Suara denting sendok beradu garpu mendominasi sarapan pagi ini. Seperti biasanya, tidak ada kehangatan yang tercipta. Tiga orang dengan ikatan keluarga duduk di kursi masing-masing. Tidak seperti keluarga lainnya, tidak terdapat kehadiran sosok ibu di sana. Hanya ada seorang papa dan dua anaknya yang masih remaja.
"Hari senin papa akan pergi lagi ke luar negeri." Suara tegas dan datar sang papa mengalihkan lamunan Day. Day menatap papanya tak percaya.
"Papa akan pergi ke luar negeri lagi? Untuk apa?" tuntut anak bungsu sekaligus satu-satunya anak perempuan di rumah itu.
"Untuk apa bertanya lagi? Sudah pasti untuk mengurus pekerjaannya yang sangat penting itu." Eros, kakak Day yang selalu sama dinginnya seperti Papa, membalas dengan nada sindiran.
Papa menatap Eros dan Day bergantian lalu membuang napas panjang. "Papa bekerja demi kalian."
Mendengar pembelaan papa, Eros membanting garpu dan sendok yang dipegangnya ke piring hingga membuat suara berisik yang cukup mengejutkan Day, lalu berdiri dan menatap papanya tajam. "Papa bekerja demi uang, bukan demi kami. Jangan jadikan kami sebagai alasan lagi, aku muak." Kemudian ia pergi meninggalkan Day yang terdiam canggung melirik papanya.
"Pa, bukankah baru tiga hari yang lalu papa pulang dari Singapura. Lantas dalam waktu sesingkat ini, minggu depan papa akan keluar negeri lagi? Apa papa tega selalu meninggalkan kami disini?" tanya Day hati-hati dengan wajah memelas.
"Kalian sudah besar."
Day terdiam. Lagi-lagi alasan itu.
"Habiskan sarapanmu Day, papa sudah selesai . Papa berangkat kerja dulu." Papa menghampiri Day dan mencium puncak kepala gadis berusia tujuh belas tahun itu dengan singkat. Formalitas. Papa keluar dari ruang makan, bersama asisten pribadinya yang bernama Jo dari rumah megah itu.
Selepas kepergian mereka Day mendesah panjang, kemudian membenturkan kepalanya ke lipatan tangan di atas meja.
"Tuan putri, apa sarapannya sudah selesai?" tanya Rion, supir pribadi Day yang usianya masih delapan belas tahun, seusia Eros. Day menatap Rion yang sudah rapi dengan seragamnya.
"Sudah kak." Day berdiri malas-malasan membuat Rion terkekeh kecil.
"Jangan cemberut seperti itu nona manis, ini masih pagi," ledeknya.
Day mengerucutkan bibir, tambah merajuk. "Kak Eros dimana?"
"Seperti biasa, Eros sudah berangkat."
"Naik motor lagi?"
"Tentu. Motor kesayangannya."
Day berdecak sambil bersedekap sebal. "Selalu saja begitu... Kak Rion, apakah Kak Eros malu memiliki adik sepertiku?"
"Eh, kenapa kamu bertanya seperti itu Day?" Ada raut terkejut dari wajah tampan Rion ketika mendengar pertanyaan polos dari mulut Day.
"Karena aku merasa dia begitu. Kak Eros tidak pernah mau dekat-dekat denganku ketika di sekolah. Bahkan kemarin dia marah padaku hanya karena aku tersenyum kepadanya ketika kami tak sengaja berpapasan di koridor sekolah! Apa dia tidak keterlaluan? Benar-benar sakit hatiku kak." Day bercerita setengah menggerutu. "Makanya aku bertanya hal ini padamu. Aku merasa kalau kak Eros malu memiliki adik sepertiku."
Rion dengan lembut tersenyum lalu mengusap pelan puncak kepala Day. Day menunduk, selalu suka sentuhan-sentuhan kecil yang Rion berikan kepadanya. Meskipun Rion adalah anak dari pelayan di rumahnya, Day tidak pernah malu berdekatan bahkan aktab dengan Rion baik itu saat di rumah maupun di sekolah. Di momen seperti ini, Day sering membandingkan sikap Rion dan Eros, Eros bahkan tak pernah bersikap sebaik Rion.
"Tidak ada yang pantas untuk membuat Eros malu memilikimu sebagai adiknya. Eros kan memang sifatnya seperti itu, cuek, dingin. Tapi kadang suka perhatian kan?"
Day terdiam sejenak, lalu mengangguk ceria.
Rion membukakan pintu mobil di samping kursi kemudi. Meski Rion sebetulnya hanyalah supir Day, tapi Day tidak pernah mau duduk di kursi bagian belakang. Day lebih suka duduk di samping Rion seperti ini.
Day menahan napas ketika Rion mendekat untuk memakaikan seatbelt Day. Di sela memakaikan sabuk, Rion tersenyum pada Day, senyuman yang sangat manis, khasnya.
"Sudah siap berangkat tuan putri?" tanya Rion setelah selesai memakaikan Day seatbelt dan memegang kemudi.
Day yang masih salah tingkah tentu hanya mampu mengangguk kaku sambil menahan senyum.