Chereads / Perjalanan Menuju Puncak Kebahagiaan / Chapter 4 - Benih Cinta (2)

Chapter 4 - Benih Cinta (2)

Di dalam heningnya malam yang dibalut derasnya hujan, dengan nada seirama mengikuti gerakan. 2 bayangan kulit manusia saling bersentuhan, terlihat dari suatu sudut goa dengan penerangan api yang hampir padam.

Tanah dingin dengan sedikit bebatuan, menjadi alas dari dua kaki berlutut yang saling berhadapan. Pipi memerah kala tak sengaja saling memandang, membuat malam yang penuh ancaman tak lagi dihiraukan.

Beberapa kali terdengar bibir mungil mengeluarkan lenguhan, membuat Dody semakin tak tertahankan. Dengan sedikit paksaan, di tariknya kuat namun tetap perlahan.

"Awwww... Jangan digituin..." teriak putri menggeliat berusaha melepaskan.

Mendengar jeritan gadis yang merasa tak nyaman, bukannya segera berhenti malah semakin mempererat pegangan dengan kedua tangan.

"Ehhh... Bentar lagi juga keluar." balas dody acuh.

Dengan posisinya yang setengah duduk dan sedikit membungkuk, membuat putri semakin malu. Sehingga dalam benaknya, hanya ada rasa ingin cepat keluar dari situasi canggung yang menerpa.

"Cepetan tarik!"

"Dari tadi gitu mulu sih! Kalau udah gak bisa, yaudah." teriaknya dengan nada kesal.

"Hahhh... Berisik!"

"Kalau kamu terus-terusan make baju basah sepanjang malam, bisa-bisa masuk angin."

"Salah siapa hujan-hujan malah ke hutan. Dan lagi, kenapa singa betina bisa takut denganmu?" gerutu Dody dengan terus berusaha menarik keluar pakaian tradisional milik Putri yang terlalu ketat, dan karena basah sehingga sangat sulit untuk dilepaskan.

Sebenarnya sih awalnya putri tak ingin melepaskan pakaiannya meskipun basah kuyup dan terasa dingin, karena malu. Namun Dody yang terus menerus membujuknya karena takut masuk angin pun membuat putri menurutinya.

Akan tetapi, baju ketat yang membungkus tubuh indah tabib wanita itu terasa begitu enggan berpisah dari pemiliknya.

Dody yang menyadari putri sedang kesulitan pun, tanpa rasa malu segera beranjak dan membantu menarik baju gadis muda itu. Hingga akhirnya baju itu berhasil terlepas, meskipun harus mengerahkan beberapa tenaga.

Pada masa itu, pakaian tradisional yang digunakan di kalangan masyarakat Kerajaan Mahasurya memiliki beberapa lapis bagian. Sehingga meskipun sudah melepaskan 1 lapis baju luarnya, mereka berdua tetap mengenakan pakaian yang menutupi bagian tubuhnya.

"Baiklah! Sekarang kamu pake bajuku yang sudah kering meskipun sedikit bau asap." ucap Dody sembari menyodorkan pakaianya yang diangkat dari kayu di dekat api.

"Kenapa diam aja? Apa baju dalamnya juga basah?" tanya Dody polos.

Putri menggelengkan kepalanya, "Hmm. Enggak..."

Dody yang merasa bingung pun hanya mengernyitkan keningnya, "Heh...."

"Sendainya aku gak dateng tepat waktu, apa yang akan kamu lakukan tadi?" dengan langkah mendekat, Putri balik bertanya dengan nada serius.

"Hahaha, cuma bertemu dengan hewan buas, bukanlah masalah besar..." Dody mengayunkan tangannya, sembari membuat alasan karena tak ingin melihat Putri cemas.

Dengan raut wajah yang tetap sama dan posisi yang tak berubah, Putri terus menatap tajam wajah Dody menandakan ia butuh jawaban serius.

Dody yang menyadarinya segera berkata, "Maaf. Terima kasih!"

"Demi aku, kamu sampai kehujanan gini. Dan karena kamu, aku masih bisa berdiri disini. Sudah... "

"Plokkk..." sebuah tamparan keras dari kulit tangan yang begitu halus mendarat di pipi kanan Dody sebelum ia selesai mengucapkan kalimatnya.

"Ini untuk kesalahan mu, karena terlalu bertindak gegabah." ucap putri tegas.

Dody masih terdiam dan tak menunjukkan reaksi apapun. Namun sebuah tamparan sekali lagi mendarat di pipi kirinya.

"Plokkkk..."

"Ini karena kamu tak memikirkan perasaanku dan bertindak semaumu."

"Apa kamu tahu, betapa khawatirnya aku? Apa kamu tahu bagaimana perasaan mereka yang kamu tinggalkan begitu saja jika kamu benar-benar mati?"

"Asal kamu tahu, 3 petir berwarna biru tadi itu adalah sebuah tanda lahirnya hewan buas yang lulus bertapa. Yang akhirnya memiliki akal dan pikiran layaknya manusia,"

"Kalau sampai terjadi apa-apa denganmu bagaimana? Lain kali jangan bertindak bodoh, tolong...!" butir-butir air mata terlihat mulai menetes dari sudut mata sipitnya.

