...Jadi anak jangan terlalu polos kayak kertas, nanti jadi banyak orang yang kepingin coret-coret, terus disobek...
~Selamat Membaca~
Malam itu, Aden, Anis dan Dadang sedang duduk santai sambil menonton TV, di ruang depan. Mereka baru saja selesai menyiapkan keperluan Aden, untuk dibawa ke acara arisan ibu Veronica besok pagi. Dadang juga ikut membantu karena kondisi kesehatannya sudah membaik. Tapi Dadang masih belum boleh membawa motor, atau melakukan pekerjaan di luar rumah.
Aden menatap Anis dan Dadang secara bergantian. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi bingung mau memulainya dari mana.
"Ada apa Den?" Tanya Dadang.
Kebetulan Dadang menangkap basah saat Aden sedang menatap Anis dan Dadang satu-persatu. Dadang mengerutkan kening, sorot matanya lurus menatap mata Aden, ia melihat dari raut wajah Aden kalau seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan.
Aden tersenyum tipis, ia membuang napas lega sebelum ia menyampaikan maksudnya.
"Ini A' em..." Aden menjedah kalimatnya untuk berpikir sejenak. "Ada yang pingin Aden omongin, sama A'a sama teteh." Lanjut Aden, sambil kembali menatap Dadang dan Anis secara bergantian.
"Mau ngomong apa Den?" Sergah Anis.
Perhatian Aden reflek beralih ke Anis, kemudia ia kembali menghela napas, ia masih bingung, takut apa yang akan disampaikan bisa menjadi beban untuk kakaknya.
"Aden mau sekolah teh."
Pernyataan Aden membuat Anis dan Dadang saling berpandangan. Jujur mereka sedikit terkejut dengan apa yang dikatakan Aden barusan. Sebenarnya bukannya Anis dan Dadang tidak mau menyekolahkan adiknya. Tapi keadaan yang memaksa mereka untuk tidak melakukan itu. Mereka juga memikirkan masa depan Aden, mereka juga tahu kalau pendidikan itu sangat penting. Mereka juga sadar, seharusnya anak seusia Aden membang belum saatnya untuk merasakan sulitnya mencari uang, belum waktunya merasakan kerasnya berjuang agar bisa bertahan hidup.
Yang dibutuhkan anak seusia Aden itu bermain, dan belajar untuk menata masa depannya. Tapi sekali lagi kondisi ekonomi yang membuat mereka merasa tidak mampu.
Anis merasa sedih dengan apa yang ia dengar barusan, hatinya merasa seperti disentil. "Den... bukanya teteh sama aa nggak mau sekolahin kamu, tapi tahu sendiri kan? Yusuf baru masuk SMP butuh biaya, Ela biar masih SD juga butuh biaya juga_"
Sebenarnya Aden anak nomor dua dari empat bersaodara, Anis anak pertama, sedangkan Yusuf dan Ela adiknya Aden. Terkadang orang tua mereka masih membutuhkan bantuan Anis untuk biaya sekola Yusuf dan ELa.
"-Biaya hidup kita di Jakarta juga besar Den, belum lagi bayar angsuran motor." Tuh kan, Anis jadi curhat. Aden juga sih, ia belum bisa merangkai kata-kata, gimana caranya ngomong supaya bisa diterima sama kakaknya. Selain itu Anis juga main samber begitu saja. Tapi wajar sih, makhluk perempuan memang perasa, jadi membahas soal apa, merembatnya bisa kemana-mana. "Apa kamu nggak kasihan sama A'a? apa kamu malu jualan cilok?_"
"Bukan teh," potong Aden, "Aden nggak malu, kan tujuan Aden ke sini emang mau bantuin A'a sama teteh, Aden nggak pernah malu..." jelas Aden supaya Anis tidak semakin melebar ngomongnya.
