Chereads / HEY, YOU! / Chapter 27 - AGNES KONSULTASI

Chapter 27 - AGNES KONSULTASI

Sore itu, Agnes nampak berjalan menuju ruangan psikiater. Ia membawa kertas ancaman itu di dalam tasnya. Raut wajahnya tidak terbaca, entah apa yang ada di pikiran Agnes.

Ceklek!

Agnes membuka pintu ruangan psikiater pribadinya. Ia masuk tanpa izin dari dokter Susi.

"Ada apa?" tanya Susi yang sudah paham dengan Agnes. Wanita yang sudah berusia 27 tahun itu hanya akan mendatangi Susi jika ada hal mendesak.

Agnes menampakkan gigi kelinci dan senyum pepsodent sepersekian detik, setelah itu senyumnya pudar, berganti menjadi sendu dan bingung.

"Kenapa? Paniknya kambuh?" tanya Susi to the point.

Agnes menggeleng, ia mengeluarkan kertas dari dalam tasnya, menyerahkan kertas ke atas meja dengan wajah murung.

Susi meraih kertas itu dengan ekspresi bingung. "Apa ini? Ancaman lagi?"

"Buka aja," ujar Agnes datar tanpa menoleh dokternya.

"Kali ini siapa yang ngirim?" tanya Susi mengerutkan keningnya.

Agnes menggeleng. "Entahlah, ini bukan pertama kalinya terjadi, Kan. Jadi, aku rasa ini perbuatan orang yang sama."

Susi menggeleng. "Sudah lima tahun, Nes. Apa kamu nggak mau kasih tau keluarga mu aja, tentang teror ini?" tanya Susi. Ia tidak punya kekuatan lebih untuk menolong Agnes dengan permasalahan ini.

Agnes menatap Susi lama. Ia mengerucut bibirnya beberapa senti sambil mengetuk-ngetuk kan jarinya di dagu.

"Em, apa dokter yakin? Kalau keluarga tahu, hal ini pasti akan jadi lebih genting dan memusingkan!"

Susi mengangguk. "Setidaknya, beban di kepalamu itu berkurang! Kamu masih mau sembuh, Kan?"

Agnes menghela nafas panjang, tidak menjawab pertanyaan Susi.

"Nes, kamu yakin masih betah ketemu sama saya? Kamu harus yakin dan selalu positif thinking karena tanpa keyakinan, pengobatan apapun yang kamu lakukan akan sia-sia!" nasihat Susi pada Agnes.

"Kata Napoleon Bonaparte, Obat terbaik untuk tubuh adalah pikiran yang tenang," papar Susi. "Jadi, pikiranmu harus tenang dan tidak berantakan."

Agnes menghela nafas."Iya, nanti aku akan memberitahu keluargaku!"

Susi mengangguk. "Iya, dan jika kamu ingin ... katakan untuk memperketat pengawasan rumah sakit supaya kamu bisa mengetahui siapa yang melakukan teror 7 tahun terakhir."

Agnes mengangguk, ia memejamkan matanya sambil bersandar di sofa ruangan Susi.

****

Pukul 20.00

Ruangan serba putih dengan bau obat-obatan yang sangat menyengat itu terlihat masih terang, pertanda orang di dalamnya belum pulang.

Agnes masih mencerna perkataan dokter pribadinya, ia mendengar kericuhan di luar ruangannya. Agnes menghela nafas lalu beranjak dari kursinya untuk melihat apa yang terjadi di luar.

"Nggak-nggak! Pokoknya cucu saya nggak boleh di rawat!"

Mendengar perkataan itu Agnes mengerutkan keningnya mencari sumber suara karena di depan ruangannya terlihat tenang dan sepi. Ia pun menyusuri lorong, tak jauh dari situ ia bisa melihat tempat pendaftaran pasien rawat jalan (TPP RJ) terlihat ramai.

"Pokoknya cucu saya mau saya bawa pulang! Saya nggak mau di rumah sakit, bau! Bikin mual!"

"Maaf, ada apa ini?" tanya Agnes mendatangi tempat kericuhan itu terjadi.

"Ini, Dok. Nenek ini tidak ingin cucunya dirawat padahal kondisinya sangat mengkhawatirkan, cucunya disentri parah. Pasien sudah disentri selama tiga hari namun baru dibawa sekarang, setelah diperiksa pun pasien sudah mengalami dehidrasi parah," saut seorang dokter coas stase anak yang sedang bertugas berbisik pada Agnes.

Agnes mengangguk paham, ia lalu tersenyum ramah pada nenek yang melihatnya jutek. "Nek, saya boleh tahu kenapa nenek tidak ingin cucunya dirawat?" tanya Agnes ramah.

"Nggak, pokoknya saya nggak mau cucu saya dirawat," sergah Nenek itu.

Agnes menghela nafas lelah. Di rumah sakit yang penuh dengan berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi ini, hal seperti ini bukanlah pertama kalinya. Agnespun sudah sering mendengar kasus ini terjadi hingga terkadang ia lelah, harus memberikan pengertian yang sama terus menerus.

