"Aaaaa ....." Agnes berteriak beberapa saat setelah Anna keluar.
"Astaga, dokter!" pekik Anna melihat Agnes meringkuk dalam tangisnya.
Anna kembali masuk ke ruangan Agnes karena mendengar suara panik dan ia menemukan Agnes berada di pojok ruangan dengan wajah cemas dengan memeluk kedua lututnya.
Anna langsung menghampiri Agnes dan berusaha menenangkannya. "Dokter Agnes...," seru Anna cemas.
Ia terus berusaha menyadarkan Agnes namun Agnes tidak menjawab dirinya.
"Dokter Agnes, Dokter kenapa?"
Merasa percuma, Anna memutuskan memanggil Luluk. Ia meraih ponselnya dan langsung menelfon Luluk.
"Halo, Dokter Luluk."
"Iya, kenapa Anna?"
"Dokter, tolong ... Dokter Agnes kayanya kena serangan panik! Dia nggak ngerespon apa yang saya bilang dari tadi."
"Apa? Serangan panik? Baik! Saya ke sana." Tutt.
Panggilan tertutup, Agnes sudah lebih tenang namun ia belum merespon. Ia terlihat bengong dengan tatapan kosong.
"Ya ampun dokter Agnes, dokter kenapa?" lirih Anna semakin cemas melihat keadaan Agnes.
Ceklek!
Beberapa menit kemudian terdengar pintu terbuka, Luluk masuk dan langsung menghampiri Agnes.
"Astaga, kenapa Agnes bisa kena serangan panik kaya gini?" tanya Luluk namun Anna menggeleng pertanda ia tidak tahu.
"Tadi sempat mati lampu, Dok."
"Bantu saya papah dia ke sofa," ujar Luluk.
Anna mengangguk. "Baik, Dok."
"Dokter Luluk, ada apa dengan dokter Agnes? Ini kedua kalinya dia seperti ini," ujar Anna sembari meletakkan Agnes di sofa dengan hati-hati.
"Dua kali?" ulang Luluk kaget. "Setau saya serangan paniknya hanya datang saat gelap! Inikan terang?" tutur Luluk bingung.
"Tapi yang kedua kali ini beda sama yang pertama, Dok."
"Beda kenapa?"
"Ini lebih lama."
"Emang yang pertama kapan? Dia nggak pernah bilang apa-apa sama saya," seru Luluk.
"Em, kira-kira seminggu yang lalu... tapi, waktu itu ada cowok yang sering bawain dokter Agnes coffe, namanya ... Rey...Rey...," Anna menggaruk kepalanya, berusaha mengingat nama.
"Reyhan maksud kamu?" ujar Luluk menebak.
Anna langsung mengangguk cepat. "Iya, waktu itu ada Reyhan ... dan dokter Agnes langsung tenang dan sadar, nggak selama ini," papar Luluk.
"Hemm, iya sih ... ini juga udah kelewat lama dari biasanya,"-Luluk melihat jam tangannya-"Kalo gitu kamu ada minyak kayu putih? Bantu saya bangunkan Agnes, sepertinya dia harus konsultasi lagi."
"Oke, Dok. Tunggu sebentar saya ambil minyak kayu putih."
*****
"Serangan panik lebih parah dan lama dari biasanya, sepertinya pengobatan biasa sudah sulit untuk berhasil."
Anges menghela nafas panjang. "Aku telah mencoba pengobatan dan psikoterapi berbagai jenis, apakah ada metode pengobatan lain?"
Psikiater yang menangani Agnes menghendikkan bahunya. "Entahlah, tapi ...,"
"Tapi apa?" potong Agnes.
Psikiater yang bernama Susi, beliau telah menjadi teman Agnes untuk mengatasi ketakutannya terhadap gelap atau Achluophobia sejak pertama Agnes menyadari phobia yang ia alami selama tiga tahun terakhir.
Susi menghela nafas berat. "Beberapa waktu yang lalu, pasien pernah ku tangani telah menemukan obat dari ketakutan terhadap gelap pada malam hari atau Nyctophobia," -Susi menatap Agnes dalam- "Ku rasa kamu juga sudah menemukan obatmu karena memang kasus ini mirip sama dengannya," ujar Susi sambil berjalan ke arah Agnes.
