Bertahan pada situasi yang sulit,
atau pergi mencari kenyamanan?
Berdiri tegar dengan rasa sakit,
atau melangkah menuju bahagia?
*****
"Lo serius mo PHK Claudia malam ini?" Embun memandang wajah pria itu dari samping ketika mereka berboncengan motor.
Mereka menuju taman kota untuk bertemu Claudia yang sebentar lagi akan mengisi daftar barisan para mantan seorang Alaska.
"Ciyus lah!" Alaska yang mengenakan jaket bomber army sedikit berteriak.
Entah kenapa, dari semua gadis yang hinggap di pelukannya, tak satupun mampu membuat dia terikat dalam jangka waktu yang lama. Rekor pacaran terlama Alaska hanya tujuh bulan. Dan tentu saja ia sudah mencicipi tubuh mereka.
"Pernah nggak sih mikir kasihan gitu sama mereka, Al?" Embun memeluk Alaska karena laju motor terasa lebih kencang dari sebelumnya.
"Gue ngajarin mereka untuk jadi cewek setrong, lebih dewasa, dan kagak mudah sedih," jawab Alaska sekenanya.
Embun cuma geleng-geleng kepala mendengar jawaban Alaska. Dia sebetulnya penasaran kenapa Al selalu bersikap seperti itu. Mungkinkah lelaki ini pernah patah hati teramat sangat? Bisa saja ia membalas dendam pada wanita dengan cara ini.
Walau sudah cukup lama bersahabat, Alaska tidak banyak bercerita tentang diri dan perasaannya. Embun hanya tahu bahwa dia dua bersaudara, kakak perempuannya sudah menikah dan tinggal terpisah. Orang tua Al membuka sebuah warung makan yang sudah mereka kelola berpuluh tahun.
Memang Al bukan berasal dari keluarga kaya, tapi cukup layak secara keuangan. Pria ini dibiasakan mandiri dan membeli apa yang diinginkan dengan cara menabung. Ya, setidaknya itu satu sisi positif yang dimiliki seorang Alaska.
Sifat cuek dan selengekan pria ini justru membuat banyak gadis tertarik, tapi tidak dengan Embun.
"Kenapa aku boleh naik motor kamu, Al? Teman-teman aja nggak ada yang boleh. Katamu ini motor khusus pacar," seru Embun memecah keheningan.
Selama ini Alaska memang melarang keras siapapun menyentuh apalagi duduk di jok motornya. Dia sudah berikrar bahwa yang boleh duduk hanyalah gadis dengan status pacar.
"Lo spesial. Makanya kudu terima kasih ma gue." Alaska memasuki area parkir motor.
"Idih, kok aku yang kudu terima kasih? Kan aku yang bantuin kamu. Ow, aku tahu. Karena aku bonceng motormu, jadi cewek-cewek itu percaya kalau kita jadian. Iya kan? Dasar gayung bocor." Embun memukul helm yang dikenakan Al.
Alaska cuma nyengir.
Dari kejauhan nampak Claudia duduk di sebuah kursi taman berjarak beberapa belas meter dari area parkir.
Setelah meletakkan helm di atas jok dan merapikan rambut, Alaska menggenggam tangan Embun.
"Yuk," kata Al.
"Drama dimulai," pikir Embun.
Di setiap hari PHK memang inilah yang mereka lakukan. Bergandengan tangan, nampak mesra untuk sesaat sampai calon mantan pacar Alaska pergi.
"Hai, Clau. Kenalin ini Sarah, cewek baru gue." Alaska berucap dengan tenang sembari tersenyum.
Yang diajak bicara hanya melotot kaget dan mulutnya sedikit terbuka. Dia yang semula sangat gembira karena diajak berkencan dengan Alaska, tiba-tiba diberi kejutan seperti ini.
"Maksud lo?" gadis itu berdiri sambil menatap tajam pada Alaska.
"Ya, ini cewek baru gue. Tadi siang kami jadian. Kita udahan." Pria itu mampu tersenyum manis walau kata-katanya tentu sangat pahit di telinga Claudia.
Gadis itu berlalu dengan menahan tangis. Nampak sekali ia berusaha keras menahan butiran air mata untuk tidak turun ke pipi mulusnya.
"Done," kata Alaska singkat sambil melepas genggamannya.
"Syukurlah, hari ini SA-RAH tidak kena damprat. Sekarang SA-RAH lapar, kwe tiaw," kata Embun.
Ada rasa geli melihat kelakuan Alaska, tapi juga ada rasa kasihan pada gadis-gadis itu. Entah kapan pria ini tobat. Begitu mudahnya Al membuang para gadis yang dikencani. Bahkan setelah beberapa menit mungkin dia bahkan sudah sepenuhnya lupa pada mereka.
