Chereads / aura seorang perempuan pelacur / Chapter 3 - 3. Sebuah ungkapan Perasaan

Chapter 3 - 3. Sebuah ungkapan Perasaan

Ukuran rumah itu cukup sederhana. Bentuknya memanjang lurus seperti rumah susun. Temboknya yang dulu kumal tidak dipelihara, sekarang disulap menjadi warna yang indah seperti bunga.

Orang-orang menyebutnya rumah bordil milik militer Jepang. Atau lebih tepat disebut rumah pelacuran yang diisi gadis-gadis Pribumi yang bernasib sial. Dijadikan alat pemuas nafsu.

Rumah itu dikelilingi kawat berduri, menggunakan penjagaan super ketat dalam waktu 24 jam penuh. Di rumah yang taklayakhuni itulah bagi orang-orang beriman, tempat kediaman Asrianti dan teman-teman perempuannya yang dipermainkan gelombang kehidupan.

Mereka memiliki pagina empuk yang dipaksa dijinakkan militer Jepang dengan nafsu bejatnya yang brutal. Seolah kedatangan mereka ke dunia dilahirkan untuk melahirkan. Begitulah nasib perempuan pelipur lara, sering dipaksa melakukan senggama dengan orang asing yang takdikenal.

Kalau saja ada pilihan untuk dibebaskan masa penjajahan itu, secepat kilat memotret bumi ini mereka akan memilih pergi dan merasa merdeka dari hidupnya yang terjajah. Mereka takpeduli entah pergi ke mana setelah itu.

Mereka tak akan berpikir tentang ekonomi untuk ke depannya. Mereka menjadi hina karena dipaksa. Jauh beda dengan perempuan-perempuan pelacur sekarang, terpaksa menjual dirinya demi materi. Dia terbuai, terlena, dan terpesona.

Setelah beberapa bulan hidup di dalam dunia kegelapan, pelan-pelan dengan waktu yang terus bergulir dia sadar harga diri itulah yang paling berharga dalam hidup ini. Kalau harga diri sudah tergadai, berarti sosok harta paling berharga telah direnggut.

Siang malam Asrianti sering merenung, memikirkan nasibnya yang lebih malang daripada ilalang yang terbakar, atau seperti orang yang jatuh ketimpa tangga, lari terbirit-birit, terputus sandal, kemudian dikejar anjing menggong-gong dari belakang yang terus menjulur-julurkan lidahnya yang kesat. Bayangkan wahai kupu-kupu malam, jika kau mati di tempat tersiksa seperti ini, ketika menempuh jalan kegelapan dengan seorang lelaki hidung belang.

Satu-satunya cara, agar kau berputar haluan, putar kepalamu dan jangan menoleh lagi, mumpung masih ada kesempatan emas, bertaubatlah. Suara itu terngiang ditelinga Asrianti sampai menusuk jantung. Memang nasibnya sedikit lebih beruntung dari perempuan Pribumi lain yang satu propesi, sama-sama pelacur yang terpaksa.

Dia diperlakukan lebih istimewa dari pelacur lain yang dianggap sampah menjijikkan. Pernah suatu ketika seorang pemuda Pribumi, mata-mata Jepang ingin mencicipi sekujur tubuhnya yang sudah dalam keadaan setengah bugil.

Dia menyuruh lelaki musuh dalam selimut itu keluar. Bahkan ia sampai mengeluarkan dahaknya meludahi wajah pemuda yang tak tahu diri itu dan dijadikan mata-mata untuk menjadi musuh bagi bangsanya sendiri. Begitu ia memasuki kamar Asrianti, ia bermaksud menggoda perempuan super itu. Spontan Asrianti burucap sankin marahnya, emosinya yang meluap-luap lepas seperti tembakan.

Suaranya menderu-deru. "Kalau kau tidak mau keluar sekarang juga akan kulempar wajahmu yang mirip monyet itu dengan taiku. Lebih baik aku menjual diriku pada militer Jepang, daripada melayani anjing kurap seperti dirimu. Kalau kau berani mendekat selangkah saja, aku akan membunuhmu di tempat terkutuk ini.

Kalau tidak aku yang akan membunuh diriku sendiri." Lelaki itu keluar dengan wajah pucat pasi. Asrianti pun mengambil sikap takpedului.