Ucapan Susi membuat Agnes mengerutkan keningnya. "Maksudnya? Jelas-jelas aku masih merasa takut, padahal lampu ruanganku tadi hanya mati sekian detik,"gerutu Agnes.
Agnes menghembuskan nafas kasar. Sudah tiga tahun namun rasa takutnya bukannya berkurang malah semakin parah. Kini, Agnes sudah mulai pasrah! Ia sudah cukup lelah mencari pengobatan untuk menghilangkan phobianya.
"Ck! Agnes, kamu kenal siapa pasienku itu karena kalian beberapa kali kontrol bersama. Dia Jessica!"
"Ah, Jessica? Waktu itu kita memang sering kontrol bersama dan aku juga tau dia punya phobia dengan gelap... tapi sekarang aku nggak pernah liat dia ke sini?"
Susi mengangguk. "Iya, Jessica sudah jarang ke sini, karena saat itu juga sudah mencoba berbagai cara, segala perawatan dirumah sakit terbaik sudah dia coba, tapi tidak berhasil. Nyctophobianya sama parahnya denganmu, tapi berdasarkan ceritanya semua itu sembuh saat ia bertemu dengan seseorang dan bisa tenang di malam hari meskipun gelap," ujar Susi sambil duduk dihadapan Agnes.
Agnes menoleh cepat setelah mendengar penuturan psikiaternya. Dari raut wajahnya, sulit bagi logika Agnes menerima penjelasan psikiaternya itu.
Seakan mengerti dengan respon yang diberikan oleh Agnes. Susi tersenyum lalu melanjutkan ucapannya.
"Mungkin saja dopamine yang dihasilkan oleh cinta, atau sebut saja kekuatan cinta yang menekan rasa takut dialam bawah sadarnya ... Jadi, sepertinya kamu harus sering-sering bersama Reyhan! Cinta pertamamu. Mungkin dengan begitu phobiamu bisa perlahan menghilang," ucap Susi.
Agnes menatap psikiaternya itu dengan tatapan tak percaya. Logikanya seakan menolak penjelasan Susi namun hatinya senang-senang saja jika memang Reyhan bisa membantunya menghilangkan rasa takutnya.
*****
Agnes berjalan gontai ke arah taman. Penjelasan psikiaternya tadi sungguh merasuk ke dalam hatinya. Pikirannya mendadak penuh dengan Reyhan.
Agnes duduk di salah satu bangku taman yang terlihat sepi di jam-jam mendekati sore hari.
"Huftt!" desah Agnes.
Cukup lama Agnes duduk diam di sampai dokter Richard datang menghampirinya dan duduk di sisinya.
"Ekhmm," dehem Richard berusaha membuyarkan pikiran Agnes.
Agnes menoleh, terlihat salah tingkah untuk sesaat karena dirinya ketahuan sedang melamun.
"Aku denger tadi kamu kena serangan panik?" tanya Richard mengalihkan pandangannya menatap air mancur di depan mereka.
Agnes mengangguk. "Iya," jawabnya singkat.
"Kalau aku boleh tahu? Kenapa?" tanya Richard sopan.
Agnes menoleh sesaat, ia melihat mata Richard.
"Kenapa? Kalo kamu belum mau cerita juga nggak apa-apa, Kok."
Agnes tersenyum lalu menghela nafas panjang. "Tiga tahun yang lalu ... Aku sedang menunggu semua orang pulang sampai kejadian lampu padam dan entah dari mana muncul api! Saat itu kebakaran dan aku satu-satunya korban. Beruntung aku selamat dari kejadian itu... walaupun hasilnya aku harus terbaring di rumah sakit selama tiga bulan."
"Sorry to hear that... Lalu sekarang bagaimana?" tanya Richard.
Agnes menghela nafas. "Entahlah, seperti aku harus berhenti berharap kalau phobia yang muncul karena trauma ini bisa disembuhkan."
Richard tersenyum. "Hei, baru ini aku tahu dokter yang selalu memberikan harapan pada banyak orang, tapi kehilangan harapan untuk dirinya sendiri."
