Pukul 06.00 WIB, suara alarm ponsel yang berada di atas nakas, membangunkan sosok wanita dengan rambut panjangnya yang tergerai di bawah bahu. Dengan masih memejamkan kedua matanya, wanita yang tak lain adalah Arzelyn Selena mengarahkan tangannya ke atas nakas untuk mengambil ponsel miliknya yang membuatnya tersadar dari alam bawah sadar.
Namun, bukannya ia langsung bangun untuk segera bersiap, tetapi malah membenamkan wajahnya di bawah bantal.
"Ah ... lima menit lagi." Melanjutkan tidurnya, tetapi saat ia mengingat suara tembakan dari pistol ketika Axel menghubunginya, membuat ia langsung membuka mata dan bangkit dari posisinya yang awalnya meringkuk menjadi duduk di atas ranjang.
Dengan frustasi ia mengacak rambutnya, "Sial! Gara-gara si bocah edan itu, tidurku tidak nyenyak. Karena semalaman aku memikirkan pria psyco itu yang selalu menyebut pistolnya, sayang dan juga tentang pelepasan. Dia benar-benar sangat gila."
Dengan tidak bertenaga, Zelyn sudah menurunkan kaki telanjangnya untuk menapak lantai dingin itu dan dengan malas berjalan ke kamar mandi untuk segera mandi dan bersiap untuk berangkat. Setelah 15 menit berlalu, ia sudah berjalan keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dengan kepala yang terlilit handuk kecil.
Kemudian berjalan ke arah walk in closet untuk memilih pakaian yang akan dikenakannya untuk perjalanan ke Bali. Zelyn memilih celana panjang berwarna biru dan blazer yang modis.
"Ini adalah sebuah perjalanan membosankan, bukan untuk berkencan. Jadi, berpenampilan saja sederhana dan biasa saja, Zelyn. Jangan berlebihan."
Begitu selesai berpakaian, ia kini terlihat sudah berdiri di depan cermin dan memakai make up tipis, mascara dan lipstik berwarna nude. Beberapa saat ia mengamati pantulan penampilannya dari ujung kaki hingga ujung kepala sesaat setelah menyisir rambut panjangnya dan mengeringkannya dengan hairdryer.
Tidak perlu waktu lama, penampilannya terlihat sangat sempurna. "Perfect." Tersenyum di depan cermin, "Seandainya Ardhan melihat penampilanku saat ini, dia pasti sibuk memujiku."
Zelyn berjalan ke arah meja di sudut kanan ruangan kamarnya dan meraih tas selempang, memasukkan ponsel pintar miliknya ke sana. Begitu juga dengan sebuah koper berisi pakaiannya untuk ganti saat sebulan berada di Bali. Ia menarik pegangan koper ke atas agar memudahkannya untuk menariknya.
Beberapa saat ia mengamati suasana kamar yang akan ditinggalkannya selama sebulan. "Selamat tinggal kamarku tersayang. Aku akan merindukan kamarku yang nyaman."
Puas menatap ruangan pribadinya dan mengucapkan salam perpisahan, ia mulai membuka pintu dan berjalan keluar. Kaki jenjangnya melangkah menuruni anak tangga dan begitu sampai di lantai dasar, ia bertemu dengan wanita yang sudah duduk di meja makan bersama pria yang tak lain adalah papanya.
"Sarapan dulu, Sayang. Mama pikir kamu belum bangun tadi? Karena tidak ada suara dari kamarmu, baru saja Mama ingin menyuruh bik Rani membangunkanmu," ucap mama Zelyn yang terlihat tengah mengoles roti dengan selai kacang dan menyerahkannya pada putrinya.
Zelyn menerima roti buatan mamanya dan langsung menggigitnya. "Kali ini klien perusahaan sangat bawel dan rewel, Ma. Karena itulah aku tidak boleh sembarangan seperti biasanya."
"Itu berarti bagus untuk melatih kedisiplinanmu, Zelyn. Kamu selalu susah dibangunin dan selalu terburu-buru saat berangkat ke kantor. Berarti klienmu itu akan membawa pengaruh yang baik untukmu. Semoga saja, pulang dari Bali, kamu berubah menjadi wanita yang rajin bangun pagi," ujar papa Zelyn dengan terkekeh.
