, akhirnya membuat pengaruh alam mereka melemah. Kecuali di beberapa tempat yang mana kebudayaan nenek moyang dipegang dengan teguh, maka pengaruh mereka akan sangat kuat. Bahkan sihir pun dapat dipraktikkan dengan baik di tempat tersebut."
"Jadi, ini semua tentang persepsi? Apakah itu berarti mitos dapat berubah menjadi nyata saat berada di tempat tersebut?"
"Ah, benar. Mungkin begitu, tapi aku akan memberikan beberapa detail mengenai itu. Mungkin dalam kondisi tertentu dan di waktu tertentu sihir akan lebih meningkat, mungkin malam ini. Karena malam ini adalah bulan purnama, dalam beberapa literatur, mungkin gerhana matahari atau bulan lebih mendominasi, tapi bulan dalam keadaan penuh juga termasuk."
"Oh, jadi begitu. Lantas apakah sihir itu mempengaruhi tiap peradaban di masa lalu bahkan apakah itu sampai sekarang masih ada?"
"Tentu, sihir memiliki pengaruh yang cukup besar dari zaman dulu hingga sekarang. Itu dapat dipercaya dari beberapa simbol sihir dari Mesir Kuno itu yang sering dipakai. Karena mereka percaya bahwa sihir dari Mesir Kuno adalah sihir yang kuat, walaupun zaman telah berubah kekuatan sihirnya masih dapat berpengaruh karena siapa yang tak tahu tentang mereka? Itulah mengapa pengaruh sihir itu menjadi kuat."
"Hm, jadi memang begitu rupanya. Lantas apakah mumifikasi itu juga termasuk hasil dari sihir?"
"Tidak, itu bukan bagian dari sihir. Itu adalah Alkemi. Harusnya kalian tahu tentang alkemi, ada yang tahu?"
"Aku coba, apakah itu seperti mengubah logam biasa menjadi logam mulia?"
"Ah, itu memang termasuk ke dalam percobaan alkemi. Tapi jika hanya sebatas itu, maka itu termasuk merendahkan para praktisi alkemis. Padahal alkemi digunakan dalam membuat produksi pangan melimpah, penerangan, teknologi pengairan, dan masih banyak lagi. Bahkan beberapa praktisinya juga merangkap sebagai seorang arsitek sekaligus seorang penyihir."
"Oh, jadi begitu. Ada profesi yang benar – benar sangat berbeda. Alkemis bisa disebut ilmu yang berpengaruh pada hidup dan hajat orang banyak, jika sihir adalah ilmu yang merubah sebuah kemungkinan."
"Bisa disebut begitu, namun sihir adalah sesuatu yang lebih kompleks dari itu. Aku percaya sihir adalah sesuatu yang dapat mengubah dunia."
"Hm, walaupun sihir itu adalah sebuah tipuan?"
"Sihir bergerak sesuai dengan mitos yang terkandung. Semakin dikenal mitos tersebut maka kekuatannya berlimpah, namun ketika kekuatannya berlimpah dan penggunanya terlalu banyak kau sudah tahu bukan?"
"Maksudmu seperti wifi yang dipakai orang banyak di satu ruangan?"
"Pfftt. Hey, kalian kau ini."
Hampir seisi mobil tertawa karena celetukan itu."
"Yah, begitulah. Namun akan berbeda dengan sihir yang didasarkan pada mitos yang mana mereka mengetahui dasar hingga mencapai asal muasalnya. Semakin dalam, maka semakin kuat kekuatan sihirnya bahkan melebihi mitos – mitos yang terkenal."
"Ah, jadi begitu. Apakah kita bisa menjadi penyihir?"
"Hm, mungkin saat ditanya begitu aku tidak terlalu paham. Karena aku tidak mempelajarinya terlalu dalam, aku hanya tahu teori praktisnya. Namun aku bukanlah praktisi dari sihir tersebut. Maaf."
"Oke, aku baru saja menyadarinya. Kita terlalu buta dengan hal – hal seperti itu, namun bagimu sendiri apakah kita dapat mengetahui hal – hal gaib?"
"Menurutku bisa, entah pengetahuan itu benar atau salah. Itu tak dapat diputuskan, karena itulah alam gaib adalah persepsi batin kita sendiri. Bayangan diri kita saat beresonansi dengan energi mereka. Maka, saat seseorang menerangkanmu apa yang dia lihat dari hal yang gaib, terima atau kau bisa menolaknya."
"Jadi begitu. Apakah itu terjadi karena saking minimnya tempat yang dapat menjadi penghubung antara alam kita dan mereka?"
"Tepat sekali. Itu alasan utamanya. Karena itulah tak dapat dipastikan."
"Ngomong – omong, perjalanan kita kayaknya masih panjang ya?"
"Benar, masih ada sekitar dua jam lagi buat sampai di sana. Setelah kita melewati jalanan menanjak dan juga curam, kita akan diberikan pemandangan yang memuaskan nantinya."
"Oh, jadi begitu. Baiklah jika begitu aku akan beristirahat sebentar, nanti bangunkan jika posisi kita sudah dekat."
Ketika Rona izin untuk istirahat duluan, saat mobil kami berhenti di lampu merah aku melihat seorang nenek tua yang sepertinya aku pernah melihatnya.
Dia berada di pinggir jalanan di sebelah kerumunan dan kemudian tangan kirinya menunjukkan arah tertentu. Secara ekspresif dan atas dorongan yang tak aku ketahui, aku pun mendesak Syudanco untuk lekas melaju ke tujuan.
Orang – orang yang tersisa melihatku dan merasa bahwa aku sedikit aneh saat itu.
Aku pun meredakan sikap dan merapikan diriku.
"Ah, maaf. Sepertinya aku tiba – tiba saja melihat sesuatu."
"Hm, sesuatu? Apa itu sesuatu yang menakutkan?"
"Um, tidak. Tidak ada. Mungkin aku hanya salah lihat."
"Okelah, minum aja air putih kalo emang butuh. Kayaknya kamu kurang minum sampai halusinasi begitu."
"Ah, makasih buat sarannya."
"Tentu saja, lagipula aku adalah juniormu. Aku juga berada di bawah bimbinganmu, jadi aku harus bisa diandalkan dalam waktu seperti ini."
"Ah, yah… terima kasih ya Lena."
Aku pun meneguk air putih dalam botol kemasan sebanyak lima tegukan.
Setelah itu aku berpikir lagi tentang apa yang aku lihat.
Saat aku mengingatnya lamat – lamat, aku pun menyadari bahwa nenek itu persis sama dengan yang bertemu denganku di alam mimpiku.
Namun, setelah itu perjalanan kami baik – baik saja tanpa ada kendala.
Semuanya bisa dibilang lancar tanpa ada barang yang tertinggal atau perlengkapan yang kurang.
Kita telah sampai di tempat tujuan, kami membuat tenda yang sedikit jauh dari keramaian tenda – tenda yang ada di sekitar.
Setelah mendirikan tiga tenda, kelompok wanita pergi untuk mencari kayu bakar.
Sedangkan aku dan Lee melihat – lihat sekitar perkemahan yang ada di pantai ini.
Pantai dengan pasir putih ini serta sebuah karang yang menjulang tinggi di depan lepas pantai ini terasa sedikit aneh. Perasaanku berkata demikian, ditambah lagi setelah pasir pantai habis ada karang yang datar sejauh lima hingga enam meter.
Di sebelah kanan dari perkemahan, ada sebuah bukit yang cukup tinggi.
Aku juga khawatir bila malam ini turun hujan, karena cuaca mendung saat ini.
Aku pun beberapa kali menyapa anak – anak yang berumur tujuh belas tahunan ini.
Mereka berkata bahwa mereka sedang libur sekolah dan menginap di pantai ini selama dua malam. Mereka mengaku jika mereka berasal dari satu rombongan yang berisi 15 orang, sembilan orang laki – laki, perempuan adalah sisanya.
Kemudian aku berjalan agak jauh menaiki bukit tersebut.
Bukit yang cukup terjal, dan juga berdebu. Aku melihat sebuah gubuk kayu yang telah ditinggalkan.
Aku pun menerka – nerka bahwa itu adalah tempat yang ditunjukkan oleh kertas yang ditinggalkan oleh laki – laki misterius itu.
"Hey, Lee bukankah itu gubuk yang ditunjukkan di kertas itu?"
"Ah benar. Itu memang lokasinya nampaknya, tapi apakah kita boleh berada di tempat itu?"
Aku sedikit khawatir, wajahku pun mencoba meyakinkan pada Syudanco bahwa saat ini bukan saat yang tepat untuk masuk.
"Tidak, Lee. Kau harus masuk dan melihat ada apakah di dalam tempat itu."
"Hm, baiklah."
Akhirnya kita mendekati tempat itu, kemudian membuka pintu tersebut.
Kami sedikit terkejut dengan apa yang ada di dalam gubuk tersebut, sebuah meja kerja serta kertas yang saling berserakan di atasnya saling menindih satu sama lainnya, berwarna krem hingga putih, jenis kertas yang bermacam – macam. Aku pun melihat ada sebuah buku di sana.
"Lihat Syudanco, ada sebuah buku yang dijilid dengan kulit, serta pengikat besi yang cukup kuat."
Sembari menunjuk buku tersebut, Lee pun mengikuti arah petunjukku.
"Benar, ambillah. Siapa tahu ada sesuatu yang dapat kita ketahui disini?"
"Baik."
Aku pun berjalan dan mengambil buku tersebut.
Aku pun membuka pengait besinya, dan membukanya pelan.
Necronomicon.
Judul yang aneh, tak ada petunjuk apapun lagi.
Di dalamnya banyak keterangan yang tak dapat dipahami oleh Lee, karena memiliki bahasa yang cukup aneh baginya.
"Kau tahu sesuatu?"
"Tidak. Hanya keterangan dengan bahasa yang tak dapat aku mengerti, serta ilustrasi – ilustrasi pengikut satanis."
Lee sedikit lemas dengan apa yang di dapatkan Lee kali ini, mungkin dirinya sedikit kecewa.
"Kau serius, bukankah benda itu sangat aneh berada di tempat seperti ini?"
"Kau benar, sangat aneh. Tapi mungkin saja laki – laki itu ingin mengamankan buku ini dan membuat kita memilikinya terlebih dahulu."
"Oh, benar juga. Berarti kita cukup beruntung."
"Benar, kita cukup beruntung."
"Kalo gitu, ayo kita cepet balik."
"Ayo."
Akhirnya kami pun keluar, namun ketika kami keluar dari sini ada dua orang yang ingin kemari dahulu tapi mereka melihat kami dan berlari. Mereka berasal dari arah lain bukit.
Kami hanya melihatnya dan menyangka jika itu hanyalah anak perkemahan yang sedang bermain.
Sore ini kami mendapat buku misterius, lalu akhirnya petang tiba. Kami mencoba untuk menyalakan unggun kami setelah para wanita telah menemukan kayu bakar yang cukup untuk malam awal dan malam akhir menjelang pagi.
Akhirnya api menyala, membakar kerak – kerak tipis kayu kering yang tersusun.
Ada makanan khusus yang telah kami bawa hari ini, yakni ubi.
Marry yang membawanya.
"Hey ini enak, cobalah Sophia. Apakah kamu pernah makan ini?"
"Oh ini makanan yang cukup enak. Ini benar – benar membuatku sedikit bernostalgia ketika masa kecilku berada di desaku yang terletak di kaki gunung. Sembari mengobrol dengan orang tua, menikmatinya bersama dengan the tawar, di depan perapian tradisional khas yang juga digunakan untuk memasak. Bagaimana menyebutnya, itu seperti pawon dalam bahasa daerahku."
"Oh, jadi kamu ga asing sama makanan ini. Jadi siapa yang asing sama makanan ini?"
"Coba Marry tanyakan hal itu pada mereka berdua yang ada di sana."
Syudanco memberikan saran pada Marry tentang siapa yang berhak merasakan ubi bakar miliknya dengan menunjuk ke arah Rona dan Lena.
"Ah benar sekali. Ayo sini, coba ini. Mumpung masih panas."
Marry menyodorkan ubi bakarnya kepada mereka berdua.
"Eh, Ah… iya. Nanti kami akan ambil. Ehehe…"
Rona menolaknya dengan halus.
"Um, ya ga gitu caranya. Kamu ini kudu makan ini supaya suasana kempingnya jadi lebih berasa."
Marry sedikit memaksa.
Aku pun melihat ke atas langit, aku pikir langit yang tadinya berawan kini sedikit lebih terang.
