Chereads / aura seorang perempuan pelacur / Chapter 2 - 2. Sepotong Peluru

Chapter 2 - 2. Sepotong Peluru

Siang itu terik mentari benar-benar membakar kulit. Lidahnya yang panjang dan panas seperti api menjulur-julur menjilat bumi seakan retak. Membuat tanah gersang. Kampung Kadipaten mengalami musim kemarau.

Tahun ini semua petani miskin yang dijajah kepribadiannya gigit jari. Panennya yang gagal total membuat badan kurus kerempeng. Seharusnya mereka dikasihani. Tapi tak ada tangan malaikat yang menjulur dari langit menolong mereka. Banyak orang memilih pergi melarikan diri, tak mau mendaftarkan diri ikut bertempur melawan Jepang. Bahkan ada yang nekat mengahiri hidupnya.

Di luar sana Pribumi rendahan yang lazim disebut manusia-manusia kumuh yang diperbudak di tanah leluhurnya sendiri merasa putus asa, mengambil jalan pintas melompat dari ketinggian, jatuh terjerembab, mati mengenaskan di tempat.

Di luar sana, jauh dari desa ini mereka yang bosan hidup ketika itu ada juga yang lari terseok-seok telanjang dada tanpa alas kaki, tidak menggunakan tutup kepala, membawa benda tajam mengkilat diujungnya baru diasah. Berdiri di jalan sambil menantang lawan mainnya tentara Nipon. Mereka tak peduli rentetan bunyi klakson terdengar bertautan. Menggunakan bahasa simbol menyuruh mundur. Seakan manusia kerdil itu tidak sayang lagi pada dirinya sebagai mana mestinya ia menyayangi diri orang lain.

Aksinya yang bermain gila membuat tentara nipon tak sedap memandang. Mereka terpaksa melajukan mobil dengan kekuatan penuh melintasi debu jalanan yang beterbangan menerpa sekujur tubuh, sambil memuntahkan peluru tanpa ampun.

Orang-orang mati bergelimpangan di pinggir jalan seperti patung batu. Benar-benar pertarungan yang tidak seimbang. Di sana tumbuh ego yang sengaja diciptakan. Dan sulit dicerna akan mendapat kemenangan gemilang. Kecuali rahmat Allah turun langsung dari langit laksana embun yang turun diwaktu malam.

Jenderal mana yang berani taruhan bambu runcing dan benda tajam murahan sejenisnya turun ke lapangan melawan tentara profesional yang terdidik dan terlatih. Di pundaknya tergantung senjata yang terbuat dari besi yang cukup berpariasi.

Kalau saja ada pejabat negeri ini yang tidak mensukuri nikmat kemerdekaan, mau menang sendiri. Hidup seenak perutnya saja. Dijadikan jabatan jalan pintas untuk kaya. Biang kerok seperti ini lebih sesat daripada binatang. Dia lebih baik ia mati daripada hidup.

"Masih ada yang berani maju." Ucap salah seorang tentara Jepang dengan suaranya yang lantang, bahasa Indonesia yang ia gunakan cukup terbata-bata. Ia berdiri tegak membusungkan dada di atas kenderaannya yang kokoh. Matanya yang merah siap menantang orang-orang lemah. Ia berkicau setelah menghentikan mobilnya persis di dekat rumah Asrianti yang hampir roboh terbuat dari geplek.

Dan aku yang mendengar menggigil kedinginan. Berselimut menyembunyikan diri di bawah meja kosong. Saat genting seperti ini, tidak tepat waktunya kalau aku melawan. Tapi otakku yang jenius terus mengalir, dan berkata lirih bicara pada diriku sendiri, tentara kafir yang datang menjajah bisa menggunakan Indonesia meskipun terbata-bata.

Berarti penjajah yang perlu disingkirkan itu dari negeri ini orang-orang pintar dan berani mati demi kekuasaan agar bisa merampas kekayaan negeri ini. Berbeda dengan komplotanku Pribumi rendahan, jangankan berbahasa asing seperti Belanda dan Jepang sipenjajah keparat itu, menggunakan Indonesia saja masih banyak yang salah dan penggunaannya tidak benar.

"Keparat di mana kau sembunyikan Asrianti?" Salah seorang militer Jepang menancapkan ujung senjatanya di keningku, dan aku yang memilih diam takberkutik. Jika sedikit saja aku berontak bisa ditelusuri apa yang akan terjadi. Nyawaku akan melayang dalam waktu sekejab. Mayatku terhampar di jalanan berselimutkan debu. Bahkan bisa di buang ke semak belukar seperti bangkai busuk menjijikkan.

"Di mana Asrianti?" Ujung platuknya menghantam mulutku sampai memar. Aku bergerak ketakutan, darah merembes jatuh ke lantai. "Aku di sini," suaranya meraung baru keluar dari kamarnya yang sempit.

Ia memakai selempang tanpa jilbab. Bajunya lengan panjang berwarna-warni. Rambutnya yang lurus terlihat acak-acakan tergerai diterjang angin nenutup wajahnya yang indah. Ia menggigit bibirnya yang merah menunjukkan kegeraman yang sudah menaiki puncak. Dalam suasana gaduh seperti ini dia masih terlihat cantik. Sementara ibunya yang tua renta berdiri lemas di belakang lemah takberdaya.

Ia hanya bisa menangis tersedu-sedu mengucek-ucek matanya yang basah. Kemudian terisak-isak seperti tangisan anak kecil yang baru dapat pukulan ringan dari sang ayah tujuan mendidik. Dan aku yang menyaksikan drama memilukan ini bangkit getir dari persemedianku, memeluk Asrianti erat seakan takkan melepasnya pergi.

Aku berbisik ringan di telinganya yang mungil setelah mencium keningnya yang lembut, "Aku mencintaimu." Secepat kilat badanku bagian depan ditembak satu kali hantaman. Sebuah peluru bersarang menembus kulitku. Aku jatuh sempoyangan mengurut dada menahan rasa sakit yang terus menngeliat sampai taksadarkan diri.

Jika aku mati semoga 7 pintu surga terbuka lebar untukku, dan malaikat melebarkan tangannya mempersilkan aku masuk dari arah mana saja yang aku sukai. Keesokan harinya, aku telah siuman, sepotong peluru telah berhasil dilepas dari dadaku.