Selesai bersiap, Nio memutuskan pergi menuju ruang makan lebih dulu. Dia meninggalkan Allena yang sudah selesai mandi dan tengah bersiap di kamar.
Seraya melangkah menuruni anak tangga, Nio menghubungi sekretarisnya. Dia menanyakan persiapan meeting pagi ini, dan meminta agar jangan sampai ada kesalahan. Dia menginginkan semua laporan perusahaan ada di meeting pada pagi ini. Meeting ini memang diadakan selama tiga bulan sekali, dan itu meeting yang cukup penting.
Terlebih, Nio baru saja kembali dari perjalanan bisnisnya. Dia pun ingin tahu apa saja yang terjadi di perusahaan itu selama dirinya berada dalam perjalanan bisnis.
Selang beberapa menit, suara hentakan sepatu pantofel wanita berhak 3 sentimeter menggema dan perlahan semakin mendekati pendengaran Nio.
Nio segera mengalihkan pandangannya ke arah datangnya suara yang amat dia kenali itu. Ya, itulah di sana, istrinya tengah berjalan mendekat ke arahnya seraya membawa tas kerjanya. Pagi itu, Allena berpakaian lebih formal dari biasanya.
Nio tersenyum. Penampilan yang Nio lihat setiap pagi di hari kerja, kecuali di hari libur dan tentu saja penampilan Allena selalu menarik dalam pandangannya. Selalu memikatnya, lagi dan lagi. Tak peduli meski Allena hanya memakai pakaian rumahan dengan rambut acak-acakan seperti tadi pagi, Nio akan tetap menyukainya.
Allena pun menyunggingkan senyumnya ketika menyadari Nio tengah memperhatikannya dari meja makan. Setelah itu, Allena duduk di meja makan tepat di dekat Nio yang duduk di kursi utama.
Allena menoleh ke arah kedua pelayan yang masih berdiri di sana. Hanya melihat kedua pelayan itu, dan mereka tentu sudah mengerti jika Allena sudah memberikan tatapan seperti itu, itu artinya mereka harus meninggalkan ruang makan dengan segera. Mereka pun akhirnya pergi dan Allena memulai sarapannya bersama Nio.
"Apa hari ini kamu sibuk?" tanya Nio.
"Hem... Aku akan sibuk, Sayang. Mungkin, aku akan pulang lewat dari jam biasanya. Hari ini juga aku akan menghadiri pertemuan di luar," ucap Allena.
"Hem... Tak masalah, asal tak lupa mengirimkan pesan padaku, dan memberitahukan tempatmu berada padaku, dan jangan melupakan tubuhmu. Jangan biarkan kamu berpikir dengan perut tak terisi apapun," ucap Nio seraya tersenyum dan mulai menyesap kopi hangatnya.
Ya, itulah syarat yang Nio minta. Tak peduli di mana pun Allena berada, sesibuk apapun Allena, Allena tak boleh melupakan untuk mengabari Nio. Maka Nio takan masalah dengan apapun yang Allena lakukan selama tak melanggar aturan dan tak mengkhianati cintanya yang sudah tak dapat terungkapkan dengan apapun lagi.
Allena tersenyum, dia mengulurkan tangannya ke arah wajah Nio.
"Tentu saja, aku takan melupakan kebiasaan itu," ucap Allena dan Nio pun tersenyum. Dia sangat menyukai sentuhan lembut tangan Allena. Sentuhan itu selalu mampu menyingkirkan kegelisahan dan rasa lelahnya. Ah, sungguh. Semua tentang Allena selalu dia sukai, tanpa terkecuali.
Nio beranjak dari tempat duduknya, dia melangkah sedikit dan mengangkat tangan kanannya seolah memberikan isyarat pada Allena. Allena tersenyum, dia tentu mengerti maksud Nio ketika Nio melakukan hal itu. Allena pun segera berdiri dan meraih tangan Nio.
Nio menarik tangan Allena perlahan, dan melingkarkan tangannya di pinggang Allena ketika Allena memeluk tubuhnya.
"Kamu melupakan sesuatu," ucap Nio.
Dahi Allena berkerut.
"Apa itu?" tanya Allena bingung. Rasanya, pagi ini dia tak melupakan satu hal pun yang berkaitan dengan Nio.
"Sayang," ucap Nio seraya menajamkan tatapannya. Allena pun semakin tak mengerti.
"Uh, Sayang! Kita ada meeting!" Allena memekik ketika Nio mengangkat tubuhnya layaknya karung beras.
"Hanya sebentar, aku janji!" ucap Nio dan membawa Allena kembali ke kamar.