Beberapa bintang pun terlihat.
Ketika suasana kekeluargaan terdengar dari keributan Rona Lena dan Marry, di sisi lain rombongan kemah lainnya pun sayup – sayup terdengar suara nyanyian dan juga guyonan yang sama.
Tentu saja, itu membuat suasana disini menjadi hangat dan tidak begitu sepi.
Walaupun demikian aku bertanya – tanya, apa sebenarnnya dibalik suara deru ombak yang saat ini menghiasi suara orang – orang disini.
Apa yang terjadi dibalik kegelapan lautan yang tak pernah kami lihat selama ini?
Apa yang sebenarnya tersimpan dibalik ikan – ikan yang bermilyaran, karang, serta bangkai kapal dan juga arus deras lautan?
Apakah kita telah selesai menjelajahi planet kita sendiri?
Hanya itu yang membuatku bertanya – tanya di tengah keramaian ini.
Namun khayalanku tentang lautan itu pun terusik karena keramaian dari anak – anak sekolahan yang kebetulan ada bersama kami saat ini.
"Hey, kenapa mereka?"
"Entah, mungkin semacam event kegiatan sekolah, atau pramuka di mana salah seorang anggota kegiatan mereka tiba – tiba mimpi buruk atau kerasukan, bahkan mungkin melihat penampakan."
"Hm, kalo begitu mungkin ––––"
Tak sempat untuk aku selesaikan, tiba – tiba suara teriakan terdengar sekali lagi, kemudian tak berselang lama kembali lagi, dan terus hingga lima orang kemudian itu berhenti.
Saat mulai tenang kami pun mencoba untuk menghampiri mereka.
"Siapa yang menjadi pemimpin kalian disini?"
"Abdul kak."
"Mana yang namanya Abdul?"
"Saya kak."
Seseorang melangkah satu kaki mendekati kami.
"Nah, sekarang coba jelaskan pada kakak, ada apa ini sebenarnya? Siapa tahu kami bisa membantu kalian?"
Aku mencoba untuk membujuknya bicara kepadaku.
"Baiklah, jadi saat itu kami sedang bernyanyi bersama – sama di depan api yang telah kami nyalakan. Ada beberapa dari kami yang tertidur terlebih dahulu untuk bergantian, namun mereka malah mimpi buruk dan meneriakkan kata – kata yang aneh."
"Hm, kata – kata yang aneh?"
"Jadi, apa kamu tahu, kata apa yang mereka ucapkan?"
Dia menggelengkan kepalanya, isyarat atas ketidaktahuannya.
Kemudian aku mencoba bertanya pada anak – anak yang berkumpul, hingga seseorang perempuan maju dan memberikanku sebuah tulisan.
Tulisan yang benar – benar aneh dan aku tak dapat membacanya saat itu.
Kertas yang diserahkannya kepadaku bertuliskan kalimat aneh, "wgah'nagl fhtagn…"
"Hm, apakah ada yang memiliki petunjuk lain selain ini?"
Aku mengangkat kertas tersebut ke langit selama beberapa saat.
Kemudian seseorang laki – laki menghampiriku dan membawa sebuah kertas lagi.
Kertas tersebut bertuliskan, "Cthulhu fhtagn."
Aku tak begitu mengerti bagaimana aku harus mengucapkannya?
Tetapi aku lebih heran, bagaimana mereka dapat menuliskannya?
"Bagaimana kau bisa menulisnya?"
"Tidak, bukan aku yang menuliskannya. Tapi mereka yang menunjukkannya!"
"Mereka?"
Pertanyaanku penuh dengan keraguan.
Melihatnya hanya terdiam dengan wajah yang sedikit pucat.
Perasaanku mulai sedikit gusar, suasana kekeluargaan dan juga keramaian serta kesenangan mereka tiba – tiba saja pudar.
Wajah – wajah yang dipenuhi dengan ekspresi sumringah karena kebahagiaan liburan, tiba – tiba dipenuhi dengan ekspresi kebingungan dan juga sedikit rasa takut dari diri mereka.
Aku mencoba untuk mengembalikan suasana agar tidak ada lagi yang merasa khawatir.
Aku melipat kertas pemberian mereka dan menyimpannya ke dalam saku celanaku.
Kemudian aku berkata kepada para anak – anak,
"Baiklah, aku ingin berbicara dengan Abdul dan kemudian mencari cara agar kalian dapat berada disini dengan aman. Jangan khawatir, pasti ini hanya kebetulan."
Ketika aku menyebut demikian Abdul pun masih terdiam.
"Abdul, apakah aku boleh membantu kelompokmu?"
Saat aku tengah mencoba berbicara dengan Abdul, Syudanco mengambil alih beberapa perintah dan mengatur orang – orang lain.
"Abdul?"
"A-aku… aku tak tahu lagi bagaimana aku akan mempertanggungjawabkan ini pada orang tua mereka."
"Kenapa kau?"
"Kakak, aku sangat khawatir dengan rencana ini. Bahkan aku yang menentangnya karena aku memiliki firasat yang buruk soal kegiatan ini, tapi mereka teman – temanku memaksa dan aku harus ikut kemari. Lalu ini yang terjadi."
"Apa maksudmu? Bukankah ini biasa saja?"
"Tidak kak, ini tidak biasa. Kata – kata aneh itu, tidak. Aku tidak ingin mengatakannya, ini benar – benar mengerikan. Aku takut jika nanti seseorang akan membangkitkannya!"
"Huh? Apa yang dibangkitkan oleh seseorang itu, Abdul? Katakan, apa yang sebenarnya kau lihat jau sebelum ini?"
"Sebuah tempat, seperti kuil yang dipuja oleh beberapa orang, lantas ada beberapa orang yang kemudian dikorbankan. Lantas mereka yang berkumpul dan mengorbankan itu mengucapkan kata yang sama, "Ph'nglui mglw'nafh Cthulhu R'lyeh wgah'nagl fhtagn." Begitulah ketika aku melihatnya. Suasana ketika itu benar – benar mengerikan dan mencekam, tapi aku melihat sebuah tentakel besar yang melayang – layang. Di tengah kabut dan hujan yang tak berhenti."
"Ha? Apakah itu benar – benar penglihatan yang nyata?"
"Iya, maka dari itu aku selalu mencurigai lautan yang penuh dengan kegelapan."
Tanpa aku sadari, anak ini melihat sebuah penglihatan yang benar – benar mirip denganku.
Namun, aku bukanlah seseorang yang akan melakukan hal – hal buruk dengan mengorbankan orang – orang di sekitarku. Lantas siapakah sebenarnya orang yang akan mengorbankan kita dari sekian orang disini?
Syudanco? Tidak, itu tidak mungkin dia memiliki istri disini serta aku yang mengetahui dirinya.
Lena dan Rona? Apalagi, Lena tidak mungkin mengorbankan orang lain demi tujuannya sendiri. Dia orang yang lemah lembut, juga Rona? Entahlah, dia hanya memendam masalahnya sendiri dan menanggung itu sendirian.
Sophia? Tidak aku rasa dia paling tidak mungkin untuk mengorbankan orang lain, apalagi dia takut dengan darah.
Marry? Hm, mungkinkah dia yang akan melakukan pengorbanan untuk makhluk itu? Entahlah, nampaknya dia bukan orang yang tertarik untuk mengorbankan suaminya dan temannya sendiri dalam situasi yang benar – benar tidak menyenangkan ini.
Setiap orang disini pasti berusaha mengatasi masalah besar yang sedang terjadi dan bersatu berkumpul untuk mendapati ketenangan dan juga rasa aman.
Rasanya tidak mungkin, aku mempercayai semuanya!
Aku pun mengantar Abdul kepada Rona dan Lena.
"Rawatlah, sepertinya tekanan ini membuat pikirannya sedikit kacau dan perasaannya gelisah. Jadi aku pikir dia akan sedikit menghambat proses ketenangan anak – anak, jadi aku minta tolong yah."
"Oke, aku akan merawatnya. Aku percaya bahwa kau bisa diandalkan di saat – saat yang seperti ini."
"Ya! Tentu saja. Aku akan menolong anak – anak ini."
Akhirnya aku pun bergabung dengan anak – anak yang dikumpulkan oleh Syudanco, beberapa anak bertugas untuk memindahkan perkemahan dan membuat perkemahan dekat dengan perkemahan kami.
Lantas aku mencoba untuk bertanya kepada Syudanco tentang proses pemindahannya.
"Bagaimana apakah ada cukup ruang?"
"Ya, masih cukup lagipula pantai ini juga cukup luas. Dan juga prosesnya berjalan dengan baik. Mereka adalah anak – anak yang cukup baik, juga mereka juga memahami situasi dengan baik. Jadi prosesnya tidak memakan waktu lama, serta suara deru ombak perlahan semakin keras. Aku cukup terganggu dengan suaranya, semakin lama, suaranya semakin membuatku semakin begidik ngeri karena mulai memikirkan hal – hal yang tidak – tidak."
"Hm, jadi ––––"
"Jadi jangan memikirkan hal aneh – aneh saat seperti ini. Jika kau merasa ada sesuatu yang janggal atau sesuatu yang membuat situasi bertambah kacau bicarakan hal itu dengan orang yang tepat. Kita tidak bisa membiarkan hari dimana mereka bersenang – senang menjadi mimpi buruk di tempat ini, mengerti?"
"Oh tentu."
Syudanco membuatku sadar, bahwa mengkhawatirkan keadaan hanya akan membuat situasi menjadi rumit.
Serta itu sudah semestinya membuat situasi tenang dan tidak panik.
Kita yang dewasa harus menangani situasi dengan tepat dan juga langkah yang minimal untuk membuat anak – anak merasa lebih baik.
Aku melihat ke arah Sophia, dia mulai dekat dengan anak perempuan, sedangkan Marry mengurus anak laki – laki.
Kami mencoba mengisi peran yang belum diisi, mungkin aku yang mencari misteri demi misteri yang ada di tempat ini bersama dengan Syudanco.
"Syudanco, apa kau menemukan sesuatu?"
"Ah ya benar, seseorang menyerahkan benda ini."
Syudanco memperlihatkannya kepadaku, dia memegang benda yang sangat aneh dan juga asing menurutku.
Menurutku itu adalah benda yang dibuat sebagai jimat atau pemujaan terhadap sesuatu, kau tahu ini seperti patung.
Tapi makhluk yang ada pada patung itu benar – benar berada pada level yang berbeda.
Makhluk yang benar – benar aneh dan asing.
"Benda apa itu?"
"Entahlah, tapi aku curiga bahwa seseorang sengaja meninggalkannya disini."
"Ya, aku pun berpikir begitu. Tapi bukankah ini waktu yang tepat untuk kita mulai mencari tahu apa yang ada di buku misterius itu?"
"Benar sekali. Kita harus melihat buku itu, siapa tahu dia memiliki petunjuk dari benda ini."
"Ya. Tapi sebelum itu, kita harus mengumpulkan anak laki – laki untuk berjaga – jaga di sekitar kompleks perkemahan."
"Tentu saja."
Aku dan Syudanco memanggil beberapa anak laki – laki yang memiliki tubuh yang besar untuk berkumpul bersama kami berdua.
Agar anak – anak lainnya merasa aman dengan mereka yang berjaga.
Dari perkumpulan inilah aku juga mengetahui jika mereka tidak bisa kembali karena jemputan mereka akan datang sehari lagi.
Tentu saja, perasaan ganjil dan juga tempat yang jauh dari keramaian membuat tempat ini seperti terisolir oleh peradaban.
Namun aku harus tetap membuat anak – anak ini merasakan keseruan dari liburan mereka.
Walaupun ini sebenarnya bukan urusanku, tapi sebagai seseorang yang tak pernah merasakan piknik bersama teman – teman semasa SMA seperti mereka dan melihat kesenangan mereka terganggu itu membuatku sedikit gusar.
Jadi aku memutuskan untuk membantu mereka melewati masa sulit mereka saat ini.
Setelah selesai membagi tugas mereka, akhirnya aku dan Syudanco menuju ke kemahku, aku meraih buku tersebut.
Lantas aku membukanya, melihat – lihat dan mengira – ngira apa yang sebenarnya disampaikan di buku tersebut, walaupun tidak ada yang berarti kami hanya menyibak halaman perhalaman dan berusaha mencari tahu isi dari tiap halamannya.
