Chereads / aura seorang perempuan pelacur / Chapter 4 - 4. Kerinduan yang tersembunyi

Chapter 4 - 4. Kerinduan yang tersembunyi

Keberangkatanku ke Pesantren Musthafawiah sudah diambang pintu. Aku tidak punya keluarga di Pulau Jawa, tidak seorang pun ada yang datang menghampiri lalu menangis teredu-sedu memelukku, meskipun meneteskan airmata buaya sekadar basa-basi melihat kepergianku.

Bu Lilis adalah satu-satunya orang yang merasa perih setelah melihatku ingin pergi. Itupun matanya memerah tidak sampai berderai, jangankan berderai, jatuh terjerembab setetespun megenai lantai tak ada. Alasannya sederhana, mungkin karena aku bukan anak kandungnya. Bukankah menangisi perpisahan dengan yang bukan anak kandung adalah pekerjaan sia-sia.

Mungkin hatinya masih saja dipatahkan pendapat yang tidak mendidik itu, dan jelas-jelas pendapat yang keliru, perlu dibumi hanguskan. Sampai debunya pun tidak tersisa. Atau barang kali karena dia sudah terbiasa digoncang badai penderitaan.

Mengalami perpisahan yang tidak berujung. Melepas kepergian orang-orang yang dicintai, biasa saja bagi dirinya, dan ia mengharapkan cintanya semakin hari semakin tumbuh sampai takterbendung lagi, walaupun jarak telah membentang, dan entahkapan bertemu lagi. Tapi ia terus mengingatnya, karena sinaran cintanya yang terik melebihi sang surya semakin memercik.

Perpisahan dengan anaknya saja yang belum ada jaminan pertemuan kembali di episode selanjutnya, belakangan ini nampaknya dia yang lemah terlihat biasa-biasa saja.

Dia hafal sebuah sastra arab, membimbing umat manusia untuk tegar menghadapi sebuah cobaan yang berat berupa perpisahan. Tiada petemuan yang tidak diakhiri dengan perpisahan, akan tetapi perpisahan itu sering mencucurkan linangan airmata.

Menurutku berpisah seperti ini, yang bukan dengan anak kandungnya tidak begitu menyakitkan. Aku bayangkan bukan penderitaan berat sampai meyiksa batin. Tetapi aku tetap merasa hawatir setelah kami berpisah nanti tidak bertemu lagi. Aku yakin seribu persen perempuan renta itu pasti merindukan aku.

Di setiap sudut kerinduan telah lahir dalam hatinya untukku, meskipun ia simpan diam-diam, tapi ia terus mengalir dalam jiwanya yang bergejolak, tidak bisa ia sembunyikan. Atau disingkirkan dengan sepatah kata, apalagi kalau hanya mengutip perkataan sastra arab untuk menegarkan dirinya sendiri yang hampir patah. Setiap harinya dia berkata mengutip sebuah sair, Wahai angin yang selalu bertiup, sampaikanlah salamku kepada orang yang selama ini membuat hatiku rindu.

"Kau harus kuat dan tetap menjadi diri sendiri. Orang paling bodoh ialah, yang meninggalkan keyakinan diri sendiri karena mengira yang dilakukan orang lain lebih berarti," ia mengutip perkataan seorang ulama bijak, memelukku penuh kasih sayang seperti dekapan seorang ibu kandug kepada anak lelakinya seakan tak melepasnya pergi.

"Kau harus berjuang tanpa ampun Nak. Dan kau harus tahu Tuhan tidak pernah bersama orang-orang yang kalah." Setiap orang yang mendengar kata-katanya yang menyihir akan terhipnotis. Pasti dia kutip perkataan seorang pujangga besar masa lampau. Kalau tidak dari sair-sair yag ia baca dari berbagai buku. Tapi saat ini aku sekan tak peduli dengan

petuah-petuhnya yang mendidik tujuan membangun. Belum tentu kuindahkan sampai mataku berkedip untuk selamanya.

Setelah aku menikah dengan Asrianti nanti, perempuan bidadari itu. Aku ingin mendapatkan anak yang saleh. Meskipun ia bekas pelajur di rumah bordil milik tentara Jepang yang tidak punya nurani.

Jika aku punya kekuatan, aku wajib membunuh mereka komplotan yang datang menjajah ke negeriku. Mataku memandang mereka itu kafir yang perlu dibumi hanguskan. Aku ingin membunuhnya menggunakan tanganku sendiri seperti ular peton yang merayap menjulur-julurkan lidahnya datang mematok negeriku, tanah paling subur di dunia.

Orang Timur Tengah menyebutnya surga kedua. "Kau tunggu sebentar di sini Nak Ipul," Bu Lilis bergegas lari ke dapur, sepertinya ada yang terlupa. Dia ingin memberiku sesuatu. Tangannya yang keriput menjulur masuk ke dalam kantongku, menyelipkan sebuah Al-Quran kecil dibungkus dengan kain putih yang bersangatan putih dan bersih.

Kemudian memakaikan kalung hitam yang berisi jiamat ke leherku. Aksinya belum berakhir sampai di situ. Titik penghabisan dia memberiku sebuah keris kecil. Aku belum pernah melihat sebelumnya, apalagi sampai mempergunakannya. Pengetahuanku mengenai alat-alat mistik seperti ini baru sejengkal.

"Apa membunuh orang-orang penjajah itu harus menggunakan benda tajam seperti ini?" tanyaku penasaran. Secepat pesawat tempur Jepang berjalan menjajah negeri ini, ia menjawab, sambil menjulurkan tangannya. Ujung telunjuknya menempel di bibirku yang kering kerontang, dan aku mengerti maksudnya menyuruhku diam.

"Kau jangan salah paham, kau tidak boleh mempergunakannya sembarangan. Kecuali dalam keadaan terjepit. Kau boleh menaburi duri dalam tubuhmu Nak. tapi ingat, bukan untuk menyakiti, hanyalah untuk melindungi diri." Dia mulai lagi mengeluarkan bahasanya yang bermakna denotatif itu. Aku sebagai seorang penulis kecil, atau seorang sastrawan yang tidak ternama merasa sentimen di depannya.

Aku tidak boleh memahami kata-katanya yang berderet apa adanya. Maknanya tentu berupa kiasan. Aku perlu menafsirkannya sendiri. Kalau saja aku tidak boleh mempergunakan senjata ini secara sembarangan, kecuali dalam keadaan terjepit. Sama saja aku mempergunakannya khusus untuk membunuh orang.

Penggunaan bahasanya saja yang terlalu berbelit-belit. Aku mulai melangkah pergi meninggalkan ibu renta yang pengasih itu, melambai-lambaikan tangan. Begitu kaki melangkah untuk yang kesekian kali, aku haramkan menoleh lagi ke belakang, pantangan bagi diriku. Dalam perjalanan yang melelahkan. Aku terpaksa melepas keris dari sarungnya. Membunuh tiga orang Pribumi rendahan yang datang menghampiri ingin merampasku.