"Iya teteh tau, tapi biaya sekolah itu besar Den, A'a sama teteh belum siap." Sebenarnya Anis tidak sampai hati bicara seperti itu sama Aden, ia juga bisa mengerti gimana perasaan adiknya. Tapi mau bagaimana lagi? ia benar-benar belum bisa, jadi Anis tidak ingin memaksakan kalau memang merasa tidak mampu.
"Den..."
Suara berat Dadang membuat Aden menoleh pada kakak iparnya. Ia memandangnya dengan seksama, menunggu apa yang akan disampaikan sama Dadang.
"Aa ngerti, tapi yang diomongin sama teteh kamu tadi itu bener. Bukannya aa nggak pingin kamu sekolah, tapi kamu tahu sendirikan? Tadi udah dijelasin sama teteh kamu. Aden sabar dulu, nanti kalau keadaan kita udah agak mendingan aa janji bakal sekolahin kamu. Paling enggak nunggu motor kamu lunas dulu. Aa yakin nggak akan terlambat kok."
Aden menundukan kepala, ia memikirkan kata-kata Dadang barusan. Omongan Dadang ada benarnya juga, karena tidak ada kata terlambat untuk belajar, atau menuntut ilmu. Yang penting tidak boleh malas. Tapi bukan itu yang Aden maksud sebenarnya.
"Tapi Aden sekolahnya gratis a, teh, ada yang mau bayarin Aden sekolah."
Gitu dong Den dari tadi, kalau ngomongnya jelas dan langsung ke inti, Aden tidak akan mendengar sebuah curhatan, yang sebenarnya Aden sendiri sudah tahu. Tapi wajar juga sih, Aden memang remaja pendiam dan tidak suka banyak omong.
Tapi ungkapan Aden membuat Anis dan Dadang kembali berpandangan, keduanya sama-sama terkejut. Kemudian keduanya menoleh ke arah Aden secara bersamaan. Tatapan mata mereka penuh dengan tanda tanya.
"Gratis gimana maksud kamu Den?" Tanya Dadang penasaran.
"Ada yang mau bayarin Aden sekolah." Aden memang tidak bisa basa-basi, apa yang ia sampaikan pasti membuat orang membutuhkan penjelasan yang lebih detail lagi, sangat polos. Untung ganteng.
"Siapa Den?" Tanya Anis. "Coba jelasin sama teteh gimana ceritanya?"
Aden menghela napasnya pelan, kemudian ia menatap Anis dengan tatapan teduh.
"Aden punya temen, katanya mau bayarin Aden sekolah di tempat Aden jualan cilok."
"Temen? Bayarin sekolah?" Tanya Anis dengan kening yang berkerut. Kemudian ia terkekeh pelan, menganggap apa yang dikatakan adiknya barusan adalah sebuah lelucon. "Ada-ada aja kamu Den."
"Emang kamu kenal sama temen kamu itu udah lama?" Kali ini giliran Dadang yang bertanya. Berbeda dengan Anis, Dadang mencoba menanggapi Aden lebih serius, dari pada Anis yang menganggap kata-kata Aden hanya sebuah candaan saja. Dadang menghargai adik iparnya.
"Baru beberapa hari A," jawab Aden.
Pengakuan Aden membuat Anis kembali tertawa seperti mengejek. Tapi bukan itu maksud Anis sebenarnya. Ia cuma tidak ingin kalau adiknya terlalu polos. Langsung menelan mentah-mentah janji orang. Apalagi sama orang yang baru dikenal.
"Jangan main percaya sama orang gitu aja Den, bisa aja temen kamu itu cuma bercanda, atau cuma pingin ngerjain kamu doang. Apalagi kamu baru kenal sama dia. Kamu jangan berharap lebih, nanti kecewa. Sekolahan itu juga kayaknya elit, jadi cuma anknya orang-orang kaya yang bisa sekolah di tempat itu. Biayanya pasti mahal banget." Ujar Anis memberi nasehat. "Mana ada orang yang baiknya kayak giitu." Ujar Anis menegaskan.
