Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Metanoia – Lee Sung Yen

🇮🇩Cerita_Harupedia
--
chs / week
--
NOT RATINGS
7.1k
Views
Synopsis
Cerita ini hanyalah fiksi yang tak dapat dibuktikan kebenarannya, jikapun ada peristiwa atau bahkan tokoh yang kebetulan namanya sama maaf mungkin hanya kebetulan semata. Cerita tentang Lee yang melakukan perjalanan untuk membuktikan keinginan kakeknya tentang jurnal dan juga penelitian yang kakeknya lakukan. Namun sepertinya secara kebetulan pimpinan dimana tempatnya bekerja mengutusnya untuk menyelidiki secarik kertas yang diterima oleh pimpinannya dari orang misterius. Seperti apakah perjalanan Lee hingga akhir?
VIEW MORE

Chapter 1 - Metanoia – Lee Sung Yen (Bagian 1)

Sejarah manusia –––

Nenek moyang.

Segalanya bercampur menjadi sebuah legenda yang entah darimana asal muasalnya.

Seluruh kisah mitos yang ada di dunia ini, menampilkan hewan – hewan yang entah begitu banyak jenisnya dan anehnya tak pernah ditemukan, kisah klasik seperti "Bumi Pernah Kiamat Sekali"- pun telah aku ketahui namun itu hanyalah berupa penjelasan, tapi dalam sebuah keyakinan membuatku yakin bahwa "kiamat" pernah terjadi.

Yang menjadi pertanyaanku adalah, makhluk apakah yang ada di Bumi ketika itu terjadi?

Hm, sungguh begitu menarik.

Dalam sebuah jurnal yang kakekku tuliskan, menegaskan bahwa makhluk mitologi adalah sebuah percobaan yang tinggal di Bumi selama beberapa kurun waktu.

Kakekku meyakini bahwa makhluk – makhluk itu berupa elf, naga, peri, iblis, dan setengah manusia. Mereka hampir mirip seperti manusia, tapi mereka bukanlah manusia.

Bahkan kakekku percaya, alien yang saat ini kita percayai adalah makhluk yang berhasil kabur dari kiamat itu.

Namun, apakah itu benar – benar bisa dipercaya?

Entahlah, mungkin hal itu bisa dikatakan sebagai sesuatu yang ghaib. Hal – hal yang ada di luar nalar kita, hal – hal yang selalu menjadi rahasia yang tak dapat kita pastikan kebenarannya dan juga kesalahannya.

(Ancient World, Lee Sung Yen)

***

Aku adalah Lee, seorang jurnalis yang bekerja untuk media digital.

Walaupun demikian, aku masih sering menjajakan beberapa resep kue yang telah ditetapkan secara online dan juga offline, teman sekantorku sering memesannya.

Namun aktivitas itu bukan untuk diriku sendiri, jika harus menilai bahwa penghasilan dari menjadi jurnalis itu sudah cukup. Tapi aku harus merawat kakek yang sebatang kara, anak – anaknya telah lama meninggalkannya, hartanya mungkin banyak tapi dia tak ingin mengeluarkannya. Dibandingkan memberikannya pada anak-anaknya yang kikir itu kakek lebih memilih untuk mendonasikannya untuk anak-anak yatim dan juga lembaga amal.

Saat ini aku sedang berada di rumahnya, rumah yang sangat besar yang berada di pinggiran kota.

Waktu telah berada pada pukul tujuh malam, dan aku bergegas untuk menemani kakek sejenak.

Namun kakek menggumamkan sesuatu yang tak pernah aku dengarkan.

"asravarna, bitsujalahma, mitsuberinoja, metvitum beridindam."

Aku heran, apa yang sebenarnya ia gumamkan dan berinisiatif untuk bertanya padanya.

"Kek, apa yang kakek ucapkan barusan?"

"Hm ––– Lee, mungkin menurutmu itu adalah gumaman yang tak berarti. Tapi bagi nenek moyang jauh sebelum legenda dan mitos tentang gunung ini dan candi itu, atau bahkan penjaga laut selatan tersebar ke seluruh negeri, ada sebuah rahasia yang sangat besar."

"Memangnya itu apa kek?"

"Itu hanyalah sebuah kultus kepercayaan, ini hanyalah sebuah kesimpulan dari apa yang aku teliti selama ini. Kisah yang cukup mengerikan jika aku harus menjelaskannya padamu."

"Sungguh kakek, jika kakek tak dapat menceritakannya bisakah kakek menunjukkan buku penelitian kakek tentang itu?"

"Oh, tentu saja. Aku telah lama membuat catatannya untukkmu, bahkan sebelum kau benar – benar siap. Catatan itu telah ada untukmu, kakekmu yang sudah tua ini tak mungkin mengingatnya. Ada banyak buku – buku penelitianku yang ada disana, tapi kakek percaya bahwa orang sepertimu mungkin mampu mencapai apa yang tak pernah aku capai dalam penelitianku tentang itu."

"Apakah penelitian itu penting?"

"Itu tidak terlalu penting, dan itu tak pernah aku harapkan terpublikasi ke permukaan. Atau bahkan aku hanya mampu berharap bahwa aku tak pernah menemukan celah untuk mencapainya. Itu adalah hasil yang selalu aku tolak mentah – mentah dan tak pernah aku akui. Namun, hal yang sebenarnya terjadi adalah aku terlalu takut bahwa itu adalah kenyataan yang sebenarnya?"

"Kakek, sebenarnya apa yang telah kau temukan itu?"

"Entahlah, tapi itu adalah hal yang benar – benar kakek takutkan terjadi di kota ini. Mungkin inilah tugas terakhir kakek untukmu, temukanlah cara untuk memanggilnya dan bertanya tentang tujuannya ––––"

Aku tercengang, dan pikiranku tak karuan. Setelah Kakek menghembuskan nafas terakhirnya, sesaat setelah tugas yang membuatku tak mengerti apapun.

Aku kemudian mengistirahatkan kakek dan membaringkannya di tempat tidur, aku berkeliling ke seluruh rumah besarnya dan masuk ke tempat kerjanya.

Tempat inilah surga dimana pengetahuan tentang masa lalu terbuka untukku sebuah hal yang tak pernah aku sadari akan merubah hidupku dari rutinitasku sebagai seorang jurnalis.

Aku mencari catatan di menja kerjanya selama beberapa saat.

