Setelah berada di dalam cafe, remaja itu masih berdiri di dekat pintu, Aden mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Pandu. Beberapa orang yang lewat di dekatnya melihat Aden dengan tatapan yang aneh. Ada juga yang saling berbisik satu sama lain. Entah apa yang mereka bicarakan, Aden berusaha cuek dan tidak perduli.
Tiba-tiba saja senyumnya mengembang, saat bola matanya sudah menemukan sosok remaja yang ia cari. Dengan langkah yang cepat Aden berjalan mendekati kursi, di mana Pandu dan teman-temannya sedang duduk.
Tidak lama kemudian, Aden sudah berdiri di dekat meja, yang ia tuju.
"Pandu."
Suara Aden membuat semua yang sedang duduk, mendongak dan menoleh padanya. Pandu dibuat sedikit tersentak hingga mengerutkan keningnya. Ia seperti tidak percaya dengan kehadiran Aden yang tiba-tiba. Namun wajah terkejutnya seketika berubah berseri, dan senyumnya mengembang.
"Aden. Lo di sini? Ngapain?" Pandu berdiri dari duduknya, kemudian ia berjalan mendekati Aden.
Berbeda dengan Pandu yang terlihat senang dengan kehadiran Aden. Tapi tidak dengan keempat wanita seksi itu. Mereka melihat Aden dengan tatapan yang aneh, mulut mereka meringis seperti merasa jijik.
Sedangkan Lukman, Jonathan, Roby, Alex, dan Aldo, mereka hanya merasa heran. Karena sudah tahu siapa Aden, jadi mereka juga sama seperti Pandu. Sedikit terkejut dengan kehadiran Aden.
Cuma Tristant yang biasa saja, wajahnya datar tanpa ekspresi. Toh ia juga baru pertama kali gabung dengan kumpulan cowok-cowok keren itu. Jadi ia tidak terlalu ambil pusing, apakah Aden juga akan gabung atau tidak, terserah. Yang penting banginya ia bisa nongkrong bareng mereka, dan melancarkan pe-de-ka-te nya dengan Pandu.
Pandu dan Aden kini sudah berhadapan, jaraknya hanya dua jengkal, keduanya memberikan senyum ciri khasnya masing-masing.
Melihat Pandu dan Aden yang sedang berdiri berdekatan, bagi wanita-wanita seksi situ rasanya seperti sedang melihat majikan dengan pembantu, seperti melihat berlihan dengan batu sungai, dan seperti melihat artis dengan asistennya. Perbedaannya sangat kontras, bagaikan langit ketuju, dengan dasar laut yang paling dalam. Sangat jauh.
Untung saja Pandu tidak mempermasalahkan penampilan Aden. Ia sudah terbiasa melihat Aden seperti itu. Di mata Pandu, Aden tetap terlihat manis, senyumnya juga khas. Dan bagi Pandu, Aden adalah sosok mutiara yang terpendam. Hatinya sudah berdesir sejak pertama kali ia melihat Aden.
"Eh siapa sih?" Seorang wanita yang mempunyai ukuran dada paling besar bertanya, sambil memukul pelan paha Jonathan. "Kok Pandu bisa kenal sama orang udik begitu?"
Jonathan mendekatkan wajahnya pada wanita yang bertanya, ia menggunakan telapak tangan untuk menutupi mulutnya yang akan mengatakan sesuatu. "Tukang cilok depan Sekolah," jawab Jonathan sedikit berbisik.
"Oooh..." wanita itu sedikit terkejut hingga membulatkan bola mata, mulutnya juga terbuka lebar.
"Lo ngapain di sini?" Pandu mengulang pertanyaannya.
"Aku lagi jualan di pinggir jalan sana, kebetulan liat kamu, jadi aku kesini." Jawab Aden.
"Trus, mau ngapain lo kesini?" Tanya Seorang wanita yang sedang duduk di belakang Pandu.
