Keduanya berharap, semoga saja kedua Orangtuanya Cempaka atau saudaranya
punya uang, dan mau meminjamkannya kepada dirinya.
"Semoga saja saudaraku percaya pada kita ya mas ya" Gumam Cempaka berharap.
"Kalau kamu bisa ngomongnya, ya pasti bisa neng. Yang penting kamu benar-benar berusaha, ngomong dengan baik, pasti mereka akan membantumu" Ujar Kardiman. Dia semakin melancarkan aksinya.
"Tidak terasa kita sudah sampai di depan rumah ibu" Cempaka kegirangan saat mereka telah sampai di depan rumah ibunya.
"Kok!... Sepi ya mas?... Pada kemana ya?" Cempaka merasa heran dengan keadaan di rumah orangtuanya, yang tidak biasanya sepi begitu.
"Assalamualaikum..." Cempaka mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam..." Langsung ada yang menjawab salamnya. Suara bu Tini kedengarannya.
"Cempaka?... " Bu Tini merasa heran dengan kedatangan anaknya. Dia takut terjadi apa-apa kepadanya.
"Iya bu. Bagaimana kabar ibu dan bapak serta yang lainnya?" Cempaka menanyakan kabar semuanya.
"Alhamdulillah... Kalian berdua saja?... Bagaimana kabar Keluarga di sana?" Bu Tini balik bertanya.
"Alhamdulillah bu, Keluarga di sana juga dalam keadaan baik-baik saja" Kardiman segera menyelanya.
Karena Kardiman tahu pasti Cempaka merasa bingung dengan jawabannya. Toh Cempaka selama di sana belum tahu rumah mertuanya. Cempaka hanya baru tahu wajah ibunya saja. Karena ibunya pernah datang berkunjung ke rumah uwa Karmi.
Sedangkan sama bapak mertuanya, sama sekali Cempaka belum pernah bertemu.
"Syukurlah kalau begitu, ayo masuk"
Bu Tini menggandeng tangan Cempaka untuk membawanya masuk ke dalam rumahnya.
Setelah makan dan beristirahat, Kardiman sepertinya sudah merasa tidak sabar untuk mengingatkan Isterinya agar segera membicarakan tentang keperluan mereka yang sebenarnya.
"Ayo dong neng!... Segera bicarakan maksud kedatangan kita ini"
"Iya... Iya... Sebentar lagi, aku bingung harus bagaimana mengawalinya?" Cempaka merasa sungkan.
"Kamu ini... Ya bilang saja seperti apa yang kita baca dari surat itu. Atau... Kasiin saja tuh suratnya" Ujar Kardiman ngotot.
"Kenapa mesti ngotot segala?... Sudah baik aku mau mengusahakan pinjam uang buat kamu!... Bukannya bantuin , malah marah-marah di duluin" Cempaka jadi kesal.
"Iya ma'afin aku. Ya sudah sekarang bagaimana kamu saja, yang penting dapat uangnya" Kardiman mengalah.
Mungkin dia takut kalau Cempaka batal mengusahakan uangnya.
"Nah... Gitu kalau merasa butuh" Dengan kesal ucap Cempaka sambil beranjak meninggalkan Kardiman hendak menemui ibunya.
"Assalamualaikum... Ibu lagi apa?... Lagi sibuk enggak?" Cempaka mendekati ibunya lalu duduk di sampingnya.
"Waalaikumsalam... Enggak sibuk, emangnya ada apa?... Sepertinya serius nih. Ayo cerita sama ibu" Ucap bu Tini dengan lembut.
"Ini bu... Sebelumnya aku minta maaf, Karena ini pasti merepotkan ibu lagi" Cempaka ragu untuk mengutarakan yang sebenarnya.
Cempaka tidak melanjutkan perkataannya. Dia malah nunduk, menyembunyikan wajahnya.
"Ada apa?... Apa kamu ribut sama suamimu?" Bu Tini menduganya.
"Enggak bu... Aku enggak ribut. Hanya...
Ini... Kardiman menerima surat ini dari kantornya dua hari yang lalu" Cempaka menyodorkan sebuah amplop kepada ibunya dengan perasaan was-was.
"Apa ini?" Dibukanya amplop yang sudah di tangannya itu.
Bu Tini mengeluarkan sehelai kertas dari dalam amplop itu.
Setelah memakai kacamatanya, diapun lalu membaca surat itu kata demi kata hingga selesai.
"Jadi... Maksudnya kamu ke sini itu mau meminjam uang buat nombokkin ke kantor, iya kan?... Tapi, sayangnya ibu lagi enggak pegang uangnya. Apalagi uang segitu banyaknya" Bu Tini sepertinya menyesal karena tidak bisa menolong Cempaka.
"Lalu... Aku minta tolong sama siapa ya bu?... " Cempaka kebingungan.
"Coba minta tolong sama adik atau kakak kamu, siapa tahu mereka punya"
Secercah harapan di sodorkan oleh bu Tini, membuat sinar di wajahnya Cempaka kini membias kembali.
