Chereads / Sin of The Twin / Chapter 6 - Berhenti jadi diriku!

Chapter 6 - Berhenti jadi diriku!

"Aku tidak pernah tahu apa yang Fera sembunyikan. Namun, aku tahu ia tidak akan mengecewakanku, dia sangat menyayangiku."

"Semakin hari sikapnya semakin aneh, aku semakin takut akan ada sesuatu yang buruk terjadi."

"Ia mengajakku bertemu hari ini, tidak seperti biasanya, ia sangat serius, ada apakah ini? Aku harus siap, semoga semua dugaanku terhadapnya hanyalah pikiran buruk semata."

Beberapa penggalan kalimat di diary Feli yang membuat Fera cukup sedih, setelah membaca 56 catatan Feli di ponselnya, hanya itu yang menggambarkan kalau Feli sedang ada dalam situasi kebingungan. Karena sisanya penuh dengan cerita kebahagiaan yang membuat Fera terharu dan kembali meneteskan air mata.

Sungguh, Feli adalah gadis yang sangat ceria dan penuh dengan sesuatu yang baik dari sifat maupun perilaku yang membuat semua orang nyaman bila berada didekatnya.

Fera dan Feli nyaris tidak pernah bertengkar secara fisik selama ini, pernah sesekali keduanya salah paham berkaitan masalah sekolah, namun Feli selalu orang yang paling pertama mengalah dan meminta maaf. Buka karena Fera tidak mau memulai duluan, namun Feli paham betul kalau kakak kembarnya memilikki sifat sedikit tertutup dibanding dengan dirinya. Walaupun sekilas mereka tampak sama sama periang tapi ia tak mau kalau Fera menyimpan beban pikiran atas dirinya. Mereka juga sering membantu sama lain dalam mengerjakan sesuatu, ada kalanya juga mereka cukup jahil saat masih dibangku sekolah.

Kadang mereka bertukar kelas, atau bergantian absen kalau salah satunya sedang kurang enak badan, semua teman maupun guru tidak ada yang tahu kalau mereka sedang bertukar posisi karena secara fisik mereka cukup dan sangat mirip, yang membedakan hanya belahan rambut dan tahi lalat yang sangat kecil yang berada di bawah bibir Feli yang tidak dimilikki Fera.

"Ada waktu untuk ngobrol? Ada yang ingin aku tanyakan." Pesan singkat dari Andi.

Fera mengabaikan pesan itu karena ia tahu Andi hanya ingin menceramahinya.

Yang ia lakukan malah menelepon Daffa dan tetap berpura pura sebagai Feli.

"Halo Sayang, gimana kabar nenek? Sudah sehat?."

"Udah lumayan sih, hanya saja nenek masih mau aku temani, gapapa kan Sayang kamu tunggu beberapa hari dulu sampai aku pulang?"

"Iya gapapa kok, asalkan nenek sehat lagi."

"Ngomong ngomong, Kok suaramu aga beda dari biasanya? Lagi sakit atau kenapa?"

"Hah ehhh, hmm ehem.. Iya nih aku lagi radang tenggorokan, kebanyakan jajan micin jadi gini deh hehe." Fera lupa mengecilkan pita suaranya, karena Feli memilikki suara yang lebih kecil darinya.

"Pantesan, banyak minum aja ya yang pasti sembuh. Jaga kesehatan ya Yang,aku sayang kamu."

"Iya Sayang."

Fera menjawab ucapan romantis Daffa tanpa rasa bersalah, yang awalnya hanya menjalankan apa yang jadi rencana nya, namun sekarang ia terlihat nyaman menjadi sosok Feli.

Semakin hari ia semakin mengabaikan Andi. Padahal sbelum sepeninggal Feli, Fera selalu berkomunikasi dengan sahabatnya itu setiap hari, Andi bagaikan diary hidup Fera. Sampai pada hari kelima pesan teks dan telepon Andi diabaikan oleh Fera. Kini Andi kesal dan tidak menghubungi Fera lagi.

"Aku tidak paham kenapa Fera jadi berubah seperti ini, aku merasa janggal dengan keadaan ini. Ah! Kenapa aku peduli?! Dia saja tidak membalas pesanku. Biarkan sajalah dia melakukan perannya, yang penting aku sudah mengingatkan."ucap Andi kesal pada dirinya sendiri.

Saat ini Fera sedang berada di fase tidak peduli dengan apapun yang nantinya akan terjadi. Ia hanya mau menjalankan rencananya tanpa berfikir panjang atau berdiskusi pada orang lain atas sikapnya ini yang menurutnya ia benar.

