Chereads / Rahim Untuk Anakku / Chapter 7 - Untuk Sesaat

Chapter 7 - Untuk Sesaat

Aku tidak sedang menggenggam

dan digenggam oleh siapapun

Aku tidak sedang menjaga

juga dijaga hati manapun

*****

"Dasar gila kamu, Al. Cewek itu bukan jam tangan, yang puas kamu pelototin terus dibuang gitu aja." Embun memukul kepala Alaska, teman kerjanya.

Sudah ke sekian kalinya ia harus mendengar cerita putus nyambung Al dengan para gadis.

"Idih, gue mah bukan melototin doang. Rugi amat." Al tersenyum nakal.

"Dasar mesum, buaya cabul." Embun tertawa ngakak melihat kelakuan jejaka tampan yang usianya hanya selisih setahun dengan dia.

"Rugi dong perut gue kotak-kotak kalo masih mainan sabun sendiri," jawabnya sambil mengusap-usap perutnya.

Pria ini memang tampan. Tubuh padat atletis, walau tidak kekar. Sudah hampir dua tahun mereka bersahabat sejak Embun bekerja di hotel ini.

Embun mungkin satu-satunya wanita di tempatnya bekerja yang belum pernah menjadi pacar Alaska. Yang lain sudah mendapatkan giliran walau hanya beberapa hari atau minggu.

"Lo lesbi ya, Mbun?" Al memasang mimik serius.

"Haha, gila aja kamu. Ngapain nanya gitu sih?" Embun sudah biasa dengan mulut Al yang suka bicara asal.

"Habisnya lo doang kagak bergetar ama gue." Al mendekatkan wajahnya. Hidungnya sudah hampir menyentuh puncak hidung Embun.

Gadis itu menatap dengan pandangan datar dan menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.

"You are not sexy enough for me." Telunjuknya mendorong dahi Alaska mundur.

"Aku belum butuh seorang lelaki, apalagi hanya untuk sekedar main-main. Kamu tahu kan hidupku itu sudah susah, jadi nggak mau nambahin masalah," lanjutnya.

"Maksud lo, gue ini masalah gitu?" Lelaki itu mengernyitkan dahi.

"Kagak. Kamu itu sumber dari segala sumber masalah. Hahaha..." Embun tergelak.

"Bahkan kalau pria di dunia ini habis, dan cuma tersisa kamu, tetap aku nggak mau," lanjutnya.

"Segitunya ya lo ma gue. Jahat banget. Untung aja lo tu temen gue, coba kalo kagak." Alaska memandang gemas.

"Emang kenapa kalau bukan temanmu?" Gadis itu berkacak pinggang dan menaikkan dagunya.

"Kalo bukan temen gue, ya gue kagak kenal. Hahaha..." Alaska tertawa.

Alaska memandang gadis itu lekat-lekat. Dalam hati, memang dia sangat mengaguminya. Bukan hanya paras yang cantik, tapi juga kegigihan dan semangat Embun menjalani hidup.

Ibu Embun sudah meninggal sejak ia masih balita. Dia hidup bersama seorang ayah yang hobi berjudi dan mabuk-mabukan, tentu bukan hal yang mudah. Semua pekerjaan rumah sudah otomatis ia yang mengerjakan sedari kecil.

Hidup sangat sederhana dan seadanya sejak kecil, membuat gadis ini tak pernah berpikir muluk-muluk. Bisa makan, bisa sekolah, sudah sangat bersyukur. Apalagi ayahnya lebih banyak menghabiskan uang di meja judi daripada untuk kebutuhan rumah.

Cita-cita Embun untuk bisa sekolah tinggi dan sukses dalam karir tak pernah layu. Dia ingin memiliki kehidupan yang layak seperti orang lain di sekitarnya. Bukan ingin menjadi kaya raya atau berlimpah harta, tapi minimal bisa makan, jajan dan jalan-jalan dengan bebas.

Setelah lulus SMA, Embun bekerja di Crown Hotel agar bisa menabung dan membiayai kuliah sendiri. Ia menunda masuk perguruan tinggi selama setahun.

Semua rencana berjalan lancar. Dia masuk kuliah di tahun kedua bekerja dan memilih jurusan perhotelan, sesuai bidang pekerjaan yang ditekuninya saat ini.

Menginjak semester dua perkuliahan, ayahnya terlibat masalah keuangan karena hobi judi yang ditekuninya. Eh, kok ditekuni sih? Digeluti? Wkwkwkwk...

Rumah terpaksa dijual, dan mereka menyewa rumah petak di daerah pinggiran. Semua tabungan Embun juga terkuras habis untuk menutup sisa hutang ayahnya.

Tak lama setelah kepindahan, ayahnya mengalami depresi berat dan dirawat di rumah sakit selama beberapa minggu, menambah beban Embun. Ia terpaksa harus meminjam uang ke teman-teman, bahkan ke tempat kerja.