Gambar – gambar ilustrasi menghiasi penjelajahan kami beserta teks yang tak dapat kami pahami, beberapa gambar pun juga mengilustrasikan makhluk – makhluk aneh yang berlendir, memiliki tentakel, dan juga mata yang aneh.
Saat perhatian kami tertuju pada buku tersebut Sophia mendatangi kami, dan melihatnya.
"Eh, kalian baca buku berbahasa Arab? Hey, kalian serius? Bener – bener deh, emangnya kalian paham secuil itu?"
"…"
Kami berdua terdiam, tak dapat menjawabnya.
Lalu dia merebut buku tersebut dari kami, tanpa kami sadari dengan cepat dia meraih buku itu dari tanganku.
"Nah, buku apa sih ini kok isinya hewan – hewan aneh, juga simbol – simbol satanis dan juga benda pemujaan yang jarang – jarang terlihat."
Sophia masih melihatnya dengan teliti, menganggukkan kepalanya beberapa kali.
Lantas berpindah halaman beberapa kali.
"Oh, jadi siapa yang menemukan buku terkutuk ini?"
"Oh, itu aku."
Aku menjawabnya spontan.
"Dasar, Lee… jika kau benar – benar mengetahui buku ini, ini benar – benar terkutuk. Tentu saja kalian tak akan paham dengan isinya yang memakai bahasa Arab, juga judulnya benar – benar aneh. Al – Azif?"
Akhirnya seseorang mengetahui bahasanya, aku bersyukur tentang kebetulan yang ada di sini.
"Jadi, bisakah kau memberitahukanku isinya?"
"Hm, bagaimana aku mengatakannya padamu… tapi kemampuanku soal bahasa ini tidak begiu bagus, apalagi ada beberapa huruf yang seperti berasal dari bahasa Arab kuno."
"Hm, jadi tidak banyak membantu juga."
Syudanco mengambil kesimpulan.
Tapi mau tak mau kita bisa mempercayai hasil dari bacaan Sophia.
"Baiklah, walaupun tak semuanya minimal aku ingin kau mencari keterangan tentang benda ini."
Aku memperlihatkan benda yang seperti patung.
"Jadi benda itu. Jika apa yang telah aku baca tadi sejenak itu adalah patung yang benar – benar terkutuk, benda yang dibuat untuk mengaitkan mereka dengan manusia."
"Siapa yang kau sebut dengan mereka Sophia?"
"Entahlah, mereka sulit untuk diidentifikasi huruf yang digunakan."
"Jadi begitu, baiklah terima kasih sudah membantu. Jika ada sesuatu yang membuat kami bingung mungkin kami akan menanyakannya padamu."
"Oh iya, tadinya kau mau apa?"
"Ah, hampir saja aku lupa, aku ingin menanyakan kalian soal ini. Tapi apakah tidak masalah?"
"Tentu, kau bisa menanyakannya."
"Barusan aku melihat api di atas bukit, api beberapa sumbu melayang. Aku pikir ada beberapa orang yang melakukan sesuatu yang mencurigakan di atas sana, anak laki – laki melaporkannya padaku karena mereka tak berani untuk mendatanginya jadi aku harap kalian berdua mau untuk mengecek bukit itu, apa kalian mau?"
"Ya! Kami berdua akan kesana."
Aku menjawabnya tegas, aku merasa bahwa mereka ada hubungannya dengan ini.
Jadi aku harap dapat menemukan kejelasan dari mereka.
Akhirnya aku pergi bersama dengan Syudanco ke bukit kembali untuk bertemu dengan pemimpin sekte tersebut dengan membawa buku misterius ini.
***
Kami berdua pun menaiki bukit kembali, tapi kami tak mendapatkan hasil nyata.
Hanya ada potongan – potongan bambu berdiri setinggi satu meter dengan api di ujung atasnya yang berbentuk melingkar.
Aku dengan Syudanco hanya memandangi satu sama lain, seakan – akan kami sama – sama bertanya tentang apa yang ada di hadapan kami.
Kami pun mengelilingi lingkaran bambu tersebut dan tak mendapati apapun.
"Jadi, mereka hanya meletakkan bambu – bambu ini?"
Syudanco mengungkapkan kekecewaannya.
"Hm, mungkin sebenarnya mereka hanya memberikan sebuah tanda."
"Eh, tanda?"
Syudanco seperti menyadari sesuatu, mencoba memastikan kesimpulanku.
Aku pun meneruskan kesimpulanku.
"Benar, sebenarnya bisa saja ini hanya untuk mengalihkan perhatian atau memberikan orang lain petunjuk itu yang aku rasakan saat ini."
"Eh, tunggu dulu Lee. Jika ini adalah tanda maka ––––"
Ekspresi Syudanco sedikit berubah, matanya melotot dan
Belum selesai kata – katanya sebuah teriakan terdengar.
"Aaaa…"
"Lee tolong kami!!!" Sophia berteriak kencang.
Tanpa kami sadari kami melihat gemuruh di pantai.
Tepat dimana kami semuanya berkumpul di perkemahan. Penerangan api yang dibuat pun ada yang padam dan tidak. Dalam penglihatanku, segala yang terjadi di bawah sana adalah kekacauan, mungkin beberapa orang berhasil diculik oleh mereka.
Aku mengingat sesuatu, bahwa mungkin saja mereka menginginkan buku yang sekarang berada di tanganku. Al-Azif, begitulah Sophia memberitahukannya padaku.
Bagiku itu nama yang benar – benar asing, karena asal – usulnya juga masih belum aku temukan sampai saat ini, sehingga mungkin penyelidikan tentang buku ini akan aku lakukan setelah perjalanan ini.
Apakah perjalanan pertamaku ini akan baik – baik saja?
Ini terlalu gila.
Siapa sebenarnya mereka?
Kenapa mereka menginginkan buku ini?
Ini benar – benar membuatku sedikit merasa letih dan kelelahan karena pikiranku yang kemana – mana.
"Lee!"
"Ah, Syudanco…"
Aku menjawabnya dengan lemas.
Aku pun mulai terkulai dan terjatuh ke rerumputan yang ada di atas bukit.
Syudanco pun berteriak sedirian.
Syudanco melihat semuanya, proses penculikan itu, kerusuhan yang terjadi. Anak – anak yang terluka. Semuanya dia yang melihatnya, sedangkan aku berada di punggungnya, disangga oleh kedua tangannya di pinggulku.
Penyerbuan sepihak itu pun selesai. Syudanco bergegas membawaku kembali ke perkemahan.
Syudanco melihat Lena dan Abdul yang tengah berada di sana mereka berdua terlihat terluka, beberapa anak laki – laki yang masih kuat pun membantu untuk memperbaiki keadaan yang kacau saat itu.
Anak – anak itu pun melapor pada Syudanco bahwa Sophia dan Marry dibawa oleh mereka.
Kemudian Syudanco pun meletakkanku di kemah milikku.
Dirinya bergegas membantu orang – orang yang ada dan mencoba memastikan apa yang terjadi dengan benar dan menarik informasi serta kesimpulan agar memastikan pergerakan yang perlu dilakukan untuk menjemput Marry dan Sophia.
Jika terlihat dari luar, aku sedang pingsan.
Namun sebenarnya aku tengah merasuki alam bawah sadarku dan berada di sebuah tempat yang asing.
Sama seperti sebelumnya, sebuah tempat yang dipenuhi dengan daratan hitam yang lengket tapi tidak menempel di tangan dan telapak kakiku.
Tapi kali ini berbeda, terlihat jelaga hitam melayang di beberapa tempat.
Aku terus berjalan dan menyusuri daratan tanpa tinggi dan tepi ini, langit pun nampak sedikit menghijau.
Kemudian sosok wanita tiba – tiba ada di depanku.
Dia membelakangiku.
Rambutnya putih seperti uban, tetapi tubuhnya benar – benar seperti seorang wanita usia dua puluhan. Terdiam dan sedikit panik dan menunggu hingga aku melihat wajahnya atau berbicara kepadaku.
"Kau, kenapa kau sampai ke tempat ini lagi!?"
"A-Aku tidak tahu, tapi siapa kau sebenarnya?"
Aku seperti pernah mendengar suaranya, suara yang tidak asing. Serta dinilai dari apa yang dia katakan padaku, ini bukan kali pertama aku berada di tempat ini dan dia tahu aku.
"Tempat ini sedang dalam masa yang buruk. Karena sebentar lagi makhluk yang tersembunyi di bawah laut akan kembali ke permukaan. Tempat ini adalah tempat yang mewujudkan bahwa dia masih tersegel di kedalaman lautan luas, segel yang dibuat oleh orang – orang dari Lemuria."
"Hm, Lemuria? Jadi tempat ini dibuat oleh Lemuria, lantas kenapa aku dapat berada di tempat ini?"
"Tentu saja sederhana, kau memiliki darah yang dimiliki oleh orang Lemuria, entah bagaimana caranya tapi ada setitik darah Lemurian dalam dirimu. Melihat silsilah manusia saat ini yang sudah saling bercampur aduk antara suku satu dengan yang lainnya, maka itu tidak mustahil bahwa kau pernah memiliki nenek moyang yang sama."
"Lantas apa yang membuatmu berada di tempat ini, dan jawab siapa sebenarnya dirimu?"
"Bukankah aku sudah bilang, bahwa aku adalah Bla – Ekhm, aku adalah Cynthia."
"Jadi begitu, kau terlihat berbeda dengan apa yang terlihat di foto wikipedia. Apakah kau memalsukan identitas atau semacam itu?"
"I-itu bukan urusanmu, tapi aku melakukannya demi keamananku dalam melakukan perjalananku ke berbagai penjuru dunia."
"Lantas di akhir nanti, bagaimana cara kita mencegah makhluk itu kembali?"
"Entahlah, tak ada cara khusus yang dapat dilakukan untuk mencegahnya tersegel. Namun ada satu cara yang benar – benar tabu."
"Apa itu?"
"Melepas segel tersebut dengan darah Lemuria milikmu, maka secara otomatis dia akan terikat dengan dirimu dan berada di dalam dirimu. Itu benar – benar cara yang sangat beresiko tapi saat ini itulah yang dapat dilakukan oleh dirimu."
"Hm, aku?"
"Tentu. Siapa lagi jika bukan engkau."
"Apakah dirimu sudah mati?"
"Hm, jika ditanya seperti itu mungkin ada benarnya jika aku mati. Tapi jiwaku terikat dengan tempat ini, aku telah menjadi penjaga tempat ini dan aku bukanlah bagian dari Lemuria. Seluruh kehidupanku di masa lalu aku abdikan untuk leluhur Lemuria hingga akhirnya aku berada di tempat ini."
"Jadi hanya aku yang dapat menghentikan makhluk itu, kah?"
Aku masih berpikir untuk mengorbankan diriku sendiri di tempat yang penuh dengan pertaruhan ini.
"Jadi apa tujuan makhluk itu berada di Bumi?"
"Tidak tahu, makhluk seperti mereka terlalu sulit untuk dipahami oleh makhluk Bumi. Karena sebenarnya mereka bukan berasal dari Bumi, mereka memiliki unsur kehidupan dan kematian yang berbeda. Mereka sepenuhnya berbeda dengan entitas Bumi pada umumnya. Jadi tentu saja, tak ada yang mengetahui apa yang menjadi tujuan akhirnya."
"Hm, jadi begitu, lantas bagaimana caraku untuk mengetahui tempat persembahan membuka segelnya?"
"Mudah, jika kau telah dihampiri oleh para pemujanya maka kau tinggal menghampiri mereka dan meminta untuk bertemu dengan pemimpinnya. Berhati – hatilah, mereka bukanlah kelompok pemujaan yang bodoh."
"Baiklah, aku akan menghampiri mereka dan mengikuti arahanmu. Sekali lagi, terima kasih karena telah menunjukkanku jalan untuk menyelamatkan temanku."
"Jangan terlalu bergembira nak, aku akan memberitahumu rahasia mengenai makhluk itu jika kau dapat kemari sekali lagi."
"Baiklah, sekali lagi terima kasih."
"Jangan berterima kasih padaku, Tuhan telah menganugerahimu akal jadi gunakanlah itu dengan baik. Jangan kau buat otak yang ada di dalam kepalamu sebagai hiasan, jadi ketika kau berhadapan dengan mereka gunakanlah itu dengan sempurna seperti kakekmu. Huh…"
"Eh, tunggu apa – ka…"
Ketika aku mendengarnya aku benar – benar terkejut, tapi sepertinya kakekku mengenalnya dengan baik. Namun ketika aku berusaha untuk memastikan hal itu dengan baik, dia membuatku tersedot dalam sebuah kabut hitam dan tersadar.
