"Lebih baik kaki ku ini kesemutan dari pada-"
"Terserah." Potong Flower cepat.
--
El-Flihco Hospital
Berlin, Jerman
Setelah berbincang dengan orang keprcayaannya. Austin bergegas ke Rumah Sakit. Sesampainya di sana dia pun di kejutkan dengan sesosok tubuh kekar yang tampak duduk pada ranjang Rumah Sakit. Sepertinya lelaki tersebut baru saja selesai mandi terlihat dari rambutnya yang basah dan di sisir ke belakang.
Rasa tak percaya seketika itu juga menyergap. Bahkan tubuh Austin di buat mematung karenanya. Berulang kali menepuk-nepuk pipinya sendiri. "Ini nyata, kan?" Lirihnya beriringan dengan langkah perlahan menuju sisi ranjang. "Darren … "
Suara yang sudah tidak asing telah memaksa Darren menolehkan wajahnya dengan segera. Seketika itu juga membeliak tak percaya. "Austin? Benarkah ini kau?" Menggunjang-gunjang pundak kekar. Austin tidak menjawab kecuali langsung memeluknya dan tentunya pelukan khas lelaki.
"Jangan merusak pasaranku." Mendorong tubuh kekar.
Austin berdecih kesal. "Cih, kau ini."
Darren terkekeh kecil. "Bagaimana kabarmu?"
Yang di tanya langsung membuka lebar dada bidang. "Seperti yang kau lihat."
Seketika itu juga tatapan Darren meremang. "Tak ku sangka kau akan pulih secepat ini."
"Dan setelah aku pulih, kau malah terbaring koma." Sahut Austin cepat. Darren pun menanggapinya dengan seulas senyum tipis, sangat tipis hingga sahabatnya saja tidak tahu bahwa dia sedang tersenyum.
"Kau ini sangat menyedihkan sekali. Bagaimana kau sampai mengalami kecelakaan tragis seperti itu?" Semua ini pasti karena mantan tunangan mu itu, kan? Lanjutnya dalam hati berpadukan dengan tatapan menajam. Yang di tatap merasa tidak nyaman sehingga langsung memukul pelan pundak kekar. "Jangan menatapku seperti itu. Aku bukan penjahat yang hendak kau adili, bodoh."
Austin terkekeh kecil. "Aku senang melihatmu kembali sehat. Welcome back … "
"Thank you, Austin. Berapa lama aku terbaring koma? Katakan!"
"Aku tidak tahu." Jawab Austin acuh.
Darren langsung menggeram kesal. Dari dulu sampai sekarang kau tetap saja menyebalkan. Makinya dalam hati.
Di tatapnya Austin dengan sorot mata menajam. "Sejak kapan kau kembali? Dan siapa yang memberitahu bahwa aku di rawat di Rumah Sakit ini?"
Pertanyaan bodoh yang baru saja Darren layangkan benar-benar membuatnya kesal. Lelaki itu pun menekankan sebelah tangan ke sisi ranjang, sementara tangan satunya mengepal erat. "Aku kembali tepat di saat kau kecelakaan, dan kau tanya apa tadi? Bagaimana aku tahu bahwa kau di rawat di Rumah Sakit ini?"
"Hh mm,"
"Tentu saja aku tahu, karena aku lah yang membawamu ke sini, bodoh." Nada suaranya sedikit meninggi. Terdengar dengan sangat jelas luapan emosi di sana.
Seolah mengabaikan perkataan Austin. Sepasang manik biru terlihat mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Di mana, Kenzie?"
"Dia masih di, London."
Kening Darren mengkerut seketika. "London?"
"Hh mm,"
Dia pun langsung meraih laptop, akan tetapi sebelum membukanya, laptop tersebut sudah di rebut oleh Austin. Tak ayal atas kelancangannya itulah di hadiahi tatapan tajam mematikan. Austin yang sudah sangat mengenal Darren tampak acuh. Lelaki itu pun seolah tak terusik oleh tatapan menajam setajam mata pedang yang di hunjamkan secara langsung ke jantungnya. Sementara itu, Darren masih saja melemparinya dengan ketajaman penuh.
"Kau ini sedang dalam masa pemulihan. Gunakan waktumu untuk beristirahat.
Geram, itulah satu kata yang menggambarkan bagaimana perasaan Darren saat ini. Sorot matanya berubah nyalang. "Austin, kembalikan laptop ku!" Sayangnya, Austin sama sekali tak mengindahkan. Tanpa rasa bersalah sedikit pun langsung menuju sofa panjang.