Omongan Anis ada benarnya juga sih, kita memang tidak boleh terlalu percaya sama orang yang memberikan janji, apalagi sama orang yang baru dikenal. Lebih tepatnya jangan terlalu berharap dulu, karena bisa jadi orang itu cuma mau modus saja.
"Den..." Panggil Dadang yang langsung membuat Aden menoleh padanya. Dadang bisa melihat ada rasa kecewa di raut wajah Aden saat mendengar kata-kata Anis. "Jangan salah paham sama teteh kamu, dia nggak ada maksud matahin semangat kamu. Teteh kamu ngomong gitu, soalnya dia sayang sama kamu. Teteh nggak mau kalau nantinya kamu sedih karena kecewa. Maksud aa sama teteh itu gini_" Dadang menjedah kalimatnya, ia sedang mencari kalimat yang pas, supaya bisa gampang dicerna sama Aden.
"-oke, aa sama teteh bukannya nggak percaya sama temen kamu itu Den. Tapi coba dipikir pake logika, kamu baru kenal sama dia, terus mau bayarin sekolah di tempat yang elit. Aa sih nggak tahu maksud dan tujuan temen kamu itu apa. Tapi aa kurang yakin kalau temen kamu itu nggak punya maksud apa-apa. Bukanya suudzon sama temen kamu itu, tapi waspada itu penting."
Aden hanya terdiam mendengar nasehat dari kakak iparnya, sesekali ia mengangguk-anggukan kepala saat mendengar ada kata-kata Dadang yang masuk akal menurutnya.
Sebenarnya Aden merasa kalau harapannya sudah digugurkan oleh Dadang dan Anis. Akan tetapi penjelasan Dadang membuat Aden merasa lebih baik dari sebelumnya.
Benar kata Anis, Lagi pula mana ada orang sebaik itu, baru kenal tapi sudah memberikan janji yang berlebihan.
"-kalau nanti temen kamu beneran mau sekolahin kamu, kamu juga jangan langsung terima gitu aja. Pikirin mateng-mateng. Soalnya nanti bakalan jadi beban buat kamu Den. Kamu jadi kaya hutang budi, enggak bebas. Kalau suatu saat orang itu nuntut gimana?"
Aden mengerutkan kening saat mendengar kata 'nuntut' "nuntut gimana a?" Potong Aden.
"Ya orang itukan sudah banyak berjasa sama kamu, kalau nanti dia minta sesuatu kamu harus mau. Kayak misal, kamu disuruh mengabdi sama dia, atau disuruh ninggalin keluarga? Pokoknya orang itu jadi ngerasa punya hak sama kamu. Jadi apapun yang dia mau, kamu harus siap. Emang kamu mau begitu? Nggak bisa bebas, terus hidupmu kayak dikuasai sama orang lain gara-gara hutang budi itu."
Aden langsung menggelengkan kepalanya cepat-cepat saat ditanya seperti itu. Membayangkan saja Aden tidak mau.
"Jadi menurut aa, mending kamu sabar dulu, sukses dengan usaha sendiri itu jauh lebih memuaskan. Bisa bikin orang lain bangga, yah walaupun nanti aa sama teteh juga ikut bantu, tapi sebaik-sebaiknya orang lain, tetep saja, kebaikan keluarga sendiri itu jauh lebih ikhlas, lebih tulus."
Senyum Aden menyeringai, hatinya lebih terbuka dari sebelumnya. Sepertinya Aden tidak perlu lagi menjelaskan seperti apa orang yang sudah mengajaknya untuk sekolah lagi. Karena nasehat dari Dadang dan Anis membuat Aden sudah tidak tertarik lagi untuk menerima kebaikan Lukman. Dengan kata lain, Aden lebih memilih mendengarkan kata-kata Dadang dan Anis, dari pada menerima tawaran Lukman.
Jadi Aden merasa tidak perlu bercerita, kalau yang sudah menawarkan sekolah padanya itu, adalah anak pemilik yayasan itu sendiri.