Hari telah berganti dan terik matahari mulai memanaskan pasir pantai.
Aku telah memutuskan apa yang akan aku lakukan saat ini.
***
Tempat lainnya, sebuah bangunan yang tertinggal, disana ada sebuah gua yang sangat luas terdapat beberapa tongkat bambu yang menyala api di atasnya. Tongkat – tongkat itu berada di pinggir jalan menyusuri lorong sepanjang gua yang terus menyelam ke dalam hingga yang tersisa hanyalah penerangan dari tongkat – tongkat tersebut.
Beberapa patung pun telah mereka koleksi, patung yang seperti manusia cumi – cumi dengan tentakel dan sayap kelelawar, serta makhluk – makhluk lain yang entah aku tak dapat mendeskripsikannya.
Yang jelas itu terlihat samar, dan kurang jelas.
Akhirnya ada sebuah tempat luas dimana pemimpin mereka sedang duduk dengan dua pelayan wanita dari sekte tersebut.
Sekelompok dari mereka terlihat 10 orang membawa dua wanita yang aku kenali, Marry dan Sophia. Mereka berdua dibawa ke hadapan sang pemimpin mereka.
Kemudian beberapa orang dari mereka pun menggaungkan yel – yel mereka,
Ph'nglui mglw'nafh Cthulhu R'lyeh wgah'nagl fhtagn.
Mereka melantunkannya sebanyak tiga kali, kemudian ditutup dengan pemimpin mereka yang berbicara.
"Baiklah saudaraku sekalian, hari ini adalah hari yang telah ditentutan. Kita akan bangkitkan dewa dari masa lalu Monster laut dari dasar air terdalam."
Dia melihat ke sekelilingnya, lantas meneruskan pidatonya.
"Kebangkitannya akan menjadi penanda dimana anak keturunannya pun ikut terlepas juga. Maka dengan ini dua persembahan yang ada, kita akan bangkitkan leluhur paling tua, Monster laut dan muncul ke permukaan."
Suara gemuruh mengisi seluruh gua, lantas sang pemimpin mereka pun berjalan mendekati Marry dan Sophia.
"Kalian berdua, berbahagialah karena dengan adanya kalian penguasa sebenarnya yang tak dapat memiliki konsep kematian dunia ini akan berkuasa kembali. Kalian pelayanku, cepat ganti pakaian mereka dengan pakaian kehormatan untuk dipersembahkan kepada Monster laut."
"Baik."
Kedua pelayannya bergegas ditemani oleh regu yang menangkap Marry dan Sophia.
Marry dan Sophia, keduanya sampai di sebuah ruangan yang terisolasi dari orang banyak. Kemudian satu persatu pakaian yang mereka kenakan mulai dilucuti oleh mereka dan pelayan pun mengambil sebuah seragam yang dikhususkan untuk tumbal yang dipersembahkan untuk dewa mereka.
Padahal, apapun yang mereka persembahkan tak akan berguna bagi dewa mereka dan tak mengubah apapun.
Mereka berdua diberikan pakaian yang terbuka dan banyak mengekspose bagian tubuh mereka walau mereka tak ingin, hal ini dilakukan sebagai bentuk usaha bahwa pakaian tersebut tidak mengganggu dewa mereka ketika mencernanya.
Mereka diberikan tudung kepala berwarna hitam tembus pandang yang akan dibuka ketika dewa mereka benar – benar terlihat oleh mereka.
Mereka berdua diikat pada dua tiang yang terbuat dari batu yang ditanam dengan kokoh, dengan sebuah tali di ujung batunya yang cukup untuk menahan mereka berdua agar tidak kabur.
Tapi apa yang sebenarnya mereka inginkan dari kebangkitan dewa mereka, semuanya masih belum jelas dan aku tak dapat memahaminya.
Ketika mereka tengah dipersiapkan menjadi tumbal bagi dewa yang berada di bawah lautan, Rona yang mengikuti mereka pun masih mengintai dan memastikan apa dimana tempat mereka hingga pagi menjelang.
Setelah dia memastikan, tempat tersebut, Rona pun kembali dengan informasi yang telah dirinya bawa dari mereka.
Dirinya dengan sangat keras berusaha untuk mencapai tempat kami.
Sedangkan itu, aku dan Syudanco pun berkeliling dan akhirnya berjalan menyusuri rerumputan yang rusak karena dilintasi oleh orang – orang dari kelompok sesat tersebut.
Ketika seratus meter kami berjalan, sebuah bunyi rerumputan yang tengah dilintasi terdengar di telinga kami.
"Lee, kau dengan itu? Sepertinya seseorang sedang kemari, lebih baik waspada."
"Baik, aku akan mewaspadai mereka."
Kami bersiap akan kedatangan orang itu, namun suara itu tida terdengar tegas dan penuh energi.
Aku dan Syudanco memandangi rerumputan di arah sumber suara dimana bunyi gesekan antara rerumputan dan semak-semak yang rimbun itu pun semakin mendekat. Kami semakin waspada.
Tak ada kata kembali, kami harus lekas bergerak dan menghadapinya saat ini untuk menyelamatkan kedua teman kami.
Ketika kami telah mengacungkan tongkat padanya kami terkejut bukan main.
Bukannya salah satu anggota sekte sesat yang datang melainkan orang yang kami kenal.
Rona datang dengan keadaan yang tidak layak, pakaiannya sobek di sana sini, tubuhnya dipenuhi dengan debu dan juga lumpur. Dia mengikuti orang-orang dari sekte tersebut, begitulah pikirku.
Aku memberikan isyarat pada Syudanco bahwa kita harus kembali Bersama Rona.
Kami akhirnya mengajaknya kembali ke perkemahan, anak-anak sedikit gelisah. Mereka menyambut kami dan memberikan Rona perawatan.
Kemudian Lena pun bertanya pada kami tentang saudarinya,
"Apakah kalian telah diberitahu sesuatu oleh kakakku?"
"Maaf, sepertinya dia belum sempat untuk mengatakannya. Karena saat kami bertemu dengannya kami bergegas untuk mengantarkannya kemari untuk membersihkan diri dan memakai pakaian yang layak."
"Oh, jadi begitu. Berarti belum ada kabar tentang Marry dan Sophia sejauh ini?"
"Belum, tapi nampaknya malam ini, mereka akan melakukan upacara itu."
"Hm, memangnya kau tahu jadwal pengorbanan mereka?"
"Ya ngga tau, cumin firasatku saja. Tapi aku sedikit tidak yakin dengan firasatku saat ini."
"Kenapa? Karena firasatku ketika kita mendapatkan proyek ini, kita mengalami hal-hal misterius ini. Sebenarnya aku benar-benar bersalah saat ini. Aku benar-benar ingin memeluk mereka dan meminta maaf setulusnya pada mereka."
"Hei, jangan begitu. Tidak tepat rasanya bila engkau memangku rasa bersalah itu sendirian di pundakmu. Saat kita semua melakukan keputusan atas dasar situasi saat itu yang menguntungkan kita, lantas apakah resiko itu hanya ditanggung oleh satu orang saja yang menjawabnya? Tidak, kita harus menanggungnya sama-sama. Kita adalah satu tim yang berada di bawah perintahmu Lee. Jadi jangan bimbang dan menyalahkan dirimu sekarang, fokuslah pada bagaimana cara yang tepat untuk menyelamatkan mereka."
"Hm, apakah kita masih sempat saat ini?"
"Tentu jika pilihan takdir itu masih ada.untuk keselamatan mereka berdua."
"Kalau begitu, perintahku adalah jangan mati."
"Baiklah, kau yang menyuruh kita untuk itu."
Saat kami sedang mengobrol, Rona tiba-tiba berada di depan kami dengan hanya berbalutkan handuk saja. Dengan tatapan matanya yang tajam dia pun menatapku dan mengatakan segalanya.
"Cepatlah Lee, bukan saatnya kita mencoba untuk menata hati. Lihatlah kedua teman kita sedang dalam keadaan terancam, malam ini adalah waktunya dan mereka akan mengorbankan mereka berdua kepada objek pemujaan mereka, entah makhluk apa yang mereka sembah, jangan sepelekan nyawa mereka!"
Dengan nada yang sedikit marah dia mencoba mendorongku pada satu keyakinan bahwa aku harus lekas bergerak hari ini sebelum semuanya terlambat.
Aku pun berdiri, kemudian membalas kata-kata Rona.
"Baiklah, memang sepertinya aku harus melakukannya. Terima kasih atas teguran darimu Rona. Kalian semuanya adalah orang-orang yang berharga bagiku, maafkan aku dengan segala sikapku saat ini yang mungkin menurutmu terlalu tenang. Aku benar-benar merasakan kesedihan yang sama dengan kalian, tapi aku masih berusaha untuk tetap melihat potensi dari apa yang dapat kita lakukan demi tujuan dan juga langkah-langkah untuk menyelamatkan mereka berdua."
"Syukurlah jika begitu, jadi cepatlah bergerak dan tunjukkan pada kami kesungguhanmu itu, Lee. Kami tidak akan mengampunimu jika kamu gagal dalam menyelamatkan mereka."
"Hm, baiklah. Tak ada keraguan tentang itu, kau bisa menghukumku sesuai keinginanmu jika aku gagal. Sebagai sebuah tanda, bagaimana aku akan sampai kesana?"
"Berjalanlah ke tempat tadi dan menyusuri beberapa pohon besar, di balik pohon itu ada sebuah bangunan terbengkalai, saat kau telah melewatinya, jangan pernah menurunkan pengawasanmu dari sekitarmu. Karena gua dimana mereka berada sekarang ditutupi oleh tembikar."
Aku pun memeluk Lena, dan Rona seraya memberikan ucapan terima kasih.
Sembari mendengarkan mereka, aku membungkus peralatan seperti kamera DSLR, serta catatan juga baterai dan juga kartu memori. Aku melakukannya hanya untuk membuktikan pada dunia tentang artikelku dan membuat mereka percaya bahwa ada kekuatan dan makhluk superior di atas manusia yang mungkin mengancam mereka.
Setelah aku memasukkannya ke dalam tas ranselku, aku pun berpamitan dengan mereka dan meninggalkan mereka berdua di depan kemahku. Tak lupa aku membawa buku terkutuk itu dan menyimpannya dalam ransel yang aku bawa.
Kemudian aku menghampiri Abdul di dalam kemahnya.
"Hei, Abdul aku ingin meminta sesuatu kepadamu. Jadi bolehkah kita sedikit mengobrol di luar?"
"Hm, baiklah."
"Kalau begitu ayo."
Kami berdua pun memisahkan diri dari komplek perkemahan, dan duduk di sebuah batu yang menghadap ke lautan lepas.
Aku menyuruhnya untuk duduk di sebuah batu bersamaku. Lantas aku mengeluarkan buku tersebut.
"Katakanlah yang sebenarnya Abdul mengenai buku ini? Aku benar-benar penasaran dengan sejarahnya."
"Apakah harus sekarang?"
"Tentu, setidaknya jika aku mati malam ini, aku telah mengobati rasa penasaranku."
"Apa alasanmu bertanya padauk?"
"Tentu saja, kamu cenayang bukan? Maka dari itulah aku ingin memintamu melihatnya."
"Itu adalah buku terkutuk yang berisi tentang makhluk-makhluk dari dunia lain. Makhluk di luar nalar kita serta mantra-mantra terkutuk yang diantaranya adalah menghidupkan orang mati. Buku yang terkutuk ini benar-benar tak dapat aku deskripsikan lagi. Kata-kata yang ada di dalamnya benar-benar asing dan tak pernah terdaftar, namun mantra-mantra itu adalah kepingan teka-teki."
"Oh, jadi begitu. Tak jauh berbeda dengan kesimpulan kami. Malam ini aku dan Syudanco, kakak yang ada disana akan menyusul dua teman kami, Marry istrinya Syudanco serta Sophia temanku. Jika mereka berdua khawatir kami tidak kembali tenangkanlah mereka. Karena aku takut jika aku membawakan mereka kegagalan."
"…tidak, kau harus kembali hidup-hidup. Kau ditakdirkan untuk bertemu dengan kedua teman lamamu. Bukankah kau juga merindukan mereka?"
"…memang benar jika aku merindukan mereka, tapi saat ini adalah posisi yang benar-benar sulit. Jika aku hanya dapat menyelematkan Marry dan Sophia itu masih membuatku lega. Lantas jika yang kembali hanyalah Syudanco temanku, aku benar-benar takut akan hal itu."
