Chereads / Care And Solide Man {C.A.S.M} / Chapter 46 - Pilihan Aden

Chapter 46 - Pilihan Aden

"Gimana keadaan anak saya Darma?" Tanya pak Arlan setelah ia berdiri di dekat dokter Darma.

Aden dan yang lainnya juga sudah berdiri di hadapan dokter Darma. Mereka harap-harap cemas menunggu keterangan dari dokter Darma.

Jangan heran kalau pak Arlan menyebut dokter Darma tanpa ada embel-embel pak. Selain usia dokter Darma satu tahun lebih mudah dari pak Arlan, pak Arlan juga orang yang mempunyai pengaruh besar di rumah sakit swasta itu. Bagaimana tidak? pak Arlan memiliki saham lima puluh persen di rumah sakit swasta tersebut.

Dokter Darma masih terdiam, wajahnya yang gelisah menatap satu-satu wajah tegang orang-orang yang sedang berdiri di hadapannya. Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya dokter Darma hembuskan secara perlahan.

"Kondisinya sangat kritis pak."

Jawaban dokter Darma membuat Aden dan yang lainnya harus menelan ludahnya susah payah. Dokter Darma membuat jantung mereka dag dig dug tidak karuan.

"Kami baru saja melakukan cuci darah untuk Pandu. Saat ini kondisi Pandu masih belum siuman." Dokter Darma menoleh ke arah Aden yang sedang tidak berkedip menatapnya. "Den, kenapa Pandu diijinin main basket?" Tanya dokter Darma.

Aden terdiam, ia tidak mampu berkata apapun.

"Kami udah ngelarang dia dok," jawab Lukman, lantaran ia tahu Aden bingung menjawabnya. "Tapi Pandu maksa, kata Pandu dia juga udah dapet ijin dokter." Jelas Lukman.

"Apa?! Saya yang kasih ijin Pandu?" Tentu saja dokter Darma terkejut mendengar keterangan Lukman. Ia tidak pernah mengijinkan Pandu melakukan pekerjaan berat. "Saya yang bertanggung jawab sama keadaan Pandu, manamungkin saya berani ambil resiko kasih ijin sama Pandu buat bermain basket."

"Jadi Pandu main basket?" Tanya ibu Veronica, ia memang belum tahu kalau Pandu masih memakai seragam basket. Saat ibu Veronica dan pak Arlan sampai di rumah sakit, Pandu sedang ditangani sama dokter Darma, sehingga ia belum tahu cerita yang sebenarnya.

"Iya tante," jawab Lukman. "Sebenarnya kami udah larang Pandu. Tapi Pandunya maksa. Katanya dia nggak apa-apa kalo cuma main basket." Jelas Lukman.

"Astaga.... kenapa sih Pandu, kamu keras kepala. Apa yang kamu mau harus dituruti. Kamu nggak mau denger kata-kata mami." Keluh ibu Veronica ditengah kesedihannya.

Ibu Veronica menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. Tubuhnya mendadak terasa sangat lemas, oleh sebab itu ia menggunakan tubuh suaminya untuk bersandar, sambil menidurkan kepalanya di lengan pak Arlan. Punggung telunjuk nya ia gunakan untuk menutup hidung, lantaran air matanya yang mengalir sudah sampai di bagian atas bibirnya.

"Tapi Pandu bisa sembuh kan Dar?" Tanya pak Arlan sambil mengusap lengan istrinya.

"Maaf pak, saya terpaksa harus menyampaikan ini. Pandu harus cepat melakukan transplantasi ginjal. Olahraga basket sudah memperburuk fungsi ginjalnya. Ditambah sepertinya Pandu sudah tidak lagi rutin minum obat yang saya kasih." Jelas dokter Darma.

Keterangan yang disampaikan sama dokter Darma barusan, berhasil membuat Aden dan yang lainnya semakin takut.

"Kamu bisa panggil orang yang mau jual ginjalnya sekarang?" Tanya pak Arlan dengan raut wajah paniknya. "Kasih tau dia, berapapun dia minta pasti akan saya kasih."

"Itu dia masalahnya pak, hasil tes urine saya membuktikan kalau orang itu ternyata pecandu alkohol. Butuh waktu lama untuk menetralkan nya dari pengaruh alkohol dan nikotin. Sementara Pandu harus cepat-cepat mendapatkan pendonor." Dokter Arlan memejamkan mata, membuang napas berat sebelum akhirnya ia melanjutkan. "Kalo tidak, kemungkinan buruk bisa saja terjadi." Lanjut dokter Darma dengan raut wajah yang lesu.

Ibu Veronica menggunakan telapak tangannya untuk menutupi dadanya. Pernyataan dokter Darma membuat dada wanita itu terasa sangat nyeri. Kemungkinan-kemungkinan buruk tentang Pandu, langsung menghampiri pikirannya.

"Kita harus bagaimana pi...? Mami nggak mau kehilangan Pandu." Rintih ibu Veronica ditengah tangisannya.

Pak Arlan hanya mampu menghela napas, dadanya juga terasa sangat sesak. Telapak tangan berotot nya mengusap-ngusap punggung istrinya. Ia terdiam, dan tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu keajaiban. Ternyata, disituasi seperti ini harta kekayaannya tidak mampu menyelamatkan anaknya. Percuma ia banting tulang, kerja keras hingga menjadi seorang yang sangat kaya, namun uangnya tidak mampu membeli nyawa untuk anaknya. Pak Arlan merutuki dirinya sendiri, kali ini ia benar-benar merasa tidak berguna sebagai orang ayah.

Kesedihan itu tidak hanya dirasakan oleh ibu Veronica dan suaminya. Ada Aden yang juga merasakan sedih yang luar biasa. Bagaimana tidak? disaat ia sudah benar-benar merasakan sayang, namun orang yang di sayangnya akan pergi begitu saja meninggalkannya. Kesedihan Aden dapat terlihat jelas dari bola matanya yang sudah banjir dengan air mata.

Secara perlahan tangan Aden mengulur, meraih telapak tangan dokter Darma. Aden tidak punya pilihan lain, ia hanya ingin berusaha menyelamatkan orang yang disayanginya. "Pak dokter, ambil ginjal saya buat Pandu."

Deg!!

Pernyataan Aden membuat ibu Veronica dan pak Arlan terkejut, dan langsung menatap bingung ke arah Aden.

Tidak hanya pak Arlan dan istirnya yang merasa terkejut, Lukman dan yang lainnya juga tidak percaya dengan apa yang dikatakan sama Aden barusan.

Terlebih Anis, ia benar-benar shyok mendengarnya.

"Aden, kamu teh ngomong apa?" Protes Anis dengan raut wajah yang cemas. Ia berjalan mendekati adiknya, ingin memastikan kalau apa yang ia dengar barusan tidak serius. Tentu saja Anis tidak ingin mengambil resiko dengan keputusan Aden. "Kamu jangan bercanda, ini lagi serius."

"Aden nggak bercanda teh, Aden serius. Aden mau nolongin Pandu." Tegas Aden ditengah tangisannya.

"Tapi belum tentu ginjal kamu cocok sama punya Pandu. Lagian teteh enggak mau kamu kenapa-napa, teteh musti ngomong apa sama emak, sama abah di kampung? pokoknya teteh enggak mau. Bukannya teteh enggak kasihan sama Pandu, tapi teteh_" Anis menggantungkan kalimatnya, ia seperti tidak mampu melanjutkannya. Yang jelas sebagai seorang kakak, ia tidak ingin kemungkinan buruk menimpa adiknya. Membayangkan pun Anis tidak ingin.

"Tapi ginjal nya Aden cocok sama punya Pandu, pak dokter udah pernah periksa Aden. Pandu juga udah pernah punya niat baik sama Aden, Aden mau gantian nolongin Pandu." Ujar Aden, meski sedang sedih, kadang gayanya yang polos masih tetap kentara.

Pengakuan Aden membuat ibu Veronica dan suaminya semakin terkejut. Apa? Jadi Aden pernah berniat mendonorkan ginjalnya secara diam-diam. Pikir ibu Veronica. Sepasang suami istri itu menatap Aden dengan tatapan yang sulit diartikan. Meskipun Anis tidak setuju, namun rasanya ibu Veronica ingin menarik Aden kedalam pelukkannya. Ia benar-benar terharu melihat ketulusan Aden. Demi teman, Aden rela mengobarkan dirinya.

Aden juga tidak pernah memberitahu Anis bahwa dirinya pernah berniat, dan sudah memeriksakan ginjalnya ke dokter Darma. Oleh sebab itu Anis juga sangat terkejut mendengar pengakuan.

Cuma Lukman dan dokter Darma sendiri yang tahu soal itu.

Anis menoleh ke arah dokter Darma, "apa yang diomongin sama adek saya bener pak dokter?" Tanya Anis.

Dokter Darma hanya menganggukan kepala untuk menjawab pertanyaan Anis.

Telapak tangan Anis mengusap lembut puncak kepala Aden, "tolong dipikirin lagi Den, teteh takut. Kita orang miskin nanti kalo kamu hidupnya cuma sama satu ginjal, nggak bisa kerja keras gimana? Orang miskin kayak kita udah hidup susah, jangan dibikin tambah susah nanti."

Anis tidak sedang curhat, ia cuma mengingatkan adiknya supaya tidak gegabah. Sebagai kakak ia juga memikirkan masa depan adiknya, Anis cuma khawatir akan kelangsungan hidup Aden setelah Aden mendonorkan ginjalnya. Yah kalau operasinya berhasil, kalau gagal kemudian Aden tidak bisa selamat bagaimana? Bayangan-bayangan buruk menghantui pikiran Anis.

"Teh kata abah kalo mau nolong orang nggak harus nunggu kita kaya, walopun kita miskin tapi kalo kita bisa kenapa enggak teh? Abah pasti seneng." Bujuk Aden mencoba meyakinkan Anis.

"Tapi teteh nggak mau kamu kenapa-napa. Teteh takut!" Tegas Anis, ia masih keukeh sama pendiriannya.

Ibu Veronica dan pak Arlan hanya bisa diam, tentu saja ia tidak berani memaksa Anis agar mengijinkan Aden mendonorkan ginjalnya untuk Pandu.

Aden menempelkan pergelangannya di kedua matanya, kemudian ia menyeka air mata menggunakan pergelangan, membuat pergelangannya ikut basah terkena air mata. "Tapi Aden nggak mau Pandu mati." Tegas Aden dengan punggung yang naik turun, karena tangisan yang sudah sesegukan.

Kata-kata Aden membuat dada ibu Veronica terasa nyeri, ia benar-benar sakit mendengarnya. Ibu Veronica juga tidak ingin hal itu terjadi, tapi ia juga tidak mempunyai hak untuk memaksa Anis, lantaran harta kekayaannya tidak bisa menjamin keselamatan Aden. Ibu Veronica juga tidak mau mengorbankan orang lain untuk kepentingan dirinya.

Kedua telapak tangan Anis membingkai wajah adiknya, ibu jarinya menyingkirkan air mata Aden yang masih banyak menggenang di pelupuk mata Aden.

"Aden jangan ngomong gitu, teteh juga enggak mau Pandu kenapa-napa, jangan bikin teteh takut." Ucap Anis dengan suara yang sudah terisak. Anis menoleh ke arah dokter Darma. "Apa nggak ada cara lain pak dokter, biar Pandunya tetep bisa sembuh?"

"Situasinya sangat mendesak mbak, untuk saat memang cuma Aden satu-satunya harapan Pandu. Tapi kami juga tidak bisa memaksa, karena untuk menjadi seorang pendonor butuh persetujuan dari keluarga. Walopun yang bersangkutan sendiri sudah siap, tapi jika tidak ada ijin dari keluarga, kami tidak bisa melakukannya." Jelas dokter Darma.

Anis terdiam, keterangan dokter Darma membuat ia tidak bisa berkata apapun. Sungguh Anis juga tidak ingin hal buruk menimpa Pandu, tapi ia juga tidak ingin mengorbankan adiknya.

"Teteh...!" Panggil Aden dengan suara tangisannya. "Aden mau nolongin Pandu, Aden nggak akan apa-apa. Abah juga pasti senang kalo Aden bisa bantu orang." Rengek Aden memohon.

Anis terdiam, bola matanya yang berkaca menatap teduh wajah adiknya. Kedua tangannya mengulur, meraih pundak Aden lalu memeluknya erat.

Suasana haru mewarnai depan ruangan dimana Pandu sedang berjuang melawan mautnya. Tidak ada yang tidak mengeluarkan air mata, Lukman dan teman-temannya juga ikut menangis.

Apa lagi Tristant, ia tipe remaja yang gampang baper dan mudah tersentuh hatinya. Wajah Tristant sudah dipenuhi dengan air mata. Ia benar-benar sangat terharu hingga tanpa sadar ia memeluk erat tubuh Jonathan yang kebetulan berada di dekatnya. Tristant menyembunyikan wajahnya di lengan kekar milik Jonathan.

Jonathan juga ikutan terharu, hingga ia reflek memeluk erat tubuh Tristant.

Pelukan Jonathan dan Tristant baru terlepas saat Lukman menarik tubuh Tristant. Lukman tidak sengaja menangkap basah pelukan yang dilakukan sama Tristant dan Jonathan.

Sementara itu Anis masih memeluk erat tubuh Aden. Ia menghujani puncak kepala Aden dengan ciuman. Ia benar-benar berada di situasi yang sangat sulit. Pandu memang bukan siapa-siapa, tapi setelah mengenal Pandu ia juga sudah menganggap Pandu seperti Adiknya. Anis benar-benar terpojok, ia seperti tidak diberi pilihan lain.

Anis mengeratkan pelukkannya di tubuh Aden, ia memejamkan mata seraya berkata. "Pak dokter bisakan selamatin Pandu sama adik saya. Saya nggak mau mereka kenapa-napa," ucap Anis ditengah tangisannya.

Menggunakan telapak tangan dokter Darma mengusap air matanya, ia juga ikut terharu hingga membuat ekspresi bibirnya tidak jelas. Antara tersenyum bercampur menangis.

"Kami pasti akan beruasha semakisimal mungkin untuk melakukan yang terbaik." Ucap dokter Darma dengan sungguh-sungguh.

Keputusan Anis membuat ibu Veronica berjalan mendekat ke arah Anis. Tangannya yang mulus memegang punggung Anis yang masih memeluk erat tubuh Aden. Secara perlahan ibu Veronica menarik tubuh Anis, memutarnya hingga berhadapan dengannya. Saat berhadapan dengan Anis, tenggorokan ibu Veronica seperti tercekat, bahkan untuk mengucapkan terima kasih pun ia tidak mampu. Ibu Veronica hanya menghamburkan tubuhnya memeluk erat tubuh Anis, sebagai bentuk ucapan terima kasih yang tidak mampu ia utarakan.

Setelah memeluk Anis selama beberapa saat, ibu Veronica berjalan mendekati Aden. Wajahnya yang sudah basah akibat air mata, menatap teduh wajah Aden. Ibu Veronica membingkai wajah Aden menggunakan kedua telapak tangannya, kemudian ia mencium kening Aden dan mendiamkannya selama beberapa saat disana.

"Jangan sampai terjadi apa-apa sama mereka Darma." Ucap ibu Veronica dengan susah payah. Bola matanya tidak ingin beralih menatap wajah tulus Aden. "Aden juga harus sehat ya, kalo operasinya udah selesai apapun yang Aden minta mami bakal kasih."

Ibu Veronica tidak sedang memanfaatkan kekayaannya untuk membalas ketulusan Aden. Tapi ia memang sedang sangat bahagia, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk membalas kebaikan Aden.

Tawaran yang menarik memang, tapi sayang saat ini Aden sedang tidak menginginkan apapun. Aden cuma ingin Pandu selamat dari maut. Itu saja.

~♡♡♡~

Setelah Anis menyetujui keputusan Aden untuk menjadi pendonor buat Pandu. Keesokan hari berikutnya, operasi transplantasi ginjal pun segera dilakukan. Lalu berkat doa dari semua anggota keluarga, teman-teman, dan kerja keras dari dokter Darma, akhirnya operasi yang dilakukan dapat berjalan dengan lancar.

Meskipun kondisi Aden dan Pandu masih sangat lemah dan belum stabil, tapi semuanya bisa bernapas dengan lega. Setidaknya Pandu dan Aden sudah selamat dari maut.

Dan hari ini adalah hari ke tiga pasca operasi, kondisi Aden belum ada perubahan, masih lemah, wajahnya juga terlihat sangat pucat. Aden dan Pandu masih harus menjalani perawatan di rumah sakit sampai keadaan mereka benar-benar kembali sehat.

Setelah melakukan operasi, Aden dan Pandu di rawat di tempat yang terpisah. Hal itu tentu saja membuat Aden tidak tenang, lantaran selama itu pula Aden belum melihat keadaan Pandu. Ia ingin memastikan sendiri apakah Pandu sudah benar-benar sehat. Oleh sebab itu Aden memaksa ingin menemui Pandu di ruangannya.

"Kamu teh masih belum boleh banyak bergerak Den, kamu masih harus banyak istirahat." Bujuk Anis yang selalu setia menjaga adiknya setelah selesai operasi. "Pandu baik-baik aja, kondisinya masih lemas, sama kayak kamu."

"Tapi Aden pingin liat teh," pinta Aden dengan suara yang lemah. Ia masih berbaring di atas tempat tidur rumah sakit. "Aden pingin ketemu Pandu." Mohon Aden.

"Kamu mah enggak sabaran banget, nanti pak dokternya marah sama teteh." Kesal Anis lantaran Aden tidak henti-hentinya memohon. Padahal keadaanya masih belum baik.

Aden menghela napas lembut, ia menatap Anis dengan denagn tatapan yang teduh. Aden belum bisa tenang kalau belum bertemu sama Pandu.

"Selamat pagi."

Suara dokter Darma mengalihkan perhatian Anis dan Aden. Keduanya langsung menoleh kearah pintu, dimana dokter Darma sedang berjalan mendekati mereka bersama dua orang perawat.

"Diperiksa dulu ya Den," ucap dokter Darma setelah sudah berada di samping tempat tidur Aden.

Seorang suster membantu persiapan perawatan, sambil mencatat hasil pemeriksaan rutin. Sementara suster satunya meletakan sarapan yang ia bawah di atas meja.

"Gimana keadaan adik saya pak dokter," tanya Anis setelah dokter Darma selesai memeriksa Aden.

"Bagus, ada perkembangan," jawab dokter Darma.

"Pak saya pingin ketemu Pandu," Aden mencoba meminta ijin langsung dari dokter Darma. "Boleh ya?"

"Saya udah ngelarang pak dokter, tapi Adennya ngeyel," ucap Anis.

Dokter Darma tersenyum simpul menatap wajah lesu Aden, "Kamu masih belum boleh banyak bergerak Den. Pandunya juga baik-baik aja kok," Jelas dokter Darma.

"Tapi saya pingin ketemu pak," mohon Aden setengah memaksa. "Saya pingin liat Pandu."

Dokter Darma teridam, setelah beberapa detik berpikir, akhirnya dokter Darma memutuskan. "Yaudah, tapi kamu belum boleh jalan, jadi harus pake kursi roda."

Senyum Aden mengembang setelah mendapatkan ijin dari dokter Darma. Rasanya ia sangat bahagia sekali.

"Iya pak dokter terimakasih." Girang Aden.

"Pagi Aden...."

"Pagi kak Aden..."

Suara Aldo, Jonathan, dan juga Tristant membuat Aden dan yang lainnya menoleh ke arah mereka. Ketiga remaja yang masih memakai seragam SMA itu berjalan mendekati Aden dengan membawa kantung plastik berisi buah-buhan. Mereka sengaja ijin sekolah hanya untuk menemui Aden dan juga Pandu.

Sebenarnya mereka datang berenam, Lukman, Alex, dan Roby lebih dulu masuk keruangan Pandu. Mereka sengaja membagi dua supaya tidak terlalu ramai. Awalnya Lukman ingin mengikuti Tristant yang akan masuk keruangan Aden, tapi karena Aldo dan Jonathan sudah lebih dulu mengikuti Tristant, sehingga Lukman masuk keruangan Pandu terlebih dahulu.

"Wah kebetulan kalian dateng," ucap dokter Darma setelah ketiga remaja itu sudah berdiri di dekat tempat tidur Aden. "Tolong bantu Aden naik ke kursi roda ya, Adennya pingin keruangan Pandu."

"Kalian bolos ya," tanya Aden, lantaran ia melihat teman-temannya masih memakai seragam sekolah.

"Enggak kita ijin kok," jawab Aldo.

"Kita pingin nengokin elu kak," imbuh Tristant.

"Iya, Lukman, Alex, sama Roby juga dateng, mereka lagi di ruangananya Pandu," jelas Jonathan.

Aden tersenyum simpul, kehadiran teman-temannya membuat ia merasa bahagia dan terharu. "Terima kasih ya."

"Yaudah ayok, bantu Aden naik ke kursi roda." Titah dokter Darma yang langsung dituruti oleh Aldo, Jonathan dan juga Tristant.

Terlihat Tristant berjalan untuk mengambil kursi roda, sedangkan Aldo dan Jonathan membantu Aden duduk.

Beberapa saat kemudian Aden sudah duduk di atas kursi roda. Aldo mengambil alih untuk mendorong kursi roda yang sedang diduduki sama Aden. Sedangkan Jonathan membantu membawakan tiang infusnya. Beberapa detik kemudian, mereka semua mulai berjalan perlahan menuju ruangan dimana Pandu sedang dirawat di sana.

~♡♡♡~

"Makasih ya, kalian udah nengokin gue." Ucap Pandu yang masih berbaring lemah di atas tempat tidur rumah sakit. Ia menatap satu persatu teman-temannya yang sedang berbaris di tepi tempat tidurnya.

Sementara pak Arlan sedang duduk santai di sofa, tidak jauh tempat nya dari tempat tidur Pandu. Ada ibu Veronica yang sedang mengupas buah-buhan yang dibawa oleh Lukman dan yang lainnya. Ia juga duduk di sofa berbeda, di dekat suaminya.

"Kita sering kesini kali, lunya aja yang belum sadar," protes Alex. Ia tidak sedang berbohong, setelah pulang sekolah teman-teman Pandu memang sering datang ke rumah sakit untuk mengetahui perkembangan Aden dan juga Pandu. Kadang mereka juga bergantian menginap di rumah sakit untuk menjaga Pandu dan juga Aden.

"Dasar lu pencitraan," olok Lukman. "Gitu aja pamer, lebay."

"Bukan pencitraan Luk, itu namanya solidaritas sebagai seorang teman." Bela Alex.

Pandu tersenyum simpul melihat pertengkaran kecil yang dilakukan antara Lukman dan juga Alex. "Iya... iya, terima kasih. Pokoknya kalian teman terbaik gue."

Glek...!

Suara pintu ruangan yang dibuka oleh seseorang mengalihkan perhatian mereka. Terlihat dokter Darma sedang berjalan mendekati mereka.

Pak Arlan dan istrinya langsung berdiri dari duduknya, untuk menemui dokter Darma.

"Lho bukannya Pandu sudah diperiksa?" Tanya pak Arlan setelah ia sudah berada di dekat dokter Darma.

"Bukan mau periksa Pandu, tapi Aden pingin melihat Pandu." Jelas dokter Darma.

"Oh... mana Adennya?" Tanya ibu Veronica.

"Ada lagi didorong pake kursi roda sama temannya," jawab dokter Darma.

Beberapa detik kemudian, terlihat pintu sedang dibuka lebar oleh Anis, memberikan akses untuk kursi roda yang sedang diduduki Aden supaya lebih leluasa.

Senyum simpul terbit dari bibir merah milik ibu Veronica saat bola matanya sudah melihat Aden sedang duduk lemas di kursi rodanya. Ia berjalan cepat untuk menyambut kedatangan Aden dan teman-temannya.

"Lho Aden kan masih harus istirahat, kenapa ke sini?" Tanya ibu Veronica saat ia sudah berdiri di hadapan Aden.

"Aden pingin liat Pandu bu," jawab Aden. Suaranya masih terdengar lemah.

Ibu Veronica meletakan telapak tangannya di puncak kepala Aden, lalu mengusapnya lembut. "Yaudah, sini biar mami yang bantu dorong."

Entahlah, ibu Veronica sangat ingin dipanggil mami sama Aden. Tapi Aden masih belum terbiasa, ia lebih merasa nyaman memanggil ibu Veronica dengan sebutan ibu.

Ibu Veronica berjalan ke arah bagian belakang kursi roda Aden, lalu ia menggantikan Aldo untuk mendorong Aden sampai ke arah tempat tidur Pandu. Ia membungkukkan badan, mendekatkan mulutnya di telinga Aden.

"Ada kabar bagus buat Aden, kayaknya Pandu mau diajak pindah ke Luar Negeri." Bisik ibu Veronica. Ia masih percaya, kalau Aden menganggap Pandu hanya sebagai teman, sehingga ia merasa kepergian Pandu tidak berpengaruh apa-apa bagi Aden.

Aden hanya diam, ia belum ingin menanggapi kata-kata ibu Veronica. Ia hanya ingin berbicara sama Pandu. Tatapan matanya menatap teduh wajah Pandu yang juga sedang menatap ke arahnya.

Untuk pertama kalinya pandangan mereka bertemu setelah keduanya tidak sadarkan diri setelah melakukan operasi.

Ada rasa nyeri yang langsung menjalar di hati Pandu, saat bola matanya melihat Aden terkulai lemas di kursi roda. Wajah nya terlihat pucat, dan tidak bercahaya. Tidak sanggup melihat wajah Aden yang pucat, Pandu memalingkan wajahnya. Ia tidak ingin berlama-lama merasakan kesedihan.

Secara perlahan ibu Veronica mendorong kursi roda Aden. Diikuti oleh, Anis, Tristant, Jonathan, Aldo, pak Arlan, dan dokter Darma di belakangnya. Perlahan tapi pasti, akhirnya ibu Veronica berhasil membawa Aden sampai di tempat tidur Pandu, tepat di dekat kepala Pandu.

Hati Pandu berdesir hebat kala pandangannya kembali beristatap dengan Aden. Keduanya masih terdiam, mulutnya terkunci, hanya mata mereka yang sepertinya selaing berbicara, mewakili perasaan masing-masing.

Berada dengan jarak sedekat itu, membuat Pandu terharu, melihat wajah Aden yang lemah dan pucat, tanpa sadar bola matanya berkaca.

"Kok nangis?" Aden membuka suaranya yang masih terdengar lemah. Bibirnya tersenyum tapi sangat tipis, hampir tidak terlihat. Aden merasa sangat lega akhirnya ia bisa melihat Pandu selamat, walaupun kini Pandu masih berbaring lemah.

"Lu bego," ucap Pandu sambil menyingkirkan air mata di wajah menggunakan telapak tangannya. "Lu kenapa korbanin lu buat gue?"

Aden mengulurkan tangannya, meraih telapak tangan Pandu yang masih sibuk membersihkan air mata di wajahnya. "Aku pingin liat kamu sembuh," aku Aden sambil meremas telapak tangan Pandu.

"Tapi lu bakal bikin gue jadi ke siksa," ujar Pandu.

"Kok kesiksa?" Tanya Aden heran.

"Lu kan tau, gu... gue sayang sama elu," aku Pandu ditengah tangisannya.  "Gue bukan cuma sayang, gue suka, gue juga cinta sama elu." Pandu sudah tidak malu lagi mengungkapkan perasaannya meski sedang banyak orang di situ. Buat apa? Toh mereka semua sudah pada tahu, sudah terlanjur basah, jadi sekalian aja nyemplung. Pikir Pandu.

"Gue cinta sama elu, elu bisa bikin gue kuat, tapi bisa bikin gue lemah, bahkan gue bisa mati kalo enggak ada elu. Gue kuat kalo lu di deket gue, dan gue bisa jadi lemah kalo lu jauh dari gue." Imbuh Pandu dengan tulus.

Kata-kata Pandu membuat bola mata yang mendengarnya jadi berkaca-kaca. Mereka hanya diam, mendengarkan ungkapan perasaan Pandu.

"Gimana gue bisa tenang di luar negeri kalo jauh dari elu." Imbuh Pandu.

Aden terdiam, dadanya terasa sesak mendengar kata-kata Pandu barusan. Tanpa sadar bola matanya juga berkaca-kaca. Ia memejamkan mata sambil menghela napas panjang, ia mendongkan kepala untuk melihat ibu Veronica yang masih berdiri di belakangnya.

"Bu..." panggil Aden.

"Iya..." jawab ibu Veronica sambil mengusap air matanya menggunakan punggung tangan jari tengah.

"Kata ibu kalo aku udah selesai operasi, ibu mau kasih apa aja yang aku minta. Apa masih berlaku? ibu enggak bohong kan?" Tanya Aden mengingatkan janji ibu Veronica.

Telapak tangan ibu Veronica mengusap lembut puncak kepala Aden, "tentu, mami nggak pernah bohong." Tegas ibu Veronica ditengah isakkannya. "Bilang sama mami, Aden mau apa? Mobil? Motor? Aden mau minta rumah pasti mami kasih." Jawab ibu Veronica dengan sungguh-sungguh.

Bibir Pandu bergetar saat kupingnya mendengar pilihan yang diberikan ibunya untuk Aden. Dadanya terasa sakit, kenapa apa ia harus disembuhkan kalau akhirnya hanya untuk dibuat menderita? Jika Pandu tahu bahwa ia akan mendapatkan donor dari Aden, maka ia akan menolak dengan keras.

"Ayo bilang sama mami. Aden mau apa?" Ulang ibu Veronica dengan lembut.

Tawaran dari ibu Veronica memang sangat menggiurkan.  Aden bisa kaya mendadak kalau memilih salah satunya. Teman-teman di kampung pasti akan iri padanya. Anis dan Dadang yang baru saja sampai di ruangan Pandu langsung menelan ludah saat mendengarnya.

Aden hanya diam, ia bingung mau pilih yang mana? Aden mengalihkan pandangannya ke arah Pandu. Bibirnya tersenyum tipis saat melihat Pandu tidak henti-hentinya mengusap air matanya menggunakan telapak tangan.

"Aden nggak minta apa-apa. Aden cuma minta, tolong jangan bawa Pandu pergi ke luar negeri." Mohon Aden dengan tulus. Secara perlahan Aden mendekatkan kepalanya di wajah Pandu, telapak tangannya dengan lembut mengusap puncak kepala Pandu, "biarin Pandu di sini aja sama Aden, soalnya Aden juga sayang banget sama Pandu, Aden nggak mau kehilangan Pandu." Imbuhnya tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Pandu.

Air mata Pandu lolos begitu saja saat mendengar permintaan Aden. Ia benar-benar terharu mendengar permintaan Aden.

Secara perlahan Aden semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Pandu, hingga akhirnya. Cup. bibir Aden berhasil mendarat di bibir Pandu.

Deg!

Jantung Pandu berdetak kencang saat ia merasakan bibir Aden menyentuh bibirnya, lalu mendiamkannya selama beberapa saat di sana. Kalau sudah seperti itu, tidak alasan lagi bagi Pandu untuk tidak percaya jika Aden benar-benar menyangi Pandu.

Mau bukti apa lagi? Ginjal sudah ia berikan, bahkan Aden seperti termakan dengan kata-katanya sendiri. Pandu teringat jika suatu saat Aden pasti akan mencium bibir Pandu di hadapan, ibunya, ayahnya, dan juga teman-temannya. Aden benar melakukannya, tidak hanya di depan kedua orang tua Pandu dan teman-temannya, tapi ada dokter Darma, Anis dan juga Dadang di situ.

"Kamu engga akan pergi, kamu di aja sama aku. Tadi kamu dengarkan? Kalo mami kamu bakal nurutin apa aja yang aku mau?" Ucap Aden setelah ia melepaskan ciumannya di bibir Pandu.

Aden memutar kepalanya 100 derajat, menoleh ke arah ibu Veronica, "benar kan bu? Pandu enggak akan kemana-kema? Biar di sini aja sama aku. Soalnya aku juga sayang sama Pandu,"

Ternyata meski polos Aden pintar juga ya? Ada untungnya juga Aden tidak mengakui jika ia sudah mulai sayang sama Pandu saat didesak sama ibu Veronica, hasilnya ibu Veronica jadi berani berjanji akan menurti semua permintaan Aden. Kalau Aden mengakuinya saat itu, mungkin akan lain lagi ceritanya.

Secara tidak sengaja Aden seperti sedang menjebak ibu Veronica dengan janjinya sendiri. Dan kalau sudah seperti itu ibu Veronica tidak mampu berkata apapun, selain menganggukan kepala saat Aden menagih janjinya.