Chereads / HEY, YOU! / Chapter 20 - HURTING.

Chapter 20 - HURTING.

"Ka Reyhan!!! Tega ya!" ketus Keisya menghampiri Agnes yang terlihat benar-benar syok, ia hanya bisa mendongkakkan kepalanya menatap wajah Rey tak percaya saembil memegangi keningnya yang terbentur meja.

Sakit? Jelas saja, tapi bukan itu yang jadi permasalahan utamanya. Ia lebih sakit melihat Reyhan yang tiba-tiba menjadi arogan dan Agnes merasa tidak mengenali kepribadian itu.

"Kamu keterlaluan Rey!" bentak Karina. "Agnes kamu ngak apa-apa sayang?" tanya Karina mencoba bangun dari posisi tidurnya.

Reyhan tidak merespon bentakan Karina, tubuhnya kaku layaknya patung! Raut wajahnya sulit di artikan tapi sorot matanya cukup menjelaskan bahwa ia khawatir dan menyesal. Namun entah kenapa, ia tidak melakukan apapun untuk membantu Agnes.

"Kak, apa yang sakit?" tanya Keisya menyentuh tempat yang terbentur meja.

"Akhhh!" ringis Agnes mengalihkan pandangannya, menoleh pada Keisya dan Keisya langsung melepaskan tangannya.

Melihat Agnes yang meringis kesakitan, Rey tersadar, ia panik lalu mencoba mendekat. "Maaf, aku bener-bener nggak sengaja, Sya."

Agnes mengindahkan permintaan maaf Reyhan. Ia bahkan tak menoleh pada lelaki itu. Ia tidak marah, hanya saja kecewa dengan sikap Reyhan.

BRUK!!

Terdengar bunyi sesuatu jatuh, pandangan Agnes dengan cepat beralih pada asal suara dan melihat Karina tergeletak di lantai hampir tak sadarkan diri. Agnes langsung berlari menghampiri Karina tidak perduli dirinya juga sedang terluka.

"Cepet angkat!" sentak Agnes melihat Reyhan masih terdiam di tempatnya.

Reyhan pun, menggendong ibunya kembali ke ranjang. Sayup-sayup mata Karina masih terbuka, ia tak sampai tak sadarkan diri hanya hampir.

"Mah, ada yang sakit?" tanya Rey setelah menggendong Karina kembali ke ranjang.

Melihat kondisi Karina dengan infus yang terlepas dan darah mulai mengalir, Agnes segera menggeser tubuh Rey tanpa bersuara kemudian langsung mengecek keadaan Karina dan membenahi letak infusnya.

"Ma, mama nggak apa-apa?" tanya Keisya terlihat khawatir.

"Tante, apakah ada bagian yang sakit?" tanya Agnes setelah selesai mengecek keadaan Karina.

"Nggak ada kok, Sayang," jawab Karina lemah namun ia berusaha tersenyum. "Kamu sendiri gimana sayang, itu kening kamu?" tanya Karina terdengar khawatir.

Agnes tersenyum tulus. "Agnes nggak apa-apa kok, Tan." -Menyentuh keningnya- "Paling cuma lecet sama bejol dikit," ujar Agnes.

"Tante, Tante yakin nggak kenapa-kenapa? Tante tadi mau apa? Lain kali kalau mau apa-apa bilang sama kita yah jangan sendiri," ucap Sarah terlihat panik.

Melihat hal itu, Agnes mengerutkan keningnya semakin tak mengerti dengan drama yang terjadi di ruangan ini.

"Ck! Semua ini juga gara-gara lo, mending sekarang lo pergi!" ketus Keisya tak bersahabat.

Lagi-lagi, Agnes dibuat tak mengerti dengan situasi yang terjadi. Keisya benar-benar menunjukkan rasa tidak sukanya pada Sarah, tapi tak seorang pun tahu alasannya. Gadis yang sedang menempuh kuliah semester empat itu tidak ingin mengatakan alasannya.

"Kei ...," seru Agnes menggeleng. "Sudah, jangan ribut sayang. Biar Mama bisa istirahat, supaya besok lancar operasinya ya," lanjut Agnes sambil tersenyum tipis.

"Dan kalian, maaf jika tidak sopan tapi jika ingin bertengkar dan membuat keributan jangan di rumah sakit. Silahkan tinggalkan ruangan ini sekarang, semua pasien disini butuh istirahat dengan tenang,"perintah Agnes dengan raut wajah datar tanpa ekspresi sambil menatap ketiga orang dihadapannya secara bergantian.