Namun Fera semakin penasaran atas ucapan Papa waktu itu.

"Memangnya, separah apa sih masalah orang tuaku dengan keluarga besarku sampai kabar duka pun tidak perlu diberitahu pada mereka? Kan mereka berhak tau."

Fera berfikir keras diatas tempat tidurnya sambil memandangi langit kamar, lima menit kemudian ia tertidur dan berminpi hal yang sangat aneh.

Ia berada di tengah hutan dengan dua persimpangan didepanya. Yang satu menuju ke kanan, dan yang lainnya ke kiri, ada dua pemandangan berbeda menuju jalan itu,jalan kenan dipenuhi oleh pepohonan yang berwarna hijau segar, sementara jalan yang kiri dipenuhi oleh pepohonan yang sudah berguguran sebagian dan mengering. Fera tepat berada di tengah kedua jalan tersebut dan tidak tahu mana arah yang harus diambil.

"Dimana aku? Tolong, ada seseorang disini?!!" seru Fera dalam mimpinya.

Kemudian munculah sesosok perempuan berparas cantik, mengenakan gaun putih, rambut terurai dan wajahnya bersinar bagai bidadari. Tak lain dan tak bukan itu adalah saudara kembarnya, Felicia.

"Fe-Fe-Feli! Felicia! Kamu masih hidup? Fel, aku rindu sekali padamu!"

Fera berlari ke arah Feli dan mencoba memeluknya namun ia tak bisa, langkahnya tertahan seperti ada dinding kaca yang menghalangi mereka berdua. Feli hanya tersenyum dan belum mengucapkan sepatah katapun.

"Fel, aku ga sanggup kehilangan kamu, tanpa kamu hidup ku ga ada artinya!"

"Saudaraku, aku menyayangimu. Sekarang alam kita sudah berbeda. Namun, ada satu hal yang masih membuatku belum bisa pergi dengan tenang."

Fera terdiam menatap Feli

"Hentikan semua ini Fer, aku tahu maksudmu baik, namun percayalah. Ini tidak akan berakhir baik."

Glek.

Fera menelan ludah dengan wajah dan terpaku tanpa kata.

"Apa maksudmu Fel?"

"Kamu tahu maksudku Ferania."ucap Feli sambil tersenyum.

Seketika Fera bangun dari mimpinya, keringat membasahi seluruh tubuh dan wajahnya, ia kaget, apa maksud yang dibicarakan Feli dalam mimpinya.

"Apakah ia tahu semuanya?"

Waktu menunjukkan pukul 3 pagi, Fera tidak bisa melanjutkan tidurnya lagi karena ia masih gelisah dan rasa kantuknya hilang, tiba tiba ia teringat pada Andi dan memutuskan untuk meneleponya dan bercerita soal mimpi nya tadi. Ia bahkan tak ingat kalau akhir akhir ini ia telah mengabaikan Andi karena ia terlalu sibuk dengan ambisinya dengan Daffa.

4 kali menelepon Andi tidak juga diangkat, entah apa yang sedang Andi lakukan.

"Ah, mungkin ia sibuk. Tapi tidak biasanya dia seperti ini."

Fera terdiam dan berfikir apa benar kalau rencana nya selama ini akan berakhir buruk seperti apa yang dikatakan Feli? Tapi ia tetap yakin kalau jalan yang ia tempuh ini jalan yang benar karena untuk kebaikan ia dan mendiang saudara kembarnya.

"Sayang, aku akan pulang minggu ini, aku kangen dan tidak sabar bertemu denganmu, tunggu aku ya!"

Sebuah pesan dari Daffa masuk di hp Feli, akhirnya momen yang ia tunggu tunggu pun datang, ia tak sabar untuk bertemu Daffa dan memainkan peran Feli dengan baik sesuai dengan rencananya. Setelah bermimpi hal tentang Feli, tetap saja ia tidak merubah rencananya, padahal dalam lubuk hati kecilnya ia tahu kalau ini tidaklah benar dan janggal namun ia mengikuti ego nya.

"Aku akan menyelesaikan ini semua dengan cepat dan baik, aku yakin suatu saat Feli akan senang atas apa yang aku lakukan ini nantinya. Tuhan, tolong beri aku kesempatan, agar rencanaku berjalan lancar."

Ia menyimpan hp Feli dan kembali tidur dengan senyuman dan semangat menyambut hari esok, karena ia berencana akan membongkar dan memilah milah barang kepunyaan Feli. Termasuk baju baju yang masih tersimpan rapi di kamar nya. Kali ini ia benar benar terlena dengan rencana nya sendiri dan entah kapan akan berhenti.