Aden memang anak baik dan penurut, kalau ganteng, anggap aja itu bonus. Tapi sayang, ia terlalu polos.
"Gimana udah paham belum?" Tanya Anis setelah Dadang menyelesaikan kalimatnya.
Senyum simpul terbit di bibir Aden, ia menatap Anis dengan sambil menganggukan kepala, "udah teh?"
"Terus kumaha?" Tanya Anis meminta kepastian Aden.
"Ari kos kitu mah, Abdi nurut jeung si Aa, jeung teteh..." jawab Aden tulus, di sertai dengan senyumannya yang menawan.
"Syukur kalau gitu," ucap Dadang. Ia merasa lega dengan keputusan adik iparnya. "Oiya Den... aa kasih tau, kita tinggal di kota besar, jadi kudu hati-hati. Walaupun dari kampung, tapi jangan kelihatan terlalu polos, nanti banyak orang yang pengen mbohongin."
Aden tertawa pelan mendengar nasehat kakak iparnya barusan.
"Yaudah sana tidur, besokan kamu harus bangun pagi-pagi," perintah Anis.
"Muhun teh..."
"Maafin aa besok nggak bisa bantuin kamu Den," ucap Dadang. Karena ia memang belum diijinkan sama dokter agar tidak keluar rumah dulu.
"Nggak papa a," jawab Aden.
~♡♡♡~
"Mas tolong meja yang itu taruh di sebelah sini aja," perintah ibu Veronica pada salah satu pagawai WO. "Solanya ini nanti khusu buat menu makanan pembuka, jadi harus dipisah," imbuhnya menjelas.
Kemudian terlihat salah seorang pegawai WO, dibantu temannya langsung menganggkat meja kecil yang ditunjuk ibu Veronica, dan dipindahkan ketempat yang diinginkan ibu Veronica.
Malam itu ibu Veronica terlihat sedang sibuk mendekorasi teman di belakang rumah, yang akan ia gunakan untuk tempat arisannya. Ibu Veronica ingin semua terlihat sempurna, mulai dari menu makanan sampai tempatnya tidak boleh ada yang kurang sedikitpun.
Bahkan ibu Veronica sampai menggunakan jasa wedding organizer untuk menyulap tamannya menjadi tempat yang sangat indah. Maklum saja, teman-teman arisan ibu Veronica semuanya adalah wanita-wanita berkelas, atau wanita sosialita. Banyak diantara mereka adalah seorang pengusaha, istri pejabat, bahkan selebritis.
Arisan yang mereka lakukan pun bukan sekedar arisan biasa, melainkan arisan berlian yang harganya bisa mencapai ratusan hingga miliaran rupiah. Orang kaya.
Biasanya mereka selalu menyewa tempat seperti hotel berbintang untuk menyelenggarakan arisan tersebut. Namun karena kebetulan bulan lalu ibu Veronica yang mendapatkan arisan, jadi bulan ini ibu Veronica mendapatkan jatah untuk mencari tempat arisan. Oleh sebab itu ia ingin mengadakan arisan itu di taman rumahnya sendiri. Lagi pula, taman ibu Veronica juga cukup luas, dan terdapat kolam renang. Sangat sesuai dengan tema arisan yang akan mereka adakan besok, yaitu 'outdoor Diamond'.
Pandu sedang berdiri di balkon, di dekat kamarnya yang ada di lantai dua. Dari balkon itu ia dapat melihat dengan jelas suasana yang ada di taman. Pandangannya lurus menatap ke lokasi taman, ia melihat bagaimana ibunya begitu sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Yah walaupun cuma sekedar tunjuk, dan memerintah, tapi ibu Veronica sudah terlihat sangat sibuk.
"Emang lu mau kemana besok nggak sekolah?" Tanya Lukman. Ia sudah berada di rumah Pandu beberapa menit lalu, karena Pandu yang menyuruhnya datang.
