"Dari dulu kamu emang selalu mengagumkan."
Baru saja Agnes memejamkan matanya, sebuah suara membuat Agnes harus memaksa matanya untuk kembali terbuka dan melihat siapa yang datang.
"Ricky ...," ucap Agnes terlihat bingung dengan kehadiran sahabat dekat Reyhan di ruangannya.
Ricky tersenyum lalu duduk di depan Agnes. "Apa kabar?" tanya Ricky basa-basi.
"Seperti yang kamu lihat," jawab Agnes membalas senyuman Ricky. "Tumben kamu ke sini, ada apa?"
Ricky nampak berpikir, ia butuh sepersekian detik untuk berbohong pada Agnes. "Enggak ada apa-apa, cuma tadi nggak sengaja lewat ... sekalian mau jenguk tante Karina."
Agnes mengangguk paham.
"Oh iya, sekalian aja lah ya! Gue ngundang lo buat acara grand opening caffe baru gue," ujar Ricky mengalihkan pembicaraan.
Agnes berbinar-binar, ia sangat menyukai caffe - caffe di bawah naungan Ricky karena menurutnya semuanya perfect dan selalu memanjakan lidahnya.
"Kapan?" tanya Agnes antusias.
Ricky tersenyum. "Malam minggu besok, dateng ya! Ajak temen-temen sekalian, Lo udah lama juga nggak ngafe kan?"
Agnes mengerucut bibirnya beberapa senti sambil mengangguk. "Aku pasti datang," ujar Agnes.
"Good, sekalian perform ya! Kasian tu anak-anak yang sering ke cafe gue pada nanyain cewek cantik yang pernah perform disana," kekeh Ricky.
Agnes mengerucut bibirnya, ia nampak berpikir. "Bisa diatur," ujar Agnes terkekeh.
"Ck! Dasar," saut Ricky. "Em, ya udah ... Gue ke ruangan Tante Karina dulu! Lo hati-hati," ujar Ricky keceplosan pada akhirnya.
"Hati-hati?" ulang Agnes mengerutkan keningnya.
Ricky sedikit gelagapan namun ia dengan mudah menutupinya. "Iya, maksud gue... hati-hati aja! Lo terlalu cantik buat selalu sendirian, bahaya! Banyak buaya," ujar Ricky sembari terkekeh.
"Sial," ujar Agnes. "Aku pikir kenapa," lanjutnya ikut terkekeh.
"Ya udah, bye ...," ujar Ricky lalu berjalan keluar dari ruangan Agnes. Seketika Ricky mengusap dadanya setelah tak terlihat oleh Agnes.
****
Wanita cantik bernama Agnes itu kini sedang berjalan menuju IGD untuk bertugas. Mood Agnes meningkat sekian persen, entah karena apa. Hingga sepanjang lorong ia tersenyum.
Tiba tak jauh dari salah satu bilik di IGD, Agnes memperhatikan beberapa dokter coas yang sibuk mencatatkan data-data pasien dan juga memeriksa tanda-tanda vital pasien.
"Eh, ini siapa yang mau tindak? Emang ada residen bedah masih ada yang standby?"
"Ya kalo residen nggak ada, paling konsulen langsung! Kalo nggak salah ingat namanya dokter Agnes."
"Emang konsulen mau bela-belain dateng cuma buat jaga malam?"
"Ya kalo emergency pasti datang lah, apalagi kaya dokter Agnes. Dia kan standby selalu."
Agnes tersenyum mendengar percakapan coas baru itu. Ia kemudian berjalan mendekat untuk memeriksa pasien di hadapan coas-coas itu.
"Kalian coas baru?" tanya Agnes pada coas-coas di depannya.
"Kami coas anestesi, Kak."
Agnes mengangguk lalu mengulurkan tangannya pada salah seorang dari mereka.
"Penlight!"
Mungkin karena kondisinya sudah malam dan mereka sudah kelelahan, raut wajah kedua orang itu terlihat bingung dan mereka sedikit lemot merespon Agnes.
"Iya?"
"Saya pinjam penlight."
Agnes meraih penlight yang diulurkan oleh salah satu dari coas di sana. Ia lalu memeriksa pasien. "Apa ada koas bedah malam ini?"
"Ada, Dok. Di ruang jaga."
"Tolong sampaikan, saya tunggu mereka di OR karena saya butuh As-op! Dan kamu, antar pasien ke ruang OR sekarang," perintah Agnes mengambil alih hasil CT scan pasien yang sudah tidak sadarkan diri itu.
"Saya dokter Margaretha Agnesya, penanggung jawab instalasi bedah sentral!" ujar Agnes setelah menyadari kebingungan mereka.
"Baik, Dok." Kedua koas itu dengan segera menjawab setelah mendengar penuturan Agnes.
*****
Malam itu, saat Agnes masih berada di ruang operasi. Dua orang pria nampak mengobrol di gazebo kantin yang tak jauh dari parkiran mobil rumah sakit itu.