"Kalau kau benar-benar takut, serahkan semuanya pada kemampuanmu sendiri."
"Hm, mungkin ada benarnya. Terima kasih atas nasihatnya, aku permisi dahulu."
Aku pun meninggalkannya duduk di atas batu. Melihatnya sepintas aku melihat dirinya duduk bersama dengan bayangan yang tak asing dalam ingatanku. Namun saat aku memastikannya lagi, dia masih duduk sendirian.
Kemudian aku menegaskan langkahku dan pergi menuju ke tempat Syudanco berjaga.
***
Namaku Abdul, seorang siswa SMA yang sedang berlibur dengan teman-temanku. Tak ada hal yang istimewa dariku, segala hal aku hanya rata-rata. Namun, aku memiliki sebuah kelebihan yang tak dimiliki teman-teman sekelasku. Aku adalah seorang cenayang.
Aku dapat berkomunikasi dengan makhluk-makhluk astral dan melihat mereka.
Aku dapat mengerti perkataan mereka, dan mereka pun memberikanku sebagai penghubung antara mereka dan manusia. Walaupun terlihat sangat berjasa, aku tidak begitu berperan, karena teman-temanku merasa jika aku adalah orang aneh. Terlebih secara terpaksa aku ikut ke dalam piknik ini karena orang tuaku yang memaksaku.
Sebelum ke tempat berlibur ini, aku mengalami tiga malam berturut-turut dengan mimpi buruk. Entah apa yang terjadi, aku merasa jika mimpi-mimpi itu saling terkait.
Bertemu dengan Lee dan rombongannya adalah pemicu dari mimpi buruk yang menjadi nyata, itulah yang membuatku ketakutan. Aku merasa jika mereka adalah orang-orang yang jahat sehingga kami mengalami kemalangan. Tapi aku salah.
Sebenarnya, orang yang malang itu adalah Lee itu sendiri. Sejauh ini, hanya Lee yang memiliki masa lalu dan masa depan yang suram. Masa lalu yang sebenarnya cukup menyedihkan, ia tak dapat melakukan apapun selain melihatnya.
Benar-benar masa lalu yang sangat menyedihkan. Aku tak mau membahasnya.
Hari ini nampaknya dia telah memantapkan tujuannya setelah mengetahui sesuatu tentang makhluk apa yang mereka puja.
Sesaat setelah dia pergi dari tempat kami berbincang hari ini, tiba-tiba sosok wanita muda pun menghampiriku dan bertanya padauk tentang beberapa hal.
"Jadi, apa yang kau ketahui dari masa depannya?"
"Tak ada yang terbaik darinya. Dia hanya selalu berjalan menyusuri takdirnya yang suram dan tak berujung dalam lubang yang sama dan seterusnya. Ketiga kawannya pun sama dengannya. Entah apa sebenarnya kesalahan mereka, mereka akan selalu terjebak ke dalam masalah besar."
"Hm, jadi kau bisa menerawangnya sampai sejauh itu ya. Kalau begitu sudahlah, lagipula malam ini adalah malam yang menentukan, aku ingin memperingatkanmu untuk jangan mendekati pantai mala mini karena sepertinya air laut akan meninggi lebih tinggi dari biasanya."
"Hm, baiklah. Aku akan mengatakannya pada teman-temanku."
Dia menghilang. Kemudian aku bangkit dan pergi ke perkemahan untuk memberi tahu Lena dan Rona untuk memindahkan perkemahan ke tempat yang lebih tinggi. Mereka setuju, dan akhirnya semuanya pun pindah setelah dia benar-benar pergi bersama dengan Syudanco.
Ini hanya sepenggal dari kesanku tentang Lee dan teman-temannya.
***
Sementara di altar persembahan. Marry dan Sophia masih menunggu waktu yang tepat sampai mereka semuanya berkumpul.
"Hey, disini benar-benar dingin. Juga apa-apaan pakaian ini. Angin laut malam ini sedikit kencang dari biasanya."
"Ya, kau benar. Malam ini bukan seperti malam yang biasanya. Aku harap Lena dan anak-anak mengamankan diri mereka dari pantai dan naik ke bukit."
"Hm, memangnya ini tanda apa?"
"Ini adalah sebuah tanda bencana. Jika kau bisa melihatnya, burung-burung akan beterbangan menuju ke daratan sedangkan angin berhembus kencang membantu para burung untuk berpindah secepatnya."
"Memangnya ada apa, sampai para burung yang ada di laut pergi ke daratan?"
"Karena malam ini, sumber sebuah ancaman akan muncul dari lautan."
"Hey, jadi kita akan dikorbankan untuk makhluk itu?"
"Mungkin saja, tapi aku tak dapat menjaminnya. Karena itu hanyalah asumsiku. Tapi kau memang benar, malam ini benar-benar dingin dan kita memakai pakaian tipis begini dan terbuka benar-benar membuatku tak nyaman."
"Tapi Marry, apakah mereka akan menyelamatkan kita disini? Sedangkan melihat penjagaan serta tempat mereka yang seakan-akan terisolasi dari tempat lain ini benar-benar membuatku sedikit tidak yakin mereka dapat kemari."
"Hm, entahlah. Yang dapat kita lakukan sekarang hanyalah berpasrah di tempat ini dengan kedua tangan kita yang terikat di bebatuan ini, di belakang kita hanyalah tersisa jurang yang di bawahnya terdapat bebatuan tajam dan lautan yang dangkal."
"Ya sudahlah kalau begitu. Sepertinya kita hanya bisa pasrah."
Mereka berdua pun terdiam, di mata mereka sedikit dingin dengan memperlihatkan sedikit keputusasaan serta harapan jauh dalam diri mereka.
Aku masih berjalan bersama dengan Syudanco, dengan petunjuk yang diberikan oleh Rona.
Segalanya benar-benar asing bagiku, pepohonan yang aku lewati dengan mobil bersama dengan kelompokku aku kira hanya pepohonan yang tidak terlalu rimbun. Namun, saat melintasinya dengan berjalan dan lebih ke dalam hutan ini menyimpan berbagai rahasia.
Pemandangan yang mempesona benar-benar membuatku hampir lupa dengan tujuan utamaku untuk menyelamatkan mereka.
Namun Syudanco memberikan peringatan.
"Hey, saat kau tidak akrab dengan hutan, mungkin hutan akan menyesatkanmu dengan ilusi keindahannya."
"Baiklah, aku akan menata kembali pikiranku sejenak, bisakan kita beristirahat disini sebentar?"
"Oh, tentu."
Kami akhirnya duduk dan memakan sebuah roti sobek.
Kami pun akhirnya membicarakan beberapa hal.
"Hei, Lee menurutmu bagaimana dengan tujuanmu menaklukkan hati Sophia? Apakah kamu masih mempertahankannya?"
Bagiku itu pertanyaan yang cukup sulit, dibandingkan dengan menjawabnya sebelum rentetan peristiwa ini terjadi, menjawabnya saat ini adalah sebuah hal yang sulit dilakukan.
"Hm, entahlah Syudanco. Lagipula, dengan adanya peristiwa ini dan itu, membuatku sedikit mengendurkan dan bahkan melupakan perasaanku padanya. Jika disimpulkan, bisa dibilang aku sudah tak tertarik dengannya."
"Oh, jadi begitu. Apa yang mendasari pikiranmu tersebut?"
"Ini hanya soal prioritas Syudanco, prioritas dimana tujuanmu berada. Mencintai seseorang adalah tujuan besarnya, masalah dengan siapa aku tak peduli. Saat aku siap dan dia siap kami berdua akan menjalaninya. Namun, saat ada sebuah hal lain yang patut untuk ditekuni, aku akan meninggalkan kegiatan mencintai dan fokus pada apa yang menjadi tujuanku saat itu."
"Oh, jadi begitu. Jadi pada dasarnya, meskipun kau terlihat sempurna, kau masih memiliki sebuah kekurangan ya. Yah, tak sedikit juga yang menganggap bahwa mencintai akan menunjukkan kelemahan mereka, bahkan akan merubah daya pikir serta kebebasannya dalam membuat sebuah karya ataupun tujuan. Mungkin inikah yang ada di benak mereka?"
"Hm, entahlah. Kau mungkin hanya menemukan dari beberapa orang yang memiliki pemikiran seperti ini. Tapi aku sangat menghormati mereka yang dapat menikah dan mampu menjadi dirinya sendiri dengan pernikahan itu sendiri. Walaupun aku tak dapat melakukannya, pada akhirnya mereka tetap lebih baik dariku sendiri."
"Ah, jadi begitu. Lantas apa yang mendasari dirimu melakukan penyelamatan ini?"
"Tidak ada kepentingan perasaan kepada orang lain. Aku hanya melakukan semua ini atas dasar mimpi. Mimpi dimana aku bertemu dengan seseorang yang sangat misterius dan terikat dengan sebuah tempat, dia berkata bahwa aku memiliki sepersekian darah Lemuria dalam diriku. Dia mengatakan bahwa sebuah makhluk yang tak dapat dimengerti akan bangkit sebentar lagi, namun dengan darah ini, dia dapat diamankan kembali."
"Jadi, maksudmu!"
"Aku akan menjadi tumbal menggantikan mereka berdua. Dengan begitu aku dapat menyelamatkan orang lebih banyak dari mereka berdua."
"Tidak-tidak bukan itu, lantas apakah engkau akan berakhir disini?"
"Hm, aku tidak tahu. Namun kewajibanku adalah membuatnya tetap seperti semula."
"Jadi, begitu kebenarannya. Apapun yang aku katakan saat ini nampaknya tak akan mengubah keputusanmu. Namun saat engkau tak ada di sampingku, mungkin saja segalanya jadi sedikit abu-abu."
"Tidak, kau masih memiliki istrimu."
"Bukan begitu…"
"Kau masih bisa memiliki anak-anakmu."
"Lee, cukup…"
"Kau masih memiliki keluargamu, atau bahkan masa lalumu."
"Tidak, kau adalah seseorang yang berharga bagiku, tak tergantikan. Kau sudah cukup menderita untuk kesekian kalinya. Jadi aku harap kau lebih menyayangi dirimu sendiri."
"Hm, ya. Mungkin di matamu aku terlihat memaksakan diri, tapi inilah diriku yang sejati. Memberikan segalanya untuk meraih tujuan pribadiku sendiri."
"Baiklah, mungkin ini adalah tujuanmu. Jadi aku tak dapat mengatakan apapun."
Aku melihatnya, tangannya mengepal.
Kami pun meneruskan perjalanan. Setelah kami berputar-putar di hutan, akhirnya kami menemukan sebuah pohon besar yang Rona bicarakan.
"Lee, apakah ini pohon yang dia bicarakan?"
"Entahlah, tapi melihat situasi yang telah kita lalui selama berjam-jam mungkin saja inilah yang dimaksud oleh Rona, kita juga sudah berkeliling dan tak menemukan pohon lain yang sebesar ini diameternya."
"Ya, memang dari pengalaman perjalanan kita sih hanya pohon ini yang paling besar. Apakah kita melihat pohon besar yang lainnya?"
"Um, tidak kurasa. Jadi mari lihat apa yang ada di balik pohon ini."
Akhirnya aku mengangguk dan menyusul Syudanco dari belakang. Dia tersentak sejenak lalu terdiam melihat apa yang ada di depannya.
Aku pun bergegas menyusulnya dan ternyata ada petunjuk dari Rona yang ternyata benar-benar ada di balik pohon besar ini.
"Ah, betapa indahnya pemandangan ini. Namun saying, rumah yang ditinggalkan itu benar-benar sangat mengganggu."
"…"
"Oh tunggu, sepertinya ini adalah tempat yang Rona katakan padamu bukan?"
"Ya, aku baru saja melihatnya dan memang inilah yang sesuai dengan informasi yang diberikan oleh Rona padaku."
"Baiklah, bagaimana caranya kita meyakinkan mereka untuk menggantikan Marry dan Sophia denganmu?"
"Sejauh yang aku ketahui saat ini, tidak ada yang dapat aku katakan untuk meyakinkan mereka bahwa aku lebih baik."
"Jadi begitu, setidaknya ada satu hal. Mereka biarkan dirimu menjadi seorang tumbal utama melengkapi mereka, biarkan dirimu menjadi pemanggil utama dan mereka akan menggunakan darahmu? Begitu?"
"Hm, mungkin begitu bagian besarnya… tapi ––––."