Aku menemukan sebuah catatan yang berada di bawah meja kacanya.

Disitulah tempat buku yang "mengerikan" ditulis oleh kakekku berada dicatat, kemudian aku bergegas untuk mencarinya.

Setelah memastikan bahwa ini adalah tempat yang tepat, kemudian aku mencari buku yang dia maksud.

Sampai aku menemukan sebuah buku berwarna hijau tua dengan sebuah ilustrasi yang cukup membuatku tercengang.

Ilustrasi yang menggambarkan sebuah tempat yang penuh dengan menara – menara yang terdapat makhluk – makhluk yang tak pernah dikenali dalam wujud bayangan, kemudian sebuah kuil berwarna kuning dengan bentuk piramida dengan lubang – lubang berbentuk aneh di sekeliling temboknya.

Hanya itu yang aku sadari dari temuanku.

Sampai saat itu, aku belum benar – benar menyadari bahwa itu adalah awal dari segala mimpi buruk yang terjadi padaku dan setiap orang di kota ini.

***

South Sea

Ada kalanya orang – orang di pulau ini dibuat begitu takut dengan mitos Ratu Laut Selatan, tapi apa yang sebenarnya terjadi tentang kenyataan itu?

Sebuah manuskrip kuno telah kami temukan tanpa kesengajaan ketika kami menggali sebuah tanah tandus di ujung selatan pulau ini, pulau yang begitu panjang membentang di selatan negara ini.

Adakah sebuah prasasti yang menuliskan mereka secara terperinci? Tidak!

Tidak akan pernah ada, karena mereka terlalu takut menghadapi ketakutan mereka sendiri.

Hanya kami, orang – orang yang tersisa dari sebuah keberangkatan kapal – kapal yang pergi ke selatan.

Tempat yang mungkin hanya tertinggal batu catatan ini, batu yang menuliskan tentang hari dimana alam semesta menunjukkan pada manusia sebuah kenyataan, dimana manusia tidak hanya sendiri.

Laut selatan, sebuah kengerian muncul dari garis horizonnya!

Hari itu langit gelap dan laut yang kehitaman menghiasi pantai – pantai kami, dan air laut naik sampai setinggi pinggang orang dewasa.

Tak ada yang tersisa, selain raut ketakutan dan pengalaman traumatis yang dialami oleh kami!

Sebuah takdir yang tak dapat dielakkan oleh manusia, inilah akhir dari segalanya!

Itu adalah penggalan kalimat yang ada dalam buku penelitian kakeknya.

Aku pun menutupnya dan mulai mencerna isinya dalam pikiranku.

Lee Sung Yen, itulah namaku.

Dalam bayanganku, orang – orang zaman dahulu bukanlah orang – orang bodoh yang tak tahu tentang peradaban. Mereka tahu tentang ilmu perbintangan, psikologi, dan juga hal yang sering ditampikkan oleh manusia, sihir.

Terbukti dari kualitas huruf yang mereka hasilkan serta kalimat yang telah mereka catatkan dalam batu monumen tersebut. Aku saat ini memiliki sebuah impresi yang bagus tentang para nenek moyang.

Jika aku menelisik pada sebuah cerita dari angkatan bersenjata dari Laksamana Burung, yang melakukan investigasi di Kutub Selatan maka itu akan menjadi sebuah momok yang mengerikan.

Agartha? Oh tidak, aku tidak menginginkan tempat itu terbayang.

Aku tak ingin percaya dengan tempat itu, namun kenyataannya dalam pendidikan yang aku tempuh tempat itu diterangkan dengan baik.

Aku masih berada di kontrakan kecilku.

Setelah membaca buku penelitian kakek, aku kemudian membersihkan diri di kamar mandi.

Sudah sebulan semenjak kakekku meninggal, dia akhirnya dikremasi dan abunya pun dilarung ke laut selatan.

Aku tidak begitu berharap bahwa para saudaraku akan menghadiri proses kremasinya, dan sudah aku duga.

Memang tak ada yang datang selain diriku.

Mereka hanya peduli pada harta milik kakek dan juga properti miliknya.

Beruntungnya, kakek hampir memberikan seluruh kekayaannya untuk beberapa panti asuhan yang ada di sekitar kota dan juga rumah tersebut untuk diriku sendiri.

Karena aku tak ingin repot, aku menyewakan rumah untuk keperluan syuting kamera seperti film dan juga sinetron.

Aku telah selesai mandi dan bersih – bersih.

Setelahnya aku bergegas untuk pergi ke kantor, dan kemudian aku mengumumkan untuk berhenti sejenak dari menjual resep kue. Karena aku ingin berkonsentrasi untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh kakekku.

Tugas yang begitu rumit dan penuh dengan misteri, apakah aku bisa menemukan jawaban dari apa yang ingin kakek tanyakan pada entitas itu?

Setelah tak juga menemukan jawabannya ketika berangkat dengan angkutan umum, akhirnya aku mencoba untuk menanyakan pendapat Syudanco tentang penggalan yang telah aku baca tadi pagi.

Aku menyusuri lobby dan memencet alat absensi. Kemudian aku bergegas untuk menuju ke ruanganku, untuk meletakkan beberapa barangku.

Tak lama, seseorang datang ke ruanganku.

"Selamat pagi pak."

"Pagi, selamat pagi juga. Oh, Lena ya? Ada apa?"

"Iya pak, hari ini Pak Sunarto ingin bertemu dengan bapak jam 10 nanti dengan saya dan juga Rona adik saya nanti menghadap Pak Sunarto."

"Oh begitu, baiklah. Nanti kita bareng ya berangkatnya, jangan lupa ingatkan saya nanti."

"Baik pak, saya permisi dulu."

"Oh tentu. Terima kasih atas informasinya."

Lena akhirnya pergi dari ruangan dan permisi menutup pintu, aku kemudian mengerjakan beberapa naskah yang akan aku ajukan nantinya untuk diterbitkan. Aku juga menjadi editor beberapa jurnalis junior yang baru masuk ke pelatihan.

Aku sering menjadi penanggungjawab kegiatan jurnalis junior yang baru meniti karir mereka dalam dunia jurnalistik.

Istirahat tiba, aku akhirnya menghubungi Syudanco tentang penggalan kalimat yang aku baca pagi tadi.

***

Aku dan Syudanco telah berada di tempat makan yang telah kami sepakati sebelumnya.