Refleks, Darren semakin terpancing ke dalam amarah. Dia pun melemparkan bantal ke arah lelaki tersebut. Namun, secepat kilat di tangkis olehnya. "Kau ini sangat menyedihkan sekali."
"Sekali lagi ku katakan. Bahwa ke mari laptop-"
"Sebaik mungkin gunakan waktumu untuk beristirahat. Urusan pekerjaan biar aku yang handle. Oh, iya besok bertepatan dengan acara peluncuran product baru dan aku sudah memilih model paling bergengsi tahun ini. Kau pun juga harus memakai jasanya. Bukankah dalam waktu dekat Gilbert Company juga akan meluncurkan-"
"Itu masih lama." Potong Darren cepat. Bersamaan dengan itu dia bangkit dari ranjang. Lelaki tersebut tampak bersiap-siap sehingga memancing Austin melayangkan pertanyaan. "Kau mau ke mana? Apakah dokter sudah memperbolehkanmu untuk pulang?"
"Tidak ada yang bisa menghalangi jika aku sudah memutuskan."
"Shittt, dasar laki-laki dengan arogansi tinggi. Arogansi mu ini sama sekali tak sebanding ketika kau terbaring koma dalam kondisi tak sadarkan diri. Dasar menyebalkan!"
"Kau mengatakan sesuatu?" Tanyanya dengan posisi memunggungi. Yang ditanya tidak menjawab sehingga memaksa wajah tampan menolehkan wajahnya sekilas. Di saat bersamaan sang dokter memasuki ruangan dan sangat di kejutkan dengan penampilan Darren yang sudah rapi dengan kaos polo yang di padupadankan dengan celana berbahan katun.
"Saya harap Anda tidak menyalahi protokol kesehatan. Anda belum di ijinkan untuk meninggalkan Rumah Sakit. Anda masih dalam masa pemulihan dan seharusnya sekarang ini-" sang dokter sengaja menjeda kalimat ketika di suguhi tatapan tajam mematikan dari sepasang manik biru.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun langsung melenggang keluar ruangan. Tak lupa membanting pintunya dengan sangat keras sehingga menimbulkan suara dentuman.
Di suguhi sikap penuh arogansi tinggi membuat sang dokter tidak bisa berbuat apa-apa. Terlebih, dia tidak mau mencari masalah dengan lelaki paling berkuasa tersebut.
Austin terlihat mendekati sang dokter kemudian menepuk pundaknya perlahan. Tidak mau memancing kekesalan seorang Darren Ewald Gilbert, dia pun bergegas menyusul.
Saat ini pun keduanya tengah dalam perjalanan menuju pesawat jet yang akan mengantarkannya ke London. Wajah tampan menoleh berpadukan dengan sorot mata menggelap. "Bagaimana perkembangan perusahaan selama aku terbaring koma?"
Yang di tanya tampak acuh. Dia masih saja menguncikan tatapannya pada layar laptop. Tidak suka di acuhkan, Darren langsung merebut laptop tersebut dan hendak melemparnya keluar jendela.
"Perusahaan mu dalam kondisi aman terkendali, puas?"
Dasar arogan! Maki Austin dalam hati.
"Apakah kau juga akan mengundang Mr. Borneo ke dalam acara tersebut."
Austin melemparinya dengan tatapan sekilas. "Aku tidak mengenalnya."
"Shitt, jadi kau masih menaruh dendam padanya?"
Austin menggeram kesal. "Haruskah pertanyaan bodoh seperti ini kau tanyakan, hah? Kau baru saja bangun dari koma, akan tetapi sudah menguras habis emosiku."
"Austin ... Austin ... " menggeleng-gelengkan kepala. "Tak ku sangka pebisnis muda Mr. Austin Matthew Bholthon, sangatlah pendendam."
Terlalu kesal di suguhi sikap sahabatnya yang menurutnya sangat menyebalkan. Dia pun memberi perintah kepada supir pribadinya untuk menambah kecepatan. Sayangnya, laju mobil tak sesuai dengan keinginan. Akhirnya, dia pun memerintahkan supaya mobil di pinggirkan.
Saat ini gantian Austin yang mengemudi. Lelaki tersebut mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi membuat mobil tersebut berulang kali mengeluarkan suara decitan. Sementara Darren tak henti-hentinya memaki. "Jika kau mau mati, mati saja sendiri!"
Ekor mata Austin melirik sekilas. "Takut, huh?" Bersamaan dengan itu semakin menambah kecepatan sehingga mobil tersebut serasa seperti di lemparkan.
"Dasar CEO labil." Maki Darren
🍁🍁🍁
Next chapter ...