Chapter 3 - Sugesti

Deru kencang mobil terdengar dihalaman depan, Idran langsung meloncat turun dari kendaraannya, berlari masuk kedalam rumah Mirzan dan mencari-cari Merlin. "Lin?" Idran lega melihat Merlin baik-baik saja, lalu jatuh bersimpuh disisi ranjang, "Syukurlah kamu baik-baik saja."

Sedangkan Merlin dan Mirzan tertegun melihat Idran. Luka lebam bekus pecutan berada dimana-mana, memenuhi wajah dan lengan serta anggota tubuhnya yang lain, membekas luka kebiruan--terlebih Mirzan, menyaksikan Idran yang leluasa bicara kepada Merlin.

"Id? Kamu kenapa? Tubuhmu .."

Idran menggeleng, membungkam Merlin lalu bergerak mendekat. Mengusap kepala Merlin dengan sayang, lalu mengusap perut buncitnya, "Aku baik-baik saja, Lin."

"Kamu kenapa, Id? Siapa yang melakukan ini ke kamu?" Mata Merlin basah, tangannya nyaris menyentuh pipi Idran yang kebiruan.

Idran tetap menggeleng, lalu mengusap pipi Merlin dengan sayang. Lima jemarinya beralih ke sudut mata, menghapus sudut mata Merlin yang berair. Merlin balas menyentuh pipi Idran yang kebiruan, Idran seperti menghayati sentuhan tangan Merlin dipipi kanannya lalu sedikit membalikkan kepala, mendaratkan bibir ditelapak tangan Merlin. "Aku baik-baik saja, Lin. Bahkan jika memang aku kenapa-napa, melihat kamu baik-baik saja, sudah cukup bagiku untuk tetap menjadi baik-baik saja."

Idran menggenggam tangan Merlin yang mendarat dipipinya, lalu membawanya ke bibirnya, menekankan bibirnya ditelapak tangan Merlin lebih lanjut. Idran mengusap tangan itu lembut, lalu meraih tangan Merlin yang satu lagi dan menangkup keduanya. "Kita pulang, ya? Yang lainnya juga sangat mencemaskan kamu."

Merlin mengangguk, kakinya terulur menyentuh lantai. Baru melangkah sekali, Merlin sudah dibawa kedalam gendongan Idran. Idran berpamitan kepada Mirzan dan adiknya lalu membawa Merlin kedalam mobil.

Sambil mengamati punggung Idran yang menjauh, dengan hati-hati Messa berbisik ditelinga Kakaknya, "Dia, ya Kak .. 'pelaku'-nya .. beneran cakep!"

Mirzan menoyor kepala adiknya, "ngawur!"

Idran membuka pintu mobil, lalu merebahkan Merlin dibangku depan. Idran berlari kerumah Mirzan dan meminjam selimut berserta bantal, Mirzan meminjamkannya. Idran terbirit kembali lalu meletakkan bantal dibalik punggung kepala Merlin dan menyelimutinya. Setelah itu Idran tersenyum, lalu pergi ke bangku sebelah, "Istirahatlah, Lin."

Merlin mengangguk, lalu memejamkan mata.

Idran kembali menyalakan mobil dan melajukannya ke jalan aspal. Idran melaju pelan, agar Merlin bisa terlelap dengan tenang. Nyatanya Merlin tidak bisa terlelap, dia terus mencemaskan Idran. Maniknya terbuka, mengamati Idran yang fokus pada jalanan. Merlin tanpa sengaja meraba lengan Idran yang kebiruan, memar kebiruan yang membuat Merlin berkaca-kaca. Idran menyadarinya, memperhatikan Merlin yang masih meraba kulit kebiruannya dengan ujung jemari.

"Kenapa, Lin?" Idran menyahut, membuat Merlin mendongak sekilas, masih dengan tangan yang meraba dilengan Idran yang membiru.

"Nggak." Merlin menggeleng.

Idran tersenyum kecil, membiarkan tangan Merlin yang masih menjelajahi lengannya, lalu naik ke pipi, menyentuh luka-luka lebam Idran. "Kenapa, sih Lin?"

"Sakit, Id?"

Idran menggeleng, "Nggak. Karna tangan kamu yang nggak bisa diam, lukanya nggak sakit lagi. Kamu punya tangan ajaib, ya Lin?"

"Aku obatin, ya." Merlin menawarkan.

"Dah, dibilangin udah sembuh." Idran berdecak.

Merlin masih saja menggeledah laci mobil untuk mencari kotak P3K, tidak menemukannya Merlin jadi kewalahan.

Idran kasihan melihat Merlin yang segitu ingin mengobatinya, "Tuh, ada ditas." Idran menepikan mobil, lalu mengambilkan tas kuliahnya yang ada dibangku tengah. Tersenyum kepada Merlin dan menjatuhkannya ke pangkuannya. Setelah itu, Idran kembali meraih setir dan melajukan mobil. Merlin menggeledahnya, terdapat banyak alat-alat pengobatan didalam sana dan barang-barang lain.