Tak hanya sekedar menikmati coffe yang mereka pesan, mereka juga nampak membicarakan topik yang cukup serius.
"Keluarga Hartawan nampaknya masih ada yang tersisa? Dan sepertinya mereka sudah mulai beraksi lagi," cetus Ricky.
Reyhan yang sedari tadi mengaduk-aduk coffenya seketika menoleh pada Ricky, ia menatapnya bingung.
"Maksudnya? Dan Kenapa lo bisa bilang gitu?"
Ricky menghela nafas panjang.
"Jadi gini ...,"
FLASHBACK.
Sore itu Ricky sedang berada di rumah sakit untuk menjenguk Karina. Ia berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan santai sambil sesekali membalas pesan chatnya.
BRUKKK!
"Sorry, saya nggak sengaja!" ujar seorang laki-laki serba hitam menyenggol bahunya lalu pergi begitu saja setelah mengucapkan perkataan maaf. Tapi, gerak-geriknya sungguh sangat mencurigakan membuat Ricky merasa aneh dan berusaha mencari dari mana asal laki-laki itu.
Ketika sedang mencari-cari, mata Ricky tertuju pada satu ruangan bernuansa putih dengan plang nama. 'Bedah Sentral'
Ricky mendekati ruangan itu, ia melihat-lihat keadaan di dalamnya. Lagi-lagi, matanya tertuju pada sebuah botol mineral berisi kertas di depan sebuah ruangan.
"dr. Margaretha Agnesya Christin Bautista Sp.B," gumam Ricky membaca nama plang di depan ruangan itu. "Agnes," sentaknya pelan. Raut wajah berubah khawatir dan ia pun langsung menghampiri ruangan itu, mengambil botol putih itu lalu meraih isi di dalamnya, memasukkan ke dalam tasnya.
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" ujar seorang wanita tiba-tiba menghampiri Ricky dan membuatnya kaget.
"Em, Dokter Agnesnya ada nggak ya? Saya temennya," ujar Ricky sebisa mungkin menunjukkan sikap netral agar tidak dicurigai.
"Oh, temennya dokter Agnes! Masuk aja, Mas. Beliau ada di dalam," saut wanita yang tak lain dan tak bukan adalah Anna.
"Oke, makasih ya."
"Sama-sama."
Setelah itu, Ricky masuk ke dalam ruangan Agnes untuk memastikan tidak terjadi apapun dengan wanita itu.
FLASHBACK OFF.
"Ini suratnya gue bawa," ujar Ricky setelah menyelesaikan ceritanya lalu ia mengeluarkan sebuah kertas putih dari dalam tasnya.
"Apa isinya?" tanya Reyhan penasaran. Ia meraih kertas itu dan langsung membukanya.
Rahang Reyhan mengeras, sorot matanya terlihat tajam dan siap membunuh siapapun yang mengganggunya. Ia terlihat marah dan khawatir sekaligus.
"Siapa yang berani ngirim ini!" sergah Reyhan emosi. "JAUHI KELUARGA CAROLUS MATE ATAU KALIAN SEMUA TIDAK AKAN SELAMAT!!!" Reyhan membaca ulang ancaman yang tertulis di kertas itu.
Ricky mengangguk. "Pertama kali aku membaca itu, otakku langsung tertuju kepada kejadian yang hampir menimpa Agnes saat kamu ingin menemui beberapa tahun lalu."
"Iya, ancaman ini persis seperti itu," imbuh Reyhan yakin. "Tapi, bagaimana caranya mereka tahu aku sudah bertemu dengan Agnes?"
Ricky menggeleng, pertanyaan yang sama itu ada di kepalanya. "Apa mungkin ada mata-mata di sekitar kita?" tebak Ricky menerka-nerka.
"Kalau ada, siapa?"
Ricky menghendikkan bahunya pertama ia tidak punya jawabannya. "Oh ya, aku ngundang Agnes di soft opening caffe kita yang baru, sekalian aku minta dia buat ngisi acara," ujar Ricky santai.
Reyhan mendongak. "Terus dia mau?" tanya Reyhan. Entah kenapa mendengar ucapan Ricky, Reyhan merasa senang.
Ricky mengangguk. "Dia bakalan datang dan ngajak temen-temennya."
Reyhan mengangguk paham. "Oke, kalo gitu gue jadi datang," ujar Reyhan mengganti keputusannya.
Semula, saat Ricky memberitahu tentang soft opening cafe yang baru, Reyhan menolak untuk ikut dengan alasan masih sibuk.
"Inget! Jangan bawa Sarah atau lo gue usir besok," ancam Ricky menatap tajam pada Reyhan. Wajar saja, Ricky juga tidak menyukai wanita itu dan menaruh rasa curiga padanya namun ia belum memiliki bukti apapun.
*****
CONTINUE ...
Terima kasih.