"Tapi Nes, kalo kita pergi yang jagain mama siapa?"

"Masih ada perawat yang lebih kompeten," jawab Agnes tanpa menatap Rey.

"Iya, mending kalian semua keluar aja dari sini!" sentak Karina terlihat kecewa.

"Tapi, Ma ...,"

"Ya udah, sayang. Sekarang kita pergi aja dulu, bener kata Agnes biar mama kamu bisa istirahat dulu." Sarah mengusap lengan Rey membujuknya.

"Em, tapi aku ke kamar mandi bentar ya baru kita keluar," pamit Sarah berbisik pada Rey.

Rey hanya mengangguk tanpa melihat Sarah di sampingnya. Rey sibuk menatap Agnes dengan tatapan sayu yang sulit diartikan. Tapi sebagaimana pun Reyhan menunjukkan rasa menyesalnya, hal itu tetap tak digubris sama sekali oleh Agnes.

"Tante, Agnes permisi dulu, kalau butuh apa-apa pencet aja bell di samping ranjang Tante ya." Agnes melangkahkan kaki meninggalkan ruangan tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Reyhan.

"Em, ka Agnes ...," panggil Keisya mengehentikan langkah Agnes.

Agnes berhenti dan menoleh. "Iya kenapa?"

"Aku boleh ikut kakak aja nggak, males disini! Bikin emosi aku naik sampe ke ubur-ubur," pinta Keisya menunjukkan puppy eyes andalannya.

"Ia boleh," saut Agnes datar.

Agnes dan Keisya pun berjalan keluar dari ruangan Karina, namun sesampainya di depan toilet. Keisya melambatkan langkah, berusaha mendengar suara dari dalam kamar mandi yang terdengar samar.

"Dasar perempuan licik!!!" ketus Keisya namun pelan, hanya bisa didengar oleh dirinya dan Agnes.

Agnes semakin tak paham, ia ingin bertanya namun moodnya pun sedang tak baik. Tak ingin semakin merusak suasana jadi ia memendamnya untuk sementara.

"Sayang, kamu mau kemana? Kayanya kakak mau pulang," ujar Agnes saat mereka melewati lorong-lorong rumah sakit.

"Em, Keisya mau ke kantin aja, Kak."

Agnes mengangguk. "Kalo gitu kakak duluan ya, soalnya kasian ka Amanda sendirian."

Keisya mengangguk paham sambil tersenyum. "Iya, hati-hati ya, Kak."

"Iya sayang, kamu juga ya, bye ...," seru Agnes lalu berbelok ke arah lobby rumah sakit.

*****

Pukul 03.15 A.M

Drtt... Drtt... Drttt ...

Sebuah lagu 'Glen-sekali ini' terputar dari ponsel Agnes. Lagu itu lagu kesukaan Agnes dan memang sengaja dijadikan Agnes sebagai nada panggilan di ponselnya.

Agnes kembali dari rumah sakit pukul 11 malam. Ia sungguh lelah, namun baru empat jam terlelap, dering telfon kembali memanggilnya untuk tersadar lebih pagi.

Kini, Agnes berusaha mengerjapkan matanya perlahan setelah mendengar ponselnya berbunyi nyaring. Ia meraba nakas dan menemukan ponselnya. Agnes segera menjawab panggilan dari ponsel tersebut.

"Iya halo," jawab Agnes tanpa melihat siapa yang menghubunginya dengan suara bangun tidur yang khas.

"Halo, Dok. Maaf mengganggu waktunya, saya asisten ruang operasi."

"Iya, ada apa?" ujar Agnes tak bersemangat karena jujur ia masih sangat mengantuk.

"Dok, Ibu Karina akan dioperasi sekarang juga karena keadaannya tiba-tiba memburuk."

Mata Agnes terbuka sempurna, bak disambar geledek, informasi yang ia terima benar-benar membuat rasa kantuknya hilang.

"Apa! Okey saya ke sana sekarang, 15 menit lagi saya sampai!" seru Agnes bergegas bangun dari tempat tidurnya.

Agnes melirik jam di nakas masih pukul 3 pagi. Secepat kilat Agnes mengganti baju menjadi lebih formal lalu mengambil kunci mobilnya.

Agnes mengemudikan mobil lebih laju dari biasanya, rasa paniknya membuat ingin segera sampai di rumah sakit. Untung saja masih sangat pagi jadi dia tidak perlu waktu lama untuk tiba di rumah sakit. Agnes memasang snellinya lalu berlari menuju ruang operasi.