Putri yang mulai terisak semakin mendekatkan tubuhnya seraya memukuli dada Dody ringan, dengan kedua tangannya.

"Bodoh..."

"Dasar bodoh..."

"Emang bodoh..." beberapa kali terucap kata-kata yang sedikit kasar, namun sebenarnya itu adalah cara yang ia tunjukkan sebagai ungkapan rasa khawatirnya.

Dengan instingnya sebagai seorang lelaki, Dody mendekatkan kepalanya, "Clap!" suara dua bibir yang tiba-tiba menyatu.

Dody yang tak mengerti harus berkata apa, pada saat itu tiba-tiba terbesit dibenaknya untuk mengecup bibir merekah yang sedikit terbuka milik Putri. Diikuti dengan kedua tangan yang segera melingkar untuk memeluknya.

Sebuah gerak refleks sebagai bentuk pertahanan diri, tubuh putri melangkah mundur untuk menghindar. Namun tak benar-benar menolaknya, karena tak sedikitpun bibirnya yang saling beradu ia lepaskan tatkala Dody melangkah maju mengikutinya.

Sebuah kejadian yang hinggap bak langau, titik bak hujan, pun terus memanas layaknya dipandu tuntunan rasa penasaran dari keduanya.

Di tengah-tengah kesunyian kala kedua bibir saling membalas dan tak mampu lagi berkata. Di usapnya dagu yang melancip ujungnya, dengan tangan lembut menelusuri lekuk tubuh nan indah dan menggoda yang mulai roboh tak mampu lagi menopang berat badannya.

Bibir mungil dari tubuh yang menggeliat pun berucap dengan nada tersendat kala jari jemari mengoyak pakaianya, "Emh... Dody... Jangan mhhm... berlebihan..."

"Hemhhh..." Dody yang tengah berada di puncak hasratnya pun segera menghentakkan tubuhnya, dan tak menghiraukan apapun yang didengarnya.

Menujunjukan gerakan respon, kepala Putri menengadah menahan gejolak di dalam tubuhnya. Diiringi teriakan dahsyat sebagai tanda hilangnya mahkota yang selama ini dia jaga.

"Aaaaaaaaaaahhhkkkkkkk....." teriak Putri kala merasakan setiap inci otot di dalam tubuhnya mengejang dengan perasaan tak karuan.

"Hufttt.... Dody... "

"Jangan... Dod... Emmmhhhh...." ucapnya terus menolak, namun dengan tubuh yang tergeletak pasrah dan bibir bergetar.

"Putri.... Emhhhhh..."

Tatkala terdengar lenguhan tertahan Dody menggapai puncaknya. Seakan tahu saatnya meredupkan sinarnya, satu-satunya penerangan dari api yang menyala kini telah menyusutkan cahayanya.

Waktu berlalu dengan cepat, bagaikan kilat. Goa yang menjadi saksi bisu bersatunya 2 cinta dari pemuda asing dan tabib muda pun semakin gelap.

Sadar akan Dody yang telah terkapar lemas, segeralah ia mendorong dengan lembut tubuh yang seakan enggan beranjak dan tetap berada diatasnya.

Tampak dengan samar-samar dari balik cahaya remang, tubuh yang bergerak membelakanginya dengan suara isak tangis menggemuruh menyesakkan. Sudah jelas sangat menyesal, membuat Dody semakin berkecamuk tak karuan.

Tak tahan dengan situasi canggung itu, Dody segera berdiri dengan niat membenahi api. Namun langkahnya segera terhenti kala tangannya merasakan genggaman erat yang begitu hangat.

Putri beranjak dan segera duduk, "Jangan pergi..." ucapnya dengan suara berat.

Dody menoleh dengan melayangkan senyuman, "En. Tak kan pernah ku tinggalkan kau seorang diri!."

Kembali dalam posisi duduknya, Putri segera menyambut dengan menyenderkan kepalanya didada Dody.

Semerbak harum wewangian alami kala tangan mengusap rambut lurus terurai, membuatnya merasakan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan.

"Jangan tinggalkan aku. Aku takut..." ucapnya dengan tangan yang semakin erat memeluk tubuh Dody.

"Percayalah! Bahkan jika tinggal sepenggal nyawa yang tersisa dalam diriku, aku akan tetap memperjuangkan dirimu." balas Dody dengan mendaratkan kecupan mesra di kening Putri.

Mendengar jawaban yang memuaskan, Putri pun merasa tenang. Dalam dekapan erat seorang pria, tubuh letih itu pun segera memejamkan matanya kala sesekali terperanjat dalam igauanya.

Namun Dody yang menjadi sandaran dari mimpi indahnya, tak mampu memejamkan mata.

Benaknya berkecamuk, ingatannya bergayutan, tubuhnya pun memanas tatkala potongan kenangan suara lenguh manja meruak dalam telinganya.

"Ahhhhhhhh...."