Aden mendongakan kepalanya, melihat sekilas wanita itu. Hatinya langsung tidak nyaman karena wanita itu melihatnya dengan gaya yang jutek. Kemudian Aden kembali menatap Pandu, ia mencoba tersenyum sambil membuka retsleting tas pinggangnya.
"Ini tadi siang kamu kan buru-buru, jadi aku belum sempet balikin uang kembaliannya." Ujar Aden sambil menyerahkan uang yang sudah ia gulung dan diikat menggunakan karet gelang.
Pandu tersenyum simpul menatap uang itu, ia tertegun dengan kejujuran dan kepolosan Aden. Ternyata meski hidupnya susah, Aden tidak mau mengambil yang bukannya haknya. Sebenarnya Pandu tidak ingin menerima uang itu, cuma melihat ketulusan Aden, dan ia juga tidak ingin teman-temannya berpikir yang macam-macam, maka dengan terpakasa ia menerima uang itu.
"Astaga, sampe segitunya lu Den. Tapi thanks ya, udah repot-repot nganterin ke sini." Pandu memasukan uang itu kedalam kantong jeans nya.
"Sama-sama, inikan emang uang kamu." Aden merasa sangat lega. Senyumnya juga mengembang. "Yaudah atuh dilanjut nongkrong nya. Aku mau pamit dulu." Aden membungkuk takjim, kemudian ia memuatar tubuhnya berjalan meninggalkan Pandu dan teman-temannya.
"Permisi," imbuh Aden berpamitan.
"Aden tunggu!"
Pandu membuat Aden berhenti melangkah, dan memutar tubuh, kembali berhadapan dengannya.
Semua teman-teman Pandu diam seribu bahasa. Mereka merasa heran hingga sampai mengerutkan kening.
"Ada apa?" Tanya Aden.
Pandu maju beberapa langkah untuk mendekati Aden, "lu kan udah nganterin uang gue, gimana kalau lu gabung ama gue, dan temen-temen? gue traktir deh, itung-itung gue mau makasih sama lu."
Permintaan Pandu tentu saja membuat Lukman dan yang lainnya tercengang. Sulit dipercaya, bagaimana bisa Pandu bersikap begitu ramah, dan manis sama Aden si mamang cilok. Sementara jika sedang bersama mereka, Pandu terlihat begitu keras, dan otoriter.
Lukman menyipitkan mata, ia menatap Aden dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Sorotnya matanya sangat sulit diartikan. Kemudian tatapannya pindah ke Pandu, ia melihat Pandu wajahnya terlihat sangat berseri, senyumnya juga mengembang.
"Yang bener aja Pandu? masak tukang cilok disuruh gabung sama kalian? ngerusak pemandangan aja." Ucap salah seorang wanita yang berpakaian minim. "Nanti kalau bau ciloknya nempel sama kita-kita gimana? bisa-bisa habis deh itu parfum satu botol."
"Ha... ha... ha..."
"Kik ...kik... kik..."
Ejekan dari wanita yang diketahui bernama Desma mengundang gelak tawa dan cekikikan. Dan itu otomatis langsung membuat Aden menjadi down , rasa percaya dirinya menghilang. Tapi, meskipun begitu Aden memaksa untuk tetap tersenyum.
"Makasih Ndu, nggak usah. Aku pamit aja, lagian aku lagi julan." Ujar Aden. Senyumnya masih tetap mengembang.
"Sukur deh kalau tahu diri." Imbuh Desma kembali mengejek.
"Ha... ha... ha..."
"Kiks... kiks... kiks..."
Gelak tawa dan cekikikan kembali terdengar, membuat beberapa pengunjung cafe menatap mereka.
Bagitupun dengan seorang waiters yang sedang meletakan beberapa gelas minuman di meja mereka. Ia ikut cekikikan menahan tawa.
"DIAM!"
Bentakan Pandu, sontak membungkam gelak tawa mereka.
Waiters yang baru saja selesai menaruh minuman itu sedikit terkejut, kemudian ia langsung beringsut, menjauh dari meja mereka.
Suasana langsung mendadak hening.
