Agnes membalik badannya, teriakan Anna membuatnya mengentikan langkah seraya mengerutkan keningnya heran. "Awas apa?" tanya Agnes.
"Ah, itu ... em, awas aja! Nanti dokter malah jatuh cinta sama dia lagi," ucap Anna berbohong.
Entah kenapa Anna berbohong hanya dia yang tahu.
Agnes mencebikkan bibirnya kesal, ia meneruskan langkahnya. "Udah jatuh cinta dari dulu," jawab Agnes bergumam, bahkan Anna pun tidak dapat mendengar jawaban Agnes.
Sementara Agnes kembali sibuk dengan pikirannya. Anna mengelus dadanya lega. "Syukurlah, dokter Agnes nggak curiga! Tapi, siapa laki-laki itu dan apa maksudnya hendak melempar dokter Agnes?" batin Anna dengan kerutan kebingungan di keningnya.
"Kayanya aku harus kasih tahu dokter Lulu ...," batin Anna sembari mengikuti langkah Agnes. "Dia kan pernah minta aku ngasih tau semua hal yang berkaitan dengan dokter Agnes ... apalagi yang mencurigakan."
***
"Anna, apa dokter David sudah visit ibu Karina?" tanya Agnes sebelum mereka visit ke ruangan Karina.
Anna melihat catatan kecilnya. "Sudah, Dok. Laporan hasil visitnya pun sudah saya terima tadi siang."
"Hasilnya bagaimana?" tanya Agnes hendak memastikan. Ia dan dokter David memang menangani Karina secara bersamaan namun dalam beberapa kesempatan, mereka tidak bisa visit bersama karena beberapa hal.
"Kalau dari mekanisme jantungnya, dokter David hanya memberikan catatan untuk tidak banyak melakukan pergerakan berat termasuk mengangkat benda berat atau berolahraga atau apapun yang memacu jantungnya bekerja keras, selain itu dokter David sudah memperbolehkan pasien pulang setelah 3 hari pasca operasi."
Agnes mengangguk paham. Hasil itu sama dengannya, jika observasi hari ini baik maka 2 hari lagi Tante Karina bisa pulang ke rumah dan bisa melakukan rawat jalan saja.
Ceklek!
Dengan senyum manis yang membuat semua orang kagum dan senang dengannya, Agnes melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan Karina.
"Halo tante Karin! Bagaimana? Ada keluhan apa hari ini?" tanya Agnes mendekati ranjang Karina.
"Tidak ada nak, tante sudah merasa lebih baik hari ini," jawab tante karina sambil tersenyum.
Agnes mengangguk paham, ia memeriksa semu tanda vital Karina. "Tidak ada sesak, pendarahan atau nyeri setelah menjadi operasi kemarin?" tanya Agnes kembali memastikan.
Karina menggeleng. "Enggak, cuma agak pegel sama cekit-cekit- aja di sini," ujar Karina menunjuk lokasi bekas operasi.
"Baik kalau begitu, Nanti diberikan obat pereda nyeri. Tapi, obatnya diminum secara teratur ya tante dan ini luka operasinya sudah stabil. Kalau ke kamar mandi atau bergerak? Ada keluhan yang Tante rasakan?"
Karina menggeleng.
"Okey, kita lihat satu malam ini ya, Tan. Jika observasi besok pagi, semua baik-baik saja. Tante boleh pulang dengan beberapa catatan yang akan kami berikan," ucap Agnes setelah selesai mengobservasi.
"Serius, Kak? Mama boleh pulang?" seru Keisya senang.
Agnes mengangguk sambil tersenyum, ia menoleh pada Keisya dan saat itu ia baru menyadari keberadaan Reyhan yang sedang bermain ponsel bersama Sarah.
Agnes berusaha senetral dan sebiasa mungkin. "Iya tergantung pemeriksaan besok pagi," ujar Agnes.
"Yes!" sorak Keisya.
"Tante, Keisya ... Kakak permisi dulu ya! Masih ada kerjaan lagi," pamit Agnes tanpa menoleh pada Reyhan yang nampaknya tidak perduli dengan keberadaannya.
