Matahari ditutupi awan cukup tebal hari ini. Dikhawatirkan akan terjadi hujan deras. Acara kelulusan telah selesai dan semua orangtua siswa berdatangan memberikan buket bunga. Tapi tidak untukku. Tidak ada yang akan memberikan buket bunga nan cantik itu. Bahkan aku tidak punya kesempatan untuk memfoto hari kelulusan ini. Ponselku sedang rusak akibat jatuh saat bekerja kemarin, sial.
Aku Ran Yuki, tinggiku hanya 155 cm dan aku hanya segelintir orang yang tersisih dari kehidupan. Tinggal sendiri, makan sendiri dan hidup untukku sendiri.
Di atas podium tempat bersejarah saat namaku disebutkan dalam acara kelulusan ini, sekarang hanya jadi tempat sepi bersama aku yang duduk di atasnya. Menikmati lapangan luas aula yang sesak oleh para pelajar sealumni ku dan ditambah sesak oleh keluarga siswa. Ada yang datang dengan membawa rombongan keluarga sehingga semakin memperpenuh lapangan aula.
''Bikin sesak saja! Padahal ini hanya kelulusan, perjalanan masih jauh bagi kami yang baru berusia dua puluh tahun tahun ini.''
Dari pada menonton acara foto-foto dan disuruh menjadi fotografer dadakan Karena aku terlihat tak ada kesibukan, lebih baik aku pulang ke rumah dan pergi bekerja.
Lapangan aula begitu berisik, aku berjalan di antara hiruk-pikuk kebahagian keluarga-keluarga ini. Menjadi sendirian dan saksi atas wajah-wajah yang memancarkan kebanggaan. Untuk saat ini, aku hanya berperan sebagai penonton di lingkungan sekitar. Dari sejak di bangku kelas, aku hanya menjadi orang yang terabaikan, tersisihkan.
Setelah keluar dari gedung aula, aku berjalan di halaman depan. Halaman depan memiliki bundaran indah berupa kolam hias dan air mancur yang kutahu pembangunannya didanai oleh beberapa kalangan dari keluarga siswa. Di sekitar bundaran banyak orang yang sedang berfoto. Ada para siswa kelas sebelah yang ramai sambil memegangi buket, ada beberapa orang tua siswa yang berkumpul—mungkin mereka salah satu penyokong dana itu sebab pakaian yang dikenakan dari merek merek ternama yang sudah pasti mahal seharga biaya hidupku setahun.
Diantara keramian itu kadang kala aku membungkuk menyapa siswa yang lain jika mata ini bersua dengan mereka. Meski begitu, aku tak akan dibuat dalam bingkai foto mereka.
''Ah, sudahlah. Ini hanya membuat aku lebih sedih karena tidak punya siapa-siapa di sini. tapi satu hal yang harus kubanggakan adalah, aku lebih mandiri dari anak-anak ingusan ini. Aku sudah lebih dulu hidup dalam kesusahan dan mengetahui arti uang dan usaha. Dibanding mereka, aku lebih dewasa. Tiap kali hati ini menciut karena merasa kesepian, hal yang seperti ini akan kubanggakan. Sehingga ada dorongan semangat dari pundakku yang selalu kedinginan ini.''
Setelah keluar dari gerbang sekolah, terdapat beberapa wanita tua yang berlalu lalang menjajakan jualannya. Wanita itu sangat tua untuk beraktivitas di luar, menurutku. Mereka lansia yang kuduga berusia 70 tahunan. Sepertinya karena himpitan ekonomi, terpaksa mereka turun ke jalanan. Kasihan sekali.
Sedangkan aku melihat ke belakang, ada beberapa wanita muda yang juga berjualan bunga dengan menyediakan hiasan buket nan indah. Aku menoleh lagi pada seorang lansia itu.
''Dia memiliki saingan. Kasian, sepertinya jualannya tidak begitu laku. Orang-orang kaya itu lebih suka membeli di sebelah sana.''
Aku merogoh uang di kaus kaki dan menemukan koin. Nenek itu rupanya punya penglihatan yang bagus. Seketika itu ia datang padaku dan menyerahkan tiga kuntum bung mawar yang cantik, memiliki dua warna, dibagian bawah putih dan bagian atasnya mustart. Aku memberikan 500 Yen.
Kuambil tiga kuntum bunga dan pergi dari hadapannya. Ketika kutengok ke belakang, nenek itu memandangi koin kuning itu dengan senyum merekah, tangannya nan sudah keriput gemetaran ketika memegangi kepingan uang itu.