Belum selesai aku memastikan dugaanku, seseorang memukulku dari belakang.
"Sial!" batinku berteriak dan aku tak sadarkan diri.
Aku tak sadarkan diri kembali, dan semuanya gelap.
Aku tak dapat melihat apapun kecuali kedua tanganku yang aku gerakkan, kemudian aku melihat kakiku sendiri.
Lantas apa yang ada di pikiranku saat ini tidak begitu pasti, beberapa hal membuatku merasakan kesakitan.
"Lee!"
Suara seorang gadis yang pernah aku kenal memanggilku.
"Reona? Apakah kau benar-benar Reona?" aku memastikan dan mencoba bersikap tenang dengan mendengarkan suaranya. Suara yang aku rindukan selama bertahun-tahun, suara yang dahulu akrab menyapaku.
Suara yang mengawaliku menuju hari-hari yang indah. Memberikanku pengalaman terbaik dan juga masa-masa yang indah selama sisa masa bersekolah di Akademi. Namun itu juga suara terakhir yang aku dengar dalam keputusasaanku ketika aku pikir segalanya benar-benar baik-baik saja.
"Lee, jangan terlalu memikirkanku saat ini. Kau tidak sepantasnya memikirkan seseorang yang telah tiada seperti itu, jika kau mendengarkanku sekarang mungkin itu berarti ada sesuatu yang berbahaya kamu alami saat ini. Lee, aku ingin selalu berada di dekatmu sejujurnya. Tapi tak bisa, karena memang aku tak bisa melakukannya. Juga aku selalu menerimamu, sikapmu, tawamu, dan juga kebodohanmu, juga perasaanmu padaku. Lee, aku sangat bahagia mengetahuinya. Karena sebenarnya aku pun sama denganmu."
"Reona?! Dimanakah dirimu? A-aku…"
"Lee, jangan bersedih dan berputus asa karena diriku. Sadarlah bahwa sekarang aku tidak nyata. Karena aku hanyalah manusia biasa. Lee, tahukah kamu bahwa aku ragu memberitahumu bahwa aku adalah salah satu dari keturunan benua yang hilang. Lemuria. Ada darah Lemuria di dalam diriku, serta anugerah yang sangat indah, yakni sebuah wujud dan eksistensi untuk mencegah bahaya yang mengancam Bumi. Itulah sebabnya benua Lemuria menghilang untuk menyegelnya. Jika kau tahu, sebenarnya Martin Adler Bey, wali kelas yang jenius itu adalah seorang mata-mata dari sebuah ajaran sesat yang menyembah entitas luar dunia kita."
"Reona? Apakah kau serius tentang ini? Reona?"
"Hm, tentu saja. Dia berencana membunuhku dan membuatmu putus asa. Aku pikir dia tidak memperkosa diriku di depanmu, tapi aku salah mengira. Dia benar-benar hina dan brengsek sejak awal. Maka dari itu dengan terpaksa aku membunuhnya bersama dengan diriku."
"…"
"Maafkan aku Lee, telah merahasiakan ini darimu. Karena ini adalah sebuah rahasia, rahasia yang mungkin akan membuatmu selamat hingga akhir nanti semuanya berakhir."
Aku tak mau menerimanya, takdir yang menyakitkan ini. Benar-benar membuatku tersiksa hingga kini. Pengkhianatan demi pengkhianatan terus terjadi padaku, semuanya berasal dari orang-orang yang aku percaya!! Ini bukan lagi sebuah kebetulan, ini konspirasi!
Seseorang menginginkan diriku tersiksa dengan realitas yang bodoh ini. Aku benar-benar tak ingin menerimanya.
Saat aku tengah berada dalam alam bawah sadarku, Abdul bersama dengan Rona dan Lena serta teman-temannya pun akhirnya berusaha menjauhi bibir pantai dan sedikit masuk menuju tanah lapang yang ada di atas, Rona pun mengendalikan mobil tersebut untuk tetap berada di belakang untuk menerangi jalan dan membangun tenda.
"Abdul, apa kau yakin dengan ini? Kita sudah cukup jauh dengan lautan, apakah kita sudah benar-benar dapat menyelamatkan diri dari ombak pasang?"
Rona bertanya pada Abdul yang terlihat dengan mantap dan yakin dengan langkahnya.
"Iya, kalau hanya ombak pasang, bukankah ini terlalu jauh? Sebenarnya apa yang kau lihat?"
Lena menambahkan pertanyaan untuk memperkuat kakaknya.
"Tentu, Lee telah mempercayakan kalian padaku. Jadi aku akan berjuang untuk dirinya yang tengah berada di antara orang-orang yang sesat. Aku dengan Lee sepakat bahwa mala mini lautan akan sedikit menakutkan dari biasanya."
"Haa? Apa maksudmu itu?"
Rona menyelanya dan tidak setuju dengannya dan berdebat.
Sementara itu saudarinya, Lena diam sejenak dan membuat wajah yang sedikit panik.
"Apakah yang kau maksud itu, Syudanco adalah seorang pengkhianat?"
Lena pun mengatakannya, mereka pun akhirnya menyadarinya betapa beresikonya membuat Lee berjalan bersama dengan Syudanco.
"Lantas kenapa kau tidak mencoba mengatakannya pada kami?"
"Lee membuatku untuk tidak mengatakannya, mungkin dia telah menyadarinya semenjak awal, seperti ketika menemukan buku terkutuk itu, dan juga penculikan yang ada sekarang. Itu telah dirancang oleh seseorang. Sekarang jika kalian ingin menyusulnya aku sarankan kalian membawa apa yang dapat kalian bawa seperti kamera dan juga catatan. Siapa tahu Lee dapat memanfaatkannya."
"Baiklah, kami berdua akan menyusulnya. Aku harap kau menjaga teman-temanmu malam ini!"
"Tentu. Aku akan menjaga mereka hingga jemputan sampai pada kami besok sore."
Mereka berdua akhirnya pun pergi menyusul Lee dan Syudanco.
Sementara itu, di tempat yang cukup jauh dari tempat dimana aku dan rombongan Abdul berada. Seorang laki-laki bersama dengan seorang anak perempuan berada di jalan sedang berjalan.
"Jadi, mau sampai kapan kita akan berjalan, Nashiki?"
"Entahlah, apalagi yang dapat aku katakan padamu bahwa aku tak tahu batasannya."
"Kau memang tak memiliki perhitungan ya atas rencanamu. Apalagi memberikan sebuah petunjuk sepenting itu pada orang asing."
"Hm, aku tidak menunjukkannya kepada orang yang salah. Kalau itu menuju kepada orang yang salah, pemandangan langit yang seperti ini apakah akan terjadi?"
Perempuan itu pun memandangi langit dan mengamatinya, menyadari bahwa sebuah peristiwa besar akan terjadi, dia tak begitu memahaminya.
"Jadi, apa yang akan terjadi Nashiki?"
"Hm, apa yang terjadi? Tentu saja, ini adalah tanda yang akan menandai kebangkitan eksistensi zaman dahulu. Dari apa yang pernah aku tahu dari bacaan di perpustakaan, mereka disebut dengan Outer God dan yang akan bangkit saat ini adalah salah satu dari mereka. Dipercaya, dia adalah salah satu Outer Gods yang menghampiri Bumi dan membangun sebuah tempat untuk makhluk mereka sendiri dan beranak pinak sampai akhirnya sebuah peristiwa besar membuat tempat mereka tenggelam bersamaan dengan mereka."
"Hm, apa-apaan itu? Fakta yang sangat mengejutkan, aku sampai tak tahu harus berekspresi seperti apa. Tapi jika itu benar-benar pertanda, maka itu akan berbahaya dengan tujuan kita bukan?"
"Hm, aku sama sekali tak ada urusannya dengan dunia ini. Satu-satunya tujuanku di dunia ini adalah menunjukkan tujuan pada Ray dan sahabatnya."
"Kau tidak lupa bukan tentang janjimu pada Naomi?"
"Ah… hampir saja, tentu. Aku selalu mengingatnya, tentangnya, senyumannya, bahkan kutukan yang dideranya. Aku memahaminya."
"Jadi, apa yang telah kau dapatkan dalam perjalananmu menuju tujuanmu itu?"
"Belum ada kemajuan sama sekali."
"Hm, baiklah, jika begitu mari kita tolong teman Ray satu ini. Mungkin saja dia adalah salah satu faktor keberhasilan misi kita menolong Ray."
"Baiklah Putri, tak ada yang dapat melawanmu saat kau meminta sesuatu. Aku akan melakukannya."
Nashiki dan Putri pun akhirnya berjalan menuju ke tempat dimana aku bersama dengan orang-orang sedang berkumpul untuk sebuah peristiwa besar.
***
Rona dan Lena menyusulku dan mereka dalam perjalanan untuk menjemputku walau itu terkesan percuma.
Mereka yang berlari setengah jalan pun akhirnya berjalan biasa saja, hingga akhirnya mereka beristirahat sejenak.
Lena yang sebelum ini sudah merasakan ada yang tak beres dengan kakaknya pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya tentang masalah kakaknya.
"Kak, apakah kakak memiliki rahasia?"
"Hm, apa maksudmu? Semua orang pasti punya rahasia mereka masing-masing bukan?"
"Ah, j-jika itu sudah pasti aku pun juga punya itu…"
"Hahaha… baiklah, sepertinya aku sudah tahu maksudnya. Tapi ada satu hal ketika semuanya berakhir kali ini, katakanlah perasaanmu pada pemimpin kelompok ini ya? Jangan sia-siakan kesempatanmu."
"Ah- aaa…" Lena tak dapat merespon kata-kata dari Rona karena wajahnya memerah terbakar oleh rasa malu.
"Baiklah, ini mungkin rahasia yang benar-benar tak ingin diketahui olehmu, tapi jika tidak sekarang aku tak begitu yakin jika aku dapat mengatakannya di kesempatan yang lain."
"Kak?"
"Ya, ini sangat memilukan tapi ini benar. Pada saat itu aku sedang membersihkan kantor milik Pak Sunarto dan menemukan beberapa bukti penggelapan dan juga korupsi anggaran."
"…"
"… lalu tanpa aku sadari dari belakangku Pak Sunarto menyerangku dan memperkosaku dan merekamnya. Aku yang mengkhawatirkan dirimu juga martabat Lee, aku pun mengorbankan diriku sendiri untuk melayani nafsu bejatnya selama ini. Terakhir kali, itu adalah sesaat setelah kita melakukan pertemuan untuk proyek ini. Aku selalu merasa hina dan mulai kehilangan rasa malu yang aku miliki secara perlahan. Aku sadar mungkin aku tak seharusnya melakukan ini dan memberanikan diri untuk mengatakannya pada Lee sebelum semuanya menjadi terlambat, tapi sepertinya aku tak dapat kembali lagi ke jalan yang normal…"
"Kak…"
Lena pun tak kuasa menahan air matanya yang mencoba ia bendung saat mendengarkan cerita kakaknya.
Lena menggenggam erat tangan kakaknya sembari meneteskan air matanya.
"… maka dari itu, aku merelakan perasaanku pada Lee untukmu. Hm, aku terlalu hina untuk Lee. Jadi, jika kau memiliki kesempatan untuk mengatakannya nanti katakanlah bahwa kau mencintainya."
"Kakak!!!"
Lena pun berteriak dan memeluk kakaknya erat.
"…"
Rona meneteskan air matanya, membalas pelukan adiknya dengan kasih sayangnya padanya.
"Dasar kau ini, kita tak boleh berlama-lama disini Lena. Kita harus secepatnya menyelamatkan Lee dari sahabatnya, kau harus memahaminya. Bahwa Syudanco adalah pengkhianat kita selama ini."
Lena pun menyeka air matanya dan kemudian bangkit dari duduknya. Mereka pun kembali bersiap untuk menjemputku.
Aku pun akhirnya tersadar, di sebuah altar bundar dengan garis-garis geometris yang saling bergabung dan tersusun dengan baik. Aku dalam keadaan terikat, di pergelangan kakiku dan di atas mata kakiku.
Aku mendengarnya suara Marry yang memanggilku di belakangku.
"Hei, Lee kenapa kau bisa tertangkap?"
"Maafkan aku, sepertinya aku terkecoh beberapa saat yang lalu dan aku berada di tempat ini."
Sial, aku tak bisa memberitahukannya bahwa suaminya adalah pengkhianat disini.
"Yah, bagaimana dengan barang-barangmu? Apakah ada yang dibawa oleh mereka?"