Zelyn hanya tersenyum kecut karena merasa tersudut berada di antara orang tuanya yang tidak mengetahui kenyataan yang sebenarnya mengenai Axel. Ia buru-buru menghabiskan sarapan dan bangkit berdiri, lalu berjalan mendekati orang tuanya, untuk mencium pipi mereka setelah berpelukan erat.
"Aku berangkat, Ma, Pa. Doakan putrimu, agar semuanya berjalan lancar."
Kedua orang tua Zelyn sudah berpesan macam-macam pada putrinya tersebut. Momen perpisahan itu diiringi derai air mata di antara ibu dan anak itu. Kemudian mengantar kepergian Zelyn ke area halaman dan masuk ke dalam taksi yang sudah menunggu di depan rumah.
Zelyn tadi sudah memesan taksi untuk mengantarkannya ke hotel. Sebenarnya ia benar-benar merasa sangat kesal karena harus menjemput Axel. Padahal, ia ingin langsung berangkat ke bandara saja. Akan tetapi, ia tidak mungkin melakukannya karena masih sayang nyawanya.
"Aku seperti seorang baby sitter saja karena harus menjemput bayi bongsor itu." Bersandar di punggung jok mobil dan memejamkan kedua matanya. Menunggu hingga taksi tersebut tiba di hotel.
Setelah 30 menit berlalu, Zelyn terlihat turun dari taksi dan langsung masuk ke lobby hotel. Ia berjalan ke meja resepsionis dan menitipkannya pada pegawai wanita berseragam hitam tersebut.
Tidak membuang waktu, ia yang berjalan ke arah lift, memeriksa mesin waktu yang melingkar di tangan kirinya. Memperhatikan ayunan jarum jam yang bergerak tersebut.
"Pukul 07.50, untung aku tidak terlambat." Zelyn yang saat ini sudah berada di dalam lift, tengah menatap angka digital di atasnya dan beberapa saat kemudian, pintu kotak besi itu pun mulai terbuka. Ia buru-buru berjalan keluar untuk menuju ke ruangan kamar yang menjadi tempat tinggal Axel.
Begitu sampai di depan kamar itu, ia mengetuk pintu beberapa kali. Namun, pintu tak kunjung terbuka, seolah tidak ada kehidupan di dalam kamar. Ia menempelkan telinganya dan dekat pintu untuk mendengarkan gerakan di balik pintu.
"Sepi sekali. Apa si bocah edan itu sudah pergi ke bandara?" Zelyn mengetuk pintu lagi, "Tuan Axel, apa Anda di dalam?" ucap Zelyn dengan lirih agar tidak membangunkan para tamu yang ada di kamar sebelah.
"Sepertinya aku sedang dikerjai."
Zelyn merengut beberapa kali karena merasa sangat kesal tidak ada jawaban dari dalam. Kemudian ia berbalik badan, berniat untuk pergi dan langsung berangkat ke bandara saja. Namun, ia mendengar suara pintu yang dibuka dari dalam.
Refleks ia berbalik badan dan melihat Axel berdiri di pintu dengan tubuh bagian atas yang telanjang karena tidak memakai baju dan menampilkan otot perut yang sangat seksi.
"Astaga, Tuan Axel." Menutup wajahnya dengan telapak tangannya agar tidak melihat tubuh telanjang yang hanya memakai bawahan boxer.
"Bukankah Anda menyuruhku datang ke sini pukul 08.00 WIB?"
Bibir sensual Axel hanya membentuk sebuah cengiran arogan. "Aku memang menyuruhmu datang ke sini jam delapan. Akan tetapi, bukan berarti kita terbang jam sembilan, karena penerbangan jam dua belas nanti."
"Kalau begitu aku kembali nanti," ucap Zelyn yang merasa sangat kesal dan berniat untuk segera pergi dari sana. Tentu saja ia benar-benar merasa muak melihat pria yang menurutnya sangat menyebalkan.
"Siapa yang mengijinkannya?" Axel sudah mengaitkan lengan di siku Zelyn dan menariknya ke dalam kamar. "Aku ingin bermain-main sebentar denganmu untuk menghilangkan rasa bosan."
TBC...