Penuturan Richard membuat Agnes tersenyum, kecut! Ucapan itu memang benar, tapi ia memang tidak tahu lagi harus bagaimana? Segala perawatan telah ia lakukan namun hasilnya tak kunjung ia dapatkan.
"Mungkin memang takdirku seperti ini, bukankah terkadang kita perlu menerima jalan kehidupan yang sudah disediakan agar kita bisa terus berjalan tanpa berhenti," ucap Agnes seadanya.
"Takdir? Jalan kehidupan? Semua memang harus diterima dan dijalani! Tapi, apa salahnya berusaha membuat takdir menjadi lebih baik! Mungkin kamu harus mencoba cara lain? Atau mungkin dokter yang merawatmu memberikan alternatif lain untuk sembuh?" ujar Richard membuat Agnes menoleh kearahnya.
Bagaimana Richard bisa tahu dokter Susi memberinya jalan lain. Mungkin kebetulan! Itulah yang tertanam di kepala Agnes. Ia tidak ingin memikirkannya karena memikirkan pengobatan alternatifnya saja sudah cukup menguras ruang di pikiran Agnes.
"Kenapa?" tanya Richard menoleh pada Agnes yang sedang menatapnya.
"Ah, Enggak!" saut Agnes mengalihkan pandangannya cepat.
"Jadi bagaimana?"
Agnes menghela nafasnya. "Iya, Dokterku menyarankan hal konyol, dia menyuruhku mendekati cinta pertamaku tetapi orang yang sampai saat ini ku cintai itu sudah jadi kekasih wanita lain!"
"Lalu apa masalahnya? Dekati saja, jika memang itu bisa membuatmu sembuh."
Lagi-lagi Agnes tersenyum kecut. "Jika semudah itu mungkin aku tidak akan duduk di sini...," ucap Agnes,"Mungkin aku sudah pergi menghampirinya sekarang."
"Terus?" ujar Richard mendengar dengan serius.
"Kamu pernah tahu bagaimana rasanya seseorang mengacaukan kepalamu sedemikian rupa sampai kamu bahkan berpikir kamu tidak akan bahagia jika tidak bersamanya tapi di saat yang bersamaan kamu juga tidak ingin dia terluka karena tak bahagia bersamamu?"
"Tentu! Ketika cinta yang begitu murni dan niatmu baik tapi diacuhkan begitu saja! Dan bodohnya perasaanmu tetap berpihak padanya dan itu cukup menghancurkan semuanya, bahkan sampai maaf terucap tapi kepercayaan tak lagi bisa diberikan!" papar Richard tiba-tiba menunjukkan sisi rapuhnya.
"Sorry, Ric," ujar Agnes menoleh tak enak hati pada Richard.
"Nggak masalah!" -Richard menghela nafas- "Kamu nggak sendiri, Nes. Aku pun pernah lelah, pernah stress karena cinta, pernah terluka begitu dalam tapi aku berusaha terlihat baik-baik saja."
"Seni paling mudah! Berpura-pura baik-baik saja saat hati terluka begitu dalam," lirih Agnes tersenyum miris.
Fakta bahwa Reyhan telah memiliki kekasih memang belum bisa Agnes terima begitu saja. Perasaan yang terlanjur ia pupuk selama ini membuatnya sulit menghilangkan perasaannya.
Richard menghela nafas. "Kalau kamu percaya takdir! Kami juga harus percaya, semua cinta pasti punya kesempatan dan takdirnya masing-masing. Mungkin memang sekarang dia masih sama yang lain tapi besok, lusa, atau waktu lainnya semua masih rahasia Tuhan."
Agnes mengangguk. "Iya sih,"-Menghela nafas-"Takdir emang nggak ada yang tahu."
"Itu siapa, dari tadi merhatiin ke arah kamu terus," tanya Richard mengalihkan pembicaraan untuk sesaat karena terlanjur penasaran.
"Mirip Reyhan. Apa itu emang Reyhan? Tapi kenapa dia balik?" batin Agnes. Belum sempat Agnes melihat wajahnya, Reyhan sudah berbalik dan pergi. Tapi, Agnes yakin betul dia Reyhan.
****
CONTINUE ..