"Tidak, syukurnya aku masih membawa kamera dan juga buku terkutuk ini kalau masih. Tapi aku rasa mereka hanya membawa buku tersebut."
"Memangnya ada apa dari buku itu?"
"Buku itu semacam kumpulan mantra dan juga makhluk-makhluk tak aku ketahui dan tanpa klasifikasi terdaftar disana."
"Jadi, apakah itu kitab mereka?"
"Bisa jadi. Aku tidak begitu mengetahuinya."
Aku sudah menduganya, mereka akan membawa buku itu. Jika ini tidak berubah mungkin aku akan memulai rencanaku.
Beberapa saat kemudian sepuluh orang berkumpul di altar ini, lima orang berada di sayap kiri dan sisanya ada di sayap kanan. Kami bertiga berada di antara dua barisan tersebut.
Lantas ada tiga orang yang datang yang berdiri di sebuah tempat yang terlihat satu batu lebih tinggi dari tempatku berada. Ada satu kesamaan dari mereka, yakni mereka semua memakai sebuah seragam yang sama, yakni tudung yang menjulur hingga ke tanah dan topeng yang mirip dengan biota laut.
Salah satu dari tiga orang di atas memegang buku milikku.
Aku telah mengira jika orang itu adalah Syudanco.
Jika itu benar, maka aku akan benar-benar memakai rencanaku yang sebenarnya.
Akan aku buktikan bahwa aku tidak akan kalah untuk yang kesekian kalinya!
***
Semuanya benar-benar membuat gerakan yang seragam, mereka melantunkan kata-kata yang sama berulang-ulang, dan benar-benar membuat kami merasakan situasi yang sangat mencekam dan membuat kami merasakan suasana yang benar-benar misterius.
Mereka selalu meneriakkan yel-yel yang sama,
"Ph'nglui mglw'nafh Cthulhu R'lyeh wgah'nagl fhtagn"
Mereka membacanya, melafalkannya sampai terus menerus hingga akhirnya seseorang yang membawa buku terkutuk itu mendekati kami, bersama dengan orang yang ada di sampingnya. Aku kira mereka adalah sepasang ketua dan penasihat.
Kemudian mereka membuka tudung mereka beserta topeng mereka.
"Lee, sejujurnya… mau seperti apapun perjuanganmu hingga kini, tak ada yang benar-benar membuahkan hasilnya. Kau akan melihat sebuah tempat yang benar-benar sangat menyedihkan sampai akhir di tempat ini kembali."
Sebuah suara laki-laki dari laki-laki yang setelah dia membuka topengnya, aku membelalakkan kedua mataku, memerah mukaku dan rasa kesalku ingin memukulnya.
"Hm…Hm…!!! Kau Bajingan!!! Martiiinnn!!!"
Wajahnnya, senyum puasnya yang melihatnya sekilas saja membuatku tahu bahwa dia adalah seorang bajingan sedari awal.
"Ke-kenapa kau ada disini Martin!!!"
"Fuhahahaha… sedari awal, mengikutimu dan berada di sampingmu. Aku menipu istriku hanya untuk membuatmu tahu bahwa aku adalah temanmu yang bernama Syudanco. Kau benar-benar sangat menyedihkan, mendengarkan semua keluh kesahmu, menjadi tempatmu mengadu, kau benar-benar mudah untuk ditipu. Sekarang lihatlah kenyataan pahit ini, Lee saat ini akan aku katakan padamu sekali lagi! "Apakah kau bersedia melihat orang-orang di sekitarmu diperkosa di depanmu lagi?" Fuhahaha… hahaha…"
"Apa keinginanku denganku, Martin!!! Masalah apa yang aku lakukan padamu!!!"
"Kau, kau hanyalah orang yang benar-benar membuatku tertarik. Ah… ya–– menyiksamu benar-benar memberikan sensasi yang berbeda dengan orang lain. Fuhahahaha… hahahaha…"
Aku terdiam, mataku terbelalak. Marry hanya terdiam, Sophia pun demikian. Tiba-tiba dari kejauhan dua anggota sekte sesat ini membawa dua orang baru.
Saat mereka tiba di dekat penerangan yang ada di altar aku langsung tahu bahwa mereka berdua adalah Rona dan Lena.
"Lena, Rona!? Kenapa, kalian ada disini? Kenapa kalian menyusulku!!!"
"Fuhahahaha… lihatlah wajah putus asamu yang dulu itu Lee!!! Itu masih sama, kali ini masih sama seperti dulu, saat aku berada di depanmu bersama dengan Reona, fuhahaha… hahahaha…."
"…"
Tak ada yang bisa aku katakan, tak ada yang dapat aku pikirkan sekarang. Segalanya terasa percuma, rencanaku benar-benar tak berguna. Aku telah ditipu sedari awal, Marry tak dapat bergerak, karena dirinya merasa bersalah atas diamnya.
"Aku selalu menginginkannya sedari awal saat aku melihat wajahmu. Oh, wajah putus asamu ketika itu sampai sekarang selalu membuatku tertarik dan benar-benar selalu mengharapkannya."
"…"
"Sekarang saatnya dirimu menyadari akhirnya. Lee! Inilah akhir dari riwayat perjalananmu!"
Martin memberikan aba-aba pada seseorang di sampingnya.
"Romanic, Sekarang saatnya lepaskan borgol Nona Sophia!"
Aku terkejut saat Martin memanggil Sophia dengan kata Nona, aku kemudian terdiam.
Dia bergerak dan melepaskan ikatan milik Sophia.
"Nona, silahkan berikan kami perintah selanjutnya."
"Huh, bagaimana keadaanmu saat ini Lee-ku yang tercinta? Apakah kamu baik-baik saja?"
Wajahnya yang aku kenal penuh dengan senyum indah dan juga mempesona, bak seorang putri yang dipenuhi dengan bunga-bunga dan lingkungan yang memanjakannya, berubah menjadi seorang pemimpin sekte dengan senyuman tajam yang diarahkan padaku. Seakan-akan memberikan sebuah tanda bahwa dia memang sedang merendahkanku.
"Jadi, apa yang kau khawatirkan bukanlah apa-apa Lee."
Sophia yang bagiku setengah telanjang itu mendekatiku dan menginjak kepalaku.
"…"
Aku hanya diam dan membiarkannya menginjak kepalaku.
"Lee, kau pasti bahagia karena memiliki ketertarikan denganku bukan? Apalagi kenangan belanja bikini bersama-sama. Hahaha…"
Sophia tertawa keras.
Sementara aku tak tahu harus apa selain terdiam dengan tatapan kosong tanpa mampu merespon perkataannya.
Segalanya benar-benar tak sesuai dengan apa yang aku rencanakan dan harapkan.
Saat segalanya mulai terlihat harapannya, aku tak mengira bahwa kejatuhanku akan terjadi semudah ini dan sedalam ini.
Mungkin memang seharusnya, aku memikirkan segalanya dengan baik, lebih baik lagi dan tanpa penyesalan apapun.
Namun, menyadari hal itu seperti sebuah mimpi, segalanya sudah terlambat dan sebentar lagi semuanya akan hilang dari tempat ini.
Aahh, aku mulai merasakan sesuatu yang asing dari perasaanku…
***
Sementara itu, di tempat lain hujan deras mulai turun. Nashiki dan Putri melindungi diri mereka di sebuah pos ronda yang tak terpakai.
Sementara itu, di kompleks perkemahan, Angin kencang memaksa laki-laki membenahi kemah-kemah yang beterbangan dan mulai mengamankan barang-barang ke mobil milik Syudanco.
Abdul masih termenung duduk di atas batu melihat ke arah lautan yang gelap.
Sosok yang sama pun mendatanginya kembali.
"Bagaimana kabar Lee?"
"… jika harus aku katakan saat ini, Lee benar-benar ditipu! Dia ditipu semenjak awal. Aku kira teman-temannya memang benar-benar temannya, tetapi saat ini semuanya terkuak. Sahabat yang paling ia percayai adalah sumber trauma terbesarnya di masa lalu."
"Apakah dia bisa selamat dari kepungan itu?"
"Tentu, kau tahu bukan. Selama darahnya ada di lingkaran altar persembahan, darah itu akan memanggil monster laut itu dan diarsipkan ke dalam dirinya."
"Oho, kau tahu itu ternyata. Tapi semuanya akan bergantung pada pikiran Lee yang kacau saat ini."
"Yap mungkin kau benar soal itu, kita tak bisa berharap banyak. Juga kita memiliki pantangan bukan?"
"Ya, mengubah takdir adalah sesuatu yang terlarang bagi kita yang memiliki penglihatan di masa depan."
"Hm, melihat masa depan itu berarti ada dua kemungkinan, masa depan yang baik dan buruk. Jika ada seseorang yang nekat mengubahnya, tentunya dia pasti pernah mengalaminya dan memutuskan untuk mengubahnya untuk orang yang berbeda dengannya."
"Ah, benar juga… kalau dipikir-pikir kenyataan ini adalah kenyataan yang berbelok dari kenyataan yang sesungguhnya."
"Ha, maksudmu!?"
Tanpa disadari, saat Abdul ingin bertanya soal itu konsentrasi mereka teralihkan oleh suara deru gemuruh lautan yang tengah membentuk sebuah pusaran air.
"Lihatlah Abdul! Sebentar lagi, takdir dunia ini akan berubah!"
"…"
Lautan tengan membuat sebuah pusaran raksaksa yang benar-benar siap untuk mengeluarkan sebuah makhluk yang sangat besar.
Sedangkan di altar Martin membawa sebilah pisau. Dia kemudian melukai Lena dan Rona.
Dia mendekat dan menggoreskan mata pisau tersebut ke perut Lena hingga darahnya menetes. Dan mengalir menuju lingkaran di bawahku. Kemudian Martin bergeser dan mulai menggoreskannya lagi ke perut Rona, tapi sepertinya Martin tak langsung menggoreskannya.
Dia bertanya padaku tentang hidupku selama ini.
"Jadi Lee, apa yang sebenarnya kau kejar dalam hidupmu setelah kepergiannya. Tentang segala hal yang telah terjadi, aku tak sepenuhnya mengetahui dirimu. Jadi katakanlah untuk terakhir kali'-nya'…"
Tiba-tiba Rona bergerak, penjagaan Martin sedang longgar, pergerakan Rona membuat pisau yang ada di genggaman Martin terbang dan menuju ke arahku.
Kemudian pisau tersebut menusuk area ginjalku.
Darah pun menetes dari sela antara pisau dan kulitku.
Darahku pun akhirnya mengalir ke atas altar bercampur dengan darah milik Lena.
Martin pun membuat ekspresi penuh emosi yang benar-benar mengerikan, menakutkan dan itu adalah wajah yang tak pernah nampak sebelumnya.
Dengan cepat dia menyiapkan tangan kanannya dan tanpa basa-basi mengarahkan tangannya dan membentuknya seperti sebuah pisau yang siap menerjang dada Rona.
Tepat di jantungnya.
Kejadian yang hanya aku tonton itu benar-benar cepat, Martin pun berhasil membunuh Rona seketika. Tapi aku melihat wajahnya dan mengatakan sesuatu padaku sembari tersenyum bahagia.
Aku tak dapat mendengarnya, tatapanku kosong menghadap dirinya sembari membuka mulutku dengan pelan sementara Sophia melihat sembari menginjak kepalaku.
Martin melepas tangannya dan melihat genggamannya yang meraih jantung Rona.
"Hm, hati yang benar-benar rumit. Kesetiaan dalam pengkhianatan ya? Benar-benar rumit. Kematianmu adalah peristirahatan panjang dalam pengkhianatanmu, hingga akhir nafasmu, kamu masih mencoba untuk bertindak mulia walau dalam keadaan yang hina. Sebagai seorang hamba-Nya aku mendoakanmu semoga tenang di sisi-Nya. Amin."
Kemudian dia menghancurkannya di depanku. Darah dari jantung itu pun muncrat kemana-mana, hingga membuat aku dan Lena terkena cipratan darah tersebut. dengan darah dari jantung Rona.
"Menyesakkan. Membunuhnya sama sekali tidak menghiburku, dirinya tidak seperti Lee yang terus bertahan tanpa membunuh dirinya sendiri walaupun sekitarnya dan harapannya telah pupus. Aku tak memahaminya, aku tak dapat memikirkan hasilnya, entah apa yang ia lihat dalam keputusasaannya. Itulah satu-satunya keinginanku."
Martin pun mengibaskan lengan kanannya yang bersimbah darah hingga darah pun tak tersisa banyak di lengannya.