Dia diperlakukan lebih istimewa dari perempuan kumuh lainnya, karena ia memiliki kecantikan luar biasa. Tidak sembarang orang bisa menyentuhnya.

"Kaulah satu-satunya perempuan berkelas di rumah bordil ini perempuan Pribumi, dan kau seorang pemberani." Seorang militer Jepang berbisik halus di dalam ruangannya yang sujuk. Dia tidak kenal siapa nama pemuda Jepang berpenampilan sangat berbeda itu, Tidak memakai seragam.

Hanya memakai pakaian biasa, tanpa topi dan tanpa menyelipkan senjata di pinggangnya. Kemudian tanpa tedeng aling-aling, lelaki itu mencium pipinya. Asrianti melakukan tugasnya sebelum diperintah, membaringkan badannya siap dipanen. Lelaki itu menjulurkan lidahnya tepat mengenai bibir perempuan itu yang tipis dan bergaris.

"Sudah berapa kali kau melakukannya?" Lelaki itu masih saja berkicau dengan suaranya yang mengusik.

"Takterhitung."

"Apakah kau merasa senang tinggal di rumah bordil ini?"

"Senang atau tidak bukan urusanmu?" Sejenak suasana hening, tanpa ada sepatah kata pun. Tembok seakan tertawa melihat mereka bercinta seperti binatang. "Bukankah kau diperlakukan istimewa di sini dari pelacur lain? Dan kau boleh keluyuran sesuka hatimu."

"Yang namanya perempuan pelacur tetap kehidupannya seperti pelacur. Di dunia ini perempuan paling malang aku." Ia menyebut namanya sendiri, lelaki itu meraba dan mencicipi tubuh Asrianti yang telanjang.

"Terus apa yang kau inginkan sekarang?"

"Kematian."

Lelaki itu terperanjat, turun dari ranjang. Kalimat sederhana, yang membuat sekujur tubuh menggigil itu yang paling ditakuti setiap manusia, sampai-sampai mereka ingin lari terbirit-birit seperti dikejar anjing menggong-gong dari belakang dari kejarannya yang mengerikan, justru dicintai perempuan bernama Asrianti.

"Kau tahu Kimiko Kaneda perempuan bidadari dari Korea Selatan?" Lelaki itu memilin-milin kumisnya, kemudian merunduk memakai celananya yang baru saja ditanggalkan, menutup auratnya paling aurat. "Ceritanya sudah mendunia, ia sejatinya memiliki darah jepang," Asrianti menimpali. Lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya, melirik bibir Asrianti yang merah merona bergerak-gerak pelan, kemudian ia mengecupnya.

Dia bercerita sekilas tentang Kimiko Kaneda kupu-kupu cantik melebihi bulan. Keharuman tubuhnya melebihi kasturi. Tapi dipaksa jadi pelacur melayani serdadu Jepang takkenal waktu. Setelah berkenalan dengan militer Jepang yang haus seks dan di tempatkan di rumah bordir.

Ia merasa kehadirannya untuk dihabisi, ia merasa menemukan siksaan yang takterperikan setelah terdaftar menjadi Jagun Lanfo, perempuan yang dijadikan alat pemuas nafsu yang bergejolak bagi militer Jepang yang terkutuk.

Dia pernah ditikam seorang militer Jepang yang menolak ajaknnya bertukar daging kemaluan, memasukkan sesuatu pada sesuatu akhirnya memuntahkan seauatu.

"Apa bangsamu, dan kau sendiri masih punya muka untuk ditampakkan setelah berbuat keji seperti itu?" Lelaki itu terdiam sejenak. Pembicaraannya yang masih terselubung di dalam hati dipotong Asrianti.

"Kenapa kau banding-bandingkan aku dengan mereka. Sekarang tanggalkan saja pakianmu, aku ingin menghisab madumu untuk yang kedua kalinya."

"Lebih baik enyah kau dari hadapanku, hentikan bahasa vulgarmu yang menjijikkan." Asrianti mengeluarkan ludahnya mengenai tembok. Baru kali ini ia melawan, sepertinya benar-benar siap untuk mati.