"Hey, gimana. Apa kabar nih kayaknya mukamu dari pagi udah mikir banyak ada apa? Bukan karena pekerjaan yang numpuk kan?"

"Tolonglah, kau juga harusnya paham kalau rata – rata pekerjaanku itu beres dengan tepat waktu. Masalah ini bukan karena masalah yang menyangkut pekerjaan, ini hanyalah permintaan seorang kakek kepada cucunya."

"Hm, memangnya permintaan jenis apa yang sampai buat kamu terkesan berat begitu?"

"Tugas yang mungkin engga masuk akal banget, ini bener – bener gak pernah aku temuin sama sekali."

"Hm, maksudmu gimana?"

"Ini tentang catatan penelitiannya yang berbunyi, "Tidak akan pernah ada, karena mereka terlalu takut menghadapi ketakutan mereka sendiri. Hanya kami, orang – orang yang tersisa dari sebuah keberangkatan kapal – kapal yang pergi ke selatan." Itu benar – benar membuatku berpikir bahwa teka – teki tentang Bumi berongga dan memiliki sebuah daratan yang mirip seperti kita. Bukankah kenyataan itu sedikit menakutkan?"

"Ukh… Lee, kau serius dengan catatan itu? Hey, ayolah ini bukan seperti dirimu saja. Ada apa sebenarnya denganmu, kerasukan apa sih?"

"Ah… huh… Syudanco, ini tidak sesederhana itu. Kakekku adalah seorang peneliti sejarah masa lalu yang tak terjamah, buku penelitiannya ada banyak di rumahnya yang diwariskan padaku. Maka dari itu, aku selalu kepikiran tentang apa yang telah ditulis oleh kakekku."

"Hm, aku tidak tahu rinciannya. Tapi singkatnya kakekmu meneliti sejarah lampau yang tak diketahui bukan? Dan sebuah catatan diberikan padamu? Begitu kah?"

"Ah iya begitu… ternyata kau bisa paham juga ya."

"Hm, kau meremehkanku ya. Jadi apa permintaannya padamu?"

"Permintaannya simpel, dia ingin aku bertanya tentang tujuan-"nya" muncul dan berada di sini. Itu saja"

"Maksudmu dengan "nya" di kata tujuan itu siapa?"

"Entahlah, yang pasti kakekku lebih mengetahui apa yang telah sosok itu perbuat di masa lalu melaui buku catatannya."

Syudanco merasa cukup tertarik dengan buku catatan itu, aku melihat mimik wajahnya yang berbinar – binar saat aku menceritakan tentang buku itu.

"Hey Lee, aku punya ide. Bagaimana jika kita berdua sama – sama mencari tentang keberadaan sosok yang kakekmu ingin pastikan. Lee, gimana tawaranku ini?"

"Bagaimana ya, ini masalahku dengan kakekku ––––"

Belum sempat aku menyelesaikannya, Syudanco menyelaku.

"Nah, karena aku sebagai temanmu merasa kamu terlalu terbebani dengan itu… aku ingin kamu berbagi bebanmu itu dengan temanmu, syukur – syukur sebagai teman menemani perjalananmu. Bagaimana?"

"Syudanco, bagaimana dengan istrimu?"

"Istriku? Tidak apa. Dia akan ikut dengan rencana ini."

"Hm, kamu serius dengan ini?"

"Tentu, dia juga pasti akan tertarik dengan ini. Mungkin dia akan memandang buku itu seperti melihat buku fiksi yang menarik."

Syudanco terlihat cukup bangga dan berbahagia saat menceritakan soal istri barunya.

Karena aku tak bisa apa – apa, akhirnya aku mengiyakannya.

"Hm, baiklah aku tak bisa melarangmu jika sudah seperti ini. Tapi ingat, saat keadaan kita sudah tak memungkinkan untuk dilanjutkan. Semuanya akan menjadi tanggung jawabku dan hanya aku yang melanjutkannya, mengerti?"

"Iya, tentu saja, kami tahu tentang itu."

"Baguslah jika begitu."

"Jadi, apa kau sudah kencan dengan Sophia?"

"Hm, kenapa tiba – tiba kesitu?"

"Hahaha… jangan begitu Lee. Sebagai seorang temanmu dari dulu, aku sudah tahu tentangmu. Serta kebiasaanmu dengan wanita yang menarik bagimu, kau selalu melakukannya bukan?"

Sial, sial, sial! Dia tahu segalanya. Namun, dia tidak tahu perkembangan antara aku dan Sophia. Kami masih terlalu kaku untuk melakukan hal itu, lagipula aku tidak sembarang melakukannya."

"Sayangnya kami belum melakukannya, aku tidak bisa memaksanya untuk melakukan hal itu. Walaupun kami sama – sama tertarik, dia memiliki sisi yang belum aku temukan. Sejauh ini dia adalah wanita yang paling sulit untuk aku dekati."

"Hm, Lee apakah kau tidak berpikir untuk berhenti? Kau tahu, bahwa segalanya itu pasti memiliki awal dan akhir. Sebelum kau terlambat menyadarinya mungkin kau sudah tak dapat menghentikan itu, jadi…"

"Ya, terima kasih atas saranmu Syudanco. Aku bersyukur memilikimu. Aku harap Sophia adalah gadis terakhir yang mengakhiri perjalananku."

"Baguslah, aku juga tidak bosan untuk berteman denganmu. Tugasku hanyalah menemanimu di setiap petualanganmu, selain itu aku melengkapi hidupku dan berjalan rata -rata layaknya seseorang yang tidak begitu penting untukmu. Lee aku percaya bahwa engkau mungkin akan menghadapi sebuah kejadian yang luar biasa."

"Hm, bagaimana kau bisa berkata demikian?"

"Entahlah, ini hanya firasatku. Kakekmu akan menjadi pengantar dari kisahmu yang terjal nantinya."

Tatapan Syudanco menjadi begitu teduh dan penuh ketenangan semenjak ia memberitahuku untuk berhenti, mungkin dia sedang dirasuki atau apalah. Namun aku yakin bahwa kata – katanya tidaklah sembarangan, di saat yang bersamaan aku harus yakin bahwa itu adalah sebuah ketentuan.

Jadi yang bisa aku perbuat saat ini hanyalah bersiap untuk menghadapi kenyataan yang keras nantinya.

Tiba – tiba bunyi bell berbunyi, tanda istirahat telah usai.