"Suka atau enggak kalian! Aden gabung bareng kita malam ini!" Ucap Pandu dengan tegas sambil mengedarkan pandangan kepada teman-tamannya.
"Yok Den," ajak Pandu sambil menarik pergelangan Aden.
"Maaf Ndu' aku nggak bisa." Aden membungkuk karena tangannya yang terus ditarik oleh Pandu.
"Nggak papa bentar aja, please lu harus mau." Ujar Pandu setengah memaksa.
Aksi tarik-tarikan yang dilakukan oleh Pandu dan Aden, membuat semua tercengang.
Bahkan Jonathan, dan Alex sempat menutup wajah mereka dengan telapak tangan. Mereka sedikit malu adegan itu membuat mereka menjadi pusat perhatian.
Kemudian Aden yang merasa sadar sudah menjadi tontonan, akhirnya ia pun mengalah dan menuruti keinginan Pandu.
"Iya udah deh, aku mau." Ucap Aden. Namun ia mengerutkan wajah karena tidak sepenuhnya mau bergabung bersama Pandu.
"Nah gitu, dari tadi kek." Ujar Pandu. Ia merasa puas dan senang, Pandu juga sedikit tidak perduli kalau sebenarnya Aden keberatan dengan ajakannya.
Dengan perasaan ragu, dan sangat tidak nyaman Aden menempelkan pantatnya di sisi kursi, berdampingan dengan Pandu. Masih satu kursi dengan ke empat wanita seksi itu.
"Lu mau minum apa?" Tanya Pandu.
"Apa aja deh, lagian aku nggak ngerti."
Jawaban Aden membuat kempat wanita yang mendengarnya kembali tertawa cekikikan.
"Mbak!" Teriak Pandu memanggil salah seorang waiters.
"Udah lu santai aja, nggak usah tegang gitu." Ucap Pandu saat melihat wajah Aden yang terlihat tidak nyaman.
"Iya," jawab Aden. Kemudian ia kembali mengedarkan pandanganya. Aden merasa sedikit nyaman setelah melihat teman-teman Pandu yang terlihat cuek, dan santai.
Mereka juga terlihat sibuk dengan gaya, dan gadget nya masing-masing.
"Aduh ini cafe, AC nya mati apa gimana sih? Panas banget." Ucap Desma yang duduk tepat di samping Pandu. Ia berdiri dari duduknya, lalu mengambil jus alpukat yang ada di atas meja. "Bikin haus."
Kemudian Desma berjalan melewati Pandu dan Aden, ia berniat untuk pindah tempat duduk di dekat Lukman. Namun tiba-tiba...
"Aduuhh...!"
Desma mengaduh karena kakinya tiba-tiba saja keseleo. Parahnya satu gelas jus alpukat yang dipegang desma tumpah membasahi bagian depan kaos Aden. Tidak hanya kaos, celana bagian paha dan selangkangan Aden ikut basah. Hal itu sontak membuat Aden terkejut dan berdiri dari duduknya.
Semua mata tertuju pada Aden.
"Uups sorry , gue nggak sengaja." Ucap Desma setelah ia berhasil berdiri. Desma merapikan rambut ikalnya yang terurai kedepam wajahnya. "Lu nggak papa kan?" Tanya Desma pada Aden.
"Nggak papa gimana!?" Serga Pandu yang sudah ikut berdiri karena reflek. Ia menatap iba pada Aden yang sedang membersihkan pakaiannya. "Lu nggak liat dia basa gini!?"
"Iya tapi gue nggak sengaja." Ujar Desma.
"Udah nggak papa," ucap Aden mencoba mencairkan hatinya. "Kayaknya aku harus pulang."
"Ide bagus, kayaknya emang lu harus pulang, trus ganti baju yang bagusan dikit. Oh iya gue saranin lu pake baju punya sendiri deh, jangan pinjem." Ucap Desma dengan gaya yang mengejek.
"Yaudah aku pamit, Pandu makasih ya aku pulang aja." Aden berjalan cepat meninggalkan Pandu dan teman-temannya, sambil merunduk melihat pakaiannya yang kotor dan basah karena jus alpukat.