"Gue lagi males sekolah," jawab Pandu berbohong. Ia tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya sama Lukman. "Tapi gue pingin di rumah aja." Iambuhnya menjelaskan. Namun pandangannya tidak beralih dari tamannya.
Begitupun dengan Lukman, ia jadi ikut-ikutan melihat kesibukan ibu Veronica di taman.
"Lu bisa bantuin gue kan?" Kata Pandu dengan tegas, ia menggunakan kata 'bisa' dan 'kan'. Artinya Pandu tidak memberikan pilihan pada Lukman untuk menjawab 'enggak'.
Sebenarnya kalau acara bolos sekolah di luar rumah sih, Pandu tidak perlu repot mencari alasan. Karena ibu Veronica pasti tidak akan mengetahuinya. Tapi bolosnya kali ini, ia ingin tetep berada di rumah saja, ia hanya ingin melihat Aden.
"Lu kan bisa pura-pura sakit," Lukman memberikan ide sambil menoleh ke arah Panda. Sebelah alisnya ia naikan, Lukman merasa PD kalau idenya sangat cemerlang dan Pandu akan sangat senang.
Tapi kenyataan tidak selalu sesuai dengan ekspektasi, karena kenyataannya bukan pujian yang Pandu berikan ke pada Lukman. Tapi justru Pandu malah memukul pelan bagian belakang kepala Lukman.
"Bego...!" Ucap Pandu dengan suara yang ia buat sedatar mungkin.
"Kok lu mukul gue?" Protes Lukman.
"Kalau gue bisa pura-pura sakit, ngapain gue minta tolong sama lu," ujar Pandu. "Lu lupa gue pernah lakuin itu? gimana reaksi nyokap gue?"
Lukman terkekeh pelan, karena memang lucu kalau diingat. Pandu pernah berbohong seperti apa yang disuruh oleh Lukman barusan. Yaitu berpura-pura sakit, tapi karena kebohongannya itu justru membuat Pandu repot sendiri. Waktu itu ibu Veronica terlihat sangat panik, dan khawatir, sampai-sampai ia mengundang semua dokter spesialis untuk memeriksa kondisi Pandu. Dan hasilnya, Pandu jadi ketahuan kalau ia sedang berbohong. Karena setelah diperiksa oleh dokter, kondisi Pandu sedang dalam keadaan baik.
Untuk masalah Pandu ibu Veronica memang tidak pernah main-main. Maklum, anak semata wayang, jadi mengeluh sakit sedikit saja, ibu Veronica sudah begitu khawatir, seolah Pandu mau mati besok. Walaupun terkesan berlebihan, tapi begitulah ibu Veronica, terlalu sayang sama anaknya. Mungkin.
"Dasar lu anak mami," cibir Lukman. "Sama temen doang lu beraninya."
"Udah nggak usah ngledek gue, pokonya lu harus bantu gue," perintah Pandu dengan tegas.
"Ya gue bantu..." jawab Lukman pasrah.
Walaupun Lukman anak pemilik yayasan, tapi ia tidak bisa menolak keinginan Pandu. Karena orang tua Lukman sebagai pemilik yayasan tidak mau kehilangan orang tua Pandu sebagai donatur terbesar di yayasannya. Uang selalu berkuasa.
"Bagus..." ucap Pandu sambil berjalan masuk kedalam kamarnya.
Semenatara Lukman, masih berdiri sambil memandang punggung Pandu. Untuk kali ini, ia memang tidak tahu tujuan pandu bolos sekolah. Lukman juga tidak tahu kalau Aden akan berada di acara arisan ibu Veronica besok.
Pandu tidak pernah cerita, lebih tepatnya Pandu tidak mungkin akan cerita. Jadi biarkan Pandu melakukan pendekatan sama Aden besok, tanpa ada yang menganggu.
Dan semoga, teman-teman ibu Veronica tidak bisa melihat, jika ada mutiara terpendam di acara arisan mereka besok.
"Aamiin" bisik para pembaca di dalam hati.