Aku tahu bahwa waktuku harus bergegas untuk rapat dengan Pak Sunarto dengan yang lain.

"Syudanco, sepertinya obrolan kita cukupkan sampai disini. Karena aku ada rapat dengan Pak Sunarto bersama juniorku."

"Ah, sepertinya kau dapat proyek besar lagi."

"Tidak, firasatku cukup tidak enak dengan ini."

"Ya sudah, kalau begitu nanti kau bisa ceritakan padaku malam ini ya."

"Baiklah, aku permisi."

Aku bergegas pergi menuju ke ruangan Pak Sunarto, aku yakin dua bawahanku sudah ada di kursi tunggu di depan ruangannya.

Benar dugaanku.

Mereka sudah ada di sana menungguku untuk masuk bebarengan.

Ketika melihatku tengah berjalan mendekat, mereka pun serentak berdiri.

Kemudian menganggukkan kepala mereka sebagai tanda untuk masuk bebarengan.

Saat aku berada tepat di depan pintu ruangan Pak Sunarto, mereka berdiri membelakangiku.

Aku mengetok pintu.

"Selamat siang Pak?"

"Iya, masuk saja."

Aku pun membuka pintu masuknya, di belakangku ada dua orang yang berlindung dengan tubuhku.

Kami pun berjalan dengan rapi satu barisan ke belakang, Lena menyusul setelah menutup pintu. Rona di tengah, dan aku berada paling depan dari barisan ini.

Kemudian kami menyebar dan satu garis lurus sehingga kami semuanya terlihat di depan Pak Sunarto, aku berada di antara dua saudari ini.

Pak Sunarto masih melihat gelagat aneh kami yang sangat tidak profesional.

Aku akan sangat memahaminya jika dia akan mengeluhkan soal ini, tapi aku kira perkiraan itu sedikit meleset.

Dia sedikit tertawa dengan polah kami yang demikian itu.

"Hm, kalian itu. Hari ini nampaknya kalian berdua semakin dekat dengan senior kalian, terlihat chemistry yang telah kalian bangun cukup bagus."

"Maaf pak kalau tingkah kami sedikit tidak mencerminkan sebagai pegawai yang baik."

"Oh tidak apa, hal terpenting dari sebuah kinerja kelompok adalah kalian bisa saling mempercayai satu dengan yang lainnya dan itu terlihat dari sikap kalian ketika dalam keadaan yang tegang. Jadi lupakan saja masalah ini, karena aku tertarik dengan tulisanmu tentang "Ancient World" Lee."

"Hm, tulisanku? Kenapa memangnya? Ada apa dengan tulisan itu?"

"Kau tahu, tulisan itu menggambarkan sebuah rahasia yang akan segera terungkap, tapi tak juga terungkap. Karena satu hal yang pasti dari hal ghaib adalah kebenaran dan kesalahannya tidaklah berarti. Karena itulah aku telah mencari sebuah tempat yang mungkin dapat dipastikan merupakan sebuah petunjuk menenai tulisan tersebut."

"Hm, petunjuk? Maksud bapak tempat itu bisa dipastikan memiliki petunjuk mengenai tulisanku?"

"Entahlah, hanya saja beberapa hari lalu seseorang telah menghampiriku. Seorang laki – laki muda dengan seorang anak kecil yang bersamanya, dia memberikanku sebuah catatan dan berkata padaku, "Tuan, jika anda berkenan tolong berikanlah catatan ini pada orang yang menulis sebuah artikel Ancient World. Mungkin saja, ini adalah tempat yang ia cari." Itulah yang dia katakan, waktu itu aku sedang makan di rumah makan di tempat biasa."

"Hm, catatan?"

"Ah, sebentar ––––."

Pak Sunarto mencari catatan tersebut, catatan yang diberikan oleh seseorang yang misterius bagiku.

"Ah ini dia, silahkan dibaca ––––."

Pak Sunarto memberikan catatan yang diberikan padanya.

Aku meraihnya dan kemudian mengamatinya.

Dalam catatan itu tertulis sebuah keterangan pendek dengan kalimat sebagai berikut.

"Hampirilah tempat yang hanya terlihat di bulan purnama yang menggenggam kegelapan. Air yang tak tenang akan membawamu pada pencarianmu, ingatlah untuk bersembunyi hingga tenang."

Begitulah lelaki itu katakan cara untuk ke tempat tersebut, aku berbahagia sekali dengan kenyataan ini dan melupakan firasat buruk yang aku rasakan.

Kedua juniorku sedikit bingung dengan ekspresi bahagianya diriku. Mereka berdua hanya tersenyum melihatku dan menepuk bahuku, menurutku itu sebagai penanda bahwa kerja kerasku telah tercapai. Tapi menurutku itu terlalu simpel, seperti sebuah kenyataan yang tidak aku kira bahwa aku akan mendapatkan kemudahan seperti ini. Apalagi ini sudah sebulan tanpa kemajuan apapun.

Penelitian kakekku pun masih aku baca setengah dan itu belum menggambarkan isinya sama sekali. Setengah buku itu masih bercerita tentang daratan yang menjadi tempat berlabuh para kapal, dan juga menjadi akhir dari kisah kejayaan pulau tersebut. Saksi itu membuat sebuah catatan yang membuat dunia harus tahu bahwa ada kengerian yang tak dapat digambarkan dengan kata – kata.

Alam semesta menunjukkan rahasianya, seperti menyingkap tirai tebal yang berlapis – lapis dalam sekejap dan membuatmu sedikit trauma. Karena betapa terkejutnya dirimu atas beban yang baru saja ditimpakan pada otakmu.

Yah, begitulah.

Kakek memang seseorang yang benar – benar berdedikasi untuk cita – citanya menyingkap rahasia masa lalu, akan sangat menyakitkan jika aku menyepelekan harapannya kepadaku.

Kakek selalu memberikanku sebuah makna, bahwa segala sesuatu pasti memiliki alasan atas keberadaannya. Tak ada yang percuma dan sia – sia dalam penciptaan sebuah benda, atau makhluk, segalanya selalu memiliki harapan, keinginan, dan juga tugasnya.

Kelak, rahasia ini akan tersingkap.

Aku harap jika suatu saat sebuah tempat yang dideskripsikan dalam catatan kakekku memberikan sebuah jawaban atas apa yang kakekku inginkan, serta apa yang aku ingin temukan.