"Anna, nanti pesankan dengan perawatan RI untuk memberikan obat pereda nyeri, ya!" perintah Agnes lalu tersenyum, Anna mengangguk dan membalas senyuman Agnes sebelum akhirnya Agnes beranjak keluar dari ruangan itu.
****
Agnes nampak sibuk dengan laptopnya, setelah menyelesaikan visitnya hari itu. Agnes langsung berhadapan dengan laptop. Raut wajah wanita itu sudah terlihat lelah dan butuh istirahat, tapi pekerjaan tidak bisa ia tinggalkan begitu saja. Alhasil, dengan sekuat tenaga, ia memaksa matanya untuk tetap terbuka.
"Anna," seru Agnes memanggil Anna.
Anna bergegas masuk ke dalam ruangan Agnes lalu menjawab, "Iya, Kenapa, Dok?"
"Sini, saya mau tanya-tanya sama kamu!" ujar Agnes serius.
Anna terkejut. Tidak biasanya dokternya itu seserius itu, memanggil seseorang hanya untuk di tanya-tanya.
"Ada apa, Dok?" tanya Anna melangkahkan kakinya berat.
Agnes yang seolah mengerti dengan ekspresi dan respon Anna yang sedikit panik dan takut itu hanya mengulum senyumnya.
"Santai aja, saya nanya bukan tentang kamu, Kok."
Anna menghela nafas lega, ia menyipitkan matanya penasaran. "Maksudnya Dokter?"
Agnes tersenyum dengan gigi kelincinya yang terlihat rapi. "Begini, waktu kamu awal-awal kerja di sini, apa kamu merasakan pembullyan atau ada yang bersikap tidak baik, atau kamu pernah melihat hal itu?" papar Agnes.
"Em," gumam Anna, ia nampak berpikir. Takut hendak menjawab pertanyaan Agnes. Apalagi setelah ia tahu siapa dokternya itu. Ia takut jika ia membocorkan yang sebenarnya sering terjadi di rumah sakit ini, orang-orang itu akan kehilangan pekerjaannya.
"Nggak usah takut! Apa yang kamu beritahu hanya akan jadi data sementara ... karena sepertinya rumah sakit akan membuat kuisioner untuk penilaian kinerja tenaga medis di sini," ungkap Agnes.
Mendengar penuturan Agnes, keterkejutan di raut wajah Anna tidak bisa ia sembunyikan. "Iya sih, Dok. Itu memang perlu ...-"
Anna pun menceritakan perundungan yang pernah ia alami oleh beberapa dokter senior di stasenya dulu. Cukup panjang cerita Anna, namun Agnes mendengarkan dengan mata yang melihat mata Anna, memastikan bahwa yang diceritakan perawat sekaligus asistennya itu benar adanya.
"Sudah era modern masih ada senioritas kaya gitu? Heran," saut Agnes setelah mendengar penuturan Anna.
Anna mengangguk. "Ya jelaslah, Dok! Apalagi coas-coas tuh! Bahkan ada yang sampai pulang setelah mengalami perundungan kaya gitu!" papar Anna.
Agnes menghela nafas jengah. "Thank you, Na."
Anna mengangguk lalu tersenyum ramah. "Iya, Dok."
Agnes kembali fokus pada Laptopnya, entah mengetikkan apa. "Em, Anna ... Nanti jika ada dokter Lulu dan Amanda, suruh masuk aja ya!" pesan Agnes sebelum akhirnya Anna kelur dari ruangannya.
"Hemm! Ternyata Anna mengalami apa yang gue alami waktu awal--awal di sini dulu."
Anna mengetikkan sesuatu dalam Laptopnya, entah itu laporan atau apa. Tapi, Agnes terlihat sangat serius melakukannya.
****
Prangg!
"Astaga!" pekik Agnes diikuti oleh Anna.
Agnes dan Anna yang sedang berada di dalam ruangan itu seketika menoleh cepat ke sumber suara. Raut wajahnya panik, heran, takut, semua campur aduk. Agnes dan Anna terlihat syok begitu melihat kaca ruangan Agnes pecah oleh bongkahan batu yang dibungkus kertas.
Agnes menoleh pada Anna. Cukup lama mereka bertatapan kemudian Agnes bangkit dari duduknya menuju batu yang berada tak jauh darinya.