Kemudian membacakan mantra yang tak dapat aku pahami.
"Ph'nglui mglw'nafh Cthulhu R'lyeh wgah'nagl fhtagn"
Kemudian diikuti oleh orang-orang di sekitarnya.
Dia mengucapkannya kembali.
"Ph'nglui mglw'nafh Cthulhu R'lyeh wgah'nagl fhtagn"
Lantas dia pun mengucapkannya kembali disertai suara orang-orang yang ada di sekitarnya. Tak berselang lama suara gemuruh petir dan pergerakan awan yang cepat dan memusat berkumpul di tengah lautan.
"Ph'nglui mglw'nafh Cthulhu R'lyeh wgah'nagl fhtagn"
Mereka pun mengucapkannya sekali lagi dan terus menerus mengucapkannya hingga diriku tak dapat memastikan berapa kali mereka melantunkannya.
Kemudian gua tersebut berguncang. Debu-debu tipis terjatuh disertai dengan kerikil-kerikil kecil yang berhamburan.
Para pengikut sekte ini pun berkumpul di bibir gua yang menuju ke arah lautan lepas sembari terus menerus melafalkan mantra tersebut.
Di lautan yang tak tenang dan beraturan itu tiba-tiba muncul sesosok makhluk besar yang benar-benar mengerikan, tak pernah aku kepikiran tentang makhluk itu sedetikpun. Dengan kepala gurita raksasa itu di atas mulutnya tentakel panjangnya yang melimpah menyebar kemana-mana, dia perlahan-lahan muncul ke permukaan laut, semua tentakelnya bergerak dengan bebas meraih setiap benda yang ada di sekitarnya tanpa pilih kasih dan salah satu tentakelnya itu mengarah ke tempat ini dan membuat gua tersebut pun bergoyang dan terancam runtuh.
Sampai beberapa anggota sekte ini pun terbunuh, begitu yang lain melihatnya mereka mulai sedikit ketakutan namun Sophia dan Martin masih tetap teguh sembari terus mengucapkan mantranya tanpa berhenti, hal itu diikuti oleh beberapa pengikut sekte walaupun ada beberapa juga yang mulai takut dan secara diam-diam mulai kabur.
Mereka yang mencoba kabur pun terkena oleh sambaran tentakel dan mati di tempat, ketika tentakel itu mencoba menyambar, tak sengaja terkena bebatuan yang dimana Lena diikat dan juga Rona diikat.
Bebatuan itu runtuh Rona dan Marry terbebas.
Rona hanya terkulai lemas tak berdaya karena dia memang telah mati.
Sedangkan Marry setelah bebas dia akhirnya bergerak dan mencoba untuk membuatku memiliki tujuan lagi.
"Lee, selamatkanlah Lena, dia masih tertolong jika kita bergerak sekarang."
Gerakan monster itu pun tak teratur, tiba-tiba badai datang, hujan deras pun jatuh di atas lautan yang tak tenang. Monster itu berteriak
"Aaarrgghhhh… darah beracun! Darah ini! Lemuriaaa!!!"
Ketika di dalam gua sedang dalam kondisi yang benar-benar mencekam dan tidak karuan, di tempat lain Abdul dan Cynthia masih melihat lautan yang dimana monster itu sedang mengamuk dan berteriak.
"Kau lihat makhluk itu?" Cynthia bertanya.
"Tentu, makhluk yang benar-benar digdaya. Apakah planet ini berusaha menghancurkan dirinya sendiri? Apakah ada alasan khusus kenapa dia berada di tempat ini?"
"Ini hanya kisah masa lalu, dia hanyalah salah satu dari mereka. Jika dilihat dia sudah datang semenjak lampau sekali bahkan sebelum manusia tersebar seluas sekarang."
"Jadi dia adalah makhluk masa lalu?"
"Hm, jika kau katakan dia adalah makhluk masa lalu mungkin iya. Tapi akan salah jika dia kau mengatakan bahwa dia makhluk masa lalu, tapi dia bukan dari planet ini. Jauh…"
"Eh? Maksudmu?"
"Ya, dia berasal dari tempat yang jauh dari Bumi."
Saat mereka melihat monster laut tersebut tak beraturan, mereka tenggelam dalam obrolan mereka, secara mengejutkan tiba-tiba sosoknya menjadi sebuah cahaya dan menuju ke mulut gua.
Cynthia yang menyadarinya pun berkata pada Abdul.
"Sepertinya sekarang aku harus kesana."
"Kenapa? Apakah karena cahaya itu?"
"Tentu, itu adalah sinyalku untuk pergi. Untukmu, buatlah agar kelompokmu tidak melakukan sebuah kesalahan. Dan secepatnya pergi dari sini!"
"Baiklah. Aku menyadarinya, tentu saja kejadian ini akan menjadi kabar dan berita besar."
Abdul hanya tersenyum, menyambut Cynthia yang pergi menuju ke tempatku dan Lena serta Marry.
Cynthia kemudian menyingkirkan batu-batu besar yang berjatuhan agar kami bertiga tak terkena bebatuan tersebut. Tanpa aku sadari buku terkutuk itu berada dalam pelukan tangan kananku.
"Inilah alasannya kenapa kau benar-benar tak siap untuk tugas ini. Yah, juga sepertinya salah satu teman wanitamu tak mampu kau selamatkan, dia terlalu banyak kehilangan darah. Kau juga demikian, tapi nyawamu tertolong karena esensi monster itu yang masuk ke dalam dirimu. Benar-benar nasib yang malang… kutukan kah? Tidak, ini adalah takdir yang harus kau lampaui dan capai bukan?"
Setelah Cynthia memeriksa kami dan membuat kami aman, dia pun menghilang.
***
Hujan deras turun, tak ada yang tersisa dari kelompok sesat yang ada disana. Mereka semua mati oleh Monster yang mereka percayai sebagai Monster laut.
Aku pun berada pada kegelapan, seseorang memanggilku.
"Lee!" suara Rona berada di sekitarku.
"…"
"Lee, jangan khawatir dan menyesali kepergianku. Kau adalah pemimpin kelompok kami yang perhatian dan benar-benar sangat berharga bagi kami. Terima kasih atas kerja samanya selama ini. Maaf bila aku tak dapat menemanimu hingga akhir Lee."
"Rona, tidak. Bukan begitu. Aku benar-benar menyesal karena tak dapat menyelamatkanmu."
"Umm, tidak Lee. Kau telah melakukan apapun yang kau bisa."
"Haa, jangan menghilang, tidak. Tidak!!!"
Akhirnya suaranya menghilang kemudian suara seseorang lagi.
"Maafkan aku, juga tak dapat menemanimu Pak Kepala. Terima kasih atas usahamu untuk menyelamatkan kami. Kami merasa bahwa bapak telah berusaha melindungi kami untuk tidak melangkah menuju tempat yang berbahaya, tapi kami melanggar perintah bapak, jadi ini semua adalah tanggung jawab kami. Sekarang waktu kami untuk mengucapkan selamat tinggal."
"Tidak Lena!!! Lena, jangan tinggalkan aku… a-aku –––––––."
"Maafkan kam––––––."
"Tidaakk!!!!"
"Lena, Rona! Lena!! Rona. Lenaaaa!!!"
Aku terbangun dari pingsanku. Di sampingku ada Lena dan Marry yang tak sadarkan diri.
Lena, Marry!!
Hujan masih mengguyur. Bibir pantai, serta suasana masih gelap. Dalam perkiraanku ini jam tiga pagi.
Aku memanggil mereka berdua berulang kali, tapi tak ada tanggapan.
Terus menerus aku memanggil mereka hingga tanpa aku sadari bahwa air mataku menetes dan aku tak mampu menyebut nama mereka kembali.
Akhirnya aku berteriak sekuat tenaga.
"Aaarrggggghhhh…"
Ketika aku berteriak tak jauh dariku, Nashiki yang membawa sebuah payung hitam yang melindungi dirinya dan Putri berdiri melihatku yang berada dalam kondisi yang benar-benar tak menentu.
"Jadi, apakah kita akan mendekatinya dan menguatkannya?"
"Tidak, ini jauh berbeda dengan apa yang Edward tulis dalam bukunya. Kenyataan di tempat ini adalah kenyataan 'x' yang tak dapat diduga."
"Lalu bagaimana?"
"Lebih baik tinggalkan dirinya sendiri sekarang hingga beberapa bulan kemudian. Karena dirinya akan mendapatkan takdir yang membawanya pada teman-teman lamanya."
"Kalau begitu, kita gagal hari ini?"
"Maafkan aku, karena sedikit lalai. Ini benar-benar di luar dugaan. Kita harus pergi sekarang, karena esensi aneh ada di dalam dirinya."
Nashiki pun hanya terdiam melihatku dan beranjak pergi bersama dengan Putri.
Di Perkemahan, Abdul masih terjaga. Dirinya mendengarkan teriakanku.
"Hm, maafkan aku Lee… tak ada secuil keberanian bagiku mendekatimu saat ini. Karena esensi monster yang masuk ke dalam dirimu. Tak begitu dapat aku terangkan, tapi kelak kekuatan itu akan menjadi sebuah hal yang sangat mengerikan di masa depan."
Kemudian Abdul pun bangkit dari batu besar dan kemudian mendekat ke teman-temannya yang tertidur pulas.
***
12 bulan kemudian.
Aku telah menyebarkan sebuah video yang menerangkan tentang petualanganku dan juga dokumen yang masih aku pegang hingga akhir. Catatan-catatan yang memuat informasi tentang ini dan itu. Setelah itu perusahaan aku bekerja dulu pun dibubarkan, aku telah keluar dari dulu.
Polisi telah menyelidiki tempat kejadian. Aku melindungi anak-anak itu dan tak menyebut mereka sama sekali. Polisi menemukan tempat yang dipenuhi dengan mayat. Mereka pun akhirnya membuat kelompok penyelidikan untuk mendapatkan informasi tentang sekte tersebut.
Aku dan Marry memutuskan untuk tinggal bersama di sebuah desa. Kami tak punya siapapun lagi, serta tak ada tempat kembali. Kami tak memiliki pekerjaan tetap, aku hanya bekerja serabutan membantu para petani membajak sawah dan menanam jagung.
Marry menjadi pembantu rumah tangga di rumah orang kaya di desa tersebut.
Pada suatu malam, kita berdua pun berada dalam satu meja makan.
Kemudian dirinya membicarakan tentang peristiwa tersebut.
"Lee, kita sudah hidup disini selama beberapa bulan. Para penduduk dengan ramah menyambut kita dan menyediakan kita tempat tinggal, sebagai gantinya mereka pun memperbolehkan kita berdua bekerja untuk mereka. Tapi kita belum sepenuhnya terbebas dari masa lalu. Lee, kita harus menyelesaikan ini bukan?"
"…"
"Lee?"
"Maafkan aku, Marry… aku sadar tentang itu, juga setiap hal yang kau khawatirkan tentang masa lalu. Namun, hal itu terlalu berat untuk aku tangani saat ini…"
Belum sempat aku meneruskan kata-kataku, seseorang mengetuk pintu rumah kontrakan kami.
"Tunggu sebentar." Pikirku ada seseorang yang memintaku untuk bekerja esok hari.
Aku pun menuju ke arah pintu dan meraih daun pintu dan membukanya.
Seseorang dengan pakaian rapi dan juga kaca mata tepat berada di depanku.
"Selamat malam, anda tentunya adalah Lee bukan? Baiklah, kami berasal dari sebuah agen lepas yang menginginkan informasi yang anda miliki dan ada di dalam kepala anda. Maka dari itu kami mengajak anda untuk bergabung bersama kami. Dengan hormat, kami akan membawa anda menuju konselor atau psikiater untuk membantu memulihkan kejiwaan anda juga merawat dan melindungi wanita yang ada di belakang anda. Kami akan menunggu anda bekerja sama dengan kami. Terima kasih."
Dirinya kemudian menyodorkan sebuah kertas yang berisi tentang data diriku.
Mereka juga membeli seluruh buku penelitian kakekku yang aku jual.
Mereka juga berhasil melacakku. Jadi aku tak dapat berkata tidak, juga mereka akan membawaku pada psikiater atau psikolog, untuk memulihkan diriku.
"Marry? Apakah kau menginginkan hal ini untuk menyelesaikan masa lalu kita berdua?"
"Huh, tentu saja Lee, aku sudah menunggunya selama ini." Marry membalasku sembari tersenyum manis.
–fin.