"Dokter Agnes ... "
"Iya, Dok," saut Agnes menoleh ke arah suara berat itu. Agnes yang masih bersiap-siap di balik meja kerja, menghentikan aktivitasnya lalu memperhatikan laki-laki paruh baya bersnelli dokter itu.
"Saya boleh minta tolong, bisa kamu gantikan saya untuk visit pasien beberapa minggu ke depan karena saya harus cuti," pinta dokter bernama Brian yang selama ini penuh harap.
"Memangnya Dokter mau kemana?" tanya Agnes.
"Saya mau ke Medan, mau nikah-"
"Hah! Dokter mau nikah lagi?" sela Agnes mengerjakan matanya kaget.
Dokter Brian menjitak kepala Agnes gemas. "Sembarang, saya mau nikahkan anak saya di sana!"
Agnes berohria sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tapi, Berarti maksud dokter saya gantiin dokter selama dokter tidak ada gitu? Apa dokter yakin?" Agnes bertanya memastikan. Pasalnya menggantikan dokter Brian sebagai penanggung jawab instalasi bedah bukanlah hal yang mudah.
Dokter Brian mengangguk. "Yakin, saya tahu kamu mampu! lagipula saya sudah minta tolong dokter lain tapi mereka juga sangat sibuk, saya percayakan tugas ini untuk dokter Agnes yang cantik dan baik hati ya, lagian ... hitung-hitung sekalian kamu latihan sebelum megang rumah sakit ini." Dokter Brian berdiri dan tersenyum tulus.
"Ck! Ada maunya aja saya dibilang cantik dan baik hati, coba kalo lagi marah-marah ... Errrr, nggak ada hubungannya sih, tapi untuk Pak Dokter yang sudah Agnes anggap sebagai kakek, eh ayah maksudnya, akan saya coba."
Agnes menampilkan senyum terbaiknya, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini pikirnya.
"Kalau begitu besok ikut saya, biar saya kenalkan dengan pasien-pasien yang akan dokter Agnes tangani."
Agnes melongo sekian detik. "Besok banget, Dok?"
"Nanti tunggu romeo ketemu oreo...," Dokter Brian menggeleng. "... Iya dong, Agnes yang cantik tapi lemot kaya siput," sambung Brian tersenyum melihat tingkah Anges yang mengaruk tekuknya yang tak gatal sambil terkekeh.
"Okedeh, Dok!"
"Oke, besok pagi ... jangan lupa dan jangan terlambat," ujar Brian memperingati.
Agnes nyengir, ia tersenyum begitu lebar sampai deretan gigi rapi dan putih itu terekspos. "Siap, Dok."
"Ya sudah sekarang balik kerja," ujar Brian sambil berlalu dari hadapan Agnes.
Agnes langsung menghempaskan dirinya di kursi kebesarannya. Ia menghela nafas berat, ia sadar betul kalau tanggung jawab akan semakin banyak setelah hari esok.
***
Di sisi lain, di kantin rumah sakit tempat Agnes bekerja, terlihat dua orang lelaki sedang berbincang-bincang sembari menikmati bubur ayam yang masih panas.
"Setelah gue total-total, Lo pisah dari dia itu udah tujuh tahun ... dua setengah tahun karena lo koma, hampir tiga tahun karena masa pemulihan dan dua tahun karena lo plin-plan mau nemuin dia atau enggak!"
Lelaki di hadapannya itu hanya bisa menghela nafas. "Lo tahu jawaban gue, Ricky! Gue cuma nggak mau dia dalam bahaya," ujar lelaki itu penuh penekanan.
Lelaki lain yang bernama Ricky itu menghembuskan nafas jengah. "Alasan! Kalo Lo emang nggak mau dia dalam bahaya, jagain! Bukan menghilang gitu aja terus jadian sama cewek jadi-jadian!"
"Rick! Sarah bukan cewek yang seperti lo pikir... dia yang ngebantuin gue selama ini."
"Reyhan ... Reyhan ... Anak kecil yang belum bisa mikir aja nggak suka sama dia! Kenapa lo yang katanya pinter ini nggak bisa mikir?"
"Udahlah! Yang lagi kita bahas itu Agnes bukan Sarah!!"
Lagi-lagi Ricky menghembuskan nafasnya jengah, ia meneguk jus jeruk lalu meletakkannya di atas meja dengan tidak santai.
"Terus sekarang? Lo yakin mau muncul di kehidupan Agnes? Setelah selama ini lo ngebuat dia kaya orang bego yang terus terusan nungguin lo tanpa kabar apapun?"