"Hati-hati, Dok," pesan Anna yang sudah tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya.
"Tenang, saya cuma mau lihat isi kertas ini." Agnes meraih kertas itu dan membukanya.
'SAKIT HARUS DIBAYAR SAKIT DAN NYAWA HARUS DIBAYAR NYAWA!!!'
'DASAR BODOH! BAGAIMANA RASANYA DIBOHONGI OLEH ORANG YANG KAMU PERCAYA, NONA BAUTISTA?'
Mata Agnes melebar, ia sontak menutup mulutnya kaget dengan sebelah tangan, setelah membaca isi pesan itu. Agnes menyurai rambut, ia bangkit lalu berlari ke depan jendela untuk melihat siapa yang melempar batu ini namun nihil! ia tidak menemukan apapun.
"Dibohongi? Orang yang aku percaya? Apa maksudnya?" batin Agnes benar-benar bingung dengan surat teror yang baru saja ia terima.
Agnes berlari menuju meja kerjanya, mengeluarkan kertas-kertas yang selama ini ia simpan. Karena penasaran, Agnes merangkai semua kertas itu, ia pikir ia bisa menemukan petunjuk di sana.
'DIA HIDUP, MEREKA BOHONG!!!'
'JAUHI MATE ATAU BAUTISTA AKAN HANCUR!'
'LUPAKAN REYHAN! DIA PENGECUT.'
'DIKELILINGI PEMBOHONG, LEBIH BAIK KAMU MENJAUH DARI KELUARGA MATE JIKA MASIH INGIN HIDUP!!!'
'JANGAN MEMBANTU KELUARGA MATE! JANGAN IKUT CAMPUR!!!'
Pikiran Agnes semakin kalut, masih terlalu banyak kertas yang belum ia baca. Tapi, setiap kertas yang ia baca hanya berisikan tentang pembohong dan jauhi keluarga Mate. Agnes benar-benar pusing dibuatnya, ia tidak mengerti apa maksudnya.
"Ada apa, Dok?" tanya Anna mulai tak tenang, ia menyipitkan matanya menatap Agnes penasaran.
Agnes mendatangi Anna lalu meletakkan kertas yang ia baca ke meja. Sontak Anna dapat membacanya dan reaksinya tak kalah kaget dari Agnes.
"Ada apa ini sebenarnya? Tadi siang ada yang coba mencelakai dokter Agnes, sekarang ada ancaman seperti ini?" batin Anna khawatir.
"Dok!" seru Anna pada Agnes yang terlihat gelisah, berkali-kali Agnes terlihat menyurai rambut tak tenang, napasnya pun tak stabil, terlihat lebih memburu. Ia gugup bahkan lebih gugup dari sebelumnya.
Melihat Agnes tidak merespon perkataanya. Anna meraih ponselnya lalu menghubungi Lulu.
'Dokter Lulu, maaf Anna mengganggu. Dokter boleh ajak Dokter Agnes pulang, sekarang?' Send.
'Ada apa, Na?'
Anna langsung membalas pesan Lulu. 'Dokter Agnes dapat teror.' Send.
Setelah mengirimkan pesan itu, Anna menuju dispenser yang ada di pojok ruangan Agnes lalu menuangkan segelas air dan memberikannya pada Agnes. Ia tidak perduli dengan ponselnya yang berdering berkali-kali, pasti spam chat dari Lulu yang khawatir.
"Dokter minum dulu," ujar Anna.
Agnes hanya mengangguk sambil meraih gelas dari tangan Anna dan meminumnya sampai habis. Anna yang melihat itu, semakin khawatir, ia takut dokternya akan kambuh.
"Terima kasih," ucap Agnes lemah bahkan hampir tak terdengar. Tatapan Agnes benar-benar mengkhawatirkan, kosong ... mungkin karena terlalu syok atau karena pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benaknya.
"Siapa mereka? Apa maksudnya menerorku selama ini? Bertahun-tahun aku mencari tahu, tapi nggak pernah ketemu siapa mereka! Aku benar-benar tidak mengerti," batin Agnes.
****
CONTINUE ...
Thanks.