''Dia pasti senang, karena jualannya baru saja laku, walau hanya laku 500 Yen. Kuharap aku punya pekerjaan yang hebat agar masa tua nanti tidak menjadi seperti nenek itu.''
Sepanjang jalan, aku memeluk tiga kuntum bunga itu agar tidak rusak. Bunganya wangi dan sangat cantik. Tak apalah hanya satu koin kubelanjakan, hanya untuk hari ini. Hari kelulusanku sendiri, dan bunga ini dari diriku untukku.
Jam tanganku telah bergerak pada pukul 3 siang, aku punya waktu untuk bekerja. Dari dulu, aku bekerja sepulang sekolah di sebuah toko ekspedisi barang. Sebagai penjaga tamu yang mengurus beberapa berkas sebelum barang dikirimkan kepada pihak admin untuk dilanjutkan menuju gudang.
Beruntung mendapatkan pekerjaan karena di sini pekerjaan cukup sulit apalagi untuk anak muda sepertiku. Hanya anak SMA.
Dalam satu hari aktivitasku cukup beragam. Pagi-pagi sekali aku bangun dan menjadi pengantar sayur ke beberapa wilayah, lantaran sekarang dunia berada di atas kepunahan oleh virus antah berantah, corona. Sehingga jasa ekpedisi sepertiku ini cukup laris manis. Aku tergabung dalam sebuah toko sayur. Kami memutuskan untuk melakukan pengiriman barang belanja kepada masyarakat yang membutuhkan. Dan hasilnya cukup bagus.
Ide kami diterima masyarakat sebagai hal yang baik. Aku bersama dua temanku yakni sepupu dari pemilik toko sayuran, pergi mengantarkan pesanan pada pukul 5.40 pagi. Sebenarnya dari sejak pukul 5.00 hingga 6.30 pagi. Setelah dari kegiatan itu, aku pergi sekolah pada pukul 7.19 pagi.
Aku beruntung karena mendapatkan jatah mengantar pesanan pada waktu-waktu awal pagi. Sebenarnya jatah antar ini terbagi pada tiga waktu. Pertama subuh, kedua siang sekitar pukul 10 dan pukul 4-5 sore. Selepas ini aku akan pergi untuk mengganti 500 Yen tadi dengan kerja tambahan di bagian toko sayur, mumpung masih pagi. Aku bisa istrahat di flat selama kurang lebih 30 menit dan 30 menit lagi akan kugunakan untuk berjalan kaki ke toko.
Aku mendapatkan bayaran perhari, jika tidak masuk kerja hari ini, maka aku tak akan mendapatkan apa pun. Gajinya lumaian untuk menopang hidupku selama tiga hari. Jika dikumpulkan, akan lebih banyak uang yang kutabung.
Hidup sendirian tanpa orang tua adalah hal yang menyedihkan. Tiap kali pulang dari sekolah, tak ada yang menyambut kedatanganku. Isi rumah tinggalku hanya kehampaan, kesunyian dan dingin. Kadang kala aku depresi karena setiap membuka pintu flat, suasana kesepian menenggelamkanku.
Aku hanyalah anak orang asing. Aku sendiri tak tahu siapa ibu dan ayahku. Masa kecilku dihabiskan di panti asuhan. Selama itu tak ada satupun yang mau megadopsi anak gadis pendek sepertiku. Setelah lulus dari SMP, aku mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa beasiswa pada tingkat SMA. Dengan berakhirnya masa sekolahku saat ini, maka pejabat-pejabat itu berhenti pula menyuplai dana, karena aku dianggap mampu untuk mandiri.
Setelah lulus SMA, apakah meneruskan ke perguruan tinggi? Tentu saja, selama 3 tahun berada di SMA, aku sudah bekerja sana sini. Uangnya tak serta-merta kugunakan untuk isi perut. Aku menabung selama masa sekolah dan inilah saatnya tabungan itu akan kugunakan untuk mendaftarkan diri di universitas. Aku punya rencana masa depan yang banyak. Diantaranya, memasuki universitas dengan kesempatan kerja yang tinggi lalu bekerja dan menabung untuk masa tuaku kemudian aku bisa tenang dan dapat mencari jodoh hidupku.
Sekolah universitas yang akan kutarget adalah sekolah psikologi atau intelijen. Katanya menjadi intelijen negara kau akan memiliki gaji yang bagus dan tunjangan hidup. Di sekolah kami, pamplet-pamplet pembukaan pendaftaran mahasiswa di beberapa kampus telah dibuka.