Ricky benar-benar jengah menghadapi sahabatnya yang terlampau bodoh itu! Selama empat tahun setelah kesembuhannya, berkali-kali ia mengatakan ingin menemui Agnes namun selalu tidak jadi. Lalu tiba-tiba sekarang ia bertekad menemui Agnes, lagi.
"Gue udah capek ya, Rey! Kerjaan gue banyak bukan cuma ngurusin cowok plin-plan kaya Lo! Cinta sama siapa, sayang sama siapa, pacaran sama siapa!"
Lelaki yang disebut Reyhan itu hanya bisa terdiam mendengar keluhan sahabatnya. Ricky memang benar tapi Reyhan benar-benar tidak tahu harus bagaimana.
Beberapa tahun yang lalu ....
'Gimana kalo cewek yang lo cinta ini lenyap dari muka bumi?'
Reyhan membelalakkan matanya melihat isi pesan rahasia dari username yang tidak dikenal itu, terlebih terdapat foto Agnes yang sedang menyebrang jalan.
Reyhan panik namun ia berusaha menetralkan perasaannya. 'Silahkan, gue nggak perduli! Dia nggak berarti lagi buat gue!' send.
Beberapa menit setelah mengirimkan balasan itu, Reyhan memposting foto dengan Sarah. Ia melakukan itu untuk mengelabuhi orang yang menerornya melalui DM itu.
***
"Sekarang gue tanya? Kalo lo balik lagi Deket dengan Agnes, apa dia bakalan aman?"
Reyhan menoleh. "Setidaknya, gue bisa jagain dia."
"Kenapa lo nggak mikir gitu sebelum ini?" cecar Ricky geram.
Reyhan terdiam, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab karena ia pun tidak punya jawabannya.
"Udahlah, mending lo pikirin baik-baik! Gue cabut," ujar Ricky lalu meneguk jus jeruknya sebelum akhirnya meninggalkan Reyhan sendiri dengan pikirannya.
*****
"Katanya jadi hari ini aja," seru Agnes polos.
"Sebentar lagi, Mending kamu masuk ke sini dulu, saya mau ngobrol sebentar sambil tanya sesuatu!"
Agnes mencebikkan bibirnya sebal."Mau tanya apa bapak dokter?" seru Agnes duduk di kursi di hadapan dokter Brian.
"Kamu punya pacar?" tanya Dokter Brian tiba-tiba.
Agnes menggeleng sambil menghela napas panjang. "Dokter Brian tau kan? Jadi dokter muda itu udah ribet banget, makanya Agnes milih sendiri aja biar nggak nambah-nambahin beban," ujar Agnes tanpa pikir panjang.
Brian menggelengkan kepala melihat Agnes yang terlihat santai meskipun umurnya sudah tidak muda lagi.
"Harusnya kamu udah mikirin pasangan Nes, umurmu udah nggak muda loh! Ingat, 27 Tahun kamu!" -Brian menatap dengan tatapan meledek.- "Nanti saya kenalin kamu sama anaknya pasien saya yang tadi kita datangin tapi nggak jadi," potong Brian sebelum Agnes melanjutkan ucapannya.
Agnes menggeleng cepat. Ia tidak ingin dijodoh-jodohkan karena hatinya masih milik Rey! Lagipula ini bukan jaman siti nurbaya.
"Nggak usah, Dok! Makasih ... Saya masih betah jomblo," seru Agnes tersenyum kecut.
"Betah jomblo atau karena masih nunggu Reyhan?"
"Dokter Brian ...."
"Udah! Kamu jangan banyak nolak, nanti pokoknya pas visit saya kenalin," seru Dokter Brian tak terbantahkan.
"Iya, visit jam berapa?"saut Agnes lemas. Ia menghela nafas panjang, pasrah dengan keinginan dokter yang sudah dia anggap sebagai ayahnya itu.
"Oh, ya udah ayok!" seru Brian paham apa yang dimaksud Agnes.Dokter Brian lalu berjalan dibelakang Agnes. Memperhatikan wanita yang sudah ia anggap sebagai anaknya itu.
"Pasti kamu senang, Nak," gumam Brian pelan sambil tersenyum lebar. Namun, perkataan itu tidak terdengar oleh Agnes saking pelannya.
***
Sore itu, koridor rumah sakit cukup ramai. Agnes bersama dokter Brian dan seorang perawat bernama Anna berjalan sambil membahas perkembangan pasien terakhir yang akan dikunjungi dan sesekali membalas sapaan dari setiap orang yang menegur mereka.