"Kau seorang militer yang bodoh. Mencerca kebobrokan negara sendiri di hadapan orang asing, dan itu lawan perangmu. Asal kau tahu sejarah nanti akan mencatat tentang kebiadaban kalian pada perempuan asing itu, juga pada negeriku di atas gading yang tak retak. Meskipun hantaman ombak dan gelombang yang saling kejar-kejaran silih berganti menghiasi tepian pantai mampu menghapusnya. Namun jejaknya tidak akan pernah hilang." Asrianti semakin geram.

Dia tidak takut pipinya ditampar sampai memar. Bahkan kalau bisa, dia ingin mati secepatnya ditemabak dengan peluru yang beruntun. Biar saja mayatnya membusuk dikerubungi lalat biru sampai jadi tengkorak. Tulang belulangnya akan jadi saksi dengan penderitaannya yang terjajah, membuat kepribadiannya runtuh karena telah dihinakan oleh orang-orang yang hina. "Lelaki keparat, kenapa kau tidak memaksaku, untuk melepas pakaianku lagi, seperti tentara lainnya. Kenapa kau membatalkan niatmu menggerogoti tubuhku yang tidak suci lagi?"

Dari tadi Asrianti memang merasa penasaran, dengan diamnya seorang pemuda Jepang yang duduk di sampingnya. Baru kali ini ia bertemu dengan seorang militer Jepang yang tidak memaksanya melepas pakaiannya yang seksi, menyerupai telanjang. Keduanya saling pandang dengan hati yang berdenyut. Anggota militer itu tidak melepas celananya lagi.

Ia mengunci auratnya rapat-rapat setelah persetubuhan menjijikkan hampir saja terjadi. Mereka tidak jadi manusia termiskin di dunia, berhadap-hadapan tanpa sehelai kain. Dengan tarikan napas yang terengah-engah.

"Asrianti aku menyukaimu."

"Heh…heh…." Asrianti terkekeh.

"Kau pikir aku perempuan bodoh, itu akal-akalanmu saja militer Jepang. Kalau kau ingin bermesraan dengan tubuhku lakukan saja. Negeri kami sudah tahu betapa menjijikkannya kelakuan kalian. Kekejaman kalian menyakiti kami lebih dari seribu ekor ular yang mematuk. Perbuatan kalian pantas diultimatum." Asrianti bermaksud menguji keseriusan pemuda itu.

"Kenapa kau tidak percaya. Kalau aku mau aku bisa menyentuhmu seratus kalipun dalam sehari, tidak ada yang melarang. Karena kau disediakan untuk jadi pemuas nafsu tentara di sini. Tapi bukan di situ letak persoalannya. Bahkan kalau aku mau, aku bisa membunuhmu di tempat ini sekarang juga. Negaramupun tidak akan bisa menuntutku. Mereka pasti memilih diam. Karena yang ada di sana pengadilan, bukan keadilan. Dan aku ingin bertanya, kenapa kau tidak takut mati. Bukankah itu hal yang mengerikan." Kedua muda mudi itu saling pandang, tatapan Asrianti semakin tajam.

Perempuan itu menggigit bibirnya yang berbekas, menelan ludah. Matanya yang tajam berkedip-kedip.

"Apa maksudmu?"

"Aku mencintaimu, sungguh mencintaimu." Lelaki itu memeluk Asrianti penuh kemesraan. Jantung perempuan itu berdebar-debar serasa ia menemukan cinta sejati. Diperlakukan seperti perempuan terhormat. Tidak dianggap sampah, seperti yang ia rasakan sebelumnya. Biasanya setiap anggota militer yang bertemu dengannya langsung tude poin. Melakukan kemesraan dengannya. Beraksi sampai memuntahkan lendir. Tak pernah ia merasakan pelukan mesra seperti yang ia rasakan sekarang.

Ia coba kuat-kuatkan hatinya yang mulai luluh. Dan ia tolak mentah-mentah sair cinta yang sipatnya terlalu membujuk itu.

"Asrianti kenapa kau diam saja. Lekas jawab pertanyaanku. Apa kau mencintaiku?"

"Untuk apa aku menjawab pertanyaanmu yang tidak berguna itu."

"Kalau kau menyambut perasaanku. Aku berjanji atas nama Tuhan. Kau akan kubawa lari jauh dari sini. Aku tidak ikut lagi berinterpensi dalam peperangan ini. Dan kau lepas dari kurungan. Kita akan menempuh hidup baru. Kau meninggalkan merah putih. Aku menanggalkan pakaian militerku."