"Den.. tunggu!" Pandu berusaha mengejar, namun Desma menarik pergelangan tangan, dan menahannya.
"Udah deh Ndu, ngapain sih dikejar segala?" Ujar Desma. "Emangnya kenapa? ada apa sama anak penjual cilok itu?"
Pertanyaan Desma membuat Pandu merasa gelagapan, "gue... gue kasihan."
Desma memutar bola matanya malas, ia kembali menarik pergelangan tangan Pandu seraya berkata, "udah akh, nggak usah dipikirin yuk duduk lagi."
Tidak ada alasan untuk Pandu untuk menolak ajakan Desma. Akhirnya dengan rasa malas Pandu kembali mendudukan bokongnya di kursi. Dipeluk oleh Desma.
Sedangkan Aden sudah tidak terlihat lagi di dalam cafe.
Sikap Pandu kembali membuat Lukman menatapnya dengan tatapan penuh selidik. Ia menarik ujung bibirnya dan tersenyum menceng. Entah apa yang ia pikirkan.
"Akhirnya pergi juga tu anak," ucap Desma membuang napas lega. "Bikin ilfeel tau nggak sih?" Imbunya sambil menoleh pada teman cewek di sebelahnya.
"Dasar lu, kebangetan." Cewek yang di sebelahnya menanggapi dengan senyum heran. "Tapi gue perhatiin tu anak manis lho... coba kalau dia pakai bajunya beneran dikit, kayaknya nggak kalah deh sama mereka-mereka." Imbuhnya berujar sambil mengedarkan pandangan pada remaja-remaja ganteng yang ada di sebelahnya.
"Dasar gila lu ya, kayaknya lu musti ke optik buat priksa mata deh, masak cowok udik gitu lu bilang keren." Desma kembali mencibir, sambil memutar bola matanya malas. "Udah ah jangan bahas anak itu lagi, eneg gue. Yang penting gue udah singkirin itu anak."
"Jadi tadi itu lu sengaja?" Tanya Pandu.
Percakapan Desma bersama temannya didengar oleh Pandu dan langsung menanyakannya.
"Maksudnya apa?" Imbuh Pandu bertanya, kemudian ia berdiri menatap Desma dengan sorot mata yang tajam.
Desma membuang napas berat, sebelum menjawab pertanyaan Pandu. "Sorry Ndu gue nggak suka aja ada gembel ikutan nongkrong di sini, ngrusak pemandangan aja deh." Ujar Desma. Diketahui Desma ini adak seorang janda kaya yang memiliki banyak usaha SPBU di beberapa kota besar.
"Lu pikir lu itu siapa!!?" Ucap Pandu dengan nada yang ia naikan. Kemudian Pandu mengambil segelas orange juice di atas meja, lalu tanpa pikir panjang Pandu menyiramkan orange juice itu tepat di atas kepala Desma.
Dan itu sontak membuat Desma terperanjat, ia terkejut bukan main. Rambut ikal dan pakaian mini nya pun ikut basah.
Tidak hanya Desma, Lukman dan yang lainya pun ikut shock dibuatnya.
"Pandu lu apa-apaan sih?" Desma berdiri dari duduknya sambil membersihkan dirinya. Ia terlihat sangat lucu dengan rambut ikalnya yang basah. "Lu itu keterlaluan Pandu."
"Itu biar lu juga bisa ngerasain apa yang dirasain anak tadi." Ujar Pandu. Wajahnya terlihat santai dan tanpa beban saat berkata demikian. "Lu kira lu itu siapa?"
Kemudian Pandu meletakan gelas yang sudah kosong. Ia berjalan meninggalkan teman-temannya yang sedang heran dengan tingkah Pandu.
"Ndu lu mau kemana?" Tanya Aldo sambil melepaskan headset di telinganya.
"Bukan urusan lu!" Jawab Pandu tanpa menoleh.
Sedangkan Lukman hanya terdiam, ia memegangi dagunya sambil berpikir.