Sampai di ruang Melati 3 tempat pasien itu dirawat, baru saja Agnes ingin memasuki ruangan namun telfon berdering jadi ia mengangkatnya terlebih dahulu.
Drttt Drttt Drttt
"Dok, Maaf. Boleh saya mengangkat telfon sebentar?"
"Silahkan! Saya akan masuk duluan, jangan lama-lama ... yang di dalam udah nunggu kamu." Dokter Brian tersenyum sambil mengangguk kepalanya.
"Baik, Dok. Terimakasih," saut Agnes.
"Nggak paham dia kayanya!" gumam Brian lalu mendahului Agnes untuk masuk ke dalam ruangan itu.
Setelah selesai menelfon, saat Agnes hendak menyusul dokter Brian masuk ke dalam ruang rawat, dokter Brian sudah terlebih dahulu keluar dari ruangan pasien itu.
"Saya baru mau nyusul, kok Dokter Brian sudah keluar?" tanya Agnes mengerutkan keningnya bertanya-tanya.
"Iya, pasien lagi istirahat jadi kita visitnya nanti sore saja," ucap Dokter Brian. "Kita ke visit ke pasien-pasien yang lain dulu aja," lanjut Dokter Brian sambil melangkahkan kakinya menjauh dari ruang rawat inap tersebut.
Satu jam kemudian ....
Setelah selesai dengan pasien-pasiennya yang lain, Brian kembali membawa Agnes untuk visit ke ruang melati 3.Sepanjang menyusuri anak tangga menuju lantai dua di mana pasien Dokter Brian berada, mereka sibuk bercengkrama sambil sesekali membalas sapaan dari pasien-pasien yang melewatinya.
Hati Agnes berdebar lumayan kencang mengingat Dokter Brian berjanji hendak mengenalkan anak dari pasiennya itu pada Agnes.
"Kok saya jadi grogi ya, Dok?"
"Santai aja, kamu kelamaan jomblo itu makanya grogi...," saut Dokter Brian sambil melangkahkan kakinya santai.
"Betul banget itu kata Dokter Brian, Dok! Semoga setelah ini dokter nggak jomblo lagi, Ya."
Agnes memicingkan matanya mendengar penuturan Anna yang selama ini membantu dokter Brian.
"Sadar dirilah wahai Anna, kamu juga jomblo," cetus Agnes.
"Saya jomblo baru tiga bulan," ujar Anna bangga. "Sementara dokter?"
Agnes menoleh Dokter Brian berharap mendapat pembelaan namun justru ia melihat Brian sedang menahan senyumnya setelah mendengar penuturan Anna.
Agnes berdecak sebal, ia menatap Anna di sebelahnya itu dengan tatapan sebal.
"Dok, bisa nggak kita visit aja, nggak usah ada acara perkena-"
"Nggak bisa. Ini udah keputusan mutlak, biar kamu nggak jomblo terus! Anak saya yang lebih muda dari kamu aja udah mau nikah, masa kamu pacar aja nggak punya," ledek Dokter Brian dengan santai.
Agnes hanya bisa menatap Dokter Brian dengan kesal, ia memicingkan matanya sampai Dokter Brian mengacak-acak rambut Agnes yang sudah ia anggap seperti anak sendiri.
"Dokter ...," protes Agnes. "Kita mau visit pasien, kenapa rambut saya diacak-acak juga? Nggak cukup ini detak jantung saya acak-acakan gara-gara rencana Dokter?"
Dokter Brian menghentikan langkahnya, membuat Agnes pun ikut menghentikan langkahnya.
"Kenapa berhenti?" tanya Agnes yang sibuk membenahi rambutnya.
"Udah sampai Agnes."
Agnes tersentak kaget, ia membaca plang nama ruangan di hadapannya. Bibir sontak mengukir senyum menunjukkan gigi kelincinya, bagaimana bisa ia tidak sadar mereka sudah sampai? Apa karena ia terlalu grogi?
"Oke, Agnes di dalam ruangan ini, semua pasien saya! Jadi, kalau kamu visit ruangan ini terakhir saja karena mereka paling banyak," jelas Dokter Brian saat mereka tiba di ruangan Melati.
"Oke, Dok. Aman."
"Iya, sekalian biar kamu bisa lama-lama pdkt di sini," ucap Dokter Brian sambil melangkahkan kakinya masuk. "Ayo masuk," seru Dokter Brian menyadari Agnes tidak mengikuti langkah melainkan terdiam sejak Brian membuka pintu.