***
Nio membawa Allena ke pintu menuju ruang ganti, dia menurunkan Allena di sana. Setelah itu, dia menyodorkan pergelangan tangannya ke hadapan Allena.
"Jam tanganku belum ada di tanganku, bantu aku memakainya," ucap Nio seraya tersenyum.
Allena terdiam cukup terkejut. Di kepalanya sudah dipenuhi pikiran liar karena Nio tiba-tiba saja membawanya ke kamar. Nyatanya, Nio membawanya ke kamar lantaran Nio belum memakai jam tangannya. Ah, ya. Mungkin dia saja yang sudah berpikiran terlalu banyak. Nyatanya, dia pun masih datang bulan. Mungkin juga Nio ingat akan hal itu. Hanya saja, Allena tak berpikir bahwa Nio belum memakai jam tangannya.
Sesaat kemudian dahi Allena berkerut seraya menatap Nio. Dia tak mungkin melupakan jam tangan suaminya itu. Jelas-jelas dia akan menyiapkannya bersamaan dengan pakaian yang akan suaminya itu kenakan ke kantor. Biasanya, Allena meletakan jam tangan yang dia pilihkan untuk Nio di atas meja rias bersama dengan dompet dan ponsel Nio. Hal itu untuk memudahkan Nio membawanya tanpa harus mencarinya di mana-mana.
Allena bergegas memasuki ruang ganti, dia melihat jam tangan Nio masih berada di atas meja rias beserta dompet Nio. Allena pun mengambil kedua benda yang penting bagi suaminya itu, selain ponsel tentunya. Karena di jaman seperti ini, seseorang sudah bergantung pada ponsel. Ya, seperti sudah menjadi kebutuhan yang wajib bagi orang-orang.
"Kamu tahu, aku selalu meletakan semua keperluanmu di meja rias. Jangan bilang kamu tak melihatnya?" ucap Allena seraya menatap curiga pada Nio. Allena menjadi berpikir, jangan-jangan suaminya itu ingin mengerjainya.
"Hem... Aku memang sengaja. Apa kamu keberatan?" ucap Nio tanpa menunjukan ekspresi apapun di wajahnya. Hanya wajah datar yang terpampang dalam pandangan Allena.
Allena memutar bola matanya. Namun, sesaat kemudian dia tersenyum ketika Nio kembali menyodorkan tangannya.
"Pakaikan, Sayang," ucap Nio.
Allena mengangguk dan memakaikan jam tangan itu ke pergelangan tangan Nio.
Biasanya, Nio tak pernah seperti ini. Buktinya, dasi yang dia siapkan untuk Nio saja sudah bertengger di leher Nio. Ya, Nio memakai dasinya sendiri. Namun, entah mengapa pagi ini suaminya itu mulai bertingkah dan mencari perhatiannya. Padahal, Nio juga bisa memakai jam tangannya sendiri, biasanya pun seperti itu jika pikiran Nio sedang normal. Pikir Allena.
Sikap Nio yang seperti itu muncul setelah keduanya menikah. Dan Allena? Dia tak pernah risi ketika harus menghadapi sikap kekanakan Nio seperti saat ini. Dia justru senang memanjakan Nio. Itulah caranya menyenangkan Nio agar Nio tak pernah melihat wanita manapun selain dirinya, terlebih Allena tahu Nio kerap kali di kelilingi wanita-wanita cantik dan seksi di luaran sana.
Dan, ya. Itu berhasil membuat Nio, pria penuh wibawa yang persis dengan papinya, yaitu Abraham Sasongko, pimpinan sekaligus pendiri Sasongko Group, menjadi bergantung pada Allena.
Misalnya ketika Allena harus melakukan perjalanan bisnis dan menuntutnya untuk meninggalkan Nio di kediaman itu, Nio akan menghubunginya puluhan kali, bahkan mungkin ratusan kali jika Allena tak memberikan kabar pada Nio tepat waktu. Nio akan mencecarnya dengan banyak pertanyaan. Sikap Nio memang terkesan posesif, tapi sekali lagi, sejauh ini, Allena tak pernah sedikit pun merasa risi. Dia selalu senang, karena dia mengerti, begitulah cara Nio mengungkapkan cinta yang dirasakannya terhadap dirinya.
Orang lain mungkin takan mempercayainya, bagaimana mungkin seorang Antonio Sasongko yang begitu berwibawa di luar sana, terlebih di kalangan para pebisnis, justru ketika di rumah terkadang sifat kekanakannya muncul dan bertingkah seperti saat ini. Ah, ya. Tentu saja hanya Allena yang tahu. Allena tak hanya wanita Nio, melainkan pendamping hidup Nio. Dia mengetahui semua sisi dalam diri Nio, tanpa terkecuali.