Part 1
Wanita Pemaaf
Suara tiang besi yang dipukul beberapa kali menggunakan tongkat kecil oleh Pak Sarip si penjaga sekolah menandakan waktu belajar hari itu telah usai.
"Ya sudah, anak-anak! Jika tidak ada yang bertanya lagi, Bu Arin anggap semua sudah faham, ya?" Wanita manis berkulit kuning langsat itu mengakhiri sesi tanya jawab bersama murid-murid di kelasnya.
"Mari kita tutup pelajaran hari ini dengan doa," imbuhnya lagi.
Setelah semua murid kelas XII membuyarkan diri selesai bersalaman dengan dirinya, Arina membereskan semua buku-buku, lalu menatanya di atas meja. Kemudian ia memasukkan pensil dan sebuah buku kecil berwarna biru muda ke dalam tas selempang kesayangannya.
Menggunakan sepatu fan tofel tanpa hak tinggi, ia berjalan menyusuri setiap ruangan yang ada di sekolah itu menuju tempat ia biasa memarkir sepeda motor scoopy-nya.
Wajahnya yang manis tanpa polesan make up, serta alisnya yang tebal membuat dia terlihat cantik natural.
Sayang sekali di usianya yang sudah hampir kepala tiga, Arina masih betah hidup melajang. Meskipun kasak kusuk dari tetangga sering membicarakan tentang dirinya yang tak kunjung menemukan pendamping hidup.
Tidak jarang, siswa siswi di kelas melihat dirinya dengan pandangan iba. Akan tetapi perhatian seperti itu biasanya ia alihkan dengan bercerita tentang kisah-kisah inspiratif yang membuat dirinya dan murid-murid di kelasnya sadar akan pentingnya rasa syukur.
***
Hari jum'at menjadi hari yang selalu dinanti-nanti oleh seorang wanita berkulit kuning langsat seperti Arina. Pasalnya, setiap kamis sore dia akan berziarah ke makam sang kakek yang letaknya tak jauh dari tempatnya mengajar.
Sudah menjadi kebiasaan Arina. Ia akan mampir dulu ke makam sebelum pulang ke rumah. Dan semua orang sudah hafal dengan kebiasaannya itu.
"Eh, Bu Arin... Mau ke makam, ya?" sapa seorang Ibu yang kebetulan lewat di jalan depan pemakaman.
"Iya, Bu," jawab Arina sopan setelah dia turun dari sepeda motornya.
"Wah, Bu Arin ini rajin sekali, ya?" ucap ibu itu memuji.
Mendengar pujian dari si ibu, Arina hanya tersenyum menanggapinya.
"Kalau begitu saya permisi, ya, Bu," pamit Arina sopan.
"Oh, iya, silahkan, Bu Arin." Jawab si ibu mengangguk.
"Kasihan..., Bu Arin. Di usianya yang sudah matang, dia masih sendiri," samar-samar terdengar suara ibu tadi mengatakan hal yang membuat hati Arina kebas. Meskipun itu kenyataan yang semua orang juga tahu akan hal itu.
Setelah memarkir sepeda motor maticnya di bawah pohon beringin yang usianya sudah puluhan tahun. Arina langsung melangkah menuju makam sang kakek yang letaknya tak jauh dari tempatnya memarkir sepeda tadi.
Tak pernah lupa, Arina selalu membawa bunga yang sengaja ia petik dari kebun sekolah. Kemudian ia letakkan bunga itu di atas makam sang kakek.
Setelah membacakan yasin dan tahlil secara singkat untuk sang kakek dan para leluhurnya, Arina segera pulang ke rumah. Karena sebentar lagi ayahnya pasti sudah sampai di rumah.
Sesampainya di rumah. Bu Maryam, ibu Arina menyambutnya dengan senyuman yang hangat. Yang membuat Arina selalu merindukan sang ibu, jika ia sedang ada tugas di luar.
Bu Maryam juga menjadi salah satu alasan bagi Arina kuat menjalani hidupnya yang sunyi, juga menghadapi sikap sang ayah yang selalu menuntut kesempurnaan darinya.
Pak Salim, ayah Arina yang menjabat sebagai kepala sekolah di madrasah aliyah An-Nur tempat Arina mengajar, baru pulang. Karena setelah pulang dari sekolah tadi, ada pertemuan dengan semua kepala sekolah di gedung Graha Dika di Kabupaten.
"Assalamualaikum." Pak Salim mengucapkan salam setelah menutup pintu mobil dan menguncinya.
"Wa'alaikum salam." Jawab Bu Maryam yang sudah duduk di teras menunggu sang suami pulang. Segera dia cium tangan Pak Salim, membawakan tasnya lalu masuk ke dalam.
"Ayuna sudah sampai, Buk?" tanya Pak Salim yang sedang melepas sepatunya lalu memberikannya pada Bu Maryam.
"Sudah, Yah." Jawab Bu Maryam sambil menata sepatu Pak Salim pada rak sepatu.
"Kalau, Arin?" tanyanya lagi.
"Arin juga sudah pulang. Baru saja. Kan, sepedanya sudah ada di depan, Yah." Jawab Bu Maryam mengarahkan pandangannya ke sepeda motor Arina yang sudah terparkir di sebelah mobil sang suami.