Perempuan itu semakin tekejut, seolah baru menemukan sesuatu benda yang paling mahal dan sudah dicari-cari sejak lama. Hatinya mulai tersentuh oleh jemari yang dingin. Dia juga takut jika adegan ini sebuah permainan senda gurau yang menjerat. "Sepertinya kau mencintaiku terlalu dalam. Kenapa? Kenapa kau berani menyatakan cinta tulus buatku. Aku rasa kau tak mengenalku. Sementara aku juga tak mengenalmu, bukankah ini pertemuan kita yang pertama. Aku berharap juga untuk yang terakhir kalinya." Asrianti memalingkan wajahnya tak acuh. Sipat perempuannya yang suka berpura-pura mulai tumbuh.

Tapi begitu lelaki itu memperkenalkan dirinya Yonsu. Dan setelah bercerita sekilas, hati Asrianti semakin luluh. Lelaki itu bilang dia pernah melihat gadis itu duduk termenung, sambil menangis sesenggukan. Airmata keluar deras dari sumbernya. "Jika kau Tanya kenapa aku mencintaimu. Aku juga tak tahu. Aku hanya bisa menjawab. Ketika aku melihatmu aku menemukan cinta di matamu, dan itu hanya untukku. Aku berharap pertahankanlah hidupmu jangan sampai mati. Ikutlah bersamaku"

"Sekarang saja aku merasakan kematian itu sudah menjemputku."

"Maksudmu apa?"

"Kehidupan ini adalah kematian. Dan aku tidak akan menemukan kehidupan sejati sebelum aku mati. Agamaku mengajarkan ada hidup sesudah mati, ada akhirat sesudah dunia."

"Terus kenapa kau tidak mati bunuh diri saja seperti yang sering dilakukan orang-orang di negeriku."

"Mati bunuh diri, berarti mati sia-sia kekal dalam neraka."

"Lalu kenapa kau mencoba bunuh diri ketika seorang lelaki Pribumi dari negerimu sendiri ingin menidurimu, sedangkan orang asing kau terlihat tenang-tenang saja."

"Darimana kau tahu cerita itu?"

"Jawab dulu pertanyaanku."

"Aku yakin, jika aku melakukannya dihadapan lelaki penjilat dan pengecut seperti itu, Tuhan akan mengampuni aku."

"Jadi benar kau tidak takut mati?"

"Kalau kau tidak pecaya bunuh saja aku dengan senjata murahanmu itu."

Ia mengangkat senjatanya sekadar menakut-nakuti, menempelkan ke dada Asrianti yang terjajah.

Terlihat jelas napasnya naik turun. Ia merasa perjuangannya yang melelahkan dan takkunjung hasil akan berakhir sampai di sini. Ia punya prinsip segala usaha dan pekerjan harus dijalankan penuh keberanian, tidak boleh setengah hati, main-main atau sekadar bermaksud untuk mencoba-coba. Bekerjalah engkau untuk duniamu seolah-olah kau hidup selamanya, dan bekerjalah engkau untuk akhiratmu seolah-olah kau mati besok paginya. Prinsip yang mendidik inilah yang terus ia junjung dan berpegang teguh kepadanya, walaupun ia seorang pelacur. Detakan jantung perempuan itu semakin berdebar. Ia yang merasa risih merasa baru diintrogasi. Sekarang tinggal menerima hukuman yang akan dijatuhkan. Ia akan pasrah menerima ponis itu. Yang jelas kata-kata lelaki itu mungkin menghunjam jiwanya. Ia berusaha menepisnya jauh-jauh. Hanya perempuan bodoh seperti diriku yang bisa dimakan bujuk rayunya yang menyesatkan.

Ia menasihati dirinya sendiri. "Kenapa kau belum melaksanakan tugasmu, memuntahkan pelurumu untuk membunuhku keparat?" dari tadi lelaki itu memilih diam. Sepertinya ia tak peduli. Ia mundur ke belakang sambil mengerjab-erjabkan mata perlahan-lahan dengan menyodorkan senjata. Mungkin sebentar lagi ia akan benar-benar menghidupkan pltuknya membunuh Asrianti, mungkin juga tidak.