"Tuhan! Aku hanya berdoa semoga operasi ini lancar dan tante Karina bisa sembuh," doa Agnes sambil berlari, ia hanya bisa harap-harap cemas karena ia tahu kondisi Karina beberapa hari ini tidak stabil.

Sesampainya di depan kamar operasi sudah banyak yang berada di sana, ada Reyhan dan keluarganya juga beberapa dokter yang mungkin menunggu dirinya.

"Dokter, dokter tamu untuk kasus ini tidak bisa hadir karena beliau masih di luar negeri, jadi ... dokter akan bertugas sebagai penanggung jawab operasinya," ujar Richard berbisik pelan.

Agnes menoleh, ia menatap Richard tak percaya. "Apa?"

Seperti petir di siang bolong, perasaan Agnes tiba-tiba tak menentu mendengar penuturan Richard. Menjadi penanggung jawab operasi bedah jantung yang bukan spesialisnya adalah hal di luar kemampuannya. Karena bagaimanapun, secara struktural dirinya masih seorang dokter bedah umum saja. Meskipun ia pernah menjadi asisten dokter bedah jantung dan sering mengikuti operasi bedah jantung tapi ia tidak pernah secara langsung menjadi penanggung jawab seperti yang di katakan Richard.

Richard mengangguk. "Sebaiknya kita bicara di dalam, jangan di sini," ujar Richard memberikan kode melihat keluarga pasien menatap mereka.

Agnes mengangguk. "Sebentar!"

Agnes menghampiri ayah Reyhan. "Om Ben, Agnes izin! Hari ini operasinya Agnes yang akan tangani langsung karena dokter tamunya berhalangan hadir," papar Agnes.

Mr. Ben, ayah Reyhan mengangguk sambil menatap Agnes penuh harap. "Tolong usahakan yang terbaik untuk mami, ya, Nak."

Agnes mengangguk lalu berbalik dan langsung masuk ke dalam ruang operasi. Di dalam sana, Dokter spesialis jantung, Anestesi dan bedah umum sudah siap dengan pakaian operasinya.

"Dokter Agnes," sapa dokter spesialis jantung.

Agnes tersenyum sambil mengangguk, ia melepas snellinya mengganti dengan pakaian berwarna biru yang khas sekali dengan ruang operasi.

"Dokter Agnes sudah siap dengan operasi hari ini?" tanya Sheila, dokter Anestesi.

Agnes menghela nafas panjang. "Bagaimana lagi? Siap tidak siap, saya tidak punya pilihan," ucap Agnes datar.

"Dokter Agnes tenang jangan panik, saya akan bantu dokter," ucap dokter spesialis jantung.

Agnes mengangguk. "Terima kasih, dokter David."

Sebagai dokter, sering kali Agnes harus mengambil keputusan yang membahayakan profesi dan gelarnya juga pasiennya. Bukan tanpa alasan, tapi jika ia tidak melakukan operasi itu mungkin satu nyawa lagi akan hilang. Tapi, jika ia melakukan operasi itu dan operasinya gagal ia akan kehilangan gelarnya karena dianggap menyalahi kode etik kedokteran.

"Dokter Agnes ... dokter adalah satu-satunya dokter paling kompeten di ruangan ini. Lagipula, keluarga pasien sudah setuju jadi dokter jangan mengkhawatirkan hal lain, kami akan memback up dokter."

Agnes mengangguk lemah. Ia menghembuskan nafasnya panjang, mencoba menenangkan diri.

"Terima kasih ...," ucap Agnes.

"Kalau begitu, kita masuk sekarang? Takutnya keadaan pasien tidak bisa menunggu lebih lama," ujar Richard.

Semua mengangguk, mereka masuk ke bilik kecil yang sangat steril di ruang operasi itu. Bilik di mana akan dilakukan prosedur operasi.

Kini di depan Agnes tubuh pasien sekaligus ibu dari lelaki yang sangat dicintainya terbujur kaku tak sadarkan diri karena pengaruh obat bius. Ia memasang sarung tangannya, lalu mengangkat tangannya di depan dada agar tangannya steril ketika harus memegang organ tubuh pasien.

"Bacakan hasil observasi terakhir pasien," pinta Agnes untuk mengetahui bagaimana ia harus menanganinya.

*****

CONTINUE ...

THANKS