Brian mengikuti arah pandang Agnes pada sosok laki-laki di sebelah ranjang Karina. Sosok itu yang membuat Agnes membeku di tempat, langkahnya terasa berat, ia terkejut karena melihat siapa pasien yang akan ia dampingi selama beberapa hari ke depan ada di ruangan ini.
"Itu yang mau saya kenalkan ke kamu," bisik Brian pada Agnes.
Boom!!
Kata-kata Brian membuat Agnes kaget, Dokter Brian bermaksud mengenalkannya pada orang yang selama ini ia cari dan pasien yang akan dikenalkan oleh dokter Brian adalah benar Karina, ibu dari orang yang paling ia cintai.
"Aku menemukanmu, Rey. Aku menemukan orang yang selama ini ku cari," ucap Agnes dalam hati melihat keberadaan lelaki tak jauh darinya.
Seolah menemukan kembali secercah harapan setelah lama terkubur dalam ruang hampa di dasar hati Agnes. Ingin rasanya Agnes berlari dan memeluk lelaki yang selama ini selalu memenuhi pikirannya, Reyhan.
Lelaki yang selama ini ia cari, ternyata berada tak jauh dari dirinya. Kini, lelaki yang selalu ia pikirkan setiap malam itu sedang menatapnya intens membuat Agnes seolah terhipnotis.
Agnes bahkan mencubit lengannya sendiri hanya untuk memastikan apa yang ia lihat bukan mimpi.
"Aku nggak mimpi, berarti dia beneran Reyhan ...," ucap Agnes dalam hati.
"Agnes kemari!"panggil Dokter Brian melihat Agnes masih terdiam diambang pintu.
Seketika Agnes tersadar karena satu Anna yang berada di samping mencoel bahunya. Dengan segala perasaan yang berkecamuk di dalam hati Agnes, ia berusaha bersikap senetral mungkin dan langsung menyusul Dokter Brian ke ranjang paling pojok. Ia melewati ranjang Karina tanpa menoleh.
Dari sudut lain, laki-laki yang membuat Agnes sempat terperangah dan kaget itu memperhatikan Agnes lekat. Matanya tak berpaling dari sosok Agnes yang kini bisa dari dekat ia lihat.
"Hai ... Love," batin lelaki bernama Reyhan itu sambil menatap punggung Agnes yang sedang berjalan menghampiri dokter Brian dan bercengkrama dengan pasien-pasien lainnya.
"Halo ibu, selamat pagi," sapa Agnes berusaha tersenyum ramah seperti tidak ada apa-apa. Padahal, jelas-jelas perasaannya sekarang sedang tidak karuan. Ia tidak berekspektasi kalau akan bertemu dengan Reyhan secepat ini.
"Ibu Jeni, ini dokter yang akan menggantikan saya untuk mendampingi ibu beberapa hari ke depan." Dokter Brian memberikan penjelasan kepada pasien di depan nya.
Agnes tersenyum. "Halo ibu, saya Margaretha Agnesya Christin. Ibu bisa panggil saya dokter Agnes," ujar Agnes lembut.
"Siap, Dok." Pasien itu menjawab Dokter Brian sambil tersenyum. Nampaknya pasien itu sudah membaik.
"Baiklah. Jadi, mulai besok jika ada apa-apa, silahkan langsung hubungi dokter Agnes dan dia yang akan mengurus."
Agnes hanya tersenyum ramah mendengarkan penuturan Dokter Brian."Kalau begitu kami permisi dulu," pamit dokter Brian.
"Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi saya atau tekan saja bellnya ya, semoga lekas sembuh, Ibu." Agnes tersenyum sambil mengusap lengan Ibu Jeni yang akan menjadi tanggung jawabnya itu.
Dokter Brian berbalik lebih dulu dan berjalan menuju brankar di sebelahnya. Sementara Agnes menghela nafas panjang agar degub jantungnya terkendali lalu ia menyusul dokter Brian menuju brankar Karina.
Selama itu pula, pandangan Agnes menatap ke dokter Brian, ia tidak berani menatap ke sisi lainnya karena takut-takut matanya akan bertemu dengan mata coklat yang selama ini ia rindukan.
Namun, takdir berkata lain. Agnes tak sengaja mendongkakkan kepalanya dan matanya malah bertabrakan dengan mata Reyhan. Lama!
"Situasi macam apa ini ya Tuhan?" batin Agnes tanpa berniat menyudahi tatapan yang dengan Reyhan.
"Aku ada di sini, Sya," batin Reyhan menatap mata Agnes dalam. "Aku kembali, maaf membuatmu menunggu lama," lanjut Reyhan dalam hatinya.
****
Thank you!