"Hold me close and hold me fast. The magic spell you cast. This is la vie en rose. When you kiss me heaven sighs. And though I close my eyes. I see la vie en rose."
Hari bergerak menuju pagi. Mentari mulai muncul di tengah derasnya hujan dan mewarnai langit fajar dengan rona lembayung-jingga serta tertutup langit kelabu yang tak mau bergerak sejak malam tadi. Gelombang pergumulan masih terlihat jelas. Wajah-wajah kesakitan tak kunjung hilang dari para pendemo dan juga polisi, yang kini jumlahnya berlipat sebab bantuan telah datang.
"When you press me to your heart. I'm in a world apart. A world where roses bloom."
Seorang berserker berwujud beruang berteriak keras, lantas mengamuk dan merobek seorang necromancer dan mengunyah isi perutnya. Sementara itu, dari sisi yang berbeda, seorang bomber meledakkan beberapa pendemo, sebelum akhirnya meledakkan diri bersama berserker beruang yang tak kunjung tumbang meskipun terluka parah. Dua immortal yang bertarung dari semalam tak kunjung berhenti. Pukulan, tendangan, dan adu kepala yang mereka lakukan masih intens seperti semalam, kecuali dalam hal kekuatan yang sedikit melemah akibat kelelahan. Keadaan di depan gedung parlemen jadi semakin kacau. Jalan beraspal dalam semalam dipenuhi genangan darah dan potongan daging manusia.
"And when you speak, angels sing from above. Everyday words seem to turn into love songs."
Seorang Siren berteriak dengan suara berfrekuensi tinggi, memekakkan telinga kerumunan di depan gedung parlemen dan membuyarkan mereka sejenak, kecuali dua orang immortal yang tak henti-hentinya beradu fisik. Tak berselang lama, teriakan tersebut mulai memecahkan gendang telinga milik Berserker Kelelawar, lantas meremukkan tubuh kristal milik Rockcrusher. Setelah lima setengah jam pergumulan, sebuah petir menyambar kerumunan di tengah jalan, membuyarkan mereka semua dengan sebuah tiket ke alam baka, yang bahkan Immortal pun tak dapat menahannya.
"Give your heart and soul to me and life will always be la vie en rose."
Tunggu, bukankah sambaran petir harusnya tidak dapat membunuh seorang immortal secara langsung?
***
"Selamat malam, tuan dan puan. Hari ini hari yang indah, bukan begitu?"
Delapan belas jam telah berlalu pasca berhentinya pergumulan di depan gedung parlemen. Aktivitas di pusat kota bergerak seperti biasa, tanpa ada pengetatan jadwal dan pengamanan kondisi sebagaimana situasi pasca bentrok berdarah pada umumnya. Radio, surat kabar, media daring, maupun televisi tak ada yang mengabarkan kondisi penuh kekacauan kala fajar tadi. Mereka semua memilih bungkam ketimbang urusan jadi makin runyam.
Kata orang-orang, pemerintah kini bertangan besi. Alhasil mereka memilih diam sebagai antisipasi, daripada entah-entah mereka berpindah alam sebab salah tulis berita.
Negara ini, Alba namanya. Ia dibangun dari puing-puing sisa perang dunia ketiga. Namanya juga situasi sehabis perang, manusia yang tersisa terbiasa sedikit-sedikit saling serang. Pemerintah tangan besi ini contohnya, terlahir dari kudeta yang dilakukan terhadap Bapak Pendiri.
Kabarnya, Bapak Pendiri ini lalim. Mereka yang diberkahi kekuatan khusus dijadikan layaknya anak tiri. Alhasil geramlah mereka sebab dibakar semangat kesetaraan.
"Oleh karena itu, malam ini akan kami putarkan sebuah lagu berjudul La vie en rose."
Namun, pindah tanganpun hasilnya tetap sama, bahkan lebih buruk. Enam tahun awal pemerintahan mereka bisa dibilang aman, damai, dan sentosa. Mungkin memang sudah bagian mereka untuk meninabobokan rakyat dengan mimpi indah kesetaraan.
Menginjak tahun ketujuh, tangan besi mulai beraksi. Mereka yang biasa saja --tanpa kekuatan khusus-- mulai dianaktirikan dan diasingkan selayaknya minoritas. Media dan jurnalis yang membahas hal ini diberedel dan dihilangkan satu per satu. Mereka yang berdiri bersama living flesh --sebutan pemerintah bagi mereka tak memiliki kekuatan khusus-- mulai diburu, dikurung satu persatu. Tak kurang dari sebulan setelah kedok dibuka, pemerintahan yang lebih brutal dari era orde baru mulai terlihat jelas.
Tempat yang indah untuk hidup, bukan begitu?