Setelah melihat sepeda motor Arina yang sudah terparkir di sana, Pak Salim segera masuk ke dalam untuk membersihkan diri.
Ayuna, adik perempuan satu-satunya Arina yang berusia dua puluh tahun itu sedang duduk di depan televisi menonton drama Korea kesukaannya.
Melihat putrinya yang kedua duduk santai di depan televisi, Pak Salim langsung menegurnya.
Karena menurut Pak Salim, semua orang yang ada di rumah itu harus membaca yasin setiap kamis sore sesuai perintahnya.
"Yun..., ayo, ngaji dulu. Jangan televisi terus yang dilihat. Orang aneh-aneh kayak gitu, kok, digandrungi. Lihat tuh, Mbak kamu, sudah dari tadi mengaji!" cecar Pak Salim saat melihat gambar Kim Bum yang tampil di layar kaca.
"Iya, Yah." Seperti kambing yang dicucuk hidungnya, Ayuna pun menurut. Segera ia matikan televisinya dengan remote.
'Selalu saja, Mbak Arin. Dikit..., dikit..., Mbak Arin. Nyebelin banget sih. Jangan-jangan, aku ini anak pungut? Makanya, Ayah selalu bersikap nggak adil padaku.' gerutunya dalam hati.
Dengan berat hati, ia pun masuk ke kamarnya mengambil wudhu lalu mengaji sesuai perintah sang ayah.
Suara adzan maghrib yang berkumandang membangunkan Pak Salim yang sedang duduk membaca Qur'an di kursi ruang keluarga. Segera beliau sudahi bacaannya, lalu menaruh Qur'an-nya lagi di atas meja.
Bu Maryam yang sudah siap dengan mukena dan sajadah di tangannya segera menyusul sang suami di depan rumah untuk berangkat ke mushola bersama-sama.
"Arin sama Ayuna mana, Buk?" tanya Pak Salim melongokkan kepalanya melihat kedua putrinya yang tak kunjung keluar dari kamar mereka.
"Mungkin masih siap-siap, Yah." Bu Maryam memberi alasan supaya kedua putrinya tidak kena marah sang Suami.
"Rin... Yun... Ayo, jama'ah dulu!" teriak Pak Salim yang langsung dijawab bersamaan oleh kedua putrinya.
"Iya, Yah."
Sedikit berlari Arina dan Ayuna yang sudah memakai mukena segera menyusul kedua orang tuanya yang sudah berjalan lebih dulu.
Arina yang memakai mukena terusan terlihat lebih kalem dan anggun dibanding Ayuna yang memakai mukena potong dengan motif bunga-bunga.
Dibanding sang adik yang selalu tampil cantik, fashionable dan selalu wangi, Arina selalu tampil apa adanya. Ia tidak terlalu suka menggunakan make up yang menurutnya membuat wajahnya terlihat seperti ondel-ondel.
Dia lebih suka menggunakan celak mata yang bubuk. Karena menurutnya, itu sangat simple jika sedang terburu-buru akan berangkat ke sekolah.
Dari dulu memang wajah sang adik yang cantik dengan kulitnya yang putih, serta mudah bergaul membuat teman-temannya lebih suka berteman dengan Ayuna dibanding dengan dirinya yang pemalu dan selalu menyendiri.
***
"Gimana sama murid-muridmu, Rin? Apa mereka masih suka begajulan seperti kemarin-kemarin?" tanya Pak Salim di tengah menikmati makan malam mereka.
Ayuna yang merasa sang ayah lebih perhatian terhadap sang kakak menghembuskan nafasnya kasar, saat mendengar pertanyaan Pak Salim terhadap kakaknya.
"Alhamdulillah, Yah. Sekarang mereka sudah lebih serius lagi, belajarnya, Yah." Jawab Arina jujur.
"Bagus!" puji Pak Salim manggut-manggut.
"Sekali-kali, mereka perlu diberi pelajaran. Jika mereka masih begajulan lagi," lanjut Pak Salim setelah menghabiskan makanannya.
Memang sebelum Arina menjadi wali kelas XII di Madrasah Aliyah An-Nur, murid laki-laki banyak sekali yang membolos sekolah. Mereka lebih suka nongkrong di kantin sekolah sambil menghabiskan waktu mereka dengan merokok dan bercanda di sana.
Tidak hanya murid laki-laki saja, murid perempuan pun juga sama. Mereka suka sekali usil kepada semua guru yang baru masuk ke kelas mereka.
Akan tetapi, setelah Arina masuk menjadi wali kelas mereka. Banyak sekali perubahan yang terjadi pada mereka. Walaupun awalnya Arina juga merasakan hal yang sama seperti guru-guru yang lain.
Berbagai macam cara mereka lakukan untuk membuat Arina mundur menjadi wali kelas mereka. Tapi karena sifat Arina yang pemaaf dan ketelatenannya menghadapi siswa siswinya yang susah diatur. Mereka akhirnya luluh dan patuh terhadap Arina.
To be continued.
Penasaran?
Ikuti terus kisahnya.
😊😊😊