"Tapi, ibu tolong bantuin ngomongnya ya bu" Cempaka ragu.
Bu Tini menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
"Mungkin tidak akan bisa sekarang kalau mau ketemu adik dan kakakmu. Kalian mau nginap kan?"
"Iya bu, enggak apa-apa semoga saja berhasil ya bu" Cempakapun tersenyum.
*
Keesokkan harinya Cempaka menemui adiknya dan menjelaskan maksud dan kedatangannya.
"Kalau sebanyak itu saya tidak punya, Saya hanya ada lima ratus ribu" Sekar mengeluarkan uang sebanyak lima ratus ribu rupiah dari dalam dompetnya.
"Iya enggak apa-apa lima ratus ribu juga. Nanti kurangnya aku mau pinjam kak Dahlia, siapa tahu dia punya. Ini uangnya aku pinjam dulu ya, makasih banget" Cempaka segera melipat uang yang lima ratus ribu itu dan segera dia masukin ke dalam dompetnya.
"Aku mau ke rumahnya kak Dahlia dulu"
Ujar Cempaka.
"Dahlia lagi kerja, nanti pulang kerja dia suka mampir ke mari" Ujar ibunya menghentikan langkahnya Cempaka.
"ooh iya aku lupa, hampir saja aku menghabiskan uangku untuk ongkos. Untung ibu menghentikan aku. Terimakasih ibu" Diapun kembali duduk di tempatnya semula.
"Kak, sebenarnya uang itu untuk apa sih kak?..." Sekar bertanya dan berbisik di telinganya Cempaka.
"Ini katanya" Cempaka menyodorkan sepucuk surat dari kantor suaminya.
Sekar menerimanya dan kemudian membacanya. Kemudian dia manggut-manggut.
"Semoga saja benar yang ada di surat itu, makanya aku berusaha untuk bisa menutupinya" Cempaka berharap.
Padahal sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya, dia merasakan suatu keraguan yang menyembul sejak dirinya menerima dan membaca sepucuk surat itu. Namun, dia berusaha untuk menepiskannya.
Dia mencoba untuk percaya dan yakin akan perkataan suaminya.
"Kakak sepertinya ragu ya?" Sekar rupanya merasakan hal itu.
"Enggak, emh... Memangnya ragu kenapa?... Itu kan surat dari kantornya"
Cempaka berusaha untuk menyembunyikan perasaan was-was yang ada di dalam hatinya.
"Assalamualaikum..." Tiba-tiba terdengar suara Dahlia mengucapkan salam dari halaman rumah ibunya.
"Waalaikumsalam... Asyik kak Dahlia datang. Semoga saja dia punya uang dan membawanya" Cempaka berharap dalam gumamannya.
"Ih geer, kalau enggak mau ngasih pinjam gimana hayoh?" Sekar meledeknya.
"Kau mendo'akan kakakmu ini begitu ya?" Cempaka melotot sewot.
"Kalian kenapa sih?... Kaya anak kecil saja. Eh... Cempaka kapan datang?... Apa kabar?" Dahlia menegurnya.
"Kakak... Tadi siang kak. Alhamdulillah baik kak. Kakak sendiri bagaimana?" Cempaka balik bertanya.
"Alhamdulillah... Seperti yang kalian lihat, kakak baik-baik saja. Mana ibu?"
"Di teras belakang sama bapak"
"Kakak ke belakang dulu ya, mau ketemu ibu sama bapak" Pamitnya sambil beranjak meninggalkan Cempaka dan Sekar. Sedangkan Kardiman tengah baringan santai di kamarnya Cempaka.
Dia tengah membayangkan kalau Cempaka berhasil pinjam uang dari saudaranya. Uang itu akan di bagi dua dengan Yati kakak sulungnya Cempaka.
Dirinya mendapatkan beberapa keuntungan.
Pertama dia mendapatkan Cempaka yang masih suci dengan cara menikahinya.
Kedua pernikahannya dengan Cempaka seratus persen gratis, dia tidak mengeluarkan uang seperak pun. Semua biaya di tanggung oleh keluarga Cempaka, berikut mas kawinnya. Itu semua karena kelihaiannya Yati, sang kakak sulung yang tidak suka pada Cempaka.
Yang ketiga, kini dia akan mendapatkan
uang lagi dari hasil menikahi Cempaka si cantik yang jomblo itu.
Dan ini semua berkat siasat liciknya Yati sang kakak sulung yang begitu ulungnya memperdayai Adiknya yang polos dan lugu itu.
"Cempaka... Cempaka... Kasihan benar tuh hidupmu. Di perdaya oleh kakak sendiri... He... He... He... Karena Yati yang berotak jahat, tidak suka dan iri dengan kecantikannya Cempaka, aku yang mendapatkan nik'matnya. Beruntung sekali aku ini" Kardiman bergumam sendirian.
Sedikitpun Cempaka yang lugu dan polos itu tak menyangka kalau dirinya tengah di perdaya oleh suami dan juga kakak sulungnya itu.