Naas, setelah perawatan beberapa minggu yang menguras tenaga dan biaya, ayahnya ditemukan bunuh diri di dalam kamar dengan memotong nadi pergelangan tangan. Sepertinya pria itu sudah tak punya semangat hidup setelah kehilangan rumah dan tak tersisa apapun selain hutang yang masih menumpuk.

Ada rasa sedih yang sempat hinggap di diri Embun. Bagaimanapun lelaki itu adalah satu-satunya anggota keluarga yang tersisa. Tapi di sisi lain, ia lega karena tak akan lagi direpotkan dengan banyak masalah.

Sudah bertahun-tahun ia hidup susah karena perilaku pria itu. Hampir setiap hari ada saja orang datang ke rumah untuk menagih hutang, meminta ganti rugi karena dipukuli ayahnya saat mabuk, dan masih banyak lagi yang datang dengan berbagai kasus.

Dia sendiri sudah sangat sering mendapat perlakuan kasar maupun kalimat-kalimat yang menyakitkan dari ayahnya. Tamparan, tendangan, pukulan, cacian dan makian sudah biasa bagi Embun. Belum lagi barang-barang yang hancur karena dibanting dan dilempar.

Pria brengsek yang dengan sangat terpaksa harus ia panggil ayah. Seorang lelaki pengecut yang lebih memilih pergi dengan caranya, meninggalkan bertumpuk masalah pada gadis belia.

"Kapanpun lo butuh bantuan, bisa andelin gue." Alaska berucap, kali ini terdengar cukup tulus.

"Terus, imbalannya apa?" Goda Embun.

"Goyang-goyang dikit lah." Pria itu menggerak-gerakkan alisnya.

"Naik odong-odong, tuh. Goyang mang...."

Mereka tertawa. Keduanya memang sudah biasa bercanda bahkan dengan candaan tujuh belas tahun ke atas.

Banyak orang mengira mereka ini TTM, Teman Tapi Mesra. Bagi Embun, Alaska hanyalah sahabat yang baik. Memang lelaki ini nakal dan genit. Seringkali ia dijadikan alasan untuk memutuskan hubungan dengan para wanita.

"Ini Embun, cewek baru gue."

Drama itu sering terulang. Setelah kalimat itu diucapkan, biasanya si cewek akan menangis lalu pergi. Beberapa harus memaki-maki dulu penuh emosi baru meninggalkan mereka. Dan karena cemburu, tidak sedikit pula gadis yang mencaci dan menghina Embun di hari PHK, Putus Hubungan Kekasih.

Setelah itu Alaska pasti mentraktir Embun makan sebagai permintaan maaf dan ucapan terima kasih. Ritual PHK yang sudah mereka jalani dua tahun ini.

"Malam nanti PHK buat Claudia. Gue jemput jam 6 ya?" Alaska mengedipkan mata kanannya.

"Anjir, baru dua hari, Al." Embun terkejut sahabatnya ini melepas gadis yang baru dua hari dikencani.

"Jepitannya kurang, longgar banget njir," jawabnya santai.

"Ancur... Punyamu kali kekecilan. Segede pentol korek aja belagu." Embun benar-benar tak habis pikir dengan kelakukan lelaki ini.

"Enak aja pentol korek. Lo mau tau? Bilang aja sih kalo mo nyobain," godanya.

"Anjay, no way! Punyamu dah kaya peuyeum basi. Kebanyakan dicelup sembarangan. Aku nggak mau kena penyakit." Embun mencibir.

"Sialan lo. Belum nyobain dah ngehina. Sekali coba, ketagihan tau rasa lo. Gue jemput jam enam, ya?" Tanya Alaska lagi.

"Ya udah. Habis itu makan kwe tiaw di Gatsu. Oke?" Embun memberi kode anak jaman now, dengan jari telunjuk dan jempolnya membentuk hati.

"Oke deh, My Baby." Alaska membalas dengan kode yang sama.

"My Baby, emangnya bedak bayi?"

Jam istirahat mereka berakhir. Harus segera kembali bekerja.

Tiga bulan lagi UAS. Bukan ujian akhir yang membuat Embun merasa berat, tapi membayar uang kuliah semester tiga. Tabungan sudah habis, bahkan masih belum cukup untuk melunasi hutang-hutang. Lalu bagaimana ia harus membayar biaya kuliah?

Tak mungkin tega ia meminjam uang pada Alaska. Lelaki itu baru saja membeli motor yang terbilang cukup mahal untuk karyawan biasa, demi memikat wanita. Pinjaman di kantor juga belum sepenuhnya lunas.

Semoga ada jalan keluar. Kalau tidak, terpaksa berhenti kuliah dulu, kata Embun dalam hati.