"Sabar, Nes," batin Agnes.

Dengan kekuatan dan kewarasan yang tinggal sedikit akibat drama hari ini. Agnes tetap berusaha tersenyum ramah.

"Begini, Nek. Sejak awal kami tidak meminta nenek untuk membawa cucu, Nenek ke rumah sakit. Tapi, nenek yang membawa ke sini lalu kenapa saat dokter ingin memberikan perawatan, nenek malah menolak. Jika begini, kami harus bagaimana? Kami jadi serba salah! Jika tidak ditangani dan terjadi sesuatu yang diluar kekuasaan kami, kami di salahkan. Tapi, jika kami tangani... kami melanggar kode etik, di mana semua harus dengan persetujuan pasien."

Nenek itu masih menatap dengan wajahnya yang sangat sombong dan songgong sementara orang tua anak kecil itu hanya bisa menunduk sambil mengkhawatirkan keadaan anak mereka. "Ya saya nggak perduli, pokoknya saya nggak mau cucu saya dirawat di sini."

Mendengar penuturan Nenek tua yang tetap kekeh itu. Agnes lagi-lagi harus menghembuskan nafasnya jengah, ia tak punya pilihan lain.

"Kalau begitu, silahkan ... pintu keluar ada di sebelah kiri! Jika terjadi sesuatu dengan cucu, Nenek. Mohon jangan libatkan kami, karena Nenek yang tidak ingin cucu Nenek menerima perawatan! Terlebih melihat kondisi pasien dan pernyataan dari dokter yang menangani, pasien sudah mengalami dehidrasi parah dan sempat mengalami kejang! Saya hanya khawatir pasien mengalami syok hipovolemik jika tidak ditangani lebih lanjut," papar Agnes menjelaskan.

Jika sudah tidak bisa menggunakan penjelasan lembut, ia akan blak-blakan menjelaskan kemungkinan terburuknya agar tidak ada yang salah langkah. Dan cara yang dilakukan Agnes itu jarang sekali gagal!

"Dok, rawat saja anak saya! Saya akan tandatangani surat informed Consentnya." Ayah dari pasien tiba-tiba memutuskan setelah mendengar penuturan Agnes.

"Jok," pekik Nenek tua itu menatap anak atau menantunya itu dengan tatapan tajam dan tidak percaya.

"Ma, sudahlah! Aku dan Mas nggak mau anak kami kenapa-kenapa!" ucap ibu dari pasien.

Agnes tersenyum menang. "Tolong siapkan kamar rawat, dan bawa informed Consent ke sini! Dokter cek kondisi pasien dan segera berikan penanganan lebih lanjut!" perintah Agnes kepada tenaga medis yang bertugas.

"Baik, Dok."

Agnes menghela nafas lega, ia tersenyum menoleh pada keluarga pasien. "Keputusan yang tepat, Pak, Bu. Saya dan teman-teman tenaga medis yang bertugas akan berusaha memberikan yang terbaik untuk anak bapak dan ibu."

"Ya haruslah!" judes Nenek tua tanpa menoleh pada Agnes.

"Ibu," tegur ibu dari pasien yang berada di sampingnya.

Agnes hanya bisa tersenyum, ia berusaha bersikap profesional. "Kalau begitu, saya permisi. Nanti anak ibu ditangani langsung oleh dokter anak," ujar Agnes.

"Terimakasih, Dok," ujar Ayah dan Ibu pasien.

Agnes mengangguk dan kembali ke ruangannya. Setelah itu, Agnes menghempaskan tubuhnya di sofa, memijit pelipisnya sambil memejamkan matanya.

"Dokter Agnes, visit pasien 15 menit lagi," ujar Anna yang entah sejak kapan berada diambang pintu sambil memperhatikan Agnes.

Agnes menoleh sambil mengangguk. "Iya," ujar Agnes malas.

"Dokter Agnes butuh coffe?" tanya Anna menawarkan, ia tidak tega melihat Agnes yang terlihat lemas dan lesu sejak klarifikasi tadi. Anna berpikir, semua masih ada hubungannya dengan kejadian tadi.

"Bolehkah?" tanya Agnes menatap Anna sendu.

Anna mengangguk lalu keluar dari ruangan Agnes tanpa menunggu respon Agnes selanjutnya.

"Sebenarnya, aku lebih butuh Rey daripada coffe," gumam Agnes pelan sambil menundukkan kepalanya.

"Aku di sini!"

*****

______

DEHIDRASI : kondisi ketika tubuh kehilangan lebih banyak cairan daripada yang didapatkan.

SYOK HIPOVOLEMIK : ketidakmampuan jantung memasok darah yang cukup ke tubuh akibat adanya kekurangan volume darah atau cairan, biasanya disebabka Bun oleh dehidrasi berat atau pendarahan.

DISENTRI : peradangan usus yang bisa menyebabkan diare disertai darah atau lendir disebabkan oleh bakteri shigella (shigellosis) atau amuba. Disentri sering menyebar melalui makanan atau air yang terkontaminasi.

______