Semacam tensi, ada beberapa sampel darah, obat-obatan yang tak pernah tertinggal--untuk menenangkan diri, Idran meminum beberapa dosis obat setelah kacau bertemu Ayahnya dan panik mendengar kabar tentang Merlin--kotak kacamata, buku-buku kedokteran, stetoskop, alat pengukur suhu, bahkan borgol.

Merlin mengambil kotak P3K, lalu mulai mengeluarkan kapas yang dituangkan obat-obatan. Selagi Idran fokus menyetir, Merlin mengobatinya dari samping. Wajah lebam Idran, diobatnya dengan penuh kehati-hatian. Idran meringis, lalu tersenyum manis, sesekali melirik Merlin yang fokus mengobati wajahnya, turun ke lehernya, yang semakin membuat Merlin prihatin.

"Nggak perlu khawatir, Lin."

Merlin hanya mengangguk, lalu menarik kaus Idran untuk mengobati bahunya. Setelah itu kembali memperbaiki kaus Idran, dan menyingkap kaus lengan atasnya. Setelah tisu yang entah keberapa menyapu kulit kebiruan, tisu tersebut turun ke lengan bawah, sampai ke punggung tangan Idran yang membiru.

Idran mengangkat sebelah tangannya, memperlihatkan telapak tangannya yang langsung Merlin obati, begitu pula pergelangan tangannya. Setelah sebelah tangannya diobati, tangan yang lain terangkat untuk mendapat giliran. Bagian tubuh samping kiri, belum bisa Merlin obati karna posisi mereka. Mengabaikannya dulu, Merlin mengobati sudut bibir Idran yang juga terluka. Idran melirik Merlin, menafas nafas.

"Selesai. Sisanya diselesaikan dirumah. Posisinya nggak memungkinkan." Merlin menyusun kotak P3K dan memasukkannya kedalam tas kuliah Idran, meletakkannya keatas pangkuan yang sedikit memberati kedua kakinya.

Sebelah tangan Idran fokus menyetir--meskipun posisi begini terbilang berbahaya--sedangkan tangan yang lain mengusap perut Merlin. "Ow!" Idran menarik tangannya, nampak takjub sambil menatap perut Merlin, "Apa itu tadi?" Idran kembali meletakkan tangan ke perut Merlin, "Wah, Lin! Dia baru aja nendang, kayaknya .. coba aku cek lagi." Idran mengusap-ngusap perut Merlin, gerakan didalam sana semakin terasa. Idran tertawa gembira, berubah gemas. "Keponakan Om semangat sekali, ya?"

Merlin tertular rasa bahagia, lalu memperingatkan Idran yang berhenti fokus pada jalanan. "Nanti kecelakaan, loh Id."

Idran terkekeh lalu menepikan mobil, dan kembali menangkup perut Merlin, mendekatkan mulut dan telinga ke perut buncitnya, "Halo .. Helo .. ola .. Hai .. ohayo .. Pa Kabar keponakan Om? Udah nggak sabar keluar, ya? Kalau keluar nanti jangan gede-gede amat, ya, kasian Mama Merlin ngeluarinnya. Kalau udah keluar, baru boleh gede, gendut sekalian kayak Om Od. Tapi gantengnya kayak Om Id, ya?"

Idran mendongak ke wajah Merlin, tersenyum semringah. "Kayaknya dia jawab Lin, karna pake bahasa bayi, jadinya kita nggak ngerti."

Merlin tertawa kecil, mengangguk saja. Mengiakan semua khayalan Idran.

Masih dengan telapak tangan yang menangkup perut Merlin, Idran menegapkan punggung dan menatap wajah Merlin, memanggil lembut, "Lin."

"Hem?" Merlin bergumam, balik menatap wajah Idran.

"Kalau aku ingin jadi Ayah dari anak ini, kamu ngizinin?"

Merlin semringah, menjawab antusias. "Tentu saja, Id. Redran pernah bilang, jika aku membutuhkan seorang Ayah dari bayiku, aku masih punya kalian untuk mengisi peran itu. Bayi ini takkan pernah kesepian, bukan?"

Idran menggeleng, "maksudku, menjadi ayah dari bayi ini, dengan menikahi Ibunya?"

Sontak Merlin tertegun. Menatap Idran tidak percaya.

"Bayi ini tidak hanya membutuhkan seorang Ayah, tapi Ibunya juga membutuhkan seorang suami yang mencintainya, bukan?"

"Id .." Merlin tercekat.

Idran tersenyum, lalu mendekatkan bibir ditelinga Merlin untuk berbisik, "Karna aku percaya padamu, maka aku akan membagi satu rahasiaku kepadamu, Lin."

"Lin .." Idran berbisik lirih, "kamu itu perempuan spesial."