Walaupun jika jawaban itu harus membuatku mengalami penderitaan hingga akhir pencarian ini, aku akan melaluinya!

Aku telah membulatkan tekadku.

Untuk itu, catatan dari laki – laki misterius itu sangatlah berarti. Sungguh, aku ingin berterima kasih padanya.

Namun, aku harus lekas sadar dari kegembiraanku dan menyadari bahwa di depanku ada Pak Sunarto yang tengah tersenyum dengan ekspresiku.

"Nah, kalian bertiga akan ditemani oleh Sophia untuk melakukan perjalanan ke tempat yang ingin dikunjungi kalian berdua. Kalian akan memulai operasi tersebut mulai minggu depan ya."

"Hm, serius pak? Sampai berapa lama kira – kira?"

"Saya kira, sekitar 14 hari. Waktu maksimal kalian untuk kembali dari tempat itu."

"Hm, baiklah pak. Kami akan menggunakan waktu yang ada semaksimal mungkin."

"Nah, kalau begitu pertemuan kita kali ini kita tutup."

"Terima kasih pak atas waktunya."

"Ya sama – sama."

Kami bertiga pun bergegas keluar dari tempat tersebut, tapi aku hanya melihat Lena dan aku yang keluar dari tempat tersebut.

Mungkin Rena ingin membahas sesuatu yang penting dengan Pak Sunarto, tanpa sepengetahuan kami. Apakah itu masalah pribadi?

"Eh, mas kita hari Sabtu beli keperluan ya. Kalau misalkan tempat itu gak ada sinyal kita harus sedia beberapa peralatan untuk itu."

"Oh oke, ya nanti Sabtu aku akan menemani kalian."

"Baiklah, aku pergi dulu ya."

"Oke, dadah…"

Lena melambaikan tangannya untuk pergi lebih dulu, kemudian aku pergi ke toilet yang berada di tempat paling pojok di lantai 5 gedung ini.

Toilet yang cukup jauh dan juga jarang dipakai, karena rata – rata orang memakai toilet di lantai empat karena para pegawai berada di lantai empat dan tiga.

Lantai lima adalah ruangan yang sedikit, dan tiap ruangan memiliki toiletnya masing – masing.

Jadi toilet ini adalah sebuah tempat yang jarang dipakai walaupun bersih.

Aku sendang menuju ke sana, suasana begitu gelap dan sepi. Hanya bunyi langkah kakiku yang terdengar di tempat ini.

Kemudian aku membuka toilet tersebut.

Bersih, bahkan tak ada bekas habis digunakan.

Namun ada bau aneh yang cukup aku kenali. Cukup menyengat dan sangat tidak enak, aku mulai membuka satu persatu pintu toilet yang ada. Ada tiga toilet untuk BAB, aku pikir itu berasal dari salah satu ruangan tersebut.

Aku mulai membuka pintu pertama ––––

Tak ada apapun.

Aku menutupnya kembali, dan menuju ke pintu kedua –––––

Tidak ada lagi.

Harapanku tinggal ke pintu terakhir.

Namun, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tak ada apapun yang mencurigakan. Mendadak bau menyengat itu pun hilang setelah pintu toilet aku buka semuanya.

Aku pun ke tempat kencing.

Merapikan rambut dan tatanan pakaianku di depan kaca wastafel.

Kemudian keluar dengan perasaan lega.

Aku keluar berjalan menuju ke lantai tiga. Dari kejauhan aku melihat Rona keluar dan hendak pergi ke toilet, bagiku itu cukup aneh baginya.

Kemudian tak lama berselang setelah Rona hilang dari depan ruangan Pak Sunarto Sophia pun ingin masuk ke dalam, namun sepertinya dia menunggu sebentar.

Aku putuskan untuk mengikuti Rona sejenak. Dia masuk ke toilet wanita sambil mengeluarkan tisu yang ada di dalam tas kecilnya.

Aku menunggunya keluar dari toilet tersebut.

Setelah menunggu selama beberapa menit, akhirnya dia keluar dari toilet wanita dan langsung masuk ke lift. Aku pun menyelinap masuk dan mulai memeriksa keadaan, hanya ada setumpuk tisu yang diletakkan di tempat sampai. Ada bau yang cukup membuatku kaget dan tak menyangka.

"Rona?! Apa yang sebenarnya kau lakukan?"

Aku pun bergegas untuk pergi dari ruangan itu dan kemudian pergi ruanganku sendiri untuk menenangkan diriku.

Mungkin ini hanya perkiraanku, atau ini memang kenyataannya?

Apakah karena hal ini belakangan dia sedikit menjaga jarak denganku?

Tidak, tidak. Aku harus menyingkirkan perasaan ini, ini tidak benar. Tidak seharusnya aku berpikir yang tidak, tidak pada Rona. Dia adalah bawahanku, seharusnya aku mempercayainya.

Ketika aku belum benar menata pikiranku dan juga ketenanganku, Lena datang ke ruanganku dan sepertinya ingin berbicara denganku.

"Ada apa Lena?"

"Aku punya sedikit masalah kak sebenarnya."

"Hm… masalah apa ya?"

"Ini tentang Rona belakangan ini sedikit menjaga jarak denganku, padahal kami satu kontrakan. Kejadian ini dimulai dua minggu lalu, sikapnya mendadak berubah. Aku khawatir dia ada masalah, apakah bapak bisa membuat saudariku sedikit berbicara pada bapak? Karena aku saudari kembarnya mungkin dia sedikit malu padaku."

"Hm, baiklah. Aku juga akan menanyainya nanti, semoga ada waktu untuk dapat mengetahui perubahan sikapnya. Dia juga mendadak sedikit menjaga jarak denganku, aku khawatir dia menyimpannya sendiri dan dia hadapi sendirian."

"Jadi kakak akan bantu aku kan?"

"Tentu, ini cukup susah untuk dimengerti. Jadi aku butuh waktu untuk melakukannya yah, bersabarlah Lena. Pasti ada jalan keluar yang bisa kita temukan untuk kakakmu. Aku pasti akan membantumu, karena aku khawatir bebannya akan berimbas pada pekerjaannya."

"Tentu, itu saja pak. Aku permisi dulu."

"Ah ya sama – sama."

Lena bergegas pergi dari ruanganku.

Ini cukup gawat, pikiranku mulai tidak karuan terhadap apa yang aku temukan dan juga apa yang adiknya adukan padaku.

Ini semakin membuat prasangka burukku pada Rona makin menjadi – jadi. Padahal aku tidak mau memikirkan kemungkinan terburuknya.

Ah, mungkin aku akan menanganinya setelah proyek ini. Apalagi ini hari Jum'at, malam ini juga ada acara minum dengan Syduanco.

***

Akhirnya kegiatan kantor telah usai.

Hanya menyisakan pikiranku pada Rona pada hari itu yang tak kunjung hilang. Aku hanya memikirkan sebuah kemungkinan, apakah Rona diancam oleh Pak Sunarto?

Entahlah. Mungkin Syudanco bisa memahaminya nanti.

Aku pergi ke tempat minum langgananku dan disana sudah ada Syudanco dan istrinya Marry.

Mereka sedang berbincang, mungkin membicarakan seseorang.

Kemudian aku menghampiri mereka, dan mereka pun menyambutku dengan hangat.

"Hei, kau sepertinya sedikit banyak pikiran. Ada apa?"

"Entahlah, aku sepertinya mendapati suatu skandal di kantor…"

"Hm, skandal? Maksudmu korupsi?"

Syudanco heran, tapi dia salah menduga skandal yang aku temukan.

"Bukan, ini bukan masalah yang seperti itu. Ini seperti pelecehan seksual, tapi tak seperti pelecehan. Bagaimana aku mengatakannya. ––––"

"Hm, maksudmu "blackmail"?"

"Ah, benar seperti itu. Nampaknya dia jadi terbiasa dan tidak begitu menutupi hal itu."

"Hm, memangnya siapa dan siapa Lee?"

"Dia juniorku, dan Pak Sunarto. Aku mencoba mengenali gelagat aneh dari Rona setelah pertemuan kami bertiga, dan yah aku mengikutinya dan mengecek toilet tempat dia membersihkan diri. Dan ternyata itu bau yang cukup aku kenali. Yah, itu membuatku sedikit syok…"

"Oh, ternyata begitu. Bukankah ini tak bisa dibiarkan?"

"Memang seharusnya begitu, tapi nampaknya akan sulit. Karena belum ada bukti kuat untuk membongkar itu, apalagi posisi juniorku mungkin akan terancam."

"Hm, mungkin kau tidak harus memikirkannya terlalu dalam Lee. Kau harus berkonsentrasi pada pekerjaan yang Pak Sunarto berikan pada divisi milikmu."

"Ah, ya… ada sesuatu yang menarik, Pak Sunarto mendapatkan secarik kertas yang berisi tentang petunjuk untuk diriku menemukan apa yang buku kakekku temukan."

"Hm, cukup menarik. Dari siapa Pak Sunarto mendapatkan catatan itu?"

Syudanco memastikan.

"Dia mengatakan bahwa catatan itu diberikan oleh seorang laki – laki muda dengan seorang gadis kecil yang selalu bersamanya."

"Hm, sangat misterius sekali. Bukankah itu pasangan yang benar – benar tidak cocok?"

"Memang benar, itu pasangan yang tidak cocok Marry. Tapi Pak Sunarto berkata demikian."

"Oke, memangnya apa yang tertulis di kertas itu?"

Marry bertanya padaku.

"Hampirilah tempat yang hanya terlihat di bulan purnama yang menggenggam kegelapan. Air yang tak tenang akan membawamu pada pencarianmu, ingatlah untuk bersembunyi hingga tenang."

Aku memberikan catatan itu pada mereka, mereka hanya kebingungan. Tapi aku telah menemukan jawabannya.

"Eh, kau serius memahami apa yang dituliskan disini?"

"Tentu saja, buku milik kakekku sangat membantu."

"Oh, jadi begitu. Mari kita asumsikan bahwa dia adalah orang yang membaca catatan milik kakekmu."

"Mungkin begitu, tapi catatan satu ini tak pernah dikeluarkan oleh kakek. Dia tak pernah membahasnya sampai pada ajalnya."

"Baiklah, memangnya dimana tempat ini?"

"Tempat ini berada di Selatan dari kota ini, kita akan terus ke selatan dan kita harus mencapai sebuah pantai yang memiliki sebuah bukit, di bukit tersebut ada sebuah gubuk kecil yang kita harus berada di tempat itu."

Mereka cukup heran denganku, dan sedikit mencurigaiku. Entah kenapa, tapi tatapan mereka sedikit tajam padaku.

Jujur, itu membuatku sedikit tidak nyaman.

"Kenapa kalian menatapku begitu? Kalian membuatku sedikit merasa takut."

"Hm, entah kenapa aku merasakan sesuatu yang aneh dari keterangan itu."

"Umm, apa yang kau maksud Marry?"

"Ini seperti dia ingin membuatmu menemukan jawaban yang kakekmu cari lebih cepat, atau kau akan terlambat."

"Hm, memangnya ada apa nantinya?"

"Entahlah, sepertinya ini hanya firasatku tapi mungkin saja. Sesuatu yang besar akan menyelimutimu, sesuatu yang sangat besar dan itu berada di hadapanmu, dan kau harus menyelesaikan itu. Jika tidak, maka mungkin tak akan ada lagi masa depan."

"Hm, apakah kau peramal Marry?"

"Tidak, hanya saja. Kata – kata yang ia sebutkan mengandung arti yang dipilih sangat hati – hati, suamiku."

"Hm, jika itu benar maka firasatku juga harus jadi pertimbanganmu, Lee."

Aku tidak tahu mereka kerasukan apa tapi apakah salah satu nenek moyang mereka adalah seorang peramal?

"Hey, apakah kalian adalah seorang peramal. Firasat kalian benar – benar sama saja. Kalian itu selalu mengaitkanku pada masa depan, aku sampai bosan dengan itu."

"Lee, seseorang itu terikat pada tiga hari. Hari yang telah lalu, hari ini, dan hari berikutnya. Maka dari itu, ini adalah sebuah keadaan yang bisa dibilang adalah "fase peralihan". Karena dalam keadaan inilah sikapmu, kekuatanmu, dan segalanya akan menjadi dirimu yang sebenarnya. Karena itulah –––––"

"Lee, jangan sampai kau melewatkan kesempatan ini. Temukanlah pencarianmu dan juga kakekmu dalam perjalanan ini, kita akan menemanimu untuk menemukannya. Kami berjanji, apalagi kaulah yang membantu suamiku dan aku bertemu. Jadi kami ingin membalas kebaikanmu itu."

"…"

Aku tak dapat berkata – kata.

Aku pun tak dapat menolak mereka dan menghentikan langkah mereka untuk mengikutiku.

Jika sudah seperti ini sepertinya memang aku tak punya pilihan lain.

Aku menghela napas panjang.

"Baiklah, aku akan membiarkan kalian mengikuti perjalanan ini. Berarti perjalanan ini akan beranggotakan enam orang, jika ada nyawa atau bagian tubuh kalian yang hilang itu semua akan kembali pada kalian."

"Hm, mau kau berkata seperti itu atau tidak. Mengikutimu berarti menuju sebuah daratan yang tak diketahui."

"Kau benar. Maka dari itu, siapkan senjata yang cukup untuk membela diri. Sisanya aku akan membuat anggotaku melengkapi perlengkapan untuk mencatat dan juga melengkapi perbekalan. Jadi untuk detail nantinya akan aku sampaikan saat berada di lokasi. Bagaimana, apa kalian berdua siap?"

"Tentu, kami siap untuk mengikutimu. Aku cuti dengan alasan bulan madu dengan istriku selama 14 hari, sama sepertimu bukan?"

"Oh, terima kasih sekali. Aku selalu terbantu olehmu Syudanco."

"Sama – sama, aku pun juga demikian. Jadi kita impas hari ini."

"Tentu. Karena kita teman bukan?"

Aku dan Syudanco berdiri, dengan senyum yang terpatri, kami pun bersalaman sebagai tanda berpisah di malam ini.

Kita berpisah di tempat parkir, mereka memakai mobil meninggalkanku sendirian.

Sesaat kemudian, Sophia memanggilku dari telepon.

"Halo, Lee. Kamu ada dimana?"

"Hm, aku bertemu dengan Syudanco. Kenapa?"

"Jadi, aku baru tahu kalau aku ikut proyekmu. Apa yang perlu aku bawa untuk keperluan itu?"

"Oh, kita akan bahas itu besok bersabarlah. Karena sehabis kita membeli barang kita akan langsung berangkat."

"Oh, jadi begitu. Oke deh kalo gitu, makasih ya udah ngasih tau, kalo tempatnya buat besok?"

"Masalah itu gampang nanti aku share location buat kamu dan temen – temen."

"Baiklah, aku tunggu besok kabarnya. Dadah…"

"Ya, dadah."

Sophia menutup teleponnya.

Aku pun bergegas untuk pulang ke tempat tinggalku, dan beristirahat untuk esok hari.

Tiba di rumahku, aku langsung membersihkan diri dengan air hangat. Mencuci muka dan juga menggosok telapak kaki dan juga punggungku sendiri, itu benar – benar bagian yang susah untuk dicuci.

Kemudian aku pun bergegas untuk tidur lebih cepat.

Aku pun hampir pulas tidur, ketika aku hampir tak menyadari sekitarku tiba – tiba aku melihat di sekitarku berubah.

Tempat yang gelap dan juga lembab, memperlihatkan sebuah daerah yang tak pernah tersentuh sinar matahari.

Dimanakah aku?

Aku selalu bertanya – tanya tentang keberadaanku di tempat itu, hingga aku tiba – tiba tergelincir.

Aku jatuh dan sadar, bahwa tempatku berpijak dilapisi oleh cairan lengket dan hitam. Aku tak mengetahuinya, dan ini benar – benar membuatku sedikit merasa asing.

Aku berteriak, tak ada jawaban apapun.

Hanya ada suaraku, dan juga langit yang terlihat aneh.

Langit yang menguning dengan awan – awan yang menggumpal di beberapa tempat dengan warna putih kekuningan.

Aku terus berjalan tanpa tahu arah.

Tak memalingkah pandanganku dari arah depan mataku. Terus berjalan hingga kakiku benar – benar merasakan kepedihan yang luar biasa.

Akhirnya aku mendekati ujung.

Ada jurang yang besar di depanku, namun ada jalan untuk mencapai dasarnya.

Entah apa yang merasuki diriku ketika itu.

Aku pun menelusuri dasar jurang tersebut, terus berjalan hingga mencapai dasar.

Aku melihat sesuatu.

Sebuah monolit yang berbentuk kepala makhluk akuatik. Entah apa, mungkin itu adalah ikan.

Sebuah entitas aneh yang benar – benar tak pernah terpikirkan olehku bahwa makhluk itu pernah ada.

Ini melampaui pengetahuanku.

Aku benar – benar tak ingin melihat itu. Tak sadar bahwa dasar jurang ini benar – benar panjang dan tak dapat disinari oleh cahaya.

Aku pun meraih senter di tas kecil yang aku bawa.

Meraihnya dan aku pun menyalakannya.

Namun, keanehan kembali terjadi.

Tiba – tiba ada beberapa tulisan yang aku tak tahu apapun tentang aksara itu.

Tulisan itu benar – benar tak pernah aku jumpai.

Aku melihatnya benar – benar melihatnya.

lɪˈmʊriə

Aksara yang tak ada dalam pikiranku, tapi itu benar – benar membuatku berpikir dua kali untuk bisa membacanya. Hingga tiba – tiba aku mendengar suara seseorang perempuan tua, suranya parau.

"Wahai pemuda yang diberkati, atas undangan siapa kau dapat kemari?"

"A-aku hanya tersesat hingga sampai jatuh kemari. Aku tak pernah menginginkannya."

"Hm, siapa yang memberimu petunjuk untuk sampai kemari?"

Dia bertanya tentang siapa yang memberikanku petunjuk, tapi aku tak pernah mengetahui siapa yang memberikan petunjuk padaku. Kakek-ku? Dia tak tahu apa – apa selain meneliti.

Siapa? Siapa dia.

Hm, aku tahu. Ini pasti orang misterius itu.

"Aku berada disini karena petunjuk yang diberikan oleh laki – laki misterius, laki – laki yang bersama dengan seorang anak kecil."

"Oh, laki – laki itu ya. Jadi kabar dari laki – laki yang melintasi waktu sudah sampai padamu ya, baguslah. Kalau begitu siapa namamu anak muda?"

"Namaku Lee."

"Baguslah, jika kau tak tahu kata itu, pergilah ke tempatmu kembali dan carilah seseorang bernama Blavatsky."

Aku melihat tulisan itu kembali

lɪˈmʊriə

Yah, aku berhasil mengingatnya dan berniat untuk menuliskannya.

Namun saat aku mulai untuk mencatat wanita tua itu kembali bersuara.

"Vāyai mūṭu."

Kemudian aku pun tiba – tiba terbangun.

Melihat ternyata malam benar – benar singkat, dan itu seperti aku tidak tidur.

Waktu telah menunjukkan pukul lima pagi.

Ini benar – benar diluar perkiraanku.

Aku nyalakan lampu kamarku.

Sedikit mengingat tentang mimpiku, akhirnya aku pun mencari informasi tentang sebuah nama. Blavatsky.

Aku mencarinya dan bertemu dengannya. Namun itu di internet.

Dia orang yang sangat berjasa bagi ajaran Teosofi, dan juga Okultisme serta esoterisme.

Sepertinya aku memang tak begitu mengenalinya.

Tapi yang jelas pastinya nenek satu ini memiliki keterkaitan dengan daratan monolit dan juga tempat itu.

Aku pun melihat beberapa catatan masa lalu di rak buku milikku, entah kenapa sepertinya ada sesuatu yang benar – benar membuatku terarik untuk mengingatnya kembali.

Sampai akhirnya aku menemukan sebuah catatan.

Aku perlahan membukanya dan melihat sebuah foto yang berisikan 25 orang, kemudian di kertas lain aku mengingat tiga dua laki – laki yang berfoto denganku, Ray Asvaragus, dan Robby Amburadul.

Nama mereka berdua ada di belakang foto tersebut.

Kemudian dua foto berikutnya, ada aku dan dua wanita. Alice Marimuri dan Yuki Yukina.

Foto terakhir adalah aku dan seorang wanita. Gadis yang benar – benar cantik.

Dia adalah seorang perempuan bersahaja yang tidak terlalu terkenal, kami berteman baik dan aku selalu memperhatikannya.

Kecantikannya tak pernah dilirik oleh laki – laki di angkatanku, tapi sejatinya dia adalah perempuan yang tak bercela, baik sifat maupun fisiknya. Dialah perempuan yang paling sempurna di antara teman perempuanku sampai saat ini.

Namun, sepertinya dia tak dapat menikmati waktu lebih lama.

Tunggu, memangnya dia meninggal karena apa?

Aku mengingat sebuah ingatan yang aku letakkan dalam koper ingatan, jauh di dasar ingatanku.

Tapi saat ini aku benar – benar ingin mengingatnya, apalagi setelah melihat kecantikannya.

Dan benar sebuah informasi berhasil masuk dan aku mengingatnya.

Ingatan yang benar – benar buruk.

Ruangan lembab dengan air yang menembus dinding batunya. Lantai yang digenangi oleh air yang cukup membuat bunyi.

Aku yang duduk di ruangan tersebut, dengan tangan dan kaki yang terikat.

Mendengarkan dua langkah kaki, kaki yang tegas melangkah dan kaki yang berusaha untuk berontak.

Seseorang masuk ke dalam ruangan itu dengan membuka kunci pintunya.

Dia membawa seorang perempuan, gadis mataku sendikit berlinang waktu itu, seakan aku telah mengetahuinya.

Gadis malang itu terikat tangannya, tertutup kepalanya.

Aku berusaha untuk meronta, memohon pada lelaki dengan pakaian yang rapi itu untuk melepaskan gadis malang itu.

Lelaki itu membuka tudung kepalanya.

Aku sedikit terkejut.

Reona. Aku mengingatnya.

Dia gadis itu, dia yang berfoto denganku.

Dia. ––––

Tiba – tiba ingatanku beralih, ketika orang itu ingin memperkosanya.

Aku menangis dan berteriak, memohon untuk tidak menyakitinya lebih dari itu.

Tidak, dia tetap memaksanya.

Aku bisa melihat wajahnya yang malu dan meminta maaf padaku.

Kemudian saat dia meminta maaf padaku dan dia telah bersiap untuk memperkosanya.

Ada sesuatu yang keluar dari perutnya.

Sebuah benda hitam yang kemudian menusuk dirinya beserta lelaki tersebut tepat di jantungnya.

Tawa puasnya berhenti.

Tangisku pun berhenti.

Teriakanku pun berhenti.

Kata – kata yang terlontar dari Reona pun berhenti.

Air mataku terhenti.

Hanya darah yang mengalir dari perutnya.

Kemudian, dia berjalan dan melepaskan ikatan tanganku.

Lelaki itu pun ambruk dan tak dapat berkata apapun.

Dia berkata padaku,

"Maafkan aku, sepertinya kita hanya sampai disini. Teruslah hidup dan jangan pernah larutkan dirimu dalam kesedihan karena aku meninggalkanmu, Lee aku mencintaim –––––"

Sembari tersenyum, tubuhnya ambruk ke lantai yang tergenang air.

Aku bergegas melepas ikatan di kakiku dan menghampirinya.

"Reona! Bangunlah!"

"Reona. Tidak. Tidak!"

"Tidak!!!"

Aku pun berhenti menyelami pikiranku.

Re-Reo-na?

Tanpa aku sadari, air mataku mengalir.

"Tidak, dia orang yang benar – benar berharga bagiku di masa lalu. Tidak seharusnya aku melupakannya."

Ingatan yang benar – benar berharga.

Aku akan selalu mengingat pesannya.

Oh tidak, Reona memberikanku beberapa pengalaman masa mudaku yang sedikit suram waktu itu.

Jika aku ingat – ingat lagi, dia juga yang menyuruhku untuk berteman dengan Robby dan juga Ray.

Apakah aku memang setidakmaunya bergaul dengan orang lain hingga seperti itu?

Kemudian aku membaca catatan selanjutnya.

Aku membacanya, sebuah janji.

Janji antara aku, Robby dan Ray untuk bertemu di kota Horizon.

Kota yang benar – benar indah yang dirancang ketika kami menimba ilmu. Yah, kami sering keluar pergi ke kota ini.

Waktu itu benar – benar cepat, atau hanya aku yang merasakannya.

Mungkin ini hanya tentang persepsi, saat kita sedang mengalami sesuatu itu akan terasa lambat. Tapi saat itu telah terlewat beberapa tahun itu akan seperti sekejap mata saja.

***