Alaska tertawa mendengar Embun menekankan kata Sarah, nama yang terlintas begitu saja di benak dia. Pria itu merasa gemas dan tiba-tiba memegang kepala Embun lalu mencium keningnya.
"Eh, ngapain kamu?" Embun tak sempat menghindar. Ia menatap tajam ke arah Alaska.
"Hehe, sori gue gemes, jadi lupa diri." Al terkekeh.
"Kamu bukan lupa diri, kamu itu nggak tahu diri. Jangan macem-macem ya," tegas Embun.
"Sori, kelepasan doang tadi. Janji deh, kagak lagi-lagi," jawab Alaska sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya.
Embun melangkah menuju area parkir dengan muka cemberut. Dia merasa sedikit terganggu dengan perlakuan Alaska tadi.
Sepanjang perjalanan menuju Gatsu, Embun memilih diam dan duduk dengan menjaga jarak.
"Masih marah? Sori, Mbun," kata Al lembut.
"Jadi nggak nyaman kan karena sikap kamu," jawab Embun.
"Iya, maaf. Kan udah janji kagak lagi-lagi. Masa sih kagak mau maafin," ujarnya memelas.
"Kwe tiaw dulu baru aku maafin," jawab Embun sambil menyembunyikan senyum. Ia memang tidak tega kalau melihat sikap memelas Alaska. Lelaki badung ini bisa tiba-tiba seperti anak kucing yang imut dan lucu kalau sedang merayu atau merajuk.
"Aseeeeeeek..." Alaska tertawa bahagia.
Mereka tiba di sebuah warung tenda kaki lima di jalan Gatot Subroto yang biasa dikenal dengan nama Gatsu.
"Wei, mimi lan mintuno. Dari mana?" Sapa bapak pemilik warung.
Bapak ini memang selalu memanggil mereka dengan mimi lan mintuno, sebuah ungkapan jawa untuk menggambarkan dua orang yang saling lengket, kemana-mana selalu bersama.
"Biasa, nge-date," jawab Al selengekan.
"Cie, udah jadian neh?" Goda bapak itu.
"Jadian ma buaya darat kaya dia? Ogah, Pak," jawab Embun.
"Dih, mas ini beneran cinta loh sama mbaknya, suer deh." Si Bapak ngeyel.
"Tuh, Bapak ini aja tau. Lo aja emang gak peka kalo gue tuh cintaaaaaa banget ama lo." Alaska memasang wajah sok imut.
"Pesen biasanya, Pak. GPL." Embun segera menuju tempat duduk yang kosong. Ia malas meladeni ocehan Al dan si bapak warung.
Al dan bapak warung senyum-senyum saja melihat Embun ngambek.
"Jadi belum ditembak juga, Mas?" Bapak itu berbisik pada Alaska.
"Galak, Pak. Syerem," jawab Al sambil bergidik. Lalu keduanya tertawa terbahak-bahak.
Embun memandang mereka berdua dengan sebal.
"Pasti ngomongin aku," gerutunya dalam hati.
"Jangan kelamaan, nanti nyesel loh kalo udah terlanjur kehilangan," sahut bapak itu.
Alaska tersenyum lalu menyusul duduk di hadapan Embun.
"Udah puas ngomongin aku?" Embun menopang dagu dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya sibuk bermain telepon genggam.
"Idih, GR. Siapa juga ngomongin lo. Pengen diomongin ya," canda Alaska dengan senyum nakalnya.
"Al, kayanya aku semester depan berhenti kuliah dulu," kata Embun.
"Loh, kenapa? Susah bagi waktu ma kerjaan? Capek?" Pria ini terkejut mendengar ucapan Embun. Setahu dia, gadis ini sangat bersemangat untuk kuliah. Membagi waktu, tenaga dan konsentrasi antara pekerjaan dan perkuliahan tentu tidak mudah. Tapi ia mampu menjalaninya dengan baik setahun belakangan.
"Keuanganku tidak memungkinkan," jawab gadis itu singkat sambil menghelas nafas panjang.
"Lo butuh berapa? Gue bantu." Alaska tulus ingin membantu. Ia tahu Embun sangat mencintai kuliahnya.
Alaska saja tidak mau kuliah, walau orang tuanya mampu membiayai. Dia lebih suka bekerja dan menghasilkan uang. Tapi embun berbeda.
"Jangan, Al. Aku nggak bisa terus mengandalkan orang lain. Tanggungan hutang juga masih banyak. Mungkin nanti, setelah semua terbayar lunas baru aku masuk kuliah lagi. Nggak mau terlalu banyak beban." Embun menunduk lesu